KISAH SEPASANG NAGA






JILI 01

Pada suatu senja, dikala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega, memindahkan awan yang berkelompok dari barat ke timur dan matahari telah kehilangan cahayanya dan redup-redup mengintip di balik puncak Kam-Hong-San hingga langit di barat tampak ke merah-merahan dengan dasar biru laut, berdirilah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun di pinggir sebuah jurang. Anak itu dengan asyiknya melamun seorang diri sambil memandang ke arah awan putih dan hitam yang berkejar-kejaran di puncak bukit-bukit dan membentuk gambar mahluk-mahluk yang aneh dan menimbulkan khayal ke dalam otak siapa yang memandangnya. Anak itu berdiri di kaki pegunungan yang banyak terdapat di dataran tinggi Yunan di mana terdapat puncak tertinggi yang menjulang di udara seakan-akan merupakan cakar naga sedang mencengkram awan-awan yang bergerak didekatnya. Pakaian anak itu menunjukkan bahwa ia seorang anak petani.

Memang ia baru saja pulang menggembala dua ekor kerbau yang berkulit hitam abu-abu dan yang kini dengan senangnya berdiri dengan kepala kebawah dan mulut memilih-milih rumput tergemuk dan ekor mereka yang kecil bergerak-gerak tiada hentinya keperut mereka untuk mengusir lalat dan nyamuk. Baju anak itu berwarna kuning memakai sabuk biru mengikat pinggangnya, dan di pinggang kirinya terselip sebuah suling bambu yang berlubang lima. Anak itu tenggelam dalam samudra lamunannya hingga ia tidak merasa betapa kedua ekor kerbaunya telah jauh meninggalkannya dan menuju ke kampung karena kedua binatang itu agaknya telah hafal akan jalan pulang ke kandang yang tiap hari dilaluinya itu. Beberapa lama kemudian dari bawah kaki bukit tampak seorang tua yang berpakaian sebagai petani pula, jalan mendaki bukit itu menuju ke pinggir jurang dimana anak itu masih berdiri melamun.

Kakek ini usianya tidak kurang dari enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih tampak sehat dan wajahnya kemerah-merahan sebagaimana lajimnya wajah seorang petani yang hidup di udara bebas dan tubuhnya tiap hari melakukan pergerakan yang sehat. Tapi yang sangat mengherankan ialah betapa Kakek itu mendaki bukit itu, Ia berlari demikian ringan dan cepat seakan-akan terbang saja! Ternyata orang tua itu mengunakan ilmu lari cepat Hui-Heng-Sut dan dari keringanan tubuhnya yang seolah-olah burung kepinis terbang itu dapat diduga bahwa ginkangnya telah mencapai tingkat tinggi sekali. Melihat anak yang masih berdiri melamun dan agaknya lupa keadaan di sekelilingnya itu, Kakek tadi tersenyum lalu menghampiri perlahan.

"Sin Wan, kau sedang melamun apakah?" tanyanya halus, Anak itu ketika mendengar suara Kakeknya baru sadar dari lamunannya dan menengok cepat.

"Eh, Kong-kong, mana kerbau kita?" Kakeknya tersenyum mentertawakan.

"Mereka sudah pulang dan kini bermalas-malasan di kandang. Heran, apakah yang kau pikirkan hingga kau tidak tahu akan keadaan kerbaumu?" Sin Wan putar tubuhnya ke arah puncak Kam-Hong-San dan menunding keatas.

"Lihatkah kong, bukankah di atas puncak yang tinggi itu terbang dua ekor naga?" Mendengar kata-kata ini, Kakek itu berubah air mukanya dan ia datang mendekat dan ikut memandang. Lalu dengan suara bersungut-sungut ia berkata.

"Sin Wan, janganlah kau berkata yang bukan-bukan. Yang kau lihat itu ialah awan hitam dan mega putih."

"Tapi, Ngkong, lihatlah yang jelas, Bukankah yang panjang-panjang itu seekor naga putih dan seekor naga hitam yang sedang mengulur lidah dan cakar depan? Lihatlah, lihatlah, mereka bergerak-gerak. Ngkong, mereka sedang terbang!"

"Anak bodoh! Yang putih itu adalah mega dan yang hitam awan. Karena tertiup angin maka awan-awan itu membentuk gambar yang aneh-aneh. Sebentar lagi gambar-gambar itu akan lenyap pula. Lihatlah, awan hitam telah mulai buyar." Tapi Sin Wan yang mempunyai daya kayal besar segera bersorak.

"Ngkong, mereka bertempur! Nah, naga hitamnya yang kalah dan ia sekarang buyar, hancur digigit naga putih!" Kakek pegang lengan cucunya.

"Sudahlah, Sin Wan, mari kita pulang. Ibumu menanti-nantimu dengan tak sabar."

"Ngkong, biarlah aku nonton perkelahian naga putih dan naga hitam dulu," anak itu memohon.

"Sudah malam dan sebentar lagi gelap. Nanti saja kuceritakan tentang naga putih dan hitam yang dulu tinggal di puncak bukit itu, Sin Wan" Sin Wan pandang Kakeknya dengan heran dan tertarik.

"Betulkah, Ngkong? Mereka tinggal di puncak gunung itu?" Ia menuding ke arah puncak Kam-Hong-San yang kini agak tertutup gelap awan yang tak dapat melewati puncaknya yang tinggi.

"Sudahlah, nanti di rumah saja aku mendongeng. Maka Sin Wan tidak membantah lagi. Keduanya lalu turun dari lereng itu.

"Sin Wan, hayo gunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini kuajarkan kepadamu." Sin Wan tersenyum girang karena di dekat Kakeknya ia tak usah takut tergelincir atau jatuh. Maka keduanya lalu lari secepat angin menuruni lereng yang banyak jurangnyaitu. Jurang-jurang kecil diloncati begitu saja oleh Sin Wan dan Kakeknya dan jika melintasi jurang yang besar lagi curam maka Kakeknya pegang lengan Sin Wan dan bawa cucunya itu meloncat! Sebentar saja mereka sudah tiba di sebuah kampung kecil yang hanya terdapat beberapa belas rumah sederhana. Di sekitar kampung itu adalah sawah-sawah sumber hasil dan makan orang-orang kampung itu yang hidup secara sederhana sekali. Ketika melangkah ambang pintu, seorang wanita cantik dan berwajah muram dan sedih menyambut mereka. Dengan kata-kata halus ia tegur Sin Wan yang disebut tidak tahu waktu.

"Kau hanya membikin kami orang orang tua berkhawatir saja. Kalau hendak pergi bermain, pulanglah dulu agar kami tahu ke mana saja kau pergi!" Ibu itu menegur dan Sin Wan lalu menghampiri Ibunya.

"Ibu maafkan aku. Aku tadi nonton perkelahian naga putih dan naga hitam hingga lupa waktu. Biarlah lain kali aku tidak akan ulangi lagi Ibu, jangan marah padaku, ya?" Dengan sikap manja ia pegang tangan Ibunya dan gesek-gesek tangan yang halus itu kepipinya dengan penuh kasih sayang. Nyonya muda yang cantik itu tiba-tiba merasa terharu dan sedapat mungkin ia tahan keluarnya air mata dari kedua matanya hingga matanya menjadi merah dan bibirnya gemetar. Ia hanya bisa dekap kepala puteranya dan ciumi kepala itu. Siapakah nyonya muda cantik jelita yang berwajah sedih itu? Dan siapa pula Kakek yang lihai itu? Kakek itu bukan lain ialah seorang pendekar luar biasa yang pernah menjagoi di Kang Lam dan bernama Bun Gwat Kong, digelari orang Kang Lam Cuihiap atau Pendekar Arak dari Kang Lam.

Gelaran ini menunjukkan bahwa ia doyan sekali minum arak. Hal ini memang betul, karena bukan saja ia doyan sekali minum arak, bahkan dengan lweekangnya yang tinggi ia dapat gunakan itu sebagai senjata yang ampuh. Dengan semburkan arak dari mulutnya, ia sanggup menjatuhkan lawan yang lihai. Kang Lam Cuihiap mempunyai seorang anak perempuan tunggal, yakni Ibu Sin Wan atau nyonya muda yang berwajah muram itu. Puterinya itu dijodohkan dengan seorang pembesar yang bijaksana di kota Kang Lam. Perjodohan puterinya cukup mendatangkan bahagia sampai terlahir Sin Wan. Tapi kemudian datanglah malapetaka, Ayah Sin Wan sebagai seorang pembesar yang jujur dan adil, sangat dimusui oleh rekan-rekannya yang curang dan korup.

Maka ia kena fitnahan dan mendapat hukuman mati yang diperintahkan oleh Raja yang dapat disebut buta karena mabok di bawah pengaruh para durna dan selirnya yang jahat. Untung sebelum sekeluarga terbasmi habis, datang Kang Lam Ciuhiap yang cepat menyelamatkan puterinya dan telah menjadi janda dan cucunya, yakni Sin Wan. Setelah selamatkan anak cucunya, Kang Lam Ciuhiap lalu mengamuk dan membasmi para musuh mantunya yang telah memfitnah anak mantunya hingga menjadikannya matinya itu. Setelah itu, barulah ia merasa puas dan melarikan diri dengan anak cucunya ke sebuah kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu. Semenjak ditinggal mati suaminya yang tercinta, Ibu Sin Wan seakan-akan hidup tanpa semangat. Nyonya muda ini tiada hentinya bersedih dan menangis jika teringat akan kematian suaminya dalam cara yang sangat menyedihkan itu.

Karena itu, ia sering jatuh sakit dan mempunyai semacam penyakit, yakni terganggu jantungnya dan kadang-kadang ia batuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya! Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu didik cucunya dalam ilmu silat yang tinggi karena ia hendak turunkan seluruh kepandaiannya kepada cucunya yang tunggal itu, sedangkan Sin Wan oleh Ibunya dididik dalam hal ilmu surat. Demikianlah maka selama lima tahun atau enam tahun mereka tinggal dengan aman di kampung kecil di kaki Kamhongsan itu. Atas kehendak Ibunya, Sin Wan menggunakan she Ibunya, yakni she Bun hingga ia disebut Bun Sin Wan, sedangkan sebenarnya Ayahnya dari keluarga Liu. Setelah makan malam, makan Sin Wan ingat akan janji Kakeknya, maka ia segera datangi Kakeknya itu di dalam kamarnya dan berkata.

"Ngkong, hayo ceritakanlah padaku tentang naga itu."

"Sin Wan, kau harus menghafal pelajaranmu yang kuberikan kemarin malam." Ibunya menegur ketika mendengar suara anaknya di kamar Ayahnya.

"Biarlah aku besok bangun pagi-pagi sekali dan menghafal pelajaran membaca itu, Ibu. Kong-kong tadi sudah berjanji hendak mendongeng tentang naga putih dan naga hitam." Akhirnya Kakek dan Ibunya mengalah dan mulailah Bun Gwat Kong mendongeng. Dongeng itu demikian menarik, hingga Ibu Sin Wan dibalik bilik juga ikut mendengarkan dengan asik. Demikianlah dongeng itu.

Ratusan, atau mungkin ribuan tahun yang lalu, di puncak gunung Kam-Hong-San yang tinggi sekali, lebih tinggi dari keadaannya sekarang karena semenjak itu telah ratusan kali puncak itu gugur dan longsor, terdapat dua ekor nagasakti yang besar sekali.

Dua ekor naga itu sedang bertapa dan telah bertahun-tahun tidak bergerak dari gua Pertapaan masing-masing dalam memohon kepada yang Maha Kuasa untuk mengangkat mereka menjadi dewa. Dua ekor nagasakti itu seekor betina dan bersisik hitam mulus, sedangkan yang kedua adalah seekor naga jantan yang bersisik warna putih bersih. Mereka bertapa dalam gua masing-masing yang berjajar, melingkar merupakan bukit kecil dalam gua yang besar itu dan tumpangkan kepala di atas lingkaran tubuh. Telah puluhan tahun mereka bertapa, tanpa mengisi perut, hanya beberapa tahun sekali mereka keluar dari gua untuk minum air telaga sebuah yang terdapat di puncak gunung itu. Mereka bercakap-cakap sebentar untuk bertukar pendapat, kemudian masuk ke dalam gua pula untuk melanjutkan pertapaan mereka.

Di pegunungan yang banyak puncaknya itu, terdapat sebuah puncak bukit kecil dan disitu terdapat lain gua pertapaan. Tapi yang bertapa disitu seorang manusia, seorang pertapa laki-laki yang gagah lagi sakti. Diapaun bertapa disitu menyucikan diri dan bermohon menjadi dewa. Pada suatu hari, ketika seluruh puncak bukit-bukit di situ diliputi halimun putih tebal, pertapa itu keluar dari gua untuk pergi ke dalam hutan dan memetik buah yang dapat dimakan. Tapi ketika ia sedang berjalan perlahan menuruni puncak, tiba-tiba ia melihat dua batang sinar memancar dari puncak Kam-Hong-San. Ia terkejut sekali karena sinar itu cahayanya keemas-emasan dan tahulah ia bahwa dua ekor naga-sakti yang bertapa disitu telah mendekati kesempurnaan dan boleh dibilang telah berhasil baik dalam pertapaan mereka!

Mungkin telah menjadi kehendak Yang Mahakuasa, karena pada saat yang kebetulan sekali itu, pertapa itu kena asap hawa-hawa kotor yang keluar dari dunia ramai dan berkumpul diatas puncak, terbawa awan dan mega. Maka tiba-tiba saja timbullah irihati dan kecewa dalam kepala dan hatinya. Ia merasa malu sekali mengapa ia seorang manusia sampai kalah oleh dua ekor naga itu. Buktinya, sedangkan ia sendiri belum berhasil apa-apa dalam pertapaannya, adalah dua ekor naga itu telah sampai di dekat pantai cita! Rasa iri dan dengki mengamuk hebat di dadanya hingga ia menyerah terhadap godaan ini. Ia gunakan kesaktiannya untuk terbang melayang kepuncak Kam-Hong-San. Benar saja, dua cahaya terang itu mencorot keluar dari dua buah gua yang berdampingan. Timbullah marahnya dan ia membentak marah ke arah dua gua itu.

"Hai, siluman naga yang rendah! Kalian telah mengotorkan puncak bukit ini. Pergilah kalian sebelum Pinto mewakili Thian menghukum kalian!" Kedua naga mendengar bentakan nyaring dan keras ini menjadi heran dan keluarlah mereka dari gua masing-masing. Naga jantan yang bersisik putih segera menegur pertapa itu.

"Engkau seorang manusia pertapa mengapa ganggu kami? Apakah salah kami? Maka kau bersikap seperti ini?"

"Eh, siluman jahat kau masih berpura-pura! Tak tahukah kau bahwa aku telah bertahun-tahun bertapa di puncak gunung ini? Kalian yang berhawa siluman sekarang mengotorkan tempat ini hingga mengganggu sekali pertapaanku. Hayo kalian pergi sekarang juga, kalau tidak terpaksa Pinto bersihkan tempat ini dan membunuh kalian." Naga betina yang bersisik hitam mulus menjadi gemas dan berkata kepada naga putih.

"Saudaraku Pek Liong (Naga Putih), Kakek ini begini sombong. Biarlah kucoba kesaktiannya!" Maka bertempurlah pertapa itu melawan naga hitam. Mereka berkelahi dengan seru, saling mengeluarkan kesaktian hingga mereka dari atas tanah terbang ke atas mega-mega dan bertempur diantara awan hitam. Kilat menyambar-nyambar dan berhari-hari mereka bertempur tiada hentinya.

Melihat kesaktian pertapa itu, naga putih tidak sabar lagi. Ia melayang dan terjang pertapa itu, menggantikan naga hitam. Maka kalahlah pertapa itu dan ia kena ditiup pergi oleh naga putih. Karena sakit hati, pertapa itu menaruh dendam. Ia mencari daya untuk membalas, tapi apa daya? Sepasang naga itu terlampau sakti dan kuat baginya. Tapi dasar ia manusia dan memiliki otak manusia yang penuh tipu daya dan muslihat, akhirnya ia mendapat akal juga. Ia tahu bahwa pada musim kemarau dan hawa sangat panasnya, kedua naga itu akan keluar gua dan minum air telaga diatas gunung itu. Maka ia menjaga dengan sabar di dekat telaga sambil mempersiapkan semacam ramuan obat beracun. Benar saja, ketika musim sedang panas-panasnya, kedua naga itu keluar dari guha mereka dan dengan berbareng sambil bercakap-cakap mereka menuju ketelaga dengan gembira.

Keduanya merasa gembira dan puas karena pertapaan mereka sudah mendekati hasil baik. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa petapa itu dengan cepatnya melempar ramuan obat yang mempunyai pengaruh luar biasa ke dalam air yang hendak mereka minum. Tanpa ragu-ragu sedikitpun mereka minum dengan segar dan nikmatnya. Kemudian mereka kembali ke puncak gunung. Si pertapa yang tadinya bersembunyi melihat betapa ke dua naga itu benar-benar telah minum air yang telah dicampurnya dengan racun hebat, menjadi girang sekali dan menanti-nanti hasil perbuatannya yang curang. Ternyata pengaruh racun itu mujijat sekali. Kalau hanya racun atau bisa yang berbahaya dan dapat menghanguskan isi perut saja, tak mungkin dapat mempengaruhi dan mencelakakan ke dua naga sakti itu.

Tapi racun atau obat yang dilepas oleh pertapa itu adalah racun yang langsung merangsang perasaan dan melemahkan iman, lalu membangkitkan nafsu-nafsu keduniaan yang telah lama dapat ditekan dan dipadamkan oleh kedua nagaitu. Kini obat itu menjalar dan bekerja dengan hebat. Nafsu-nafsu yang telah padam dan terpandam di dasar hati kedua naga sakti itu kini mulai bernyala kembali dan timbul menguasai seluruh hati dan pikirannya. Maka mulai merahlah kulit muka mereka dan mulai suramlah cahaya mata mereka dan mulai suramlah cahaya meling pandang dan timbullah hati suka dan tertarik kepada masing-masing dan lupalah mereka bahwa pantangan terbesar bagi pertapaan mereka ialah menurutkan napsu hati.

Kesadaran mereka kini dikuasai hati, hati dikuasai pikiran dan pikiran dikuasai pancaindera mereka. Maka di bawah pengaruh ramuan obat mujijat itu, kedua naga sakti mulai bercumbu dan melupakan segala! Ternyata obat itu tidak bertahan lama mempengaruhi kedua naga yang sebenarnya telah mempunyai batin yang teguh dan kuat itu. Beberapa hati kemudian, lenyaplah pengaruh obat itu dan keduanya kembali sadar kembali dari kekhilapan. Alangkah menyesal dan malunya hati mereka. Kedua perasaan ini lalu bersatu dan berubah menjadi perasaan marah yang hebat. Mereka dapat menduga bahwa keadaan mereka yang tidak sewajarnya dan bagaikan mabok itu tentu terkena pengaruh obat mujijat.

Maka dengan penuh kemarahan dan dendam, mereka berdua turun gunung dan mencari pertapa itu. Si pertapa yang ketahui pula akan hal ini, segera melarikan diri dari gunung ke gunung. Tapi sepasang naga itu tidak mau melepaskannya, dan tiada hentinya mengejar. Hati mereka terlampau menyesal dan sedih hingga kini hanya satu tujuan mereka, yakni membalas dendam! Akhirnya di puncak sebuah gunung di pegunungan Thai-san, kedua naga dapat menangkap pertapa denga hati gemas mereka lalu membunuhnya dan menghancurkan tubuhnya. Namun mereka masih merasa penasaran karena hasil pertapaan yang puluhan tahun lamanya itu lenyap dan membuat hati mereka berduka. Mereka lalu bertapa kembali, tapi para dewa yang melihat pelanggaran yang mereka lakukan, lalu memberi hukuman kepada mereka.

Hukuman itu ialah bahwa mereka harus ke alam ramai dan memberi pertolongan kepada manusia untuk tebus dosa mereka. Sepasang naga-sakti itu lalu mengubah diri menjadi sepasang pedang mustika, naga jantan bersisik putih berubah menjadi sebatang pedang warna putih dan naga betina bersisik hitam berubah menjadi sebatang pedang berwarna hitam! Karena masih diliputi hawa nafsu mereka ketika mengubah diri menjadi pedang, maka kedua pedang itu masih penuh mengandung hawa Im dan Yang, yaitu hawa positip dan negatif! Pedang putih dan pedang hitam lalu turun ke alam ramai dan keduanya berjuang melalui tangan orang-orang gagah untuk membasmi semua keturunan pertapa yang jahat, yakni manusia-manusia yang hanya mengotorkan dunia dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang dan menindas sesama manus!

"Demikianlah dongeng itu, Sin Wan, dan sampai sekarangpun orang-orang jahat, betapapun pandai dia itu pasti mereka takkan terluput dari hukuman. Maka kau yang mempelajari ilmu silat dariku, kelak harus mencontoh perjuangan suci dari sepasang naga-sakti itu untuk membela keadilan kebenaran serta membasmi segala kejahatan." Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong akhiri ceritanya yang sangat menarik hati Sin Wan, hingga anak itu seakan-akan lupa akan segala dan melihat sendiri kedua naga dalam dongeng itu di depan mata khayalnya.

"Kalau begitu, bayang-bayang naga yang kulihat tadi adalah Pek Liong dan Ouw Liong yang sakti itu, Ngkong?"

"Aah, yang kuceritakan hanya dongeng, Sin Wan, dan telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Mana ada liong betul-betul di jaman ini?" kata Engkongnya sambil usap-usap jenggotnya yang putih.

"Sin Wan telah jauh malam, hayo kau tidur!" terdengar suara Ibu Sin Wan memerintah anaknya. Sin Wan bersungut-sungut, api ia tidak berani membantah kehendak Ibunya, dan Engkongnya berkata dengan tertawa.

"Benar kata Ibumu, Sin Wan. Tidak baik bagi anak-anak tidur terlampau malam. Kau tentu masih ingat kata-kata orang dahulu bahwa tidur tak terlambat bangun pagi-pagi, tubuh sehat banyak rejeki!"
Sin Wan tertawa pula lalu ia masuk ke biliknya di mana hanya terdapat sebuah dipan bambu sederhana.

Seperti biasa menurut ajaran Kakeknya sebelum tidur ia bersemedhi membersihkan napas.
Sin Wan adalah seorang anak yang rajin sekali, dan otaknya sangat cerdik. Baik dalam pelajaran silat yang diturunkan oleh Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong kepadanya, maupun dalam pelajaran menulis yang diajakankan Ibunya, ia sangat maju dan tekun belajar hingga dalam usia sepuluh tahun saja ia telah memiliki kepandaian gin-kang dan lwee kang yang cukup mengagumkan serta telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga dalam hal membaca dan menulis ia telah dapat melampai pengetahuan Kakeknya. Semenjak mendengar dongeng tentang sepasang naga sakti yang diceritakan Kakeknya itu, Sin Wan seringkali duduk termenung di lereng gunung terendah sambil memandang ke arah puncak Kam-Hong-San dengan tertarik.

Ia suka sekali memandang awan-awan yang bergerak-gerak dan membentuk lukisan binatang aneh. Ia suka mengkhayalkan betapa di antara awan-awan hitam itu tampak terbang melayang dua ekor naga hitam dan putih saling berkejaran memperebutkan mustika, yaitu matahari yang hampir tenggelam dan berwarna merah keemasan! Seringkali Sin Wan memikirkan dengan hati tertarik sekali di mana gerangan sepasang naga itu. Kalau saja ia bisa memiliki pedang itu, alangkah senangnya! Tidak jarang Kakeknya menyusul ketempat itu karena Sin Wan sering pulang terlambat hingga didahului kerbaunya yang pulang lebih dulu. Selain duduk melamun dan mengkhayal, Sin Wan juga senang sekali meniup suling bambunya. Ia memang mempunyai bakat akan seni suara, hingga tiupan sulingnya terdengar merdu sekali dan ia dapat memainkan beberapa lagu yang digubahnya sendiri.

Bahkan seringkali Ibunya diam-diam mengalirkan airmata karena terharu mendengar suara suling puteranya di tengah malam, membikin nyonya muda itu teringat akan suaminya yang juga pandai meniup suling! Juga Kang Lam Ciuhiap, seorang pendekar tua yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan hatinya menjadi keras, jika mendengar tiupan suling cucunya, diam-diam ia bengong dan terpesona. Seakan-akan dirinya dibawa terbang melayang-layang oleh suara suling yang mengalun itu, dibawa terbang kedunia halus dan suci! Beberapa kali Sin Wan nyatakan keinginannya kepada Kakeknya untuk naik mendaki puncak Kam-Hong-San tapi selalu Kang Lam Ciuhiap mencegahnya dan bilang bahwa di atas Kam-Hong-San banyak terdapat hutan-hutan lebat yang penuh dengan binatang buas dan keadaannya berbahaya sekali.

"Sin Wan, ketahuilah. Beberapa tahun yang lalu aku sendiri pernah naik ke puncak itu," kata Kakeknya sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang dikelilingi awan putih itu,

"Aku tidak takut segala binatang buas, tapi aku sungguh-sungguh ngeri melihat jurang-jurang yang curam sekali dan dataran dataran palsu."

"Apakah dataran palsu itu Engkong?" tanya Sin Wan heran.

"Tampaknya seperti tanah datar yang ditumbuhi rumput-rumput hijau segar dan gemuk, tapi kalau kau kurang hati-hati dan menginjaknya, maka kakimu akan terjeblos dan tubuhmu akan tenggelam dalam tanah lumpur yang berbahaya sekali karena sekali tubuh kita diisap olehnya sukarlah kita dapat melepaskan diri dari bahaya maut." Tapi Sin Wan adalah seorang anak yang semenjak kecilnya mengalami banyak kesukaran ketika ia dengan Ibunya dibawa mengungsi oleh Kakeknya hingga hidup secara sederhana dan sengsara di tempat sunyi, maka hatinya tabah sekali. Mendengar cerita Kakeknya ini, ia tidak merasa takut atau ngeri,

Bahkan timbul keinginan yang besar dalam hatinya untuk melihat dengan mata sendiri semua keanehan itu! Sebetulnya Kang Lam Ciuhiap tidak berkata bohong. Memang beberapa tahun yang lalu pernah ia naik ke Kam-Hong-San untuk mencari tempat yang lebih enak, tapi ia hanya ketemukan tempat-tempat berbahaya, maka ia turun kembali. Ia hanya membohong ketika ia berkata bahwa hatinya merasa ngeri melihat keadaan-keadaan berbahaya itu. Seorang dengan kepandaian setinggi dia tak perlu merasa ngeri dan takut hanya menghadapi bahaya seperti itu saja. Memang Kakeknya itu sengaja membohong untuk membikin cucunya merasa jeri dan batalkan keinginannya mendaki bukit tinggi itu. Ia sama sekali tidak sangka bahwa cerita yang seram-seram itu bahkan menjadi pendorong bagi Sin Wan untuk melaksanakan keinginan hatinya!

Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Wan tinggalkan rumahnya dan pergi naik ke gunung Kam-Hong-San yang mengandung penuh rahasia-rahasia ganjil dan menarik baginya itu. Tadinya Ibu dan Kakeknya tidak menyangka akan hal ini. Memang biasanya Sin Wan bangun pagi-pagi sekali dan anak itu tentu berlatih silat di pekarangan belakang atau berlatih ginkang sambil meloncati anak sungai berkali-kali seperti yang diajarkan Kakeknya, karena menurut Kakeknya; berlatih silat di waktu hari masih pagi sekali adalah sangat bermanfaat bagi kesehatan dan baik sekali bagi kemajuan kepandaiannya. Sin Wan tak pernah abaikan petunjuk ini. Karena itulah, maa pagi hari itu, Ibu dan Kakeknya tidak menyangka sedikit juga bahwa anak yang mereka sayang itu telah pergi mendaki gunung yang berbahaya itu.
Setelah matahari naik tinggi, barulah hati Ibu Sin Wan merasa heran karena anaknya belum juga pulang.

"Ayah," katanya kepada Kang Lam Ciuhiap yang sepagi itu telah minum arak buatannya sendir,

"Mengapa Sin Wan belum juga pulang? Bukankah pagi ini ia harus bantu meluku sawah dengan kerbaunya?"

"Anakku, kuharap kau jangan terlampau keras kepada Sin Wan. Anak itu cukup rajin dan ia perlu hiburan. Biarkanlah ia bermain sebentar lagi, nanti ia tentu datang." Nyonya muda itu hanya menghela napas, ia tahu bahwa Ayahnya sangat sayang kepada cucunya itu hingga agak memanjakan. Ia khawatir sekali kalau Sin Wan kelak meniru kebiasaan Ayahnya yang hanya minum arak saja kerjanya itu! Menurut keinginannya, ia akan suka sekali melihat puteranya menjadi seorang terpelajar, seorang ahli surat dan memangku jabatan tinggi seperti Ayahnya. Tapi hatinya makin sedih melihat betapa Sin Wan, biarpun tekun mempelajari ilmu surat, namun agaknya lebih menyukai ilmu silat. Pernah ia mengemukakan suara hatinya ini kepada Ayahnya, tapi Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh kepada anak perempuannya itu.

"Kau agaknya tidak ingat bahwa karena tidak pandai ilmu silat tinggi maka suamimu sampai mengalami fitnahan dan hukuman mati. Masa sekarang banyak orang jahat yang tak mungkin dilawan dengan menggunakan coretan pit dan tinta hitam belaka. Gantilah pit dengan pedang tajam, maka kau akan dapat menjaga dirimu lebih baik daripada gaungguan orang jahat. Aku ingin sekali melihat cucuku itu menjadi seorang hohan yang gagah perkasa dan membasmi para manusia-manusia rendah yang suka ganggu orang lain!"

Mendengar ucapan yang bersemangat dari Ayahnya, nyonya muda itupun di dalam hati membenarkan, maka ia tidak mau ganggu lagi kesukaan Sin Wan belajar silat. Tapi tetap ia merasa kurang puas melihat betapa Kakek itu memanjakan Sin Wan. Setelah hari hampir siang, maka Ibu yang mencinta anaknya ini makin gelisah bahwa Kanlam Ciuhiap yang biasanya tenang, nampak heran dan curiga. Ia lalu tunda guci araknya dan pergi mencari Sin Wan. Ketika di mana-mana tak dapat menemukan anak itu, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong menjadi gelisah juga dan ia berdiri di tebing jurang sambil layangkan pandangannya ke arah gunung.

Timbul dugaannya bahwa cucunya itu tentu telah nekad dan mendaki Kam-Hong-San. Ia maklum akan ketabahan dan kekerasan hati cucunya yang pantang mundur menghadapi apapun untuk melaksanakan cita-citanya. Dengan hati mulai cemas ia lalu gunakan kepandainnya mendaki gunung yang sukar di lalui itu. Ketika pagi hari itu Sin Wan tinggalkan rumahnya menuju ke gunung yang menarik hatinya, ia merasa gembira sekali dan dadanya berdebar karena tertarik oleh pengalaman-pengalaman dasyat yang ia harapkan akan ditemukan di puncak gunung. Mula-mula perjalan mendaki gunung itu tidak sesukar yang diceritakan Kakeknya. Hutan-hutan kecil yang dilaluinya bahkan indah menarik, penuh dengan burung-burung yang berkicau merdu dan indah warna bulunya. Beberapa ekor monyet hitam berlari cepat dan bergantungan di puncak pohon karena takut melihat Sin Wan.

Anak itu merasa gembira sekali dan ia geli melihat betapa monyet kecil bergelantungan di dada induknya sambil perdengarkan suara cecowetan lucu. Karena jalan masih mudah dilalui bahwan penuh pemandangan indah, Sin Wan lari cepat seenaknya saja, terus mendaki sebuah lereng yang hijau penuh rumput. Di pundaknya tergantung seutas tali yang kuat dan besi pengait, karena dari Engkongnya ia pernah diberitahu bahwa untuk mendaki gunung yang tinggi perlu membawa tambang dan besi seperti itu. Karena maksudnya mendaki puncak Kam-Hong-San telah lama terkandung dalam hatinya, maka Sin Wan telah siapkan segalanya. Bahkan tidak lupa ia membawa roti kering di dalam kantongnya! Ketika ia sedang berlari terus naik makin tinggi, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang anak perempuan berlari cepat dari balik lereng dan dengan sigapnya anak perempuan itu berloncat-loncatan menuju keatas!

Sin Wan merasa heran sekali dan ia segera gunakan kepandaiannya mengejar, tapi biarpun ia lari secepatnya, ternyata ia tidak mampu mengejar anak perempuan itu! Anak perempuan itu agaknya melihat Sin Wan dan sengaja mempermainkannya, karena ia sering mengengok sambil tertawa, lalu loncat dan lari pula ke atas makin tcepat, Sin Wan merasa penasaran sekali. Masak ia harus kalah oleh seorang perempuan yang tidak lebih besar darinya? Ia kerahkan ginkangnya dan mengejar makin cepat pula. Dalam kejar-mengejar ini, mereka naik makin tinggi dan jalan juga tidak semudah tadi. Kini jalan mereka banyak terhalang jurang-jurang yang curam dan batu-batu cadas dan karang yang tinggi bagaikan menara. Tapi gadis cilik itu agaknya telah hafal akan jalan disitu, karena ia dapat memilih jalan dengan cepat. Sin Wan tidak mau mengalah dan mengikuti jejaknya.

Ia bertekad takkan berhenti mengejar sebelum dapat menyandak anak perempuan itu. Tiba-tiba di tempat yang tinggi sekali, anak perempuan itu berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sin Wan sambil tertawa menghina. Sin Wan juga berusaha naik secepatnya, tapi ia telah merasa lelah sekali. Ketika ia tiba di hadapan gadis cilik itu, ia memandangnya dengan penasaran dan mendongkol. Gadis cilik itu berpakaian warna biru, dan senyumnya manis sekali. Dua titik lesung pipit menghias kanan kiri bibirnya yang kecil merah, dan rambutnya yang hitam panjang itu diiikat merupakan jambul diatas kepala sebelah kanan dan kiri, lalu terurai kebelakang. Wajahnya tampak berseri dan kemerah-merahan, agaknya iapun lelah juga. Dengan mendongkol, mau tidak mau Sin Wan harus mengaku bahwa ilmu meringankan tubuh anak perempuan itu masih menang sedikit darinya!

"hei, kenapa kau kejar-kejar aku?" tegur gadis cilik itu dengan suara yang nyaring dan tinggi.

"Kenapa kau belari-lari seperti maling kesiangan?" Sin Wan balas bertanya. Gadis cilik itu tertawa geli mendengar pertanyaan Sin Wan, suara ketawanya merdu dan bebas, dan Sin Wan melihat dua baris gigi yang kecil rata dan mengkilap putih hingga wajah anak perempuan itu tampak makin manis.

"Kau tidak kuat mengejarku mengapa memaksa? Ah, kasihan kakimu tentu lelah sekali." Gadis itu menyindir. Merahlah wajah Sin Wan, ia angkat dadanya dan memandang marah.

"Kau kira aku tak dapat mengejarmu? Ke mana saja kau lari, aku pasti dapat mengejarmu!"

"Betulkah? Kau lihat jurang ini, dapatkah kau meloncatinya?" Sin Wan memandang ke depan, ternyata disitu terdapat sebuah jurang yang selain curam juga lebar sekali, tidak kurang dari lima belas tombak. Bagaimana ia bisa loncat sejauh itu? Engkongnya yang terkenal ahli dalam kepandaian loncat jauh, belum tentu dapat loncati jurang selebar ini. Tapi dia tidak percaya bahwa gadis itu dapat meloncati jurang itu, maka iapun angkat dada dan menantang.

"Jurang sebegini saja apa susahnya untuk diloncati? Aku katakan tadi, kemanapun kau pergi, aku tentu dapat mengejarmu. Biarpun kau akan loncat melalui jurang ini, aku pasti dapat mengejar." Gadis itu memandangnya tak percaya.

"Benarkah? Coba kita buktikan!" Kemudian dengan lincah dan ringan sekali gadis itu loncat ke atas karang di belakang mereka. Karang ini menjulangtinggi dan di dekat situ terdapat beberapa batang poon semacam liu, tapi batangnya lebih kecil dan tinggi. Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon itu, dengan kedua tangan, dengan kedua tangan pegang puncak pohon dan menariknya kebawah dengan tenaga yang mengagumkan. Kemudiania berseru kepada Sin Wan yang melihat semua itu dengan heran.

"Nah, kau lihatlah. Aku hendak menyebrang!" Dengan kata-kata ini, gadis itu lalu lepaskan tenaganya hingga punak pohon terayun keras karena batang pohon itu memang kuat dan ulat serta mempunyai sifat keras seperti baja. Karena ayunan batang pohon itu keras sekali, maka tubuh gadis itupun terayun dan dengan ambil waktu dan saat yang tepat sekali gadis itu lepaskan pegagannya hingga dilontarkan keudara oleh ayunan itu. Ia atur gerakan dan tenaga ayunan itu dengan berjumpalitan hingga sebentar saja ia telah berada di seberang jurang, turun dengan gerakan alap-alap menyambar kelinci indah.

"Dapatkah kau loncat kesini?" tantangnya kepada Sin Wan sambil tersenyum. Sin Wan kagum sekali melihat akal dan gerakan gadis yang cerdik itu hingga tanpa terasa ia berseru.

"Bagus!" Ketika mendengar tantangan itu, ia putar otak mencari akal. Untuk meloncat begitu saja, pasti ia tidak akan berhasil dan tentu ia akan terjatuh ke dalam jurang dan tubuhnya kan hancur. Untuk meniru akal dan gerakan itu ia masih sanggup, tapi ia tidak sudi lakukan karena ia tidak mau ditertawakan nanti oleh gadis itu. Ia lalu teringat akan tambang dan besi pengaitnya. Tapi tambang itu belum tentu ada sepuluh tombak panjangnya. Tiba-tiba ketika memandang ke atas dan melihat batu karang yang tinggi menjulang di dekatnya itu, ia mendapat akal.

"Tunggulah, sebentar aku akan mengejarmu!" teriaknya. Seperti gadis tadi, iapun loncat ke atas dengan dan cekatan sekali ia lempar besi kaitan itu ke atas hingga dengan tepat besi itu mengait pada pinggir karang yang kuat di puncak. Setelah menarik-narik tambang dan mendapat kepastian bahwa tali dan besi pengait itu sudah kuat-kuat mengait batu karang diatas, ia lalu bawa ujung tali ke puncak karang lain, kemudian sambil berseru.

"Awas, aku mengejarmu!" Ia loncat dari atas puncak karang itu dan tubuhnya terayun sambil pegang ujung tambang. Betul saja, tambang itu tidak cukup panjang untuk mencapai seberang jurang. Melihat hal ini gadis cilik itu terkejut dan berkhawatir sekali hingga ia menjerit. Tapi Sin Wan yang sudah tahu bahwa tambangnya takkan dapat sampai ke seberang dan sudah siap sedia untuk menghadapi hal ini, gunakan saat tenaga ayunan tambang belum habis lalu loncat keras menuju ke seberang. Dengan beberapa kali jungkir balik, ia berhasil juga turn di sebelah gadis itu yang memandangnya dengan mata terbelalak dan kagum.

"Kau hebat!" katanya memuji sambil tersenyum dan mendengar pujian serta melihat senyuman ini, kemarahan hati Sin Wan lenyap seketika. Ia memang bukan orang pemarah, dan tadi ia juga tidak marah, hanya mendongkol dan penasaran.

"Kau juga lihai," ia balas memuji.

"Tapi kurasa kau tidak akan dapat menangkan ilmu silatku," gadis itu berkata lagi. Timbul pulalah rasa penasaran Sin Wan yang tadinya sudah tenggelam dan lenyap. Ia tadinya pandang tambang yang terayun-ayun karena dilepaskan tadi dengan agak kecewa dan sayang, tapi kini ia menengok dan pandang gadis itu dengan tajam. Ia sudah lupa sama sekali akan kekecewaannya karena kehilangan tambang itu.

"Apa katamu? Kau dapat menangkap aku dalam ilmu silat? Hayo, kau cobalah!" tantangnya sambil gulung lengan bajunya. Gadis itu tersenyum menggoda.

"Awas ya, kalau terpukul olehku jangan kau menangis!" Dan ia lalu maju menyerang dengan cepat ke arah dada Sin Wan.

Pemuda ini berkelit cepat dan hatinya terkesiap juga melihat betapa gadis cilik itu datang-datang menyerang dengan gerakan dari cabang Kun-Lun yang berbahaya! Ia lalu balas menyerang danuntuk menebus kekalahannya dalam balap lari tadi. Sin Wan keluarkan semua ilmu pukulan yang ia pelajari dari Kang Lam Ciuhiap! Biarpun gadis itu memiliki dasar-dasar ilmu sila Kunlun yang cukup lihai, namun ia tidak tahan juga menghadapi serbuan Sin Wan yang mempunyai pukulan anep dan cepat juga. Terhadap Sin Wan ia kalah tenaga hingga ke dua lengannya yang digunakan untuk menangkis sudah merasa sakit! Akhirnya gadis itu lalu balikkan tubuh dan lari! Entah bagaimana, tiba-tiba timbul nafsu dalam hati Sin Wan untuk menjatuhkan gadis itu dan memaksa gadis itu mengakui kekalahannya! Nafsu ini membuat ia loncat dan lari mengejar gadis itu dengan cepat.

Kedua anak itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mendung yang tebal dan hitam mengancam tempat di mana mereka berada! Gadis itu lari makin cepat ke atas, dikejar oleh Sin Wan. Karena gugup, maka gadis itu agaknya salah ambil jalan dan mereka tiba di sebuah jalan buntu dimana hanya tampak jurang-jurang dalam di depan dan sebelah kanannya, sedangkan sebelah kiri mereka terdapat dinding karang yang tebal dan tinggi. Jalan maju tidak ada lagi, yang ada hanya jalan mundur lagi. Gadis itu bingung dan dengan kertak gigi ia balikkan tubuh menghadapi Sin Wan yang mendatangi dengan cepat. Sementara itu, cuaca yang tadinya terang telah berubah suram dan hampir gelap karena mendung tebal telah datang menyerbu. Hawa lalu menjadi dingin luar biasa! Sin Wan melihat betapa gadis itu terhalang jalannya menjadi girang dan berseru,

"Kau hendak lari kemana?" Sementara gadis itu, dengan nekad lalu menyerang lagi dan mereka segera bertempur lagi di tebing jurang yang berbahaya itu, sedangkan dari atas kepala mereka mendung hitam tebal menyelubungi tempat itu dan menghalang cahaya matahari hingga keadaan menjadi makin gelap. Tiba-tiba mendung hitam dan gelap itu mengakibatkan munculnya kilat dan guntur yang menggelegar. Kedua anak yang sedang bertempur itu menjadi kaget. Mereka loncat mundur dan menengok ke atas. Alangkah terkejut dan takut mereka ketika melihat betapa mendung hitam tebal telah menutup tempat itu dan membuat semua menjadi gelap dan betapa kilat dan guntur merupakan lidah lidah api yang menakutkan menyambar nyambar di atas mereka.

Gadis cilik itu merasa ngeri dan menjerit ketakutan, lalu menubruk Sin Wan, memeluknya dan menangis dengan wajah pucat! Sin Wan juga merasa betapa tubuhnya menjadi dingin sekali sampai hampir beku, kemudian ketika ia memandang lagi keatas, ia hampir saja memekik karena terkejut dan ngeri. Ia melihat dengan samar-samar betapa di dalam kegelapan mendung itu ia melihat berkelebatnya dua ekor naga hitam dan putih! Ia melihat betapa dua pasang mata naga itu menyinarkan cahaya merah menyilaukan dan betapa lidah mereka menjululur keluar mengluarkan api menakutkan sekali! Dengan tak terasa Sin Wan peluk tubuh gadis cilik itu dengan erat dan ia berdiri untuk melarikan diri. Tapi tiba-tiba ia merasa betapa ekor kedua naga itu bergerak dan menyabet ke arah ia dan gadis itu.

Sabetan ekor itu mendatangkan angin dingin dan Sin Wan terlempar oleh angin itu hingga terhuyung huyung. Hampir saja ia terlempar ke dalam jurang sebelah depan yang sangat curam dan banyak batu-batu karang tajam bagaikan ujung golok terpancang di bawah! Tapi dengan sekuat tenaga Sin Wan dan gadis itu saling berpegangan dan Sin Wan seret gadis menggelinding di atas tanah menuju ke dinding batu karang hingga mereka terbentur karang! Pada saat itu dari atas datang hujan yang menimpa badan dalam butir besar bagaikan peluru saja hingga menerbitkan rasa sakit. Dan pada saat itu tampak cahaya kilat gemerlapan di di atas kepala mereka. Dalam pandangan Sin Wan tampak kepala sepasang naga itu dan menambar dan hendak menggigit mereka, maka sambil memekik ngeri ia tarik tangan gadis itu loncat ke kanan.

Karena keadaan sudah menjadi gelap gulita, maka Sin Wan tidak melihat bahwa di sebelah kanan itu adalah jurang yang sangat gelap karena selalu tertutup awan hitam! Tak dapat tercegah lagi tubuh kedua anak itu terpelanting ke bawah dan meluncur bagaikan dua buah batu di lempar kedalam sumur! Sin Wan buka matanya dan ia dapatkan dirinya rebah terlentang di atas tumpukan pasir halus. Mulutnya penuh pasir hingga ia segera bangun duduk dan menyemburkan pasir itu dari mulut. Pada saat itu terlihatlah olehnya tubuh gadis itu berbaring miring. Maka teringatlah ia akan peristiwa tadi. Ia tidak tahu bahwa telah beberapa lama mereka pingsan. Agaknya Thian masih melindungi jiwa mereka karena secara kebetulan sekali mereka jatuh menimpa tumpukan pasir lembut yang menahan tubuh mereka dan mencegahnya dari kehancuran.

Hanya bantingan yang keras dari kejatuhan itu membuat mereka pingsan untuk beberapa lama. Sin Wan segera menghampiri gadis cilik yang masih pingsan itu. Ia melihat betapa jidat gadis itu mengeluarkan sedikit darah dan terdapat sebuah luka kecil, Sin Wan segera lepaskan ikat pinggangnya dan cepat balut kepala gadis itu agar darah dari lukanya berhenti mengalir. Ia agak khawatir melihat betapa gadis itu rebah tak bergerak dengan tubuh lemas, dan dengan bingung ia memandang kesekelilingnya. Ternyata mereka terjatuh kedalam jurang yang lebar dan disitu terdapat batu-batu besar dan air lumpur. Anehnya di tengah-tengah jurang itu terdapat tumpukan pasir lemas yang telah menolong jiwa mereka! Sin Wan lalu menghampiri sebagian tanah yang terdapat airnya lalu celupkan ujung bajunya disitu.

Setelah direndam agak lama dan ujung baju itu menjadi cukup basah, ia lalu kembali ketempat gadis itu berbaring dan peras ujung bajunya hingga airnya mengucur membasahi muka anak perempuan itu. Dengan perlahan anak perempuan itu sadar dari pingsannya. Ia gerak-gerakkan bibir dan pelupuk matanya. Karena duduk di dekat kepala gadis cilik itu, Sin Wan dapat melihat betapa bulu mata yang panjang, hitam dan lentik itu bergerak-gerak dan betapa kulit pelupuk mata yang halus itu terbuka perlahan. Pertama-tama pandangan mata gadis itu bertemu dengan Sin Wan dan ia tersenyum karena segera ia teringant kepada pemuda ini. Kemudian ia merasa betapa jidatnya agak sakit maka dirabanya jidat itu. Pandang matanya berubah heran ketika jari-jari tangannya menyentuh ikat pinggang membalut jidatnya.

"Kau terluka sedikit dan aku membalutnya." Ketika Sin Wan melihat betapa gadis itu memandangnya dengan agak bingung, ia mengingatkan.

"Kita jatuh ke dalam jurang, ingatkan?" Maka teringatlah gadis itu. Ia loncat bangun dan memandang ke atas dengan ketakutan. Sin Wan juga memandang keatas. Ternyata mereka terjatuh dalam sekali hingga mereka tak dapat melihat tebing jurang di atas, apalagi jurang itu tertutup oleh uap semacam embun yang tebal dan tergenang di situ.

"Aneh sekali, mengapa kita masih hidup?" anak gadis itu berkata perlahan. Sin Wan meraba pasir lemas di bawah kaki mereka.

"Inilah yang menolong kita, kalau kita terjatuh disitu, ah... ah"" Ia bergidik ketika memandang kepada lain bagian dalam jurang itu yang penuh batu-batu hitam besar, Gadis cilik itupun bergidik ngeri.

"Kau... kau siapakah? Siapa namamu?" tanyanya sambil pandang wajah Sin Wan dengan sepasang matanya yang bening dan bagus, sedangkah karena terjatuh tadi, maka kedua jambul di atas kepalanya menjadi kusut dan rambut-rambut halus menutup sebagian mukanya.

"Aku she Bun bernawa Sin Wan, dan kau siapakah?"

"Namaku Kui Giok Ciu, aku tinggal bersama Ayah dilereng gunung Kam-Hong-San sebelah timur, Ah, Ayah tentu mencari-cariku dan nanti tentu akan marah padaku."

"Namamu bagus sekali, Giok Ciu. Kau beruntung masih mempunyai Ayah. Ayahku telah meninggal dan aku hanya tinggal bersama Ibu dan Kakekku di kampung Lok-thian-kwan di kaki gunung. Kakekku juga tentu mencari aku karena aku pergi tanpa pamit."

"Bagaimana kita bisa keluar dari sini? Sin Wan, kita harus keluar dari sini secepatnya, aku... aku takut dan perutku lapar sekali." Sin Wan tersenyum dan merasai kemenangan di dalam jurang ini. Ia sama sekali tidak merasa takut sekarang. Mendengar bahwa kawannya itu merasa lapar, ia teringat akan roti keringnya. Ia rogoh saku dan ternyata rotinya masih ada. Segera ia keluarkan roti itu dan berkan kepada Giok Ciu. Gadis cilik ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu terima roti itu dan terus saja menggigitnya.

"Ah, enak juga rotimu," kata Giok Ciu. Ketika melihat betapa pemuda itu melihatnya dengan wajah ingin sekali,ia tertegun dan bertanya.

"Tidak ada lagikah rotimu? Hanya ini?" Sin Wan menggeleng kepala. "Tidak ada lagi, tapi tidak apa, kau makanlah."

"Ah, mana bisa begitu. Ini, kau makanlah sepotong." Gadis kecil itu lalu potong roti kering di tangannya menjadi dua potong dan ia berikan yang sepotong kepada Sin Wan.

"Makanlah semua, Giok Ciu, aku tidak lapar," jawab Sin Wan sambil geleng kepala. Tapi Giok Ciu tiba-tiba menjadi ngambul dan cemberut, lalu ia kembalikan dua potong roti itu kepada Sin Wan.

"Kalau begitu, aku juga tidak lapar. Mari, kau terima kembali rotimu!" katanya marah. Sin Wan tersenyum melihat ini dan terpaksa ia terima juga sepotong. Tapi tanpa disengaja ia menerima potongan yang bekas digigit oleh Giok Ciu. Ketika Giok Ciu gigit bagiannya sambil melihat kepada Sin Wan, gadis cilik itu melihat betapa roti yang dipegang oleh Sin Wan terdapat bekas gigitannya maka cepat ia berkata sebelum roti digigit Sin Wan.

"Eh tahan dulu, jangan kau makan roti itu!" Sin Wan telah bawa roti itu kedekat mulut dan siap hendak menggigitnya. Maka ketika mendengar seruan Giok Ciu, ia heran dan turunkan kembali rotinya.

"Ada apakah?" Wajah Giok Ciu memerah hingga Sin Wan makin heran.

"Kemarikan roti itu, itu adalah roti bagianku yang telah kugigit. Ini, kau harus makan yang ini." Dengan cepat Giok Ciu saut roti dari tangan Sin Wan dan berikan rotinya dari tangan Sin Wan dan berikan rotinya sendiri kepada pemuda itu. Tapi pada saat itu dengan terkejut ia melihat bahwa roti ke dua itupun telah digigitnya tadi! Maka ia menjadi bingung dan berkata dengan mata terbelalak.

"Ah, itupun sudah kugigit! Bagaimana baiknya, ah... eh"" Melihat kebingungan gadis itu, Sin Wan tersenyum sambil melihat bekas gigitan pada roti ditangannya.

"Giok Ciu kau aneh sekali! Kukira tadi ada apa maka kau tahan roti yang hendak kumakan. Tidak tahunya hanya soal itu. Apakah salahnya kalau aku makan roti bekas gigitanmu? Apakah gigitanmu berbahaya seperti ular berbisa?" Makin merahlah wajah Giok Ciu mendengar godaan ini.

"Bukan begitu, tapi... tapi... bekas mulutku... dan... kotor!" Sin Wan segera gigit rotinya dibagian bekas gigitan Giok Ciu lalu makan roti itu dengan enak. Ia angguk-anggukkan kepala dan berkata.

"Ah, bekas gigitanmu tidak berbisa, dan kulihat mulutmu tidak kotor, bahkan bersih dan bagus. Mengapa adatmu seaneh-aneh ini? Makanlah." Mereka lalu makan roti yang tidak berapa besar itu. Tentu saja mereka tidak kenyang. Kemudian mereka merasa haus karena roti kering itu dimakannya seret sekali. Mereka mencari air bersih dan temukan pancuran air kecil yang bening dan mengucur dari ats sepanjang batu cadas. Setelah puas minum air, tiba-tiba Giok Ciu menunjuk kedepan.

"Sin Wan, lihat itu, ada gua!" Benar saja, tertutup oleh alang-alang yang rapat sekali, terdapat sebuah gua besar dan gelap dalam jurang itu. Gua ini bukan hanya karena tertutup oleh alang-alang maka tak tampak, tapi adalah karena gua itu gelap dan hitam sedangkan di dasar jurang dimana kedua anak itu terjatuh terdapat cahaya matahari yang masuk dari sebelah utara di mana tida ada awan yang menghalang.

Jurang itu sebenarnya adalah semacam lamping gunung, dan bukanlah merupakan jurang biasa, maka di belakang masih terdapat tempat terbuka yang curam kebawah dan berbahaya sekali. Sin Wan tidak melihat kemungkinan untuk keluar dari tempat itu melalui jalan naik karena batu cadas yang merupakan dinding jurang itu licin sekali dan tinggi luar biasa, juga tidak mungkin melepaskan diri dari kurungan itu melalui bagian yang terbuka, karena bagian itu merupakan jurang lain yang lebih curam lagi! Ia mencoba melongok kesana dan cepat-cepat tutup kedua matanya karena ngeri! Ternyata bawah mereka berada di lereng gunung dan dari tempat terbuka yang dimasuki cahaya matahari itu mereka dapat melihat dasar dibawah yang luas dan dalamnya puluhan li!

"Sayang tambang dan besi pengaitku tertinggal disana ketika kita meloncati juran itu," kata Sin Wan. Sekarang terpaksa kita harus coba menyelidiki gua itu."

"Gua hitam itu? Ah, aku takut, Sin Wan. Agaknya mengerikan sekali tempat itu."

"Habis apakah kita mau tinggal selamanya disini dan mati kelaparan? Kita harus berdaya mencari jalan keluar!" Terbangun semangat Giok Ciu mendengar kata-kata ini. Mereka lalu saling berpegang tangan untuk saling menahan kalau tergelincir, dan bersama-sama memasuki gua yang gelap sekali itu. Sambil meraba-raba dengan kaki dan tangan mereka masuk. Gua itu ternyata besar dan di bawahnya tidak basah, melainkan pasir belaka isinya.

Sin Wan dan Giok Ciu berjalan terus setengah merayap karena khawatir kalau-kalau terjeblos kedalam lubang. Setelah berjalan lama dan membelok lebih dari tujuh kali dalam tikungan-tikungan yang tajam, tiba-tiba disebuah tikungan mereka dibikin silau oleh cahaya yang dengan aneh sekali dapat memasuki guha itu! Gua yang merupakan terowongan panjang itu makin lama makin lebar, dan ketika tiba di tempat yang terang, Giok Ciu dan Sin Wan cepat menuju ke ruang tersebut. Ternyata bahwa rung itu merupakan sumur yang lebar dan besar dan cahaya masuk dari atas. Tapi sayang, sumur itu terlalu dalam hingga tak mungking untuk loncat naik, juga dindingnya dari karang-karang yang tajam dan tak mungkin didaki. Kedua anak itu duduk melepaskan lelah dan saling pandang dengan putus asa. Tapi Sin Wan tidak mau memperlihatkan kelemahannya, ia gigit bibirnya dan berkata.

"Giok Ciu, bukankah aneh sekali kejadian yang menimpa diri kita hari ini? Kau lihatkah tadi dua ekor naga yang menyerang kita?" Giok Ciu pandang kawannya dengan heran. Ia takut kalau-kalau Sin Wan sudah berubah ingatan.

"Apa maksudmu? Dua naga yang mana?" Kini Sin Wan yang heran,

"Apa Kau tidak melihat dua naga yang menyambar-nyambar kita dan memukul-mukul kita dengan ekornya ketika kita berada di atas dan sebelum terjatuh ke dalam jurang?" Giok Ciu geleng-geleng kepala.

"Aku hanya melihat mendung tebal menghitam dan kilat menyambar-nyambar, disertai suara geluduk yang mengerikan. Dimanakah ada naga? Aku tidak melihatnya." Sin Wan tundukkan kepalanya.

"Apakah benar kata Kakeknya bahwa ia terlalu banyak memikirkan dongeng naga itu hingga sering mimpi dan melamun sampai bayangan-bayangan naga tampak di depan mata? Ah, tak mungkin. Dua naga yang tadi jelas kelihatan olehnya!"

"Sin Wan, jangan mengobrol yang tidak-tidak. Paling perlu, pikirkanlah bagaimana kita harus keluar dari sini!" Sin Wan bangkit berdiri diikuti oleh Giok Ciu.

"Hayo kita berjalan terus," ajaknya. Ketika menyelidiki ruang itu, mereka meliha sesuatu yang menarik hati sekali. Tadi hal itu tidak tampak oleh mereka, tapi kini setelah meneliti dengan baik,

Sin Wan dapatkan bahwa bentuk batu di dalam sumur ini mengherankan sekali. Ia mundur sampai di dinding yang berhadapan dengan batu-batu di dinding itu, dan hampir saja ia berseru kaget dan heran. Giok Ciu segera menghampiri kawannya dan ikut melihat. Juga gadis cilik itu terherannya ketika lihat betapa batu-batu besar yang menonjol di dinding karang itu bentuknya sedemikian rupa hingga merupakan mata, sedemikian rupa hingga merupakan kepala seekor naga! Sepasang batu bulat merupakan mata, batu dibawh merupakan hidung dengan dua lubangnya, dan bawa di bawah yang memanjang diserta batu-batu runcing merupakan mulut naga yang sedang ternganga! Dengan tabah Sin Wan mendekati dinding berlukis kepala naga itu dan meraba-raba. Juga Giok Ciu meraba-raba, dan gadis kecil ini berteriak kaget ketika ia meraba mata kiri batu naga itu.


JILID 02





"Sin Wan! Batu yang menduduki tempat mata ini dapat bergerak-gerak!"

Sin Wan cepat meraba batu mata kanan dan ternyata batu itupun dapat bergerak-gerak. Dengan berbareng Sin Wan dan Giok Ciu menekan-nekan kedua batu yang merupakan mata naga itu. Ini sebetulnya terjadi kebetulan saja, tapi sungguh mengagetkan mereka ketika tiba-tiba terdengar bunyi berkerotokan seperti barang yang sangat berat bergerak pindah dan perlahan-lahan batu yang menempati mulut itu bergeser dan terbuka! Sin Wan dan Giok Ciu loncat mundur dengan takut dan menunggu-nuggu kalau-kalau dari lubang itu akan keluar makhluk yang dahsyat. Tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu dengan hati berdebar, tak tampak sesuatu keluar dari situ. Dalam kegelapan hati mereka, kalau saja pada saat itu ada seekor tikus kecil keluar dari lubang itu tentu keduanya akan terperanjat sekali!

"Giok Ciu biarlah aku memasuki lubang ini untuk memeriksa. Kau tinggal saja disini."

"Tidak, Sin Wan. Aku tidak mau berada seorang diri disini. Kita terjerumus di tempat ini berdua, maka sekarang maju harus berdua pula."

"Giok Ciu lubang ini terjadi karena kita berdua menggerakkan batu-batu yang membentuk mata naga, maa tentu ini bukan hal kebetulan saja. Pasti lubang dan batu-batu ini sengaja dibuat oleh orang, atau setidaknya oleh makhluk hidup. Maka kurasa tentu ada apa-apa menanti dibalik lubang dan bukan tidak berbahaya. Kalau aku saja yang masu biarpun ada bahaya menimpa, hanya aku yang menghadapinya. Biarpun sampai mati, tapi masih ada engkau. Lebih baik kurban hanya seorang daripada kedua duanya."
Tak tersangka ketika mendengar kata-kata ini, Giok Ciu marah sekali. Sepasang matanya yang lebar memancarkan cahaya yang mengingatkan Sin Wan akan sepasang mata naga yang dilihatnya didalam hujan ribut tadi pagi!

"Sin Wan, kau anggap aku orang apakah? Aku bukan seorang pengecut, dan Ayahku ialah seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang gagah perkasa dan dihormati orang! Kalau kau tidak takut menghadapi bahaya, apa kau kira akupun takut mati? Pendeknya kau pilih saja, kita masuk berdua atau kalau hanya seorang yang boleh masuk, kau yang tinggal disini dan aku yang masuk sendiri!"

Sin Wan pandang gadis cilik yang usianya sepantaran dia tapi sudah bersemangat gagah ini dengan kagum. Maka iapun mengalah. Ia hendak masuk lebih dulu, tapi Giok Ciu tetap hendak masuk berbareng. Karena lubang itu cukup besar, maka dengan merangkak berdampingan mereka dapat juga menerobos masuk. Tapi, dalam keadaan masih merangkak bagaikan dua ekor binatang kaki empat, kedua anak itu dengan mata terbelalak dan mulu ternganga serta wajah pucat memandang sambil berdongak ke depan mereka, sedang tubuh mereka tak bergerak bagaikan berubah menjadi patung! Di depan mereka tidak ada tiga tombak jauhnya, terdapat rangka dua ekor ular besar sekali dengan tengkorak menghadap mereka dan mulut tengkorak ular itu terbuka lebar seakan-akan hendak telan mereka! Sin Wan dapat tenteramkan goncangan hatinya lebih dulu dan ia berkata.

"Ah, tidak apa-apa Giok Ciu. Hanya rangka yang telah mati. Hayo berdirilah." Tapi biarpun mulutnya berkata begini, ketika berdiri SinWan merasa heran karena kedua kakinya agak menggigil! Giok Ciu berpegang kepada tangan Sin Wan yang diulurkan dan gadis cilik itupun berdiri dengan wajah masih pucat. Mereka maju selangkah demi selangkah ketempat di mana dua rangka ular itu berada.

"Aduh besarnya!" Giok Ciu berbisik ketika mereka telah dekat dengan rangka itu. Memang rangka itu besar dan panjang dengan tubuh kedua ular saling belit.

"Jangan-jangan masih ada ularnya yang hidup." Giok Ciu berbisik kepada Sin Wan, tapi pemuda kecil ini sedang pandang kedua tengkorak ular dengan penuh perhatian dan tertarik. Bayangan dua ekor naga sakti bersisik putih dan hitam terbayang depan matanya. Apakah ini rangka naga sakti itu? Demikian hatinya berbisik dengan takjub. Melihat betapa Sin Wan berdiri bengong di depan tengkorak ular, Giok Ciu segera betot tangan kawannya itu.

"Sin Wan, hayo kita kesana. Lihat ada apa itu di sana?"
(Lanjut ke Jilid 02)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 02
Sin Wan memandang dan ternyata di bagian sebelah dalam terdapat semacam tetumbuhan yang mengeluarkan bau harum. Mereka segera menghampiri tetumbuhan itu dan ternyata daun tetumbuhan itu seperti daun anggur dan disitu terdapat enam butir buah yang berwarna putih. Buah itu besarna sekepalan tangan dan macamnya seperti apel, tapi baunya sangat harum. Giok Ciu yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering pemberian Sin Wan, segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.

"Giok Ciu, tahan dulu!" kata Sin Wan cepat.

"Ada apa? Kalau kau mau, petiklah itu." Jawab Giok Ciu.

"Buka begitu, Giok Ciu. Buah ini kita tidak tahu apakah boleh dimakan atau tidak. Bagaimana kalau mengandung racun?" Tapi baunya enak sekali, kurasa tidak beracun," jawab Giok Ciu.

"Pula lebih mati makan buah beracun daripada mati kelaparan."

"Kalau begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!" kata Sin Wan.

"Ah, kau ini anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri saja! Apa-apa hendak mendahului!"

"Kalau begitu, biarlah kita makan bersama," kata Sin Wan yang lalu petik sebuah lagi. Mereka berbareng gigit buah itu dan saling pandang heran. Ternyata buah itu manis dan harum sekali, rasanya lezat dan segar! Karena hanya ada enam butir di situ, maka masing-masing makan tiga. Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir buah mereka merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat menahan pula. Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Sin Wan berseru, "Celaka, kita makan buah beracun!" dan ia masih sempat peluk tubuh kawannya yang hendak roboh.Tapi ternyata Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati dan perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah, sedangkan ia sendiri ang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya lagi, segera rebahkan diri di atas tanah yang tertutup pasir itu.

Sebentar saja ia mengeros karena tertidur pulas! Kedua anak itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai sumur itu menjadi gelap karena matahari telah terbenam. Semalam penuh lewat tanpa mereka ketahui samasekali, juga mereka tidak merasa betapa hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut naga itu karena mereka telah tertidur lelap sekali. Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam sumur, Giok Ciu bangun lebih dulu. Gadis cilik ini merasa perutnya mulas dan sakit bagaikan diremas-remas dari dalam hingga ia bangun duduk sambil pegang-pegang perutnya. Ia merasa hendak buang air besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani bangunkan Sin Wan yang masih tidur enak, karena malu. Ia lari kesana kemari mencari tempat untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu.

Sedangkan perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di dalam perutnya. Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahan-nahan rasa sakit, dan akhirnya ia tak kuat lagi. Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu dan cepat buka pakaiannya. Dan disudut situlah ia buang air besar yang banyak sekali seakan-akan perutnya dikuras habis. Kotoran keluar dari perutnya tiada hentinya hingga Giok Ciu hampir menangs karena malu. Ah, bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan dan tubuhnya terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran dalam perutnya terkuras keluar! Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan teliti. Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia mendengar suara orang buang air di sebelah kanan rangka ular itu!

Hampir Giok Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa yang telah terjadi di balik rangka yang menghalangi mereka itu! Ternyata Sin Wan juga telah sadar dari tidurnya dan mengalami nasib yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok Ciu. Kenapa mesti malu kalau pemuda itupun berhal seperti dia? Karena perut kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di dalam ruangan itu tersiar bau yang tidak sedap hingga keduanya merasa jengah dan malu. Masing-masing tidak berani berdiri, biarpun buang air itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi di dalam perut mereka yang dapat keluar. Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Juga suara rintihan Sin Wan sudah lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik rangka ular aau tidak.
Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.

"Giok Ciu, ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut kita dikuras habis! Barusan aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan tak jauh dari situ jika kau berjalan terus kau akan menemukan sebuah pancuran air. Tadi aku telah ke situ untuk cuci badan dan cuci pakaian. Kau kesanalah, Giok Ciu!"
Giok Ciu tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan yang ditunjuk oleh Sin Wan itu.

Ketika memasuki tikungan, ia mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima kasih sekali ketika melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu hingga tidak melihatnya. Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu cepat lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air memancur keluar dari sebuah batu yang terbelah. Ia cepat cuci tubuhnya dan bersihkan dir, maka ia makan waktu yang agak lama. Ketika dengan badan lemas tapi hati lega ia pakai kembali pakaiannya dan pergi ke ruang rangka ular itu, ia melihat betapa Sin Wan telah menggali lantai pasir di situ dan telah pendam semua kotoran yang berada disitu, juga kotoran Giok Ciu! Perbuatan Sin Wan ini tepat sekali karena dengan terpendamnya semua kotoraan itu, maka bau busuk juga lenyap. Tapi Giok Ciu merasa malu sekali karena kawannya itu dengan tak merasa jijik telah pendam kotorannya pula.

"Kenapa tidak kau biarkan aku melakukan itu sendiri?" ia mencela dengan mulut memberengut, tapi sepasang matanya memandang dengan berterima kasih.

"Ah, apa bedanya Giok Ciu? Tak perlu hal seremeh itu dibicarakn. Yang penting sekarang marilah kita pikirkan nasib kita. Ternyaa bahwa buah putih yang lezat itu mengandung racun hingga is perut kita terkuras kosong! Bagaimana sekarang? Masih baik kita tidak terracun mati, tapi dengan perut kosong dan lapar seperti ini, kita dapat bertahan sampai kapan?"

"Baiknya masih ada air dan kita boleh minum secukupnya," kata Giok Ciu. Sin Wan tak sengaja memandang ke atas melihat semacam tetumbuhan di dinding sumur. Tetumbuhan kecil itu juga berbuah dan buahnya berwarna merah dan kecil-kecil. Sayang sekali tempat tetumbuhan itu sangat tinggi hingga tak mungkin ia meloncat mengambilnya.

"Itu ada buah merah, entah buah apa." Kata Sin Wan dengan sedih. Giok Ciu berdongak dan juga melihat buah itu. Ia lalu enjot tubuhnya yang lemah ke atas. Dan Sin Wan kagum sekali melihat betapa tubuh gadis cilik itu melaang ke atas dan dapat memetik sekepal buah-buah kecil!

"Kau hebat betul, Giok Ciu!" ia memuji, tapi Giok Ciu pandang ia dengan mata terbelalak.

"Sin Wan sungguh aneh. Mengapa tubuhku menjadi begini ringan? Biasanya tak mungkin aku dapat loncat setinggi dan semudah itu! Apa yang terjadi?"

Sin Wan memang cerdik dan otaknya dapat bekerja cepat. Tentu ini adalah pengaruh buah mujijat yang mereka makan itu. Kalau pengaruhnya menguasai tubuh Giok Ciu, mengapa ia tidak? Sin Wan lalu berdiri di bawah tetumbuhan itu dan iapun enjot tubuhnya. Sungguh heran! Hampir ia berteriak girang karena tubuhnya melayang ke atas demikian cepat dan ringan hingga dengan mudah ia dapat ambil buah-buah itu! Kedua anak itu girang sekali hingga mereka makan buah yang rasanya manis itu sambil tertawa-tawa. Buah kecil merah itu ternyata berat sekali, tidak sesuai dengan kecilnya. Rasanyapun sedap dan manis, dan baru makan beberapa butir saja mereka telah merasa kenyang. Tentu saja kedua anak itu girang bukan main.

"Giok Ciu, ini tentu pengaruh kesaktian kedua rangka ini yang menolong kita. Kedua macam buah yang telah kita makan itu tentu buah dewa yang hanya terdapat di tempat suci ini. Hayo kita menghaturkan terima kasih kepada dua rangka itu," kata Sin Wan. Giok Ciu menyetujui pendapat ini dan mereka berlutut di depan dua buah rangka ular itu untuk menghaturkan terima kasih mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh mereka menjadi ringan sekali akibat khasiat yang mujijat dari buah-buah yang mereka makan, dua orang ini lalu mencoba keluar lagi dari dasar sumur.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya keduanya berhasil meloncat ke luar dari sumur. Ilmu ginkang mereka maju demikian pesatnya sehingga dalam melompat keluar ini, tidak saja amat mudah, bahwa mereka masih berhasil menjambret sisa buah-buah merah itu. Giok Ciu ternyata memiliki keringan dan kecepatan lebih hebat sehingga dia berhasil memetik lebih banyak buah-buah merah mujijat. Melihat bahwa Sin Wan hanya mendapatkan tidak berapa banyak, Giok Ciu dengan rela lalu membagi buah kepada Sin Wan sehingga mereka mendapat bagian jumlah yang sama. Bukan main girang dan gembira hati dua orang anak ini. Mereka lalu berlumba untuk mencoba ginkang mereka, berlari-lari saling kejar dan ternyata gerakan mereka luar biasa pesatnya bagaikan dua ekor burung terbang saja. Tiba-tiba keduanya berhenti berlari.

"Kau mendengar sesuatu?" tanya Sin Wan. Giok Ciu mengangguk. Keduanya lebih memperhatikan dan terdengarlah oleh mereka suara tiupan suling diselingi siulan-siulan aneh. Terkejutlah mereka karena masing-masing mengenal baik suara itu. Sin Wan mengenal suling itu yang bukan lain adalah tiupan suling Engkongnya, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dan kalau Engkongnya meniup suling itu, berarti sedang mainkan ilmu silatnya untuk melawan musuh berat. Sebaliknya, Giok Ciu juga mengenal siulan-siulan itu adalah siulan pertempuran dari Ayahnya, Kwie Cu Ek. Dua orang anak ini tidak membuang waktu lagi, cepat mereka melesat pergi, berlari-lari seperti terbang menuju ke arah suara itu.

Sukar untuk mengikuti gerakan bayangan mereka karena ginkang mereka yang betul-betul luar biasa itu. Ketika keduanya tiba di sebuah jalan tikungan, mendadak mereka berhenti dan berdiri di situ dengan bengong, keduanya tampak khawatir sekali melihat pertempuran antara dua orang yang bagi orang lain tentu dianggap main-main. Tapi Sin Wan dan Giok Cu maklum bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu berada dalam kedudukan berbahaya dan keduanya sedang keluarkan ilmu mereka yang tertinggi! Yang seorang adalah Kang Lam Ciu hiap Kakek yang lihai dari Sin Wan. Kakek itu bertempur sambil pegang sebatang suling dan tiup-tiup suling itu dalam lagu yang tak keruan dan membuat sakit anak telinga! Ia bersilat dengan tenang dan gerak kaki yang teguh sekali sedangkan kedua tangannya memegang sulingnya yang ditiup-tiup hanya kadang-kadang.

Ia angkat tangan kanan dan kiri untuk menangkis atau menyerang! Dengan cara demikian gerakannya tak terduga lawannya. Lawannya juga mempunyai cara bertempur yang aneh. Ia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan gerak-geriknya gesit sekali. Ia bersilat bagaikan gerakan seekor burung, kedua lengannya terpentang bagaikan sayap dan kakinya berloncat-loncatan keatas, kadang-kadang tinggi sekali dan turunnya langsung menerjang lawannya. Mulutnya dimoncongkan dan dari bibirnya keluarlah siulan-siulan aneh dan nyaring, dan dalam hal menyakiti anak telinga, siulan itu tidak kalah oleh suara suling! Laki-laki ini bukan lain ialah Kwie Cu Ek Ayah Giok Ciu, seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang sangat terkenal dan digelari orang Hui-Houw atau Macan terbang.

Bagaimana kedua orang gagah itu dapat terlibat pertempuran mati-matian ini? Sebenarnya ini hanyalah suata kesalah-pahaman yang timbul dari hati bingung karena masing-masing telah sehari semalam berkeliaran di seluruh permukaan bukit Kam-Hong-San, yang seorang mencari cucunya yang seorang mencari anaknya! Ketika Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, empek yang lihai itu sedang mencari-cari cucunya dengan hati cemas dan bingung karena telah sehari semalam ia mencari dengan sia-sia, ia mulai berteriak-teriak memanggil nama Sin Wan. Karena ia gunakan tenaga Tian-tan yang dikerahkan ke dalam suaranya, maka suara itu dapat terdengar oleh Kwie Cu Ek yang memang semenjak kemarin telah meencari sambil memanggil-manggil. Karena jarak mereka tadinya sangat jauh, seorang di lereng sebelah timur dan yang seorang laagi di sebelah barat, maka tadinya suara mereka tidak terdengar.

Tapi kini mereka telah saling mendekati hingga Kwie Cu Ek mendengar juga teriakan Bun Gwat Kong. Cu Ek sendiri telah berteriak-teriak memanggil nama anaknya sehingga Bun Gwat Kong mendengar pula suaranya. Setelah saling mendengar suara masing-masing, maka kedua orang tua itu timbul harapan baru dan cepat menuju ke suara yang mereka dengar. Tapi alangkah kecewa hati mereka ketika mereka saling bertemu di sebuah lereng gunung dan melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang asing. Timbullah hati curiga di kedua belah pihak. Kang Lam Ciuhiap yang beradat keras segera mendakwa Kwie Cu Ek menculik cucunya, sebaliknya Kwie Cu Ek melihat seorang Kakek yang aneh dan berada keras itu, memakinya sebagai siluman gunung yang mencuri anaknya.

Tak dapat dicegah pula keduanya lalu bertarung! Baru segebrakan saja, terkejutlah kedua fihak karena ternyata masing-masing memiliki kepandaian silat tinggi dan merupakan lawan yang berat. Namun karena hati mereka telah nekad dan terdorong oleh rasa duka dan bingung kehilangan anak-anak yang dikasihi, merka tidak mau saling mengalah. Setelah bertempur ratusan jurus dengan keadaan masih seimbang, tiba-tiba Kang Lam Ciuhiap cabut keluar sulingnya dari ikat pinggang. Ia memang memiliki dua macam kepandaian hebat, yakni yang pertama, ia pandai gunakan arak untuk disemburkan dengan kekuatan lweekang sepenuhnya hingga arak biasa itu dapt menjadi senjata yang ampuh, karena lawan yang kena sembur mukanya jika tidak cepat berkeliat bisa menjadi buta matanya.

Kelihaiannya yang kedua juga berdasarkan ilmu lweekang yang dalam dan terlatih sempurna, jika sambil bertempur ia tiup sulingya dengan suara demikian nyaring dan tinggi rendah tak keruan hingga tidak saja dapat membingungkan dan menyakiti hati dan telinga lawan, juga bisa membuat jantung berdebar-debar dan melemahkan lawannya! Gerakan bersilat sambil meniup suling juga menjadi lambat dan Kokoh kuat, namun semua gerakan disertai tenaga lweekang yang hebat! Melihat kehebatan lawannya dan merasa betapa isi perutnya bagaikan diaduk dan jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk pisau tajam ketika mendengar suara tiupan suling, Kwie Cu Ek merasa terkejut sekali, maka iapun buru-buru mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dengan mengatur napasnya menjadi panjang dan lama ia kerahkan lweekang dan ginkangnya lalu mainkan silat Rajawali Sakti,

Yakni ilmu pukulan rahasia yang telah dipelajarinya bertahun-tahun dan merupakan kepandaian simpanan yang membuat ia tak terkalahkan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya menjagoi di dunia kang-ouw. Tubuhnya berubah ringan sekali dan berloncatan bagaikan seekor rajawali menyambar-nyambar dari segala jurusan, sedangkan dari mulutnya keluar siulan-siulan tajam mengiris jantung untuk mengimbangi suara suling lawannya. Demikianlah, yang seorang bergerak lambat-lambatan tapi Kokoh-kuat sedangkan yang seorang lagi bergerak cepat dan lincah sekali hingga merupakan tandingan yang jarang terdapat, tapi keadaan mereka tetap seimbang. Sin Wan dan Giok Ciu yang berdiri berdampingan sambil melihat pertempuran itu, merasa kagum berbareng khawatir kalau-kalau seorang di antara keduanya terluka. Oleh karena itu maka keduanya lalu berseru,

"Hai! Jangan bertempur, kami berada disini!" Mendengar teriakan kedua anak itu, Kang Lam Ciuhiap dan si Macan terbang kenali cucunya dan anaknya masing-masing, maka dengan heran sekali mereka loncat mundur lalu memandang. Diam-diam kedua orang tua kosen ini merasa terkejut sekali. Bagaiman mereka berdua sampai tidak mendengar kedatangan kedua anak itu? Padahal, biarpun mereka sedang bertempur mati-matian, mereka pasti akan dapat mendengar jika ada orang lain datang di dekat situ. Untuk ini telinga mereka sudah cukup terlatih. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa kedua anak itu telah memiliki ilmu ginkang yang berlipat ganda kehebatannya dengan kepandaian mereka sebelum mengalami hal-hal yang berbahaya itu.

"Ayah!"

"Ngkong!" Kedua anak itu lari ke masing-masing orang tuanya dengan gerakan demikian cepatnya hingga membuat Bun Gwat Kong dan Kwie Cu Ek melenggong!

"Eh, eh, anak nakal. Kau datang dari mana?" kedua orang tua itu berbareng tegur mereka. Maka ramailah keduanya menceritakan pengalaman mereka kepada masing-masing orang tua itu yang mendengarkan dengan mulut ternganga keheranan. Setelah kedua anak itu habis bercerita, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu menghampiri Kwie Cu Ek dan berkata sambil tertawa dan elus-elus jenggotnya,

"Sungguh lucu, kita orang-orang tua saling sibuk gebuk kaya kerbau gila, sedangkan kedua anak yang kita cari tahu-tahu selamat tidak apa-apa, bahkan mendapat untung besar." Kwie Cu Ek juga tertawa besar.

"Kau orang tua sungguh lihat sekali membuat aku yang muda tunduk. Bolehkan kiranya aku ketahui nama besarmu?"

"Ha, ha, ha! Mana aku tua bangka dapat dibandingkan dengan kau yang gagah? Aku sudah lama tinggalkan dunia kang-ouw dan tenaga makin habis tubuh juga makin tua dan bobrok. Namaku Bun Gwat Kong, dan siapakah kau yang selihai ini?" Terkejutlah Kwi Cu Ek mendengar nama ini, ia lalu tertawa girang dan menjura tanda hormat.

"Ah, ah, sungguh benar kata orang. Kalau sengaja dicari-cari, sampai di ujung dunia juga tidak bertemu, kalau tidak disengaja, tiba-tiba saja berhadapan denga Kang Lam Ciuhiap yang terkenal. Sungguh beruntung! Telah bertahun-tahun aku mendengar nama Kang Lam Ciuhiap yang besar dan hari ini aku Kwie Cu Ek telah membuktikan sendiri kebenaran nama besar itu!"

"Apa? Jadi kau ini Kwie Cu Ek si Harimau Terbang?" berkata Bun Gwat Kong dengan heran. "Pantas saja kau lihai sekali dan masih untung tubuhku tidak terbinasa dalam tanganmu. Tapi yang mengherankan sekali, kenapa kau juga berada disini? Apakah kau juga tinggal di atas gunung ini?" Kwie Cu Ek menghela napas duka.

"Dunia sudah berubah banyak semenjak kau pergi. Dulu aku mendengar tentang malapetaka yang menimpa diri putera mantumu dan aku tahu pula bahwa yang membunuh para pembesar anjing itu adalah kau orang tua. Tapi, memang nasi rakyat jelata yang buruk! Kata orang Kaisar adalah manusia pilihan Thian, tapi agaknya kali ini Thian telah salah memilih orang yang menjadi Kaisar! Raja lalim itu hanya tahu berpelesir dan bersenang-senang saja hingga ia tidak tahu sama sekali keadaan rakyatnya yang tertindas. Tidak tahu bahwa para dorna dan pembesar anjing memegang kekuasaan penuh di seluruh negeri. Rakyat yang sudah tertindas, makin menderita lagi dengan turunnya wabah penyakit bermacam-macam dan bencana alam berupa banjir besar yang menghabiskan jiwa dan harta. Keluargaku juga terkena bencana ketika kampung kami terserang wabah penyakit, hingga isteriku, Ibu anakku Giok Ciu ini meninggal dunia."

Sampai disini Kwie Cu Ek berhenti dan tampak berduka. Giok Ciu yang mendengar bicara Ayahnya disamping dan melihat Ayahnya bersedih, lalu menubruk orang tua itu. Kang Lam Ciuhiap menghela napas dan diam-diam ia merasa kasih kepada si Harimau Terbang yang biarpun usianya baru empat puluh tahun, tapi sebagian besar rambut kepalanya telah putih. Tapi hanya sebentar saja Kwie Cu Ek berduka, karena ia segera tindas perasaannya yang tertekan dan sambil memandang Sin Wan ia berkata,

"Anak ini cucumu, bukan? Hm, ia baik juga, tidak mengecewakan menjadi cucu Kang Lam Ciuhiap!" demikian ia memuji sejujurnya.

"Anakmu juga berbakat baik," si Kakek memuji juga. Tiba-tiba Kwie Cu Ek bangun berdiri.

"Setelah kau tersesat sampai disini, kau harus mampir di tempat tinggalku. Tidak jauh dari sini, tuh di atas bukit sebelah timur itu!"

"Baik, baik. Kita memang tetangga dekat dan sudah sepantasnya saling mengunjungi." Jawab Bun Gwat Kong gembira.

"Giok Ciu, kau ajak temanmu itu pergi dulu dan di rumah kau boleh sediakan makan seadanya untuk tamu-tamu kita!" kata si Harimau Terbang kepada anaknya.

"Baik, Ayah," jawab Giok Ciu yang lalu berpaling kepada Sin Wan dan berkata,

"Hayo, Sin Wan, kita berlumba kerumahku!" Sin Wan tersenym gembira dan kedua anak itu segera loncat dan lari cepat sekali ke arah bukit yang di tunjuk oleh Kwie Cu Ek tadi. Kwie Cu Ek tertawa gembira melihat tingkah anaknya dan ia berkata kepada Kang Lam Ciuhiap.

"Mereka dapat bergaul rapat sekali!" Tiba-tiba kedua mata Kakek itu bersinar gembira dan wajahnya berseri.

"Eh Kwie Enghiong bagaimana kalau mereka itu dijodohkan saja? Kalau kau tidak mencela Sin Wan dan tidak keberatan mempunyai mantu sebodoh ia, sekarang juga kulamar anakmu itu untuk Sin Wan!"
Kwie Cu Ek terperanjat dan pandang muka Kakek itu dengan heran.

"Aah, Ciuhiap mengapa begini aneh? Anakku baru berusia sepuluh tahun dan cucumu itupun paling banyak baru..."

"Ia juga sepuluh tahun lebih, hampir sebelas..." Kakek itu memotong.

"Nah, mereka itu keduanya masih kanak-kanak, tidak pantas dikawinkan!" Maka tertawalah Kang Lam Ciuhiap dengan keras,

"Bukan kawin sekarang, maksudku kita ikat mereka dengan tali pertunangan. Mereka itu kulihat berjodoh." Keduanya saling pandang agak lama, agaknya untuk menyelami hati dan pikiran masing-masing, kemudian Kwie Cu Ek maju pegang lengan Kakek itu sambil berkata gembira,

"Baik, orang tua, aku percaya penuh kepadamu. Kau orang jujur. Eh, siapa nama cucumu itu?"

"Bun Sin Wan."

"Nah, biarlah, mulai saat ini Kwie Giok Ciu anakku itu menjadi calon isteri atau tunangan Bun Sin Wan, cucu Kang Lam Ciuhiap."

"Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus! Kalau kau perlu tahu, dapat juga aku ceritakan tentang almarhum Ayahnya, mantuku itu."

"Ah, siapakah yang tidak kenal Bun taijin? Mantumu adalah pembesar yang adil dan jujur, kalau tidak demikian sifatnya, mana dia bisa dihukum mati oleh Kaisar lalim?"

"Kau pintar, sungguh Sin Wan boleh bangga mempunyai mertua seperti kau ini!" Sekali lagi empek gagah itu tertawa senang.

"Nah, hayo kita susul mereka. Kita harus rayakan ikatan ini dengan arak wangi. Kebetulan sekali aku mempunyai simpanan arak dari Hunlim yang telah puluhan tahun umurnya.Wajah Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba berseri.

"Apa kau kata? Arak wangi dari Hunlim? Aah, bagus sekali. Hayo kita pergi, mau tunggu apa lagi?" Maka keduanya menggunakan ilmu lari cepat menyusul kedua anak yang telah pergi lebih dulu itu.

"Eh, Kwi Enghiong, tahukah kau bahwa kedua anak kita kelak akan menjadi pendekar-pendekar yang tiada taranya di muka bumi ini?"

"Akupun sedang berpikir dan tak habis mengerti, Lo-Ciuhiap," kata Kwie Cu Ek sambil berlari cepat di samping Kakek itu. "Kedua anak itu belum lama mendahului kita, tapi sampai sekarang belum juga kita bisa mengejar mereka. Sungguh ajaib sekali, buah apakah gerangan yang demikian mujijat dan menambah tenaga mereka berlipat ganda?"

"Itulah kurnia Thian Yang Maha Esa, Kwie Enghiong. Dan tepat sekali kalau kukatakan tadi bahwa mereka memang berjodoh satu kepada yang lain," kata si empek gagah. Biarpun mereka percepat lari mereka, ternyata ketik mereka tiba di depan pondok kayu tempat tinggal Macan Terbang, kedua anak itu telah bisa isitu dan Giok Ciu sedang sibuk mencabuti bulu ayam dan Sin Wan sibuk mengumpulkan kayu kering. Ternyata menghadapi Giok Ciu yang tentu saja lebih pandai masak dari padanya, Sin Wan tunduk dan taat akan segala perintah Giok Ciu ketika ia menawarkan diri untuk membantunya.

"Kami mempunyai beberap belas ekor ayam," kata gadis kecil itu dengan gembira, "Ayah dulu membeli beberapa ekor induk ayam dan kini telah menjadi belasan ekor." Kemudian Giok Ciu tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk dan suruh Sin Wan memotongnya. Dengan cekata gadis yang sejak masih kecil telah ditinggal Ibunya dan pandai masak karena terpaksa itu, memotong-motong daging ayam dan memasaknya, dibantu oleh Sin Wan, sedangkan Kang Lam Ciuhiap dan Hui-Houw Kwie Cu Ek bercakap-cakap dengan gembira di luar pondok yang kecil itu. Kang Lam Ciuhiap memuji Kwie Cu Ek yang dikatakan pandai memilih tempat. Memang tempat di situ indah sekali pemandangannya, lagipula nyaman hawanya.

Dibanding dengan lereng-lereng lain di gunung itu tempat ini yang terindah dengan puncak Kam-Hong-An yang tinggi menjulang di atasnya merupakan atap tertutup awan. Kwie Cu Ek semenjak ditinggal mati isterinya, telah lima tahun tinggal di situ dengan anaknya, dan agar Giok Ciu tidak terasing sama sekali dari pergaulan manusia, ia seringkali ajak anak gadisnya turun gunung di kaki gunung. Setelah Giok Ciu agak besar dan memiliki kepandaian hingga tidak berbahaya baginya untuk turun gunung seorang diri, seringkali anak perempuan ini mengunjungi kampung-kampung itu dan bermain-main. Karena ini maka Giok Ciu tidak merasa sangat kesunyian. Setelah masakan siap, mereka berempat lalu makan dengan gembira, dan tuan rumah serta anak perempuannya kagum melihat betapa Kang Lam Ciuhiap minum arak bagaikan minum air tawar saja!

"Arak baik, arak baik!" berkali-kali Kakek itu memuji tiap habis minum semangkuk besar. Kwie Cu Ek walaupun seorang peminum yang kuat juga, namun tiap kali minum ia hanya dapat tuang semangkuk kecil kedalam perutnya, karena arak yang mereka minum itu adalah arak tua yang sangat keras. Sebentar saja, habislah arak wangi seguci besar dan Kakek Bun Gwat Kong itu elus-elus perutnya dengan puas sekali.

"Engkong ini sungguh kuat sekali minum arak!" Berkata Giok Ciu yang ikut-ikutan menyebut Engkong atau Kakek kepada Kang Lam Ciuhiap, meniru Sin Wan. Mendengar dirinya disebut Kakek, Bun Gwat Kong girang sekali.

"Bagus Giok Ciu, memang kau selayaknya menyebut Engkong padaku." Lalu ia tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa, sedangkan Sin Wan diam-diam agak heran karena tidak pernah ia melihat Kakeknya segembira itu.

"Giok Ciu, kau tidak tahu, Kakek ini adalah Kang Lam Ciuhiap si Pendekar Arak dari Kang Lam. Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di dalam mulutnya dapat dipakai membunuh seekor kerbau besar!"

"Hebat sekali!" kata Giok Ciu ambil leletkan lidahnya, "Kong-kong, perlihatkan ilmu kepandaianmu menyembur dengan arak itu!" Melihat kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini mencari sasaran, kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya ia berkata kepada Kwie Cu Ek,

"Kwie Enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?" Tuan rumah mengangguk dengan tersenyum juga. Kang Lam Ciuhiap lalu tuang sedikit arak yang masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah mengejapkan sebelah matanya kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu hingga anak perempuan itu tertawa geli, si empek lalu semburkan arak dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar keputih-putihan tersembur keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular meluncur ke atas dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di tiang besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia membangun pondok itu. Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar lengan itu dan,

"Krak!" ujung itu patah dan jatuh ke bawah! Kwie Cu Ek memuji,

"Bagus sekali, Lo-Ciuhiap! Kau benar-benar patut di sebut ciuhiap, bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian karena kau benar-benar dewa arak!" Juga Sin Wan dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji.

"Kong-kong!" kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang Kakek itu seperti seorang anak yang meminta sesuatu.

"Apa lagi?" Kakek itu bertanya.

"Itu... suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau tiup sulingmu ketika kau bertempur melawan Ayah, tapi lagunya buruk sekali hingga telingaku tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa mainkan lagu yang enak didengar? Aku suka sekali mendengar suling!" Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang Kakek itu dimana tampak ujung suling tersembul keluar.

"Giok Ciu, jangan kau main-main dengan tiupan Kakekmu! Kalau aku tadi tidak kerahkan seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan untuk menahan pengaruh tiupan suling, aku sudah dirobohkan oleh daya tiupan suling itu! Jangan kau pandang rendah tiupan tadi karena itu adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan lawan dan melemahkan semangat serta membuat lawan bingun hingga gerak-geriknya menjadi kacau!" Giok Ciu leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan kekaguman atau keheranan.

"Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu yang buruk tadi, Kong-kong! Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat menghibur kita!" Kang Lam Ciuhiap sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok Ciu ini, ia cabut sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya. Ia angkat pundaknya dan berkata,

"Anakmu memang benar, Kwie Enghiong, aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak sedap didengar. Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur hatiku yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!" Lau sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, Kakek itu berkata,

"Kau ingin mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk meniup suling ini. Selain dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!" Sin Wan mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena jengah di puji Kakeknya di depan Giok Ciu dan Ayahnya. Sebaliknya, Giok Ciu menjadi girang sekali. Ia ambil suling itu dari tangan Bun Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin sambil angsurkan suling kecil itu.

"Sin Wan, kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!" Berkata demikian, gadis itu pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.

Sin Wan tak dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata bahwa iapun ingin sekali mendengar tiupan suling anak itu. Dengan tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari tangannya diatas lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di bibirnya dan dengan mata setengah terkatup meniup suling itu. Mula-mula terdengar bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan dan mulailah terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan menggetarkan kalbu. Giok Ciu dan Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum karena pandainya Sin Wan meniup suara yang meninggi rendah, tapi tak lama kemudian kedua Ayah dan anak itu duduk bengong dengan bibir setengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin Wan.

Mereka merasa sekan-akan dibaw melayang naik oleh gelombang ombak yang mengalun tinggi diangkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus dan menakjubkan. Mula-mula suara suling terdengar gagah dan riang membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar dan wajahnya panas, tapi ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah,ia merasa terharu sekali, ketika ia berpaling kepada Ayahnya dengan perlahan, ia melihat betapa dari kedua mata Ayahnya itu mengalir air mata! Nyata sekali bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan keharuan hebat di sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini teringat akan isterinya dan membuatnya tak dapat menahan kesedihannya. Melihat keadaan Ayahnya sedemikian itu, Giok Ciu berteriak kepada Sin Wan,

"Sin Wan, cukup! Simpan sulingmu!" dan anak perempuan itu menubruk Ayahnya dan menangis di atas pangkuan orang tua itu! Sin Wan tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir tertutup sama sekali, lalu memandang heran. Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar ini menghela napas berulang-ulang.

"Bukan main! Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih hebat dan kuat daripada tiupan Kakekmu, bukankah demikian. Lo-Ciuhiap?" Kang Lam Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena terpengaruh tiupan suling cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.

"Memang hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan lagu sehebat itu." Mendengar ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan senyum girangia berkata kepada Sin Wan,

"Jadi kau sendirikah yang mencipta lagu tadi?" Kang Lam Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran sekali melihat sifat Giok Ciu. Baru saja manis menangis sesunggukan, tiba-tiba bisa tersenyum manis. Alangkah ganjilnya! Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu padanya itu.

"Ah, pandai sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu sehebat ini?"

"Sederhana saja," kata Sin Wan merendah. "Pada suatu hari ketika aku sedang menggembala kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang sedang makan rumput di pinggir anak sungai di pagi hari, aku mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu mengeluarkan suara seperti sedang berdendang. Dan di atas pohon terdengar burung-burung berkicau girang, diseling bunyi kerbau-kerbauku menguak senang. Tiba-tiba, entah mengapa, seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada induknya, terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit menimbulkan suara mengharukan. Nah, ketika itu aku telah keluarkan sulingku dan entah bagaiman, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu yang kusesuaikan dengan pendengaranku akan keadaan di sekeliling pada saat itu. Dan semenjak itu, aku suka sekali meniup lagu ini."

"Memang indah!" Giok Ciu memuji kagum. "Aku harus bersihkan mangkuk-mangkuk ini dan mencucinya di belakang," katanya kemudian.

"Mari kubantu," kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkuk-mangkuk yang telah kosong untuk dicuci di belakang rumah. Sementara itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang Lam Ciuhiap berkata kepada tuan rumah.

"Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah berjodoh!" Kwie Cu Ek mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari tamunya untuk masuk ke kamar sebentar. Ketika keluar lagi, ia membawa sepasang sepatu kecil dan serahkan benda itu kepada Kang Lam Ciuhiap,

"Kami orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat perjodohan anakku. Nah ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok Ciu ketika ia berusia setahun. Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai barang keramat karena ini adalah buah tangan Ibunya!" Kang Lam Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan benda itu kedalam saku bajunya yang lebar. Kemudian ia ambil suling yang tadi ditiup Sin Wan dan berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek sambil berkata,

"Dan suling ini kubut ketika Sin Wan masih kecil dan baru bisa merangkak. Maksudku hanya untuk barang mainan, tapi ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali bermain-main dengan suling ini. Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan tanda pengikat perjodohannya dengan putrimu!"

Kwie Cu Ek terima suling itu dengan girang dan cepat menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan bercakap-cakap. Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena pekerjaan mereka telah selesai. Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan pulang, karena Ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang telah dua hari pergi itu. Setelah saling memberi hormat, Kakek dan cucu itu gunakan ilmu lari cepat tinggalkan tempat itu dan beberapa kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan ke arah Giok Ciu sampai bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan. Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka tiba di rumah, karena Ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan darah!

Sin Wan tubruk Ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang banyak menderita ternyata tak dapat menindas tekanan dan kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan tidak pulang. Ia cemas sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan anaknya itu, hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat Sin Wan kembali dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika! Tapi kesehatannya makin buruk. Sin Wan menyesal sekali dan berlutut di depan Ibunya meminta ampun dan berjanji bahwa semenjak saat itu ia takkan berani pergi lagi tanpa ijin Ibunya! Diluar tahunya Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap beri tahu anak perempuannya akan ikatan jodoh antara Sin Wan dan puteri Kwie Cu Ek. Nyonya muda itu merasa girang sekali, ia terima sepasang sepatu kecil itu dengan girang. Warta baik ini membuat ia banyak terhibur.

Ia percaya sekali akan pilihannya Ayahnya tapi ia nyatakan bahwa ia ingin sekali melihat gadis cilik itu dengan mata sendiri karena ia ingin mengagumi nona calon mantunya! Semenjak hari itu, Sin Wan makin tekun mempelajari ilmu silat dan ia di gembleng oleh Kakeknya yang ingin turunkan seluruh kepandaian yang dimilikinya kepada cucu yang terkasih itu. Ia tahu bahwa dengan bantuan keganjilan alam yang telah dialami Sin Wan, maka dengan latihan-latihan keras, anak itu akan menjadi seorang yang mempunyai tenaga dan kesanggupan jah lebih tinggi dari dia sendiri. Hal ini membuat ia tak kenal lelah dan selain ilmu silat tinggi, ia juga menuturkan dunia kang-ouw dan aturan-aturannya kepada Sin Wan. Ketika Sin Wan menanyakan sulingnya yag dibawa oleh Kakeknya itu, Kang Lam Ciuhiap terus terang katakan bahwa suling itu diberikannya kepada Giok Ciu sebagai tanda mata.

"Menyesalkah kau?" tanyanya. Sin Wan geleng kepala dan matanya berseri.

"Ah, tidak Ngkong, biarlah. Aku melihat ada bambu kuning di kaki gunung sebelah sana, bambu itu indah lagi kecil. Aku hendak membikin suling sendiri." Pada keesokan harinya, Sin Wan telah membuat sebatang suling yang panjanganya tidak kurang dari tiga kaki. Karenanya Engkongnya ahli pembuat suling, ia lalu minta Kakeknya itu yang membuat lobang-lobang agar suaranya tidak sumbang. Ketika Kang Lam Ciuhiap sedang asyik gunakan api melobangi batang suling bambu itu, ia teringat sesuatu dan dengan sungguh-sungguh ia berkata.

"Sin Wan, aku hendak ajar kau menggunakan batang sulingmu sebagai senjata istimewa!"

Sin Wan girang sekali dan mulai saat itu Kakeknya mengajar ia mainkan suling itu bagaikan sebatang petang dan karena semua gerakan adalah pukulan-pukulan merupakan totokan hebat dan disertai tenaga lweekang, maka suling itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Juga Kang Lam Ciuhiap mengajar cucunya untuk bersilat sambil tiup suling untuk mengacaukan gerakan lawan, seperti yang pernah ia lakukan ketika menghadapi si Harimau Terbang dulu! Karena memang suka sekali meniup sulingmaka mendapat pelajaran baru ini, Sin Wan merasa girang sekali dan ia lebih giat melatih ilmu silatnya hingga memperoleh kemajuan pesat. Juga Sin Wan yang sangat mencinta dan berbakti kepada Ibunya, mentaati permintaan Ibunya dan membuat nyonya muda itu puas melihat kemajuan yang dicapai oleh Sin Wan dalam ilmu surat.

Dengan pesat sekali waktu berjalan tanpa terasa oleh manusia, Tahu-tahu tiga tahun telah lewat. Selama itu Sin Wan yang kini telah berusia hampir empat belas tahun ,mendapat kemajuan besar hingga dalam hal ilmu silat ia telah menyusul Kakeknya! Kalau dibuat perbandingan, mungkin Sin Wan lebih gesit dan cepat daripada Kakeknya, tapi tentu saja ia masih kalah dalam hal tenaga lweekang. Selama tiga tahun itu, tidak jarang Sin Wan terkenang kepada Giok Ciu, teman baru yang begitu bertemu telah mengalami peristiwa-peristiwa aneh bersama dia itu. Semenjak perjumpaan pertama, belum pernah mereka bertemu lagi dan ia sedikitpun tidak menyangka bahwa dirinya telah terikat jodoh dengan anak perempuan itu!

Musim semi telah tiba dan orang-orang dikampung kecil itu menyambut musim chun dengan pesta gembira. Penduduk kampung yang hanya berjumlah dua puluh keluarga dan semuanya kurang dari seratus jiwa itu saling mengantar makanan dan saling selamat. Mereka mengenakan pakaian yang paling baik dan memasang petasan yang didatangkan oleh seseorang dari kota. Sin Wan juga tidak ketinggalan. Sejak pagi-pagi sekali Ibunya telah menyuruh dia bertukar pakaian dan mengenakan baju warna kuning yang indh. Pemuda itu tidak melupakan kerbaunya dan ia mencari kembang-kembang dan daun-daun yang lalu dibuat karangan bunga dan dikalungkan di leher semua kerbaunya! Kemudian ia pergi dengan anak-anak lain yang berkumpul memasang petasan.

Tiba-tiba dari luar pintu kampung itu terdengar suara kaki kuda banyak sekali. Semua orang kampung terkejut dan heran karena belum pernah kampung itu dikunjungi orang luar. Ketika orang-orang berkuda itu telah melewati pintu kampung, terkejutlah Sin Wan karena yang datang memasuki kampungnya adalah belasan orang besar berpakaian tentara seragam dengan golok atau pedang terhunus di tangan! Para wanita cepat memanggil anak mereka dan melarikan diri bersembunyi di belakang rumah atau di dalam kamar, sedangkan orang-orang lelaki memandang dengan membongkok hormat dan ketakutan. Ternyata rombongan orang itu berjumlah lima belas orang. Seorang kate gemuk yang agaknya menjadi pemimpin karena pakaiannya paling mewah, loncat turun menghampiri seorang petani tua yang berdiri terdekat.

"He, orang tua! Di manakah rumah Bun Gwat Kong dan anaknya?" Biarpun orang-orang kampung itu terdiri dari petani-petani lemah, tapi mereka adalah orang-orang jujur dan penuh rasa setiakawan. Melihat lagak rombongan ini ternyata tidak membawa maksud baik, maka Kakek itupun menggelengkan kepala dan berkata,

"Aku tidak tahu!" Baru saja jawaban itu terlepas dari mulutnya, Kakek itu terlempar ke belakang karena di dorong oleh seorang anggauta rombongan yang berdiri di dekat pimpinannya.

"Hayo kalian mengaku, dimana adanya bangsat tua she Bun itu? Kalau tidak mau mengaku kalian semua akan dihukum seratus cambukan!" demikian pendorong Kakek itu berkata dengan putar mata galak sekali. Bun Sin Wan merasa gemas sekali, tapi ia masih hendak menunggu apa ayng akan terjadi, juga ia heran sekali mengapa orang-orang ini mencari Kakeknya. Tapi sebelum rombongan tentara Kaisar itu dapat mengganas lebih jauh terdengar bentakan keras.

"Aku orang she Bun ada disini, kamu anjing-anjing Kaisar lalim mau apakah?" dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dengan tolak pinggang berdiri angket menghadapi rombongan itu. Sikapnya yang gagah membuat lima belas orang tinggi besar bersenjata tajam itu mundur beberapa tindak dengan jeri. Tapi orang kate gemuk yang menjadi pemimpin dapat tetapkan hatinya. Ia cabut sepasang ruyung dari pinggangnya dan membentak kepada para anak buahnya.


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Pemberontak she Bun ada disini, hayo tangkap dia!" Berbareng dengan bentakan itu ia maju ayun ruyungnya di atas kepala lalu maju menyerang, diikuti oleh anak buahnya yang menerjang dengan masing-masing senjata di tangan.

"Ha, ha, ha! Kamu anjing-anjing kecil berani menggonggong di depan tuanmu? Pergilah!" Kakek itu lalu bergerak cepat dan tahu-tahu dua orang pengeroyoknya telah kena dipegang dan dilempar sampai beberapa tombok jauhnya bagaikan seorang melempar rumput saja!

Kang Lam Ciuhiap lalu perlihatkan kepandaiannya. Dengan kedua tangan kosong ia bergerak cepat dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang pengeroyok terlempar atau roboh. Sebentar saja ia dapat merobohkan delapan orang pengeroyoknya dan kini yang mengeroyoknya hanya pemimpin yang bersenjata sepasang ruyung itu dan dua orang lain bersenjata pedang. Yang lain telah cemplak kuda dan lari pergi, tak pedulikan makian dan teriakan pemimpin mereka! Ternyata pemimpin kate gemuk itu lihai juga. Sepasang ruyungnya bergerak-gerak cepat dan kuat hingga untuk beberapa saat tak mudah bagi Kakek itu untuk merobohkannya. Kemudian Kang Lam Ciuhiap mendapat pikiran untuk menguji cucunya. Ia segera merobohkan dua pengeroyok lain hingga kini tinggal si kate gemuk seorang.

"Sin Wan, kau ke sinilah!" Kakek itu berteriak. Sin Wan yang sejak tadi memang berada di dekat situ dan sengaja tidak mau bantu Kakeknya karena melihat bahwa Kakeknya tak perlu dibantu, dan menonton dengan kagum melihat kegagahan Kakeknya, kini loncat maju.

"Ada apa, Ngkong?" jawabnya.

"Coba kau layani anjing kate gemuk itu," perintah Kakek itu yang loncat mundur ke belakang. Si kate gemuk memang telah terdesak hebat oleh Kang Lam Ciuhiap, kini melihat orang tua lihai itu mundur dan diganti oleh seorang pemuda tanggung yang pegang sebatang suling bambu panjang, ia merasa agak lega.

Ia pikir, tidak apa kemudian terbunuh oleh Kakek gagah itu asal sudah bisa menjatuhkan anak muda ini. Dengan demikian, maka ia tidak penasaran lagi dan tidak rugi. Maka ia lalu putar-putar kedua ruyungnya dan menyerang tanpa berkata apa-apa lagi. Sin Wan telah siap dan waspada. Biarpun ia telah mendapat latihan sampai masak oleh Kakeknya, tapi ia belum pernah bertempur betul-betul melawan musuh. Baiknya ia memang mempunyai nyali yang besar dan ketabahannya ini membuat ia dapat bersilat dengan baik. Baru bertempur beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa ilmu kepandaian lawannya ini tidak seberapa hebat. Maka ia tidak mau kasih hati lagi dan balas menyerang dengan sulingnya. Terkejutlah si kate itu, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa suling bambu kecil itu ternyata lihai dan berbahaya sekali karena selalu meluncur ke arah jalan darahnya!

Pula gerakan-gerakan suling itu terlalu cepat dan tidak terduga olehnya higga ia menjadi sibuk sekali karena harus putar-putar ruyung menangkis atau loncat ke sana kemari hindarkan diri dari totokan. Tentu saja Sin Wan tidak mau sulingnya terusak oleh tangkisan ruyung, maka ia tidak mau adukan senjatanya dan percepat gerakannya. Ketika pada suatu saat lawannya berkelit ke kiri, Sin Wan tusukan sulingnya dan getarkan ujung suling dengan tenaga lweekangnya hingga ujung suling itu menjadi tiga dan sekaligus menyerang tiba bagian tubuh! Lawannya tidak dapat menangkis atau menyingkir dari serangan lihai ini dan tak ampun lagi iganya tertotok dan ia roboh tak berdaya. Tapi pemimpin tentara itu memang seorang peperangan yang berani mati dan keras hati. Ia merasa malu sekali terjatuh dalam tangan seorang pemuda yang masih anak-anak, maka ia segera membentak,

"Kau telah robohkan aku, tidak lekas bunuh mau tunggu apa lagi?" Sin Wan marah dan hendak jatuhkan pukulan maut dengan sulingnya, tapi tiba-tiba Kakeknya mencegah.

"Tahan, Sin Wan"!" Kakek ini memang suka melihat orang yang gagah dan berani mati. Selama ia merantau di dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika terluka merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu. Tapi jika lawannya seorang pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini mendengar si kate berkata demikian, ia larang cucunya membunuh orang itu.

"Kau pergilah!" Kata Kang Lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu, "Dan bawa pergi semua kawan-kawanmu itu." Tangan kirinya dilambaikan ke arah orang-orang yang merintih-rintih di atas tanah.
Pemimpin rombongan tentara itu berkata,

"Baik, bagimu sama saja, bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap. Ketahuilah, kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma Cian Bu, dan sebentar lagi dia dan juga Siauw-San Ngo-Sinto tentu datang kesini!" Sehabis berkata demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahan-lahan tinggalkan kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung. Tapi Sin Wan yang memperhatikan Kakeknya betapa Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak elisah. Ia segera menghampiri dan memegang lengan Kakeknya,


JILID 03




"Engkong, kau kenapakah?" Kakeknya geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia mengajak cucunya pulang. Kemudian, di depan anak perempuannya dan Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh.

"Sin Wan, kau ajak Ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus menghadapi hal ini sendiri, jangan sampai kalian juga tertimpa bencana!"

"Ayah, mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?" Ibu Sin Wan bertanya cemas.

"Ketahuilah, dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang memfitnah suamimu. Tidak kurang dari enam jiwa melayang di tanganku. Karena yang kubunuh adalah orang-orang berpangkat, maka sejak saat itu pemerintah telah mencari-cariku. Agaknya kini mereka berhasil dan dapat mengetahui tempat sembunyiku disini." Kakek itu menghela napas.

"Tapi, Ngkong. Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang datang hendak mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada puluhan, kau dan aku masih sanggup mengusirnya!" kata Sin Wan dengan gagah. Kang Lam Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia lalu menggeleng kepala perlahan.

"Kau tidak tahu, Sin Wan. Tidakkah kau dengar tadi bahwa ada seorang Cianbu she Suma dan Siauw Ngo-Sinto akan segera datang kesini?" Sin Wan merasa penasaran,

"Takut apa, Ngkong? Macam apakah orang she Suma itu? Aku ingin sekali mengukur kepandaiannya."

"Kapten she Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat," kata Kang Lam Ciuhiap perlahan seakan-akan tak mendengar kejumawaan Sin Wan, "tapi lima saudara dari Siauw-San yang dijuluki Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan."

"Siapakah mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin susah kau?" tanya Ibu Sin Wan yang merasa khawatir.

"Sum Cian Bu adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena kegagahannya. Selain pandai mengatur tentara, iapun tinggi sekali ilmu pedangnya. Kedatangannya itu tentu dengan tugas menangkapku karena Kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka kapten yang konsen itulah yang diutus. Tapi agaknya Sum Cian Bu sendiri jerih untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu. Memang telah kudengar desas-desus bahwa Ngo-Sinto itu telah mengkhianati dunia kang-ouw dan rela menjadi anjing penjilat Kaisar asing! Mereka adalah lima orang pertapa atau Tosu dari Gunung Siauw-San. Agaknya mereka itupun runtuh iman mereka dan melihat sogokan berupa harta benda dan emas, seperti yang banyak dialami orang-orang gagah yang akhirnya menjadi kaki tangan Kaisar lalim. Sin Wan jangan sia-siakan waktu, kau bawalah Ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik gunung. Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan Ibumu disana untuk sementara waktu. Disini berbahaya sekali."

"Tapi, Ayah! Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah pergi semenjak Ayah Sin Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu. Biarlah merekia datang. Biarkan mereka membunuhku. Aku tidak takut!" Nyonya muda yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan beraninya hingga Sin Wan kagum sekali serta bangga akan Ibunya.

"Kau benar, Ibu. Akupun tidak takut, dan akulah yang akan membelamu mati-matian Ibu!"
Kang Lam Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu. Ia membanting-banting kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel,

"Kau Ibu dan anak sama-sama kepala batu!" Kakek itu yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya, lalu pergi kerumah seorang temannya dikampung itu dan bersama temannya menenggak arak sampai habis beberapa guci. Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk keluar dan pergi menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang. Ia sendiri putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan cucunya. Terutama Sin Wan harus pergi dari kampung itu. Untuk dirinya sendiri, Kang Lam Ciuhiap tidak khawatir. Ia sudah cukup kenyang mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup di dunia yang penuh derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke kampung halaman.

Tapi bagaimana nasib Sin Wan dan Ibunya? Yah, tentang anak perempuannya ia telah tahu isi hatinya. Anak perempuannya yang bernasib malang itupun hanya hidup untuk Sin Wan saja, dan boleh dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut mati dengan suaminya. Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang itu bukan soal apa-apa. Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak dan luas. Anak itu tidak boleh menjadi korban begitu saja, dan jika Suma Cianbu datang, ia tidak dapat tanggung tentang keselamatan Sin Wan. Walaupun ia tahu bahwa anak itu telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, namun keenam lawan yang mendatangi itu terlampau lihai. Kemudian Kang Lam Ciuhiap dengan diam-diam mengadakan perundingan dengan anaknya. Setelah dijelaskan tentang bahaya yang dapat mengancam jiwa Sin Wan, nyonya muda itu menjadi gugup.

"Ketahuilah, anakku. Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa Sin Wan adalah putera tunggal suamimu, maka jangan harap jiwa puteramu akan tertolong. Mereka itu tentu berebut membuat pahala dan sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup atau mati!" Maka lalu diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh Sin Wan pergi dari situ untuk sementara waktu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibunya memanggilnya dan ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak Engkongnya sedang minum arak. Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali Engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.

"Sin Wan, kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung itu?" tanya Kang Lam Ciuhiap kepadanya. Sin Wan pandang Kakeknya dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati Kakeknya itu.

"Tentu saja aku masih ingat, Engkong."

"Mereka itu ramah tamah dan baik hati sekali, ya?" Sin Wan mengangguk.

"Katanya ada juga seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin Wan?" tanya Ibunya. Sin Wan makin heran dan dadanya berdebar, tapi dengan menindas perasaannya ia menjawab.

"Setahuku Kwie Pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan namanya Giok Ciu."
(Lanjut ke Jilid 03)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 03
"Bagaimana pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?" dengan cepat Ibunya bertanya hingga anak muda itu cepat memandang Ibunya.

"Apakah maksudmu, Ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai... masak." Ibunya tersenyum dan Ciuhiap tertawa bergelak.

"Sin Wan, karena mereka itu baik sekali dan masih tetangga dengan kita, yakni karena kita masih tinggal di satu gunung, maka untuk menyambut hari raya ini kita harus mengantar apa-apa kepada mereka. Aku sudah sediakan sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan itu, kau antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga." Sin Wan memandang ke atas meja di depan Kakeknya dimana memang terdapat sebuah bungkusan besar. Kemudian ia memandang Kakeknya dan berkata dengan sangsi,

"Tapi, Ngkong. Perlu sekalikah itu? Apakah tenagaku tidak diperlukan disini? Aku harus menjaga keselamatan Ibu."

"Aku cukup kuat untuk menjaganya, Sin Wan."

"Dan kalau musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, Ngkong."
"Aah, musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan."

"Tapi, Ngkong, kalau Suma Cianbu dan Ngo-Sinto ikut datang?"

"Ha, ha ! Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan akan kuhancurkan kepala mereka seorang demi seorang!"

"Tapi, bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh sekali?"

"Aku kemarin hanya membohong."

"Tapi... tapi... Aku khawatir, Ngkong..." Kakeknya berdiri serentak dan membentaknya,

"Sin Wan! Tidak percayakah kau kepada Kang Lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada Engkong dan gurumu?" Melihat sikap Kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi. Ia mengambil bungkusan kain itu dari atas meja, lalu menghampiri Ibunya dan memegang tangan Ibunya dengan rasa sayang,

"Ibu, jaga baik-baik dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga aku sudah kembali."

"Sin Wan, sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan sampai memalukan kami dengan berlaku kurang sopan. Jika mereka minta kau bermalam disana, biarpun hanya untuk semalam, kau harus menerima dan jangan kukuh menampik hingga mereka akan menyangka bahwa kau sombong dan tidak ramah-tamah."

Setelah sekali lagi memandang Ibunya dengan mesra, pemuda itu lalu berangkat meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin agar ia segera sampai di tempat tujuan dan segera kembali. Dulu ketika ia dan Kakeknya pulang dari rumah keluarga Kwie, mereka gunakan waktu hampir sehari penuh. Tapi sekarang ilmu larinya telah maju berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai tepat di atas kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu. Hati Sin Wan berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis berbaju merah muda dan bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil mengambil baju yang dijemur disitu. Ia segera mengenal gadis itu yang bukan lain ialah Giok Ciu adanya!

Biarpun gadis itu sedang berdiri membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan badan gadis itu. Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu memandang bengong kepada pemuda tampan yang berdiri di depannya. Juga Sin Wan merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok Ciu telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya. Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit leher dan lengannya demiian halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang gemilang dan bibir yang merah dan manis itu! Untuk beberapa saat keduanya hanya saling pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun Kemudian Sin Wan maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh itu, lalu memberikannya kepada Giok Ciu.

"Terima kasih," kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.

"Giok Ciu!" Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang selalu ditundukkan itu. Giok Ciu menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malu-malu.

"Hm??" hanya demikian mulutnya menggumam.

"Kau... kau sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?" kata Sin Wan lagi dengan agak heran. Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah itu sekarang menjadi begini kikuk? Giok Ciu tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu serta memandangnya dari sudut matanya. Gerakan mata ini manis dan menarik sekali.

"Masak begitu mudah melupakan orang?" jawabnya perlahan.

"Giok Ciu!, aku tidak pernah lupakan kau. Mana bisa aku melupakanmu, teman baikku yang telah mengalami hal-hal aneh dan hebat bersamaku." Diingatkan akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan dulu, Giok Ciu tiba-tiba merasa gembira dan wajahnya berseri. Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu Sin Wan adalah seorang tamu, maka dengan gugup ia berkata,

"Kau..., masuklah , marilah." Dan ia mendahului pemuda itu ambil tempat duduk.

"Dimana Kwie Pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?"

"Baik, terima kasih. Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah bukit untuk membeli kain."

"Aku disuruh oleh Ibuku untuk mengantar sedikit barang tak berharga ini dan sekalian menyambangi kau."

"Aku? Bukan menyambangi Ayah?" Wajah Sin Wan memerah.

"Ya Ayahmu juga!" Kemudian sambil menatap wajah gadis jelita itu ia berkata sungguh-sungguh,

"Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau." Giok Ciu balas memandang.

"Heran? Mengapa? Apakah aku berubah dan... Jelek?" Sin Wan tersenyum.

"Berubah sih tentu. Kau sekarang menjadi tinggi dan... dan... makin manis!" Giok Ciu segera tundukkan muka, tapi senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa hatinya senang sekali.

"Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan yang sangat menyolok pada dirimu. Kau sekarang begitu... Begitu pendiam dan agaknya malu-malu padaku, mengapakah?" Giok Ciu memandang lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan terlalu lama.

"Kau tidak mempunyai perasaan... malu kepadakukah?"

"Mengapa aku mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini sahabatku yang baik, kawan sependeritaan ketika kita terjeblos dalam jurang dan akhirnya keluar dari sumur itu?" Untuk sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja sikapnya yang malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti biasa, bahkan gembira sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal di dalam hatinya telah disingkirkan.

"Sin Wan, kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?"

"Ah, belum tentu semaju engkau!"

"Hayo, kita mencoba kepandaian kita, boleh?" ajak Giok Ciu gembira. Sin Wan geleng-gelang kepala.

"Sebenarnya aku tergesa-gesa sekali, Giok Ciu." Katanya perlahan dan tiba-tiba lenyap kegembiraannya karena ia teringat akan Ibu dan Kakeknya yang mungkin diancam bahaya dan bencana besar. Melihat betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan keningnya tampak berkerut seperti orang bingung dan susah, gadis itu menjadi heran dan buru-buru bertanya,

"Sin Wan, apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang menyusahkanmu? Katakan padaku, aku pasti akan membantumu!" Melihat sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati Sin Wan terhibur dan ia merasa berterima kasih sekali. Ternyata gadis ini sama sekali tidak berubah, bahkan lebih baik dan setia kawan. Karena ini ia lalu ceritakan dengan sejelasnya apa yang telah terjadi, yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas diri Kakeknya dan betapa Kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan tentara itu, tapi kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat mengkhawatirkan.

"Karena itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini, Giok Ciu, karena mungkin sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat oleh Kakekku. Aku harus kembali sekarang juga!"

"Sebetulnya aku harus menyesal karena kau tak pernah mengunjungi kami dan sekarang begitu datang kau hendak pergi lagi. Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali. Tidak saja kau harus lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana. Kita lebih baik sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!" Sin Wan pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang seklaik tapi ia ragu-ragu.

"Ah, Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi Ayahmu? Betapapun juga kau harus memberi tahu lebih dulu kepada Kwie Pekhu!"

"Untuk urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit. Apa pula untuk membela Ibumu dan Ayahmu adalah kewajibanku yang terutama! Biarlah aku meninggalkan surat saja untuknya agar kalau telah pulang ia bisa segera menyusul kita."

"Kau maksudkan... Kwie Pekhu juga akan ke sana membantu kami?" tanyanya girang sekali.

"Mengapa tidak? Ia pasti akan menyusul kita." Giok Ciu lalu cepat ambil alat tulis dan menulis surat pemberitahuan untuk Ayahnya di atas meja dalam kamar Ayahnya.

"Hayo kita pergi,tapi kau harus makan dulu. Bukankah kau tadi belum makan? Jangan kita nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu." Kata gadis itu menimbulkan kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.

"Tak usah, Giok Ciu, kalau ada kuih, kau bawa kuih saja, kita makan di jalan nanti." Giok Ciu tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari cepat. Sin Wan sengaja lari cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi ternyata ilmu lari cepat gadis itu tidak berada dibawh tingkatnya hingga ia menjadi kagum dan girang. Ketika tiba di jurang yang lebar, dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan tambang, mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar. Giok Ciu dengan gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil berkata,

"Sin Wan, lihat I sana itu, masih ingatkah kau?" Sin Wan memandang dan melihat sebuah benda panjang keputih-putihan menggantung dari puncak karang. Ia ingat bahwa itu adalah tali tambang yang dulu ia pakai untuk meloncati jurang itu. Ia menghela napas dan berkata,

"Alangkah cepatnya waktu berjalan. Tiga empat tahun telah lalu dan tali itu masih tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri di sini, seakan-akan peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan kitapun tak terasa pula sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!"

"Kenapa dalam beberapa tahun itu kau atau Kong-kong tak pernah datang menengok kami? Tadinya kukira kalian sudah lupa!" Gadis itu berkata sambil cemberutkan bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan malahan tampak lebih manis.

"Kakekku selalu sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku hendak pergi sendiri, Ibu selalu melarangku setelah terjadi aku hilang dua hari dulu itu!" Giok Ciu padang wajah Sin Wan dengan iri hati,

"Ah, kau memang beruntung, mempunyai seorang Ibu menyayangimu." Dan mata gadis itu menjadi merah. Tapi Sin Wan segera menghiburnya,

"Tapi aku tidak mempunyai Ayah seperti kau. Keadaan kita sama. Giok Ciu, jangan kau bersedih. Biarlah kau anggap Ibuku seperti Ibumu sendiri." Tiba-tiba sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan. Pemuda itu terheran dan tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak kenal jalan terpaksa berhenti juga, agak jauh dari tempat Sin Wan berhenti.

"Giok Ciu, kau kenapakah? Marahkah kau?" Giok Ciu memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca isi hatinya. Kemudian gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap biasa.

"Tidak apa-apa, hanya aku tadi terharu mendengar bahwa aku harus menganggap Ibumu seperti Ibuku sendiri. Alangkah baiknya, dan kau juga menganggap Ayahku seperti Ayahmu sendiri."

"Ya, begitulah lebih baik," kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak tahu betapa Giok Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup hingga sepasang mata yang bening itu mengincar dari balik bulu matanya yang panjang dan lentik.

"Marilah kita percepat perjalanan ini agar segera sampai dirumah," kata Sin Wan.

"Apakah kau tidak lapar? Ini, makanlah kueh ini." Gadis itu keluarkan sepotong kueh kering dari saku bajunya, dan mereka lalu makan kuih itu. Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa dulu didalam jurang, dimana mereka juga makan kuih kering bekal Sin Wan. Setelah makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan segar mereka lalu berangkat pula. Perjalanan kali ini berbeda dengan ketika Sin Wan berangkat dari rumah, karena dengan berdua mereka merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di kanan kiri. Tamasya alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan tidak terlihat oleh Sin Wan,

Kini nampak bagus dan menarik sekali hingga beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti untuk menikmati pemandangan indah itu beberapa lama. Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan dan keuletan tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa lelah! Karena sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin Wan telah mulai senja. Matahari telah sembunyi di balik puncak Kam-Hong-San dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah sehari penuh beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

"Sin Wan kenapa kampungmu begini sunyi?" tanya Giok Ciu dengan heran ketika mereka mulai masuk perkampungan itu. Sin Wan tak menjawab, tapi ia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba telinga mereka dapat mendengar suara tangis sedih yang tertahan-tahan, agaknya orang-orang menangis tapi karena takut maka tidak berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,

"Hayo cepat, Giok Ciu!" Gadis itu merasa betapa tangan Sin Wan yang memegang lengannya sangat dingin! Maka hatinyapun berdebar karena menyangka sesuatu yang tidak beres. Dan apa yang tampak oleh mereka sungguh mengerikan! Ketika mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampak tubuh-tubuh malang melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena aliran darah dari para korban itu.

"Sin Wan, apakah yang terjadi?" Giok Ciu dengan wajah pucat pegang lengan pemuda itu, tapi bagaikan orang kalap Sin Wan mengkipaskan tangan Giok Ciu dan meloncat masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak-teriak,

"Ibu...! Kakek"!" Giok Ciu cepat mengikut pemuda itu dan meloncat masuk ke dalam pintu yang terpentang lebar. Dan ketika ia masuk kedalam, ia melihat Sin Wan telah berlutut dan memeluki tubuh Ibunya yang menggeletak mandi darah! Juga Kakeknya rebah dengan lengan kanan putus dan tidak ingat orang!

"Ibu... Kong-kong..." Giok Ciu berbisik perlahan dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Sin Wan seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya kedua matanya melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir air mata berbutir-butir membasahi pipinya. Ia angkat kepala Ibunya dan dipangkunya kepala yang lemas itu, di dekapnya muka Ibunya pada dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih dan pucat itu. Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya tenggelam dalam keroNgkongannya,

"Ibu... Ibu" bangunlah, Ibu" bukalah matamu, aku datang, Ibu... aku Sin Wan anakmu"" Giok Ciu melihat keadaan pemuda itu dan mendengar ratap tangisnya, hanya bisa mencucurkan air mata dari belakang ia pegang lengan Sin Wan. Hatinya ingin menghibur, tapi tak sepatah kata-kata dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia melihat Ibu Sin Wan menggerak-gerakkan kulit matanya.

"Sin Wan, lihat Ibumu siuman." Bisik Giok Ciu. Sin Wan pandang wajah Ibunya dan harapan timbul dalam hatinya.

"Ibu" bangunlah, Ibu..." ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat tubuh Ibunya, tapi tiba-tiba nyonya itu merintih kesakitan sehingga terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia baringkan kepala Ibunya di atas pangkuannya. Nyonya yang bernasib malang itu buka pelupuk matanya dan ia tersenyum ketika melihat Sin Wan.

"Sukur" kau" kau selamat, Sin Wan"" katanya perlahan.

"Ibu, bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau... ah, siapakah yang melakukan ini, Ibu? Siapa? Katakanlah, hendak kubeset menjadi dua tubuhnya!"

"Siapa lagi, anakku... Kalau bukan orang-orangya" Kaisar... lalim..." Ibu Sin Wan melirik ke arah gadis yang berada di belakang Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata itu. Wajahnya yang sudah menyuram tiba-tiba berseri dan berbisik,

"Sin Wan... inikah... Giok Ciu...?"

"Betul, Ibu," jawab Giok Ciu sambil mendekat. Ibu Sin Wan masih kuasa mengangkat lengan kanannya untuk meraba-raba muka dan rambut Giok Ciu, agaknya ia puas sekali.

"Kau... cantik" dan" baik, bahagialah kau dengan" anakku"" Giok Ciu tak kuasa menahan keharuan hatinya, ia hanya mengangguk-angguk sambil menciumi tangan yang membelainya itu.

"Sin Wan... jagalah baik-baik dia ini" dia ini calon isterimu" tanda perjodohannya... Sepatu kecil... kusimpan di peti pakaianku... Sin Wan... Giok Ciu... Aduh!" Dan Nyonya yang telah kepayahan karena kehabisan darah yang mengalir dari lukanya itu menjadi lemas dan napasnya berhenti!

"Ibu"! Ibu"!!" Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan bagaikan mencari-cari sesuatu. Kemudian ia turunkan kepala yang dipangkuannya perlahan, lalu ia loncat berdiri dan memburu ke depan. "Siapa yang membunuh Ibuku? Siapa?? Hayo keluar!!" Kemudian, karena yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ia lari lagi ke dalam dan tubruk mayat Ibunya.

"Ibu... Ibu...! Mana Kong-kong, mana...? Kong-kong" dimana kau?" Sin Wan benar-benar seperti orang gila hingga ia tidak melihat Kong-kongnya yang menggeletak tak jauh dari situ. Giok Ciu sambil menangis lalu memegang tangan Sin Wan dan berkata,

"Sin Wan, tenanglah, Kong-kong ada disini, lihatlah...!" Sin Wan menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh Kakeknya membujur di situ mandi darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika. Ia menubruk Kong-kongnya dan mengangkat kepala yang sudah putih itu.

"Kong-kong! Kau juga menjadi korban? Kong-kong" katakanlah siapa yang melakukan ini, siapa??" Ia menggoyang-goyang tubuh Kong-kongnya yang sudah lemas itu. Agaknya nyawa Kakek itu belum meninggalkan raganya, karena memang orang tua itu kuat sekali dan telah mempunyai latihan tenaga dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang bagi orang lain sudah tak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena selain lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat luka-luka di dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya. Mata itu memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan paksaan tenaganya yang terakhir ia berkata dengan suara parau seakan-akan bukan suara manusia lagi,

"Sin Wan... yang melakukan ini ialah... Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto...!" Kepala yang tadinya menegang itu lalu terkulai lemas dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa hayatnya telah meninggalkan tubuh! Sin Wan lepaskan kepala itu kebawah, lalu tiba-tiba ia betot suling bambu yang terpegang di tangan kiri Kakeknya, kemudian dengan geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga mengamuk! Pemuda itu tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada musuh-musuhnya! Ia tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke sana ke mari. Tiba-tiba ia meloncat ke samping ketika merasa betapa pundaknya dijamah orang dengan perlahan dari belakang. Sambil meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang menjamahnya itu hingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.

"Sin Wan, ingatlah, ini aku, Giok Ciu!" kata gadis itu sambil bertindak maju dan memegang lengan Sin Wan, "Sin Wan, begini lemahkah hatimu? Beginikah sikap seorang jantan yang gagah perkasa? Kau boleh marah dan sakit hati, tetapi kau tidak tahu dimana adanya musuh-musuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah Ibu dan Kakek? Apakah mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ah, Sin Wan... Sin Wan..." Tubuh Sin Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan ganas itu melembut. Suling yang dicengkeram dalam tangannya terlepas dan jatuh di tanah tanpa terasa. Kemudian ia lari dengan tubuh lemas ke dalam rumah. Melihat mayat Kong-kongnya ia lalu berlutut dan sambil memandang wajah Kakeknya itu dan ia meratap dan menyesali Kakeknya.

"Kong-kong, kenapa kau suruh aku pergi? Kenapa? Kau sengaja menyuruh aku menyingkir. Aku tahu... Aku tahu...! Kong-kong, apa kau sangka aku penakut? Apa kau sangka aku takut mati? Ah, Kong-kong. Kalau saja aku tidak pergi... Kong-kong" kau bikin aku selamanya akan menyesali saat kepergianku itu... Kau bikin aku menjadi penasaran selalu..." Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju, pemuda tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat Ibunya.

"Ibu... Ibu... anakmu tidak berbakti! Kau... kau diserang musuh, dilukai, dibunuh... sedangkan aku... anakmu... Pergi dan bergembira di luar! Ibu ampunkan anakmu, Ibu... aku bersumpah, sebelum dapat membunuh orang-orang terkututk itu, aku tidak mau menyebut namaku kepada orang lain"" Kemudian Sin Wan menangis lagi sambil berlutut di dekat mayat Ibunya. Ia pukul-pukulkan kepalanya di atas lantai hingga terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah!

Demikian besar rasa penyesalannya telah pergi hingga Ibunya dibunuh orang pada saat ia tidak berada di situ, maka karena menyesal ia bentur-benturkan jidat di lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas dada Ibunya! Semenjak tadi, Giok Ciu tak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia adalah seorang yang keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian mengerikan dan mengharukan, ia tak dapat menahan mengucurnya ia mata dan rasa iba hati yang luar biasa sampai menyakitkan dadanya. Ia merasa iba sekali sekali melihat Sin Wan, pemuda tunangannya yang sebelum diberi tahu oleh Ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu adalah tunangannya! Giok Ciu sendiri telah diberi tahu oleh Ayahnya, bahkan suling kecil pemberian Kang Lam Ciuhiap telah diserahkan kepadanya untuk disimpan. Inilah sebabnya maka ketika bertemu dengan Sin Wan, ia meraa malu sekali dan kikuk.

Tapi, kemudian dapat diterkanya bahwa pemuda itu agaknya belum tahu akan pertunangan mereka, maka lenyaplah rasa malunya terhadap Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul dan ia bisa bergaul lebih bebas dengan pemuda itu. Tapi, tidak disangkanya sama sekali, musuh telah mendahului mereka dan telah mengamuk demikian kejamnya! Kini melihat betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin bingung dan ia merasa hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar dan masuk ke dalam rumah terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua orang wanita tua dan muda saling peluk dengan tubuh gemetar, dan ditengah-tengah mereka ada tiga anak-anak kecil. Ternyata mereka masih ketakutan. Alangkah kaget mereka ketika da orang masuk ke rumah, mereka sangkat bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih berada di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus,

"Encim dan cici, jangan takut-takut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk memberi tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan kita." Maka berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua pergi ke rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah berbondong-bondong dan tangis dan pekik saling menyusul ketika mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Masing-masing keluar lalu mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di luar dan menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing. Giok Ciu dengan bantuan beberapa orang lalu mengurus kedua jenasah Ibu Sin Wan dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong. Sedangkan Sin Wan setelah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat orang-orang tercinta itu.

Selama hidupnya ia hanya kenal Ibu dan Ayahnya, dan kini tiba-tiba saja kedua orang tua itu tinggalkan dia dalam cara yang demikian menyedihkan! Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan oleh orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan gerombolan kaki tangan Kaisar. Ternyata pada kira-kira tengah hari tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma Cianbu dan lima orang gagah, yakni Siauw-San Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-San. Mereka hendak menangkap Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi Kakek yang gagah perkasa itu melawan hebat. Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan ketika melihat betapa empek itu dikeroyok, lalu maju membantu.

Tapi mereka bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan orang roboh mandir darah. Kang Lam Ciuhiap dengan senjata suling mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang berhasil menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan beriktu. Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara dibawah pimpinan seorang tinggi besar yang brewokan dan mengaku bahwa Suma Cianbu, yakni kapten Suma. Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima orang Tosu atau Pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas. Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang Lam Ciuhiap. Kakek yang gagah itu dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar rumahnya.

"Ha, ha! Kang Lam Ciuhiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup hingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!" kata Kapten Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.

"Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hidup, Suma Cianbu. Tapi tentang membunuh itu masih merupakan teka-teki siapa tahu, barangkali akulah yang akan berhasil membunuhmu."

"Hm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!" menegur seorang diantara kelima Tosu itu.

"Tahukah kau akan dosa-dosamu?" Kang Lam Ciuhiap memandang ke arah Tosu itu dengan pandang mata menghina.

"Bukankah aku berhadapan dengan Siauw-San Ngo-Sinto yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat Kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat? Marahlah Tosu tertua mendengar sindiran ini.

"Bun Gwat Kong! Ajalmu telah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun gunung untuk menghajarmu?"

"Sudahlah, sudahlah" kalau negeri sedang kacau, memang selalu muncul tikus-tikus seperti kalian. Ternyata hanya namanya Siauw-San Ngo-Sinto besar, tapi orang-orangnya tak berjiwa bersih!" Kelima Tosu itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing. Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya. Kemudian mereka maju mengepung Kang Lam Ciuhiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan!

Maka terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang Lam Ciuhiap ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya. Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma Cianbu sendiri maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya. Dan kini Kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak dibawah seorang dari para Tosu-Tosu itu. Akan tetapi, Kang Lam Ciuhiap benar-benar meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka. Ia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Beberapa orang anggauta tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh dibawah totokan sulingnya.

Tapi musuh terlalu banyak dan Kalng-lam Ciuhiap telah mendapat beberapa luka dibadannya. Kemudian terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan Kakek itu yang mengenal jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke dalam rumah, di kejar oleh lawan-lawannya. Alangkah kaget Kakek itu ketika melihat betapa anaknya telah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah. Dalam marahnya Kang Lam Ciuhiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya itu robohlah sambil berteriak ngeri, tapi Kang Lam Ciuhiap masih belum puas. Ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan mendendang sehingga orang itu andaikata mempunyai sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan raganya!

Akan tetapi pada saat itu Suma Cianbu dan kelima Tosu yang lihai telah masuk rumah pula dan dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat kong, Kakek yang gagah perkasa itu! Sementara itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan tetapi mereka bukanlah lawan para anggauta tentara pemerintah asing yang telah terlatih dan sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi. Maka sebentar saja penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali! Setelah menjatuhkan malapetaka di kampung itu, rombongan Suma Cianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi.

Biarpun para para penyerbu telah pergi lama, orang-orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi. Biarpun para penyerbu telah pergi lama,orang-orang kampung masih belum juga berani keluar dari tempat persembunyian mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu datang! Mendengar betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok Ciu yang cerdik tahu mengapa empek gagah itu sengaja menyuruh Sin Wan pergi, karena kalau pemuda itu berada disitu, tentu takkan terluput dari kematian juga. Ketika orang-orang masih sibuk mengurus semua jenasah dan berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek ke kampung itu. Ia merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut sambil menangis dengan sedih. Orang gagah itu menggertak gigi dan membangunkan kedua anak itu.

"Suma Kan Hu, kau binantang kejam! Dan kalian Siauw-San Ngo-Sinto pertapa-pertapa busuk. Perbuatan kalian ini sungguh keterlaluan. Aku Kwie Cu Ek bersumpah hendak mengadu jiwa dengan kalian!" Hui-Houw Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan suaranya yang keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak tangis Sin Wan dan Giok Ciu hingga semua orang yang berada disitu tak dapat menahan turunnya air mata mereka. Untuk memudahkan pengurusannya, maka semua jenasah yang berjumlah tujuh belas orang itu dikumpulkan di satu rumah dan disitulah semua orang berkumpul dan bersembahyang. Pada keesokan harinya, dengan iringan ratap tangis mereka yang ditinggalkan, semua jenasah dikebumikan.

"Tia-tia, marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu dan menghajar mereka!" kata Giok Ciu kepada Ayahnya.

"Benar kata-kata Giok Ciu, Kwie Peh-peh. Aku harus mencari mereka dan membikin perhitungan!" kata Sin Wan penuh semangat. Tapi Kwie Cu Ek menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalian bicara mudah saja. Lawan-lawan ini bukanlah orang lemah. Kita bertiga belum tentu bisa menangkan mereka, apalagi mereka berada di tengah-tengah pahlawan-pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi. Sekarang belum waktunya membalas denam. Sin Wan, kau ikutlah denga kami ke tempat tinggalku dan disana kau harus berlatih silat lebih lanjut. Kalau kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung membalas sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok Ciu tentu akan menyertaimu. Akupun gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi segala hal lebih baik dilakukan dengan perhitungan masak-masak. Tahukah kau bahwa dengan menyuruh kau pergi hingga terbebas dari kematian adalah hal yang disengaja oleh Kakek dan Ibumu? Dan tahukah kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelas kau dapat membalas dendam ini! Dan kalau kau sekarang pergi membalas dendam lalu tidak berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan pengharapan dan maksud Ibu dan Kakekmu?" Sin Wan menundukkan kepala dan ia merasa betapa tepat dan benar sekali omongan orang tua itu. Maka ia mengalah dan hanya berkata,


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Terserah kepadamu, Kwie Peh-peh semenjak sekarang, tidak ada orang lain yang pantas saya taati selain kau orang tua!" Dengan ujung lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.

"Nah, begitulah seharusnya, Sin Wan. Nah bersiaplah dan sekarang juga kita pindah ketempatku." Dengan hati terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang kampung sambil bertangis-tangisan, dan ia hanya membawa pakaian dan barang seperlunya saja. Diam-diam ia mencari sepatu kecil yang dipesankan Ibunya itu dan ia memasukkan itu ke dalam buntalannya. Giok Ciu calon isterinya? Hanya kedukaan peristiwa hebat itulah yang membuat ia tidak perhatikan kenyataan ini dan membuatnya seakan-akan lupa akan hal itu. Tapi ini ada baiknya karena sikapnya terhadap Giok Ciu jadi tidak malu-malu lagi. Barang-barang lainnya ia berikan kepada orang-orang kampung. Kemudian, ketika mereka hendak berangkat, Sin Wan berkata keras kepada semua orang kampung yang mengantarnya,

"Saudara-saudaraku sekalian. Dengarlah aku janji dan sumpahku. Aku Bun Sin Wan, bersumpah bahwa kelak aku harus pergi mencari pembunuh-pembunuh yang menjatuhkan malapetaka kepada kita ini. Aku berjanji hendak membalaskan sakit hati kalian, maka kalian hendaknya suka menenteramkan hati dan jangan penasaran." Maka berangkatlah mereka dengan jalan cepat ke atas gunung tempat kediaman Kwie Cu Ek dan anaknya. Dan semenjak hari itu, Sin Wan dan Giok Ciu mempergiat pelajaran silat mereka dibawah pimpinan Kwie Cu Ek yang dalam kelihaian ilmu silat tidak kalah jika dibandingkan dengan Kang Lam Ciuhiap. Dan tak terasa lagi dua tahun telah lewat. Hubungan antara Giok Ciu dan Sin Wan akrab sekali, bagaikan seorang kakak dan adik. Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang pertunangan mereka karena jika hal ini disinggung,

Maka hanya mendatangkan rasa kikuk dan malu dalam hubungan mereka. Pada waktu itu, kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu sudahmendapat banyak kemajuan karena mendapat gemblengan dari Kwie Cu Ek, yang memiliki kepandaian berbeda dengan kepandaian Kakek Sin Wan. Dengan belajar kepada Kwie Cu Ek, maka Sin Wan telah mempelajari dua macam ilmu silat lihai hingga boleh dibilang ia menang setingkat jika dibanding dengan Giok Ciu. Tapi dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ia harus mengakui kalah setingkat oleh gadis yang bertubuh ringan itu, tapi sebaliknya Sin Wan lebih lihai dalam hal ilmu lweekang. Kwie Cu Ek maklum bahwa kedua anak muda itu telah memiliki ginkang dan lweekang yang luar biasa berkat buah-buah mujijat yang dulu mereka ketemukan dan makan secara kebetulan,

Maka ahli silat cabang Kun-Lun ini menggembleng mereka dengan penuh semangat dan tak kenal lelah. Tujuan satu-satunya dari orang tua ini ialah menurunkan seluruh kepandaian kepada Sin Wan dan Giok Ciu agar kedua anak mua itu dapat bersama-sama pergi dengan dia mencari musuh-musuhnya dan membalas dendam. Kini boleh dikata kepandaian Sin dan Giok Cu sudah hampir menyusul Kwie Cu Ek, dan usia Sin Wan juga sudah enam belas tahun dan termasuk dewasa. Pemuda itu bertubuh tinggi sedang, dadanya bidang dengan pinggang kecil. Wajahnya yang tampan nyata sekali membayangkan keagungan watak dan kehalusan budi, sedangkan lekuk di bawah bibirnya dan sinar mata yang tajam itu menunjukkan sifat ksatria dan gagah berani. Giok Ciu juga sudah menjadi dewasaa, usianya kurang lebih lima belas tahun. Gadis ini makin besar makin cantik dan manis.

Sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi merupakan bagian yang menarik sekali, sedangkan hidung dan mulu yang kecil dihiasi bibir yang berbentuk indah berwarna merah segar membuat orang takkan dapat bosan menatap wajahnya. Rambutnya yang gombyok dan hitam dikepang dua merupakan sepasang kuncir itu yang panjang dan hitam dan dua kucir itu bagaikan dua ekor ular melibat-libat dan bergantung di leher dan pundaknya. Pada suatu sore, seperti biasa Sin Wan berlatih silat dengan Giok Ciu di belakang rumah. Mereka sedang tekun melatih gerak tipu ilmu pedang yang di sebut Pek-hong-koan-lit atau bianglala Putih Menutup Matahari. Tipu ini memang sukar digerakkan dan keduanya baru saja menerima pelajaran ini dari Kwie Cu Ek. Mereka silih berganti gunakan pedang melatih gerakan ini hingga sempurna betul.

"Mari kita berlatih,kau ambilah pedangmu," ajak Sin Wan.

"Baik, kau tunggulah sebentar," jawab Giok Ciu yang lalu pergi ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil. Sin Wan memandang gadis itu dengan gembira. Ia makin tertarik kepada gadis yang lincah dan gembira ini dan diam-diam ia menaruh rasa asmara yang mesra. Alangkah bahagianya kalau ia ingat bahwa gadis jelita ini akan menjadi isterinya kelak!

Sering kali pada malam hari, di dalam biliknya ia keluarkan sepatu kecil tanda tali perjodohan dari Giok Ciu itu dan mempermainkannya sambil membelainya penuh rasa kasih sayang. Darah kedewasaannya membuat ia sering merindukan gadis calon isterinya itu, tapi pada waktu mereka bertemu muka dan bercakap-cakap, dengan kekerasan hati luar biasa Sin Wan dapat menekan perasaannya dan sedikitpun tidak memperlihatkan sikap yang dapat menyinggung perasaan gadis itu. Sebaliknya Giok Ciu selalu bergembira dan dengan sikapnya yang jenaka membuat hubungan mereka tidak kaku. Gadis itu seakan-akan tidak perdulikan atau sudah lupa akan peralian jodoh yang mengikat mereka, tapi Sin Wan sedikitpun tidak menduga betapa pada malam hari, terutama di kala sinar bulan menyerbu masuk kamarnya melalui jendela,

Gadis itu sering melamun sambil memandang bulan dan tangannya memegang sebatang suling yang telah menjadi licin mengkilap karena sering digosok-gosok dan dibelai-belai! Ketika Giok Ciu masuk ke dalam kebun itu kembali sambil membawa sebaang pedang tajam, Sin Wan telah sadar dari lamunannya dan keduanya lalu berlatih silat pedang. Kedua pedang mereka saling sambar demikian cepatnya hingga sebentar saja tubuh mereka lenyap tertutup sinar pedang. Sungguh permainan mereka selain luar biasa, juga indah dipandang. Gerakan mereka gesit dan cepat, namun di dalam latihan ini walaupun tampaknya pedang mereka saling sambar seakan-akan mengancam jiwa, sesungguhnya mereka berlaku sangat hati-hati, dan menjaga jangan sampai mereka berlaku salah tangan!

"Bagus!" terdengar seruan orang memuji. Keduanya berhenti dan memberi hormat kepada Kwie Cu Ek yang memandang dengan girang. Sebetulnya, pujian orang tua ini tadi bukan ditujukan kepada permainan pedang mereka tapi pujian itu dikeluarkan rasa rasa girangnya melihat betapa di dalam latihan pedang itu tanpa disengaja keduanya memperlihatkan suara hati yang saling mencinta dan menyayangi! Inilah yang membuat Kwie Cu Ek merasa girang dan berseru "Bagus" tadi.

"Sin Wan, telah tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung dan mencari musuhmu," kata Kwie Cu Ek dengan suara halus. Sin Wan terkejut dan girang sekali. Ia buru-buru berlutut dan berkata,

"Kwie Peh-peh, terima kasih atas keterangan ini. Saat ini telah lama teecu tunggu-tunggu!" Karena kebiasaan, maka Sin Wan tetap menyebut "Peh-peh" atau Uwak kepada Kwie Cu Ek, sedangkan untuk diri sendiri ia menyebut teecu atau murid karena ia merasa menjadi murid orang she Kwie ini! Seharusnya ia menyebut Gakhu atau "Mertua", tapi ia merasa malu sekali untuk menyebut Ayah mertua, dan bersikap pura-pura belum tahu akan perjodohan itu. Kwie Cu Ek menghela napas.

"Aku maklum akan ketidaksabaranmu, Sin Wan, tapi segala hal harus dilakukan dengan pertimbangan masak-masak. Apa lagi dalam hal pembalasan sakit hati ini. Karena musuh-musuhmu bukanlah lawan ringan dan mudah dikalahkan. Bahkan sekarang uga aku masih selalu meragukan apakah kita akan sanggup membalas dendam keluargamu."

"Ayah, aku tentu ikut, bukan? Serahkan saja musuh-musuh kak Sin Wan, kepadaku, akan kubasmi seorang demi seorang." kata Giok Ciu dengan mata berseri. Kali ini Kwie Cu Ek tak dapat menerima kegembiraan puterinya. Ia menghela napas dan berkata,

"Kalian anak-anak muda memang sudah sepantasnya berhati tabah dan bersemangat besar, tapi hendaknya jangan kau pandang rendah musuh-musuh yang akan kita hadapi. Kalau kiranya aku tidak merasa telah menjadi makin tua dan berkurang tenaga hingga takut kalau-kalau takkan sempat membantumu lagi, barangkali sekarang aku belum mengijinkan kau pergi menemui musuh-musuhmu."

"Kwie Peh-peh, sebenarnya urusan balas dendam ini hanya tanggung jawab teecu seorang. Harap saja Peh-peh dan adik Giok Ciu tidak ikut mencapaikan hati dan membahayakan keselamatan diri. Biarlah teecu sendiri yang pergi melakukan pembalasan. Teecu akan merasa sangat berdosa bila sampai terjadi apa-apa atas diri Peh-peh atau Giok Ciu""

"Sin Wan! Omongan apakah yang kau ucapkan ini?" tiba-tiba Kwie Cu Ek membentak marah sambil melototkan matanya yang bundar besar, tapi ia dapat menekan perasaannya dan berkata lagi perlahan, "Aku mengerti maksudmu yang baik, Sin Wan. Tapi ketahuilah, biarpun tidak untuk membelamu, aku Kwie Cu Ek bukanlah orang yang dapat melihat terjadinya perkara penasaran ini dengan berpeluk tangan saja. Aku telah bersumpah di dalam hati untuk mengadu jiwa dengan binatang-binatang she Suma dan kelima bangsat dari Siauw-San. Mereka ini memang lihai, tapi kurasa kita akan dapat menghadapi mereka." Sin Wan lalu menghaturkan terima kasih dan menyatakan maaf telah menyinggung kehormatan dan kegagahan orang itu yang sebenarnya bukan menjadi maksudnya.

"Cuma saja," demikian ia melanjutkan. "Bukan maksud teecu untuk merendahkan adik Giok Ciu, tapi kalau bisa lebih baik adik Giok Ciu jangan ikut melakukan perjalanan dan tugas yang sangat berbahaya ini." Giok Ciu yang tadinya duduk di atas pot kembang kosong tiba-tiba meloncat berdiri dan sepasang ali matanya bergerak-gerak dan mulutnya ditajamkan sambil menatap wajah Sin Wan.

"Apa?" serunya marah. "Enak saja kau mau meninggalkan orang! Apa kau kira aku takut menghadapi bahaya? Apakah kau merasa takut ketika dulu kita bersama memasuki gua ular itu? Kak Sin Wan, jangan kau bicara seperti itu, aku akan marah kepadamu!" Kwie Cu Ek tersenyum melihat lagak anaknya.

"Sin Wan, Giok Ciu harus turut, karena betapapun juga ia merupakan tenaga pembantu yang boleh diandalkan. Kurasa, binatang she Suma dan kelima Tosu siluman dari Siauw-San itu takkan sanggup mengalahkan kita bertiga. Asal saja disana tidak terdapat orang-orang kuat lain, pasti mereka itu akan roboh di tangan kita dan sakit hatimu terbalas."

"Nah, apa kataku?" Giok Ciu berkata riang, lalu bertanya, "Kapan kita berangkat Ayah?" Sin Wan dan Kwie Cu Ek kagum juga melihat ketabahan hati Giok Cu karena sikap gadis kecil itu seakan-akan bukan hendak menjumpai musuh-musuh kuat, tapi bagaikan hendak pergi pelesir dan bertamasya saja!

"Bersiaplah, anak-anak. Besok pagi-pagi kita berangkat." Malam hari itu Sin Wan tidak dapat tidur. Ia meramkan mata dan membayangkan kembali peristiwa pembunuhan besar-besaran di kampungnya dulu. Terbayanglah Ibu dan Kakeknya yang mandi darah, dan bayangan ini membuat ia menggeretakkan gigi dan ingin sekali segera berhadapan dengan musuh-musuhnya untuk menuntut balas! Kemudian ia teringat akan Giok Ciu dan Ayahnya. Alangkah baik mereka itu hingga semenjak pertemuan pertama telah melepas budi yang besar sekali. Ia bersumpah di dalam hati bahwa ia tentu hendak membahagiakan hidup Giok Ciu, gadis yang ia cinta dan yang telah melepas budi besar kepadanya dan bahkan besok pagi hari bersikukuh hendak ikut ia membalas dendam kepada musuh-musuhnya, dan gadis itu rela ikut menempuh bahaya!

Mengingat ini semua, tak terasa pula kedua mata pemuda itu basah dengan air mata ang terdorong oleh rasa terharu, duka, dan girang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali tampak Kwie Cu Ek, Sin Wan dan Giok Ciu turun gunung dengan mempergunakan ilmu lari cepat. Kwie Cu Ek memakai pakaian serba biru sedangkan SinWan yang masih berkabung, berpakaian serba putih, bahkan pengikat rambutnya juga putih. Hanya sepatunya saja berwarna hitam, Giok Ciu mengenakan baju berwarna merah muda dan celana biru,pengikat rambut dan ikat pinggangnya dari sutera warna kuning emas yang berkibar-kibar di belakangnya ketika ia lari cepat. Sepatunya warna hijau dan potongan pakaiannya serba singset dan ringkas, hingga ia tampak cantik dan gagah.

Pada pinggang sebelah kiri ketiga orang itu tampak pedang tergantung yang menambah kegarangan dan kegagahan mereka. Kwie Cu Ek si Harimau Terbang mengajak kedua anak muda itu menujuke kota Wie-Kwan, karena mendengar dari hasil penyelidikannya bahwa Suma Cianbu kini telah dipindahkan ke sana dan memimpin pasukan penjaga keamanan di kota. Pada waktu itu, para durna yang berkali-kali mengalami serangan tiba-tiba dan secara menggelap dari para pendekar gagah dan yang menewaskan banyak juga pembesar-pembesar korup, telah berlaku hati-hati. Tiap kota yang dicurigai lalu dijaga keras dan siapa saja yang dicurigai lalu ditangkap hingga banyaklah sudah orang-orang tak berdosa terhukum mati karena penangkapan yang dilakukan membabi buta itu. Tapi sayang, tidak semua orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi melakukan perbuatan membasmi kejahatan ini.

Sebagian besar dari orang-orang ahli persilatan bahkan kena terbeli oleh para durna hingga mereka iu suka menghambakan diri. Oleh karena inilah, maka usaha para pendekar gagah selalu mengalami kegagalan, bahkan orang-orang kang-ouw saling serang dan saling gempur serta tumbuhlah banyak sekali aliran. Untuk ini pulalah maka Suma Cianbu yang terkenal gagah dan pandai mengatur barisan keamanan, diutus mengamankan daerah Wie-Kwan yang pada akhir-akhir ini sering dikunjungi orang orang gagah. Kwie Cu Ek dan kedua muridnya tak pernah berhenti, kecuali untuk mekan dan bermalam. Mereka sengaja mencari jalan-jalan yang sunyi agar dapat leluasa menggunakan ilmu lari cepat. Demikianlah, pada hari keempatnya, mereka bertiga akhirnya sampai juga di kota Wie-Kwan.


JILID 04





Dan kedatangan mereka kebetulan sekali tepat pada waktu Suma Cianbu sedang menjamu beberapa orang gagah, termasuk Siauw-San Ngo-Sinto. Dengan demikian, maka lengkaplah orang-orang yang dicari oleh Sin Wan. Ia selalu menganggap bahwa pembunuh Kakek dan Ibunya adalah Sum-Cianbu dan kelima Tosu itu, maka alangkah girangnya mendengar bahwa keenam musuhnya berkumpul di tempat itu. Tapi kabar ini tidak menggirangkan hati Kwie Cu Ek, bahkan ia mengerutkan kening ketika diketahui bahwa selain Lima Golok Sakti dari Siauw-San itu, ada pula orang-orang gagah dari utara, diantaranya Phang Bu yang terkenal dengan ilmu tombaknya yang menggemparkan! Maka ia berpesan kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang nampaknya gembira seakan-akan hendak pergi bertemu dan kawan-kawan lama yang telah lama dirindukan!

"SinWan, dan kau juga Giok Ciu. Kalian tahu bahwa aku bukan seorang penakut, tapi kali ini kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata di kota ini berkumpul orang-orang kuat yang tak mudah dilawan. Kebetulan sekali, tadi telah kuselidiki dan pada malam ini Suma Cianbu hendak menjamu para tamunya di gedungnya. Karena malam ini gelap, maka baik sekali bagi kita untuk menyelidiki keadaan mereka. Tapi ingat, jangalah turun tangan dulu sebelum aku tahu jelas keadaan mereka. Aku ingin tahu, siapakah orang-orang yang berada disana agar aku dapat mengukur tenaga kita." Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk tapi di dalam hati mereka, terutama Sin Wan tidak setuju melihat sikap hati-hati yang agaknya berlebihan ini.

Mereka bertiga dan dengan tenaga mereka bertiga, apalagi yang ditakuti? Demikian Sin Wan dan Giok Ciu berpikir bagaikan dua ekor anak burung baru belajar terbang dan tidak takut akan apa saja yang dihadapinya! Malam hari itu, digedung Suma Cianbu ramai sekali. Di ruang belakang duduk Suma Cianbu yang memakai pakaian kapten hingga tampak gagah sekali. Pakaian perangnya bersisik dan warnanya putih bagaikan perak, disana-sini terhias ronce-ronce merah. Pedangnya tergantung di pinggang dan ia tampak girang dan gembira. Topi pangkatnya di lepas dan ditaruh diatas meja yang penuh arak dan masakan. Meja yang bundar dan lebar itu dikelilingi kira-kira dua belas orang yang kesemuanya tampak gagah dan garang. Di antara mereka itu terdapat pula lima orang Tosu, yakni Siauw-San Ngo-Sinto.

Tapi yang paling menarik perhatian Kwie Cu Ek adalah hadirnya seorang Pendeta yang berjubah merah. Pendeta itu memelihara rambut yang digelungnya keatas dan diikat dengan gelas emas, sedangkan serenteng tasbeh gading tergantung di lehernya. Orangnya tinggi besar dan matanya bulat menakutkan. Kwie Cu Ek terkejut dan heran sekali, karena melihat pakaian dan potongan orang, ia dapat menduga bahwa Pendeta ini adalah seorang tokoh kenamaan di kalangan kang-ouw, termasuk seorang cianpwe yang memiliki kepandaian dari tingkat teratas! Mengapa Pendeta ini juga hadir di tempat para anjing Kaisar berkumpul? Apakah Pendeta inipun sudah terbujuk? Kwie Cu Ek dan kedua muridnya dengan hati-hati sekali mengintai dari atas wuwungan rumah dan mendekam di tempat gelap. Biarpun agak jauh dari tempat duduk orang-orang yang diintainya, mereka dapat melihat jelas.

"Lihatlah baik-baik, Sin Wan dan Giok Ciu", bisiknya. "Itu yang berpakaian baju perang adalah Kapten Suma, nama lengkapnya adalah Suma Kan Hu! Ia adalah ahli main sepasang pedang yang disebut Hong-Twi Siang-Kiam. Kepandaiannya cukup lihai. Dan lihatlah lima orang Tosu yang berpakaian kuning itu. Merekalah yang disebut Siauw-San Ngo-Sinto. Lima Golok Sakti dari Siauw-San. Kalau maju satu-satu, mereka tidak berbahaya, tapi bila kelimanya maju, mereka merupakan Ngo-Heng-Tin atau Barisan Ngo-Heng yang kuat karena permaianan golok mereka yang disebut Ngo-Heng To-Hwat." Kedua muridnya mendengar penuh perhatian.

"Yang lain-lain tak perlu dibicarakan, hanya perapa jubah mereha itu harus diperhatikan. Ia"" Tapi pada saat itu Sin Wan sudah tak sanggup menahan kesabarannya lagi. Melihat betapa musuh-musuhnya dan pembunuh-pembunuh Ibu dan Kakeknya berada disitu, hatinya telah terbakar hebat. Dengan melupakan segala, pemuda itu mencabut pedangnya dan meloncat ke bawah sambil berseru,

"Pembunuh-pembunuh kejam dan rendah, terimalah pembalasanku!" Terkejutlah semua orang ketika tiba-tiba dari atas wuwungan melayang turun seorang pemuda dengan pedang di tangan. Suma Cianbu melihat bahwa yang turun hanya seorang pemuda yang masih hijau dan seorang diri pula, segera memandang rendah dan membentak,

"Bangsat kecil berani mati! Siapa kau dan apa maksudmu mengacau disini?" Kapten ini dengan wajah keren meloncat menyambut dengan sepasang pedang melintang.
Sin Wan memandang musuh-musuhnya dengan mata bernyala.

"Orang she Suma! Jangan kau menjual lagak lagi, malam ini nyawamu akan kukirim ke alam baka untuk menghadap almarhum Kang Lam Ciuhiap!" Sehabis berkata demikian, Sin Wan maju menubruk dengan pedangnya dan mengirim serangan kilat. Mendengar kata-kata anak muda itu, Suma Cianbu terkejut dan ia segera menangkis dengan kedua pedangnya membuat gerakan memotong dari kanan kiri dengan maksud merampas senjata lawan dalam sekali gebrakan. Tapi alangkah terkejutnya ketika bahwa anak muda itu selain bertenaga besar, juga gerakan pedangnya istimewa karena begitu pedangnya terjepit, ia telah membikin pedang itu menyusup ke bawah dan tahu-tahu menusuk perut Suma Cianbu! Kapten ini cepat meloncat mundur dan membentak untuk menghilangkan rasa kagetnya,

"Eh, binatang kecil! Kau pernah apakah dengan orang she Bun yang telah mampus itu?"

"Kapten pengecut! Lihat mukamu telah memucat. Kau mau tahu aku siapa? Dengarlah, aku Bun Sin Wan malam ini datang membalaskan sakit hati Ibu dan Kakekku yang telah kau bunuh secara kejam! Bersedialah untuk mampus!" Sebagai penutup kata-katanya ini, kembali Sin Wan meloncat maju dan menyerang dengan pedangnya.

"Saudara-saudara, lihatlah! Ini adalah putera pemberontak dan cucu penjahat besar bernama Bun Gwat Kong yang telah kita bunuh. Penjahat kecil ini agaknya tidak lebih baik daripada Ayah dan Kakeknya. Mari kita tangkap dia." Sin Wan menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba dari samping pedang itu tertangkis oleh golok yang digerakkan secara istimewa dan lihai. Ternyata kelima Tosu yang dulu ikut menjadi pembunuh Kang Lam Ciuhiap, ketika mendengar bahwa Sin Wan datang menuntut balas, segera maju mengeroyok untuk cepat merobohkan musuh ini. Tapi Sin Wan memutar-mutar pedangnya dengan gerakan hebat sekali sehingga sebentar saja ia berhasil mendesak Suma Cianbu. Meliha kegagahan pemuda itu, kelima Tosu serempak maju mengepung dengan menggunakan barisan Ngo-Heng mereka yang lihai. Tapi pada saat itu, dari udara terdengar bentakan merdu,

"Koko Sin Wan, jangan takut aku datang membantu!." Dan seorang gadis cantik dan gagah memutar-mutar pedangnya sambil meloncat turun dan menerjang para pengeroyok itu. Gerakannya demikian licah dan cepat hingga untuk sesaat para pengeroyok itu kena terdesak mundur. Melihat bahwa Giok Ciu sudah terjun ke dalam medan pertempuran. Sin Wan makin besar hati dan ia mengamuk bagaikan seekor naga muda. Ilmu pedang sepasang anak muda ini memang bukan sembarang ilmu, hingga gerakan-gerakannya memang hebat.

Apalagi Sin Wan dan Giok Ciu memiliki tenaga lweekang dan ginkang yang mengagumkan, maka tidak heran bahwa mereka dapat mendesak Suma Han dan kelima Tosu yang mengeroyok mereka. Melihat betapa enam orang itu tak dapat mengalahkan dara dan aruna itu, semua tamu segera mencabut senjata masing-masing dan maju mengepung, kecuali si pertapa jubah mereah yang masih duduk minum arak sambil mementang lebar sepasang matanya. Agaknya ia tertarik sekali melihat permainan pedang Sin Wan dan Giok Ciu. Kini dikeroyok belasan orang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa sibuk juga. Pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kepandaian tinggi, ditambah dengan tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, kedua anak muda itu terdesak mundur.

"Ha, ha, anak-anak kecil yang masih bau pupuk, kalian hendak lari kemana?" Sum Cianbu tertawa menyindir. Tapi pada saat itu dari atas menyambar turun seorang tua dengan pedang di tangan sambil membentak keras,

"Anjing-anjing penjilat jangan jual lagak!" Pedangnya lalu diputar cepat dan segerakan saja seorang pengeroyok kena dirobohkan! Suma Cianbu mundur dengan kaget karena ilmu silat orang tua ini lihai sekali. Melihat kedatangan Kwie Cu Ek si Harimau Terbang, pertapa berjubah merah yang semenjak tadi duduk saja, lalu berdiri dan sekali gebrakan tubuh, maka ia telah melayang memapaki Kwie Cu Ek,

"Tidak tahunya Hui-Houw Kwie Cu Ek yang mempeloporinya, pantas saja, anak-anak itu demikian lihai," katanya dengan tersenyum menyindir. Kwie Cu Ek menjura.

"Bukankah siauwte berhadapan dengan Cin Cin Hoatsu dari Tibet?" tegurnya hormat.

"Ha, ha, kau juga bermata awas dan dapat mengenal Pinto. Aku pernah kenal dengan gurumu dan dari gerakanmu tadi tahulah aku bahwa kau tentu si Harimau Terbang. Bukankah kau memiliki kepandaian ilmu silat Rajawali Sakti? Hayo keluarkanlah, Pinto ingin melihatnya!"

"Lo-Cianpwe apakah sengaja menggabung kepada mereka yang tersesat ini?" tanya Kwie Cu Ek.

"Bukan urusanmu untuk mengetahui hal ini. Kalau aku menggabung, kau mau apa?" tantang Cin Cin Hoatsu, bekas Pendeta Lama itu.

"Kalau begitu percuma saja kau mengenakan jubah Pendeta!" kata Kwie Cu Ek dengan berani.

"Ah,orang tak tahu diri! Kematian sudah didepan mata masih berani membuka mulut besar." Dengan memandang rendah sekali Cin Cin Hoatsu maju dan mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah Kwie Cu Ek yang terpaksa berkelit mundur dengan cepat karena dari ujung baju itu menyambar keluar angin pukulan yang berbahaya.
(Lanjut ke Jilid 04)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 04
"Ha, ha, ha, tak berapa hebat kepandaianmu!" Cin Cin Hoatsu menyindir dan terus maju menyerang. Kwie Cu Ek terpaksa melayani dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia mengeluarkan pula Sin-Tiauw Kiam-Sut yakni ilmu pedang Rajawali Sakti, sambil menyerang ia bersuit nyaring bagaikan seekor burung rajawali.

Tapi kini ia berhadapan dengan seorang tokoh besar dari Tibet yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, juga memiliki macam-macam ilmu gaib dan ilmu sihir. Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan. Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa. Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak keras,

"Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!" Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke atas genteng! Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah,

Tak terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu! Kwie Cu Ek terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu! Inilah gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-Tiauw Kiam-Sut yang hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung lengan bajunya.

"Sret!" Putuslah ujung lenngan baju itu, tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya. Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi. Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.

"Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!" Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya. Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata,

"Jiwi Enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka." Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna dan kaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.

"Moi-moi, hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati."

"Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama Ayah!"

"Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita." Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas dari pegangan Sin Wan.

"Kau" kau... takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan Ayah yang mengorbankan jiwanya untukmu??" Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar.

"Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud Ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali. Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya lain."

"Tapi aah""

"Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!" Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.

"Lie Enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan mereka. Soal jenasah Ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya. Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para Ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah Kwie Cu Ek.

Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke Kam-Hong-San kembali. Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggil-manggil nama Ayahnya. Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya. Alangkah besarnya sakit hati ini. Kematian Ibu dan Kakeknya belum juga terbalas, kini ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.

"Moi-moi, sudahlah jangan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini." Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya.

"Aku" Aku kini... sebatang kara..." Karena terharu, Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur.

"Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena... Ada engkau, Giok Ciu. Bukankah kita masih bersama-sama...?"

Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang yang dipeluknya. Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru tundukkan muka dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat jauh sambil berkata,

"Hayo kita melanjutkan perjalanan kita." Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-Hong-San.

Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersembahyang di depan makam Ibu dan Kakeknya. Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk berusaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula. Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan dan Giok Ciu bermalam disitu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula Ayah Giok Ciu. Orang-orang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir.

Gadis ini selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah makam Ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia menari dan kembali ke kota Wie-Kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Suma-Cianbu yang telah mengenalnya. Karena itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah pelajari tapi belum dilatih masak-masak,

Bahkan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baik-baik dan perlu latihan yang lama dan rajin. Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan. Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang. Mereka menahan tindakan kaki mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu, Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto! Mereka itu mengejar sambil berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena Pendeta Tibet ini larinya cepat sekali.

"Celaka, moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari cepat." Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya. Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.

"Mari kita masuk saja!" Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu! Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir. Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang Kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata. Kakek tua itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang terurai ke belakang punggungnya yang telanjang.

Tubuh bagian bawah tertutup celana pendek yang lebar dan Kakek itu bersila dengan cara yang aneh. Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak menempel tanah sedikitpun. Tangan Kakek itu diletakkan di atas pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya. Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan Kakek itu sambil berkata,

"Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada Lo-Cianpwe." Tapi Kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena Kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati. Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh Kakek ini? Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu,

"He, pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan Pinto takkan membunuhmu!" Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya ditemukan oleh pengejar-pengejar mereka, tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan Kakek itu. Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Suma-Cianbu.

"Binatang-binatang yang berada di dalam sumur. Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!" Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan. Tetapi tiba-tiba Kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya. Sin Wan dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih menahan tubuhnya, lalau terdengar ia berkata perlahan,

"Kalian sudah lama datang? Sukur, memang aku telah menantimu." Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.

"Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan," kata Kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas. Sin Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepat menggeser tubuh mereka minggir karena dari tangan Kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputar-putar naik ke atas sumur!

Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-Cianbu terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak kesakitan. Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat. Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!

Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga lweekangnya iu untuk memukul ke bawah. Tetapi hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali. Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar biasa. Melihat tiba-tiba Pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-Cianbu bertanya,

"Ada apakah, Lo-Suhu?" Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata,

"Mari kita tinggalkan tempat ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!" Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis, Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas itu sehingga merasa kagum atas kesaktian Kakek aneh ini. Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan Kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk kepala. Tiba-tiba Kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau,

"Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?" Sin Wan menjawab,

"Betul Lo-Cianpwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu."

"Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut."

"Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, Lo-Cianpwe. Kepandaian teecu masih terlampau rendah. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe yang mulia," kata Sin Wan.

"Jika Lo-Cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid." Kata Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa Kakek ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu!

"Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu." Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas, Kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan mereka.

"Kalian berdirilah!" Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh Kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak kurus kering. Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dari sepasang mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.

"Mari kita masuk," kata Kakek itu.

Berbeda dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu batu kepala naga itu dengan memutar-mutar kedua matanya, kini Kakek itu hanya menepuk sekali pada dinding itu. Tenaga tepukan itu biarpun hanya perlahan saja namun telah membuat dinding itu tergetar sehingga batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak dan pintu yang merupakan mulut naga itu terbukalah! Ketika kedua orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua rangka ular yang besar itu tidak ada disitu pula, sebaliknya di pinggir dinding terdapat batu-batu yang bentuknya bundar dan licin. Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar tapi yang paling kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya dengan enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula tusukan-tusukan batu yang kasar dan runcing.

"Nah, sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!" Sin dan Giok Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut sambil menyebut,

"Suhu...!"

"Hai, tidak semudah ini! Berdirilah!" Dan kedua anak muda itu merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar tinggi, maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun dengan hati-hati dan berdiri memandang Kakek itu dengan terheran. Mereka lebih heran dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan melempar Kakek tadi telah memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil pedang mereka yang tergantung di punggung. Kini Kakek itu memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya dengan mulut mengejek dan berkata,

"Pedang buruk, pedang buruk." Sebelum mengerti harus berbuat apa, Kakek itu berkata kepada mereka.

"Ulur tangan kananmu!" Sin Wan dan Giok Ciu mengulurkan tangan kanan dengan patuh. Tiba-tiba Kakek yang luar biasa itu lalu menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat sekali, tetapi mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan penuh kepada calon guru mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata tak berkedip! Ujung pedang itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan kencang, ternyata hanya menusuk kulit tangan kedua anak muda itu sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung kedua pedang tampak tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu. Juga di tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan sedikit darah. Jadi Kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah mereka diujung pedang masing-masing.

"Nah, sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang, kalian harus bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian yang kuajarkan untuk kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!" Sehabis berkata demikian, Kakek itu menyodorkan kedua pedang kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang menerimanya dengan hormat. Kemudian, kedua anak muda itu sambil memegang pedang dengan kedua tangan dan ujung pedang mengacung ke atas, berlutut dan bersumpah. Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti oleh Giok Ciu.

"Kami berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima menjadi murid dan kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan kepandaian yang kami terima, untuk berbuat jahat kami akan binasa di ujung pedang yang tajam!" Suara Sin Wan keras dan nyaring sehingga gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua yang lebar itu. Kakek itu tertawa girang,

"Nah kau boleh ke sini sekarang, murid-muridku." Ketika Sin Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, Kakek itu berkata,

"Kalian duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di sebelah kiri. Batu bundar hitam itulah tempat duduk kalian." Sin Wan dan Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan mereka.

"Nah, sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin, si Kakek Tak Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu diketahui, katakan saja bahwa aku datang dari tiada dan akan kembali kepada tiada pula jika sudah waktuku. Aku bukan ahli dari sesuatu cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai semacam permaianan pedang yang kusebut Sin-Liong Kiam-Sut, yakni ilmu Pedang Naga Sakti. Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin Wan, coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di bawahnya ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari." Sin Wan melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah kiri terdapat batu putih yang beratnya ratusan kati. Sin Wan mengerahkan tenaganya dan menggulingkan batu itu. Benar saja, di bawah batu terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu yang panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada Suhunya, lalu dengan hormat ia meletakkan peti di depan Suhunya.

"Kau, Giok Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung kanan itu." Bu Beng Lojin menyuruh murid perempuannya. Giok Ciu juga melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan oleh Sin Wan. Kini dua buah peti itu telah berada di depan Bu Beng Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu dan mengeluarkan dua macam pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang yang diambil oleh Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih berkilauan dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan perak dan gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.

"Inilah pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam, Pedang Pusaka Naga Putih. Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan." Anak muda itu menerima pemberian Suhunya dengan khidmat dan girang sekali. Ia cepat berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan terima kasih, lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya yang berukiran naga putih indah sekali. Bu Beng Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam kamar itu tampak cahaya kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan, juga dari pedang ini memancar hawa yang panas dan aneh. Pedang ini berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan gagangnya berukiran kepala naga bersisik hitam.

"Inilah pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw Liong Pokiam. Pedang Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu, Giok Ciu." Gadis itupun menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat dan menghaturkan terima kasih pula. Sin Wan teringat akan dongeng Kakeknya dulu tentang dua ekor naga yang menjelma menjadi sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu? Ia ingin sekali bertanya kepada Suhunya, tetapi tidak berani, karena bukankah Kakeknya dulu bilang bahwa itu hanya dongeng belaka. Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka katanya dengan sabar,

"Sin Wan, kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak perlu ragu-ragu karena sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk menjawabnya."

"Suhu, dulu teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang dongeng sepasang naga putih dan hitam. Apakah dongeng itu" ada hubungannya dengan kedua pedang ini?" Bu Beng Lojin tersenyum.

"Engkongmu adalah Kang-Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, bukan? Ia orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal dongeng muridku, boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku tidak berhak memecahkan. Nah, sekarang mari kita bicarakan hal yang penting. Kalian telah mendapat didikan silat dari orang-orang pandai sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga kalian telah makan buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi jangan kau kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan memberi pelajaran silat pedang yang disebut Sin-Liong Kiam-Sut. Tetapi karena pedang yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu pedang ini akan kupecah menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Untuk Sin Wan akan kuberi ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw Liong Kiam-Sut. Tapi terlebih dulu kalian harus mengetahui dan hafal benar rahasia-rahasia dari Sin-Liong Kiam-Sut." Kemudian Bu Beng Lojin lalu memberi pelajaran-pelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti yang hebat itu. Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dana berotak cerdas,

Kedua anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaran-pelajaran pertama yang diajarkan oleh Suhu mereka. Tetapi ketika mereka mulai dengan pelajaran praktek, terasalah kesukarannya. Gerakan Sin-Liong Kiam-Sut benar-benar ganjil dan sukar, setiap gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang takkan terduga oleh lawan. Juga setiap gerakan pedang dari ilmu ini selalu dirangkai dengan keterangan-keterangan bahwa gerakan ini ialah untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang lain. Oleh karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-Liong Kiam sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam tipu serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Bu-Tong-Pai, dan Siauw-Lim-Pai!

Untung sekali bahwa sebelum mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut yang hebat ini, mereka telah mendapat latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu silat dari lain cabang sudah mereka sudah banyak mengerti. Tidak saja setiap gerakan dari Sin-Liong Kiam-Sut mempunyai rangkain yang panjang bagaikan mata rantai dengan cabang lain, juga untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal yang mudah. Pedang itu mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus, sehingga untuk menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga yang sempurna pula, untuk tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan tenaga yang sesuai, tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Maka tidak heran bahwa untuk mempelajari satu dua macam gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru dapat dilakukan dengan baik!

Cara yang aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar murid-muridnya ialah ia jarang sekali menyaksikan murid-muridnya belajar. Jika Sin Wan dan Giok Ciu menggerak-gerakkan pedang dan melatih gerakan-gerakan baru yang sedang dipejari, Kakek tua itu duduk bersemedhi dengan sikapnya yang aneh itu dan meramkan matanya. Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu membuat gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, Kakek itu tanpa membuka matanya lalu menegur! Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu keluar dari gua naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri. Untuk makan mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung yang lewat di atas gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan pelajaran yang baik bagi mereka.

Jika ada burung yang terbang, atu ada binatang lewat di atas sumur, biarpun tidak tampak dari bawah, namun gerakan binatang yang meloncati sumur dapat tertangkap oleh telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan batu, binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan menjadi mangsa mereka! Sungguh suatu cara mencari makan yang aneh sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat yang membaja, Sin Wan dan terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri hidup seperti itu. Tetapi mereka heran sekali melihat Suhu mereka, karena orang tua yang aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk dimakan begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang didapat dari balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu jatuh.

Memang, ditempat kedua anak muda itu dulu terjatuh, terdapat lereng yang sangat curam menurun dan tak terkira dalamnya, dan di atas lereng tumbuhlah banyak pohon yang menghasilkan buah-buah. Hanya saja untuk mengambil buah-buah itu bukanlah pekerjaan mudah, karena lereng yang curam itu tak mungkin dituruni begitu saja tanpa bahaya tergelincir mengancam jiwa, dan sekali tergelincir, jangan harap akan tinggal hidup. Lereng itu tidak tampak dasarnya karena dalam dan panjangnya! Tapi Sin Wan dan Giok Ciu cerdik dan tabah. Dari rumput alang-alang yang panjang dan kuat, Giok Ciu berhasil membuat pintalan tambang yang panjang lagi kuat. Kemudian Sin Wan menggunakan tambang yang dipegang Giok Ciu dari atas, untuk menuruni tebing itu dan memetik buah-buah mana saja yang disukainya. Dengan cara inilah maka mereka dapat makan buah-buah segar dan lezat setiap hari.

Demikianlah, dengan sangat tekun dan tak kenal lelah di bawah gemblengan Kakek yang luar biasa itu, Sin Wan dan Giok Ciu melatih diri dan mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut. Setelah mempelajari ilmu pedang gaib ini selama dua tahun lebih, barulah mereka pahami seluruhnya! Kemudian datanglah giliran mempelajari ilmu lweekang yang tinggi dan untuk mempelajari ini, mereka harus tekun bersemedhi dan mempelajari peraturan napas yang berat sekali. Cara-cara semedhi dan menahan napas seperti yang pernah mereka pelajari di bawah pimpinan Kwie Cu Ek dulu sangatlah ringan dan mudah jika dibandingkan cara-cara yang diberikan oleh Suhu mereka ini. Ada kalanya mereka diharuskan bersemedhi dengan jungkir balik yakni kepala di atas lantai dan kaki di atas dan mereka harus mempertahankan tubuh dalam keadaan ini sampai setengah hari!

Ada kalanya mereka harus menahan tubuh dengan sebelah tangan di atas tanah dan menggunakan tangan ini mengganjal tubuh sampai setengah hari lamanya. Dan banyak lagi macam cara bersemedhi yang aneh-aneh juga mereka diajar menahan jalan pernapasan mereka sedemikian rupa sehingga napas yang tersedot itu dapat dijalarkan ke bagian tubuh yang mereka kehendaki sehingga di bagian itu tampak hawa itu bergerak-gerak di bawah kulit seakan-akan ada seekor tikus yang bergerak-gerak dan berjalan di dalam tubuh mereka. Latihan-latihan ini mendatangkan kemajuan besar sekali, baik dalam lweekang maupun ginkang mereka, juga membuat mereka menjadi tenang dan bersemangat. Pada suatu hari, ketika Sin Wan dan Giok Ciu asik mengintai lewatnya binatang di atas sumur, tiba-tiba terdengar derap kaki binatang yang ringan sekali mendatang.

"Seekor kijang!" Sin Wan berkata gembira dan mempersiapkan sebuah batu tajam di tangannya. Sudah lama sekali ia tidak makan daging kijang yang manis dan sedap. Ketika binatang itu datang dekat dengan loncatan kilat meloncati sumur itu, Sin Wan mengayunkan tangannya. Ia menanti jatuhanya korban itu ke dalam sumur. Tapi alangkah herannya ketika ditunggu-tunggu badan binatang itu tidak juga jatuh ke dalam sumur, padahal ia merasa pasti bahwa sambitannya tadi tentu mengenai sasaran.

"Sungguh heran dan aneh," katanya kepada Giok Ciu.

"Kita harus melihat ke atas," kata Giok Ciu. Karena terheran dan merasa penasaran, pula karena menyangka bahwa binatang itu tentu mati di pinggir tebing sumur dan perlu diambil, mereka sekali saja menggenjot tubuh,

Keduanya melayang ke atas dengan berbareng dan sesaat kemudian mereka telah menembus halimun yang menutup sumur itu dan keduanya berada di atas tanah di pinggir sumur. Untuk sejenak mereka agak silau melihat dunia luar, tetapi tiba-tiba mereka melihat bahwa di sekeliling sumur itu terdapat belasan orang yang berpakaian seragam dan bertopi runcing. Tentara Kaisar! Keduanya segera mengenal mereka dan Sin Wan hendak buru-buru terjun kembali ke dalam sumur, tetapi ia melihat kijang besar dan muda berada di dekat orang-orang itu. Sementara itu, belasan tentara Kaisar itu ketika tiba-tiba melihat ada seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita melayang keluar dari sumur, menjadi demikian terkejut dan heran hingga mereka memandang kedua anak muda itu dengan mata terbelalak heran.

"Tuan-tuan, harap kalian kembalikan hasil buruanku itu." Kata Sin Wan dengan tenang sambil menunjuk ke arah bangkai kijang. Diantara pahlawan Kaisar itu terdapat seorang yang sombong dan suka mengagulkan kegagahannya. Ia adalah Song Tat Kin, murid dari Cin Cin Hoat-su si Pendeta tibet, maka kepandaiannya memang cukup tinggi. Apalagi pada saat itu ia bersama tiga belas orang kawannya yang kesemuanya adalah pahlawan-pahlawan dari keraton Kaisar dan kesemuanya memiliki silat yang cukup lihai. Bahkan diantaranya terdapat Sim Kwie si Walet Terbang yang mempunyai ginkang luar biasa sekali.

Tadipun Sim Kwie telah mendemontrasikan kepandaiannya dan mengejar binatang kijang itu. Tepat di atas sumur ia dapat mengejar dan pada saat ia hendak meloncati sumur, tiba-tiba ia melihat binatang itu seperti terpukul sesuatu dari bawah dan tubuh binatang itu terpental ke atas. Tetapi sebelum tubuh binatang itu terjatuh ke dalam sumur, Sin Kwie dengan cepat telah menyautnya dan membawa loncat ke pinggir sumur. Sambil memeriksa luka di dada binatang itu, Sim Kwie dan kawan-kawannya memandang ke dalam sumur dengan terheran-heran dan saling menduga-duga dan mempercakapkan hal yang ganjil ini. Kini melihat bahwa yang melukai kijang hanya seorang pemuda dan seorang gadis cantik, Song Tat Kin segera bertindak maju dan bertolak pinggang lalu berkata,

"Kau orang liar dari mana begitu berani mengaku-aku kijang ini? Yang menangkap adalah kami dan dagingnya adalah bagian kami pula. Kau orang hutan hayo pergi jangan mengganggu kami." Mendengar ucapan orang yang sangat kasar dan menghina ini, Sin Wan masih dapat menahan sabarnya, tetapi Giok Ciu yang lebih keras wataknya segera maju sambil menuding dengan telunjuknya yang runcing dan membentak nyaring,

"Laki-laki kasar yang tidak mengenal aturan! Kau bilang kijang itu kalian yang menangkap, mana buktinya? Tidak tahu malu merampas hak milik orang lain!" Giok Ciu memang memiliki wajah yang cantik jelita dan potongan tubuh yang langsing berisi. Bagaikan bunga, dara yang berusia tujuh belas tahun ini, sedang harum-harumnya dan sedang indah menariknya, maka biarpun sederhana sekali pakaiannya, ia bahkan tampak makin jelita dan menarik. Kini ia sedang marah, sepasang matanya berapi-api dan kedua pipinya kemerah-merahan, maka ia lebih manis pula. Song Tat Kin melihat dara itu marah-marah sambil menunjuk-nunjuk padanya, tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak lalu berkata kepada kawan-kawannya.

"He, kawan-kawan lihatlah. Kuda betina gunung ini tampaknya liar sekali! Tapi, alangkah indah bentuk badannya. Lihat matanya, jelita dan bersih bagaikan mata burung Hong, dan pipinya itu, ah segar kemerah-merahan." Kawan-kawannya tersenyum dan ada yang tertawa girang, lalu terdengar ucapan,

"Song Twako, kau penjinak kuda betina liar, agaknya yang seekor ini cukup bagus untuk kau bikin jinak!" Mendengar kata-kata mereka ini, Giok Ciu yang masih hijau tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan kuda betina liar adalah dirinya, maka ia memandang ke kanan-kiri dan mengganggap pembicaraan mereka itu tidak karuan. Tetapi Sin Wan mengerti maksud kata-kata mereka yang kotor dan sangat menghina itu, maka kini lenyaplah kesabarannya. Ia maju dengan mata berkilat,

"Tuan-tuan harap jaga mulut dan jangan bicara sembarangan!" Ia memperingatkan mereka. Orang tinggi besar muka hitam yang tadi memuji-muji Song Tat Kin segera berkata dengan tertawa lebar,

"Song Twako lekas, kau bikin jinak kuda liar ini, biar aku yang mengusir anjing yang pandai menggonggong ini!" Sehabis berkata demikian, si Tinggi Besar lalu mengayun kepalan tangganya yang sebesar kepala orang biasa itu ke arah dada Sin Wan dalam gerak tipu Pai-San To-Hai atau Dorong Gunung Uruk Laut. Gerakan ini dilakukan dengan tenaga ratusan kati beratnya karena maksudnya sekali dorong saja membuat Sin Wan terlempar jauh atau kalau mungkin terdorong masuk ke dalam sumur kembali. Tetapi Sin Wan cepat miringkan tubuh dan berkelit sambil berkata,

"Jangan kalian mendesak, kami tidak mencari permusuhan!" Tetapi si Tinggi Besar yang merasa terhina karena serangannya tidak mengenai sasaran dan karena kata-kata Sin Wan itu dianggap sebagai pernyataan takut, lalu menyerang makin hebat dengan tipu Hek-Houw To-Sim atau Macan Hitam Sambar Hati. Pukulannya berat dan keras, tanda bahwa ia adalah seorang ahli gwakang yang pandai, juga ilmu silatnya tidak lemah dan gerakkannya tetap. Sekali lagi Sin Wan berkelit lincah. Sementara itu, Song Tat Kin yang melihat betapa kawannya telah menyeran Sin Wan yang agaknya jerih, lalu maju ke arah Giok Ciu dengan sikap yang sangat menjemukan.

"Nona, jangan kau marah-marah. Marilah ikut aku ke kota, untuk apa tinggal di tempat seperti ini? Di kota kau akan hidup mewah dan senang!" Ia melihat betapa kulit muka Giok-Ciu yang halus lemas itu perlahan-lahan berubah merah dan menganggap bahwa gadis itu malu-malu, sama sekali ia tidak menyangka bahwa hawa marah Giok Ciu sedang berkobar dan seakan-akan mulai membakar gadis itu. Setelah Song Tat Kin menutup mulutnya, Giok Ciu berseru keras untuk melepas hawa marah yang mendesak dadanya, dan sebelum semua orang tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu Giok Ciu lenyap dan berubah bayangan putih berkelebat cepat ke arah Song Tat Kin dan tahu-tahu orang she Song itu terlempar jauh sekali dan roboh dengan pingsan dan mata terbalik!

Ternyata dara itu karena marahnya yang tak dapat ditahan lagi telah mempergunakan Tipu Cio-Po Thian-Keng atau Batu Meledak Langit Gempar dibarengi ginkangnya yang luar biasa, sekali menyerang tepat menghantam dada Song Tat Kin sehingga mendapat luka di dalam! Kini terkejutlah semua orang, terutama Sim Kwie si Walet Terbang, karena barusan ia telah menyaksikan sendiri bahwa ginkang gadis itu jauh lebih hebat dari ginkangnya sendiri yang telah cukup tinggi dan membuat ia dijuluki si Walet Terbang! Maklumlah ia menghadapi orang berilmu tinggi dan ia tahu bahwa kepandaian Song Tat Kin setingkat dengan kepandaiannya, maka tidak mungkin bisa menang kalau melawan gadis itu seorang diri. Ia lalu berseru,

"Kawan-kawan, serbu!" Maka belasan orang itu lalu menyerang Giok Ciu! Mereka menyangka bahwa yang tinggi ilmu kepandaiannya hanyalah Giok Ciu saja, sedangkan Sin Wan cukuplah dilawan oleh si tinggi besar itu. Tidak tahunya, ketika melihat betapa Giok Ciu timbul marahnya dan kini dikeroyok oleh belasan pahlawan Kaisar itu, Sin Wan lalu berseru,

"Pergilah kau!" dan tahu tahu si tinggi besar yang bermuka hitam itu terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi. Paniklah kini para penyerbu dan sebagian lari mengeroyok Sin Wan. Enam orang termasuk Sin Kwie yang lihai mengeroyok Giok Ciu dan enam orang pula mengeroyok Sin Wan. Dan karena ternyata bahwa kedua anak muda itu benar-benar sangat lihai, mereka tidak sungkan-sungkan lagi dan semua mencabut senjata masing-masing.

Dua belas orang yang mengeroyok Sin Wan dan Giok Ciu adalah pahlawan-pahlawan Kaisar kelas tiga yang memiliki kepandaian tinggi juga, maka setelah semua menggunakan senjata, mau tidak mau Sin Wan dan Giok Ciu menjadi terdesak. Baiknya kedua anak muda ini memiliki ginkang yang sempurna, sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari semua serangan senjata tajam yang menghujani mereka. Kalau saja pada saat itu mereka memegang pedang pusaka mereka, tentu sebentar saja semua lawannya akan mudah dirobohkan tetapi justru pada saat itu mereka tidak membawa pedang. Tiba-tiba Sin Wan teringat ajaran Kakeknya untuk menggunakan suara suling membikin kalut musuh, maka ia segera berkata kepada Giok Ciu sambil berkelit,

"Masih adakah suling kecilku dulu padamu?" Mendengar ini, Giok Ciu diam-diam mengomel. Mengapa dalam keadaan terdesak dan berbahaya seperti ini tiba-tiba membicarakan tentang hal itu? Tetapi ia menjawab juga,

"Tentu saja ada. Ada apakah?"

"Kau dapat mengeluarkan itu? Coba beri aku pinjam sebentar!" Kini tahulah Giok Ciu akan maksud pemuda itu. Ia menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh untuk meloncat jauh dari musuh-musuhnya, lalu cepat sekali merogoh ke dalam bajunya untuk mengambil suling kecil yang ia selipkan di ikat pinggangnya sebelah dalam. Sebenarnya suling itu ia telah memberi ikatan dan selalu diikatkan dengan pinggang sehinnga suling itu takkan terlepas jatuh, maka karena keadaan mendesak, ia mencabut saja suling itu hingga tali ikatannya putus. Ia meloncat lagi ke dekat Sin Wan dan melempar suling itu padanya.


JILID 05





"Nah, terimalah ini!" teriaknya. Sin Wan lalu cepat menyambut benda hitam yang melayang ke arahnya itu.

Ia heran ketika menerima suling itu, karena merasa betapa benda itu makin mengkilap dan terasa hangat! Ia tidak tahu bahwa tunangannya itu sering kali menggosok-gosok sulingnya dan setiap saat suling itu tidak terpisah dari tubuhnya. Setelah menerima suling itu, Sin Wan lalu menempelkan peniupnya di mulut, lalu sambil bersuling ia bersilat dengan kedua kakinya menghindar semua serangan. Para pengeroyoknya tadinya menduga bahwa pemuda itu hendak menggunakan sulingnya sebagai senjata, tetapi setelah melihat dan mendengar pemuda itu meniup sulingnya, mereka terheran sekali! Tetapi keheranan mereka itu terganti dengan kebingungan karena tiba-tiba suara suling yang merayu-rayu dan tinggi rendah mengalun itu seakan-akan merupakan pisau tajam yang mengiris jantung dan menusuk-nusuk perasaan mereka sehingga permaianan silat mereka kacau balau!

Sebentar saja Sin Wan telah berhasil menendang dua orang pengeroyok! Tiba-tiba, melihat hasil baik kawannya, Giok Ciu juga mengeluarkan ilmu simpanan pemberian Ayahnya, dan terdengarlah suara pekik dan suitan nyaring keluar dari mulut dan dada dari gadis jelita itu. Karena suara ini dikeluarkan dengan tenaga Tian-tan dan seperti suara suling Sin Wan, mengandung tenaga hawa lweekang yang tinggi, maka para pengeroyok segera merasa kehebatan pengaruh suara itu. Mereka merasa ngeri dan menggigil tubuh mereka sehingga serangan mereka yang tadinya teratur baik menjadi kacau balau. Hanya Sim Kwie seorang yang memiliki lweekang lumayan, masih dapat mengerahkan tenaga lweekang untuk menolak pengaruh mujijat ini, tetapi kelima kawannya semua menjadi kacau permainannya.

Dengan gunakan kelincahannya, Giok Ciu akhirnya dapat juga memukul seorang pengeroyok dan sekalian merampas pedangnya! Kini dengan pedang di tangan, walaupun pedang itu hanya sebatang pedang biasa, Giok Ciu berubah seakan-akan dari seekor domba menjadi seekor harimau betina! Ia berseru keras. Tubuhnya lenyap dan terkurung oleh sinar pedangnya yang berkilauan ketika ia mainkan Sin-Liong Kiam-Sut! Terkejutlah semua pengeroyoknya, apalagi setelah beberapa jurus saja dua orang telah dirobohkan oleh gadis itu! Sim Kwie kaget sekali dan ia mengeluh mengapa hari ini mereka bertemu dengan dua setan muda yang lihai itu! Sementara itu, Sin Wan yang hanya menghadapi empat orang pengeroyok, lalu menyimpan sulingnya dan bersilat seenaknya saja, seakan-akan mempermainkan para pengeroyoknya yang sudah bernapas empas-empis! Pada saat itu, terdengar teriakan Sim Kwie,

"Cuwi, tahan!" Karena mengenal tingkat para pahlawan itu, yang berada dibawah Son Tat Kin hanya Sim Kwie, maka para pahlawan itu tentu saja mendengar perintah dan taat, karena Son Tat Kin sendiri telah roboh, mereka lalu meloncat mundur dengan hati lega, karena memang keadaan mereka berbahaya sekali.

"Jiwi Enghiong, harap maafkan kami." Sim Kwie mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Sin Wan dan Giok Ciu. "Agaknya telah ada salah paham yang besar. Kami sama sekali tidak tahu berhadapan dengan orang-orang gagah dan beberapa orang kawan kami telah berlaku kurang ajar! Harap maafkan kami. Boleh kami mengetahui nama jiwi yang mulia?" Giok Ciu tersenyum menyindir.

"Hm, baru sekarang kalian merasakan kelihaian kami, ya? Sungguh tak tahu diri!" Sin Wan juga mencela,

"Kalau tadi tuan-tuan menggunakan kata-kata halus tidak nanti akan timbul korban-korban di antara tuan-tuan. Kami tidak perlu kenalkan nama, juga tidak perlu mengetahui nama kalian. Sekarang lebih baik kalian bawa saja kawan-kawanmu yang luka dan tinggalkan tempat ini." Sim Kwie mendongkol sekali karena terang sekali ia tidak dipandang sebelah mata oleh kedua pemuda itu, padahal oleh kalangan kang-ouw, nama si Walet Terbang bukanlah nama kecil-kecilan. Ia segera berkata dengan bersungut-sungut,

"Hm, biarlah jiwi boleh merasa bangga akan kemenangan ini. Biarpun jiwi tidak memberi tahukan nama tapi tiupan suling tadi mengingatkan aku akan seseorang!" Mendengar ini, sekali loncat saja, Giok Ciu telah berada di depannya dan mengancam dengan pedang rampasannya!

"Apa katamu? Mengingatkan kau akan seseorang? Hayo, katakan, siapa orang yang kau maksudkan itu!"
Sim Kwie mundur dengan muka pucat. Ia telah tahu kelihaian nona muda ini dan percuma kalau ia melawan juga. Sin Wan membujuk Giok Ciu,

"Sudahlah, moi-moi jangan membikin takut dia. Lihat mukanya menjadi biru karena ketakutan. He, pahlawan Raja dengarlah. Memang aku adalah cucu dari Kang-Lam Ciuhiap, si Peniup Suling!" Sim Kwie mengangkat tangan menjura,

"Memang sudah kuduga! Terima kasih atas kejujuranmu." Ia lalu perintahkan kawan-kawannya untuk mengangkat para korban dan meninggalkan tempat itu cepat-cepat. Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang kemudian mereka tersenyum puas karena kemenangan tadi. Sin Wan menghela napas, lalu memandang suling itu.

"Untung ada suling ini hingga kita teringat akan ilmu Kakekku dan Ayahmu." Ia lalu menyerahkan suling itu kembali kepada Giok Ciu yang menerimanya dengan muka berubah merah.

"Ternyata kau" kau selalu simpan suling ini baik-baik..." katanya menggoda Giok Ciu. Giok Ciu menundukkan kepala, mengerling tajam dan menggigit bibirnya. Ia merasa gemas sekali digoda dan hendak membalas dendam.

"Koko, apakah dulu kau tidak menerima sesuatu dari Ibumu?"

"Menerima sesuatu? Apakah itu aku tidak ingat lagi." Jawab Sin Wan, Giok Ciu kewalahan.

"Menerima sesuatu yang berasal dari... dari... Eh, sebagai... pengganti suling ini""

"Sesuatu sebagai pengganti suling ini? Ah, aku tidak ingat lagi. Coba kau katakan barang apa itu, tentu aku ingat." Sin Wan sengaja dan berpura-pura lupa sehingga Giok Ciu makin gemas dan kewalahan.

"Barang" barang kecil..." katanya dengan muka merah.

"Kecil?" Sin Wan pura-pura memandang ke arah awan sambil mengerutkan jidat berpikir keras. "Eh, barang kecil apa, ya? Sebagaimana kecilnya? Ada segini?" Ia menggunakan kedua tangannya membuat ukuran.

"Lebih kecil lagi..." Giok Ciu berkata yang menduga bahwa Sin Wan betul-betul lupa.

"Seperti ini?" Sin Wan memperkecil ukuran dengan tangannya.

"Lebih kecil sedikit lagi," kata Giok Ciu yang menjadi gemas.

"Sebeginikah?"

"Ya, sebegitulah kecilnya. Ah" sudahlah, maka kau perhatikan barang tak berharga itu. Mungkin telah kau buang jauh-jauh!" Tiba-tiba Giok Ciu tampak menyesal dan marah, bahkan kedua matanya tiba-tiba menjadi merah! Sin Wan melihat betapa gadis itu seperti yang hendak menangis, lalu timbul kasihannya.

"O, barang itukah yang kau masudkkan? Ada, ada... ada kusimpan!" Giok Ciu cepat menengok dan memandang ia dengan mata bersinar.

"Betulkan kau simpan barang itu?" Sin Wan mengangguk kuat.

"Ada kusimpan baik-baik."

"Betulkah? Di mana kau simpan barang itu?"

"Di... Dimana ? Ah, di tempat yang baik."

"Betulkah itu? Hati-hati jangan disimpan sembarangan takut hilang."

"Tidak tidak mungkin hilang. Bukankah sulingku juga kau simpan baik-baik dan tidak hilang?" kata Sin Wan sambil memandang suling hitam yang dipegang gadis itu.

"Ah, kalau sulingmu ini lain lagi" barang ini... ku simpan di... dipakaianku selalu," jawab Giok Ciu malu-malu.

"Barang itupun... sudah kusimpan baik-baik, janga kau takut, takkan hilang."

"Apakah... apakah di saku bajumu selalu?" tanya Giok Ciu sambil memandang wajah Sin Wan dengan tajam, Sin Wan balas memandang.

"Mengapa harus dimasukkan saku?"

"Habis di manakah?" Sin Wan tetap tidak mau mengaku. Tiba-tiba Giok Ciu berkata sambil tersenyum.

"Ah, tidak mengaku juga tidak apa, aku pernah melihat barang itu tersembul keluar." Terkejutlah Sin Wan,

"He? Apa katamu? Tersembul keluar?" dan diam-diam pemuda itu melirik ke arah dadanya. Pancingan gadis cerdik itu berhasil dan lirikan mata Sin Wan ke arah dadanya memperkuat dugaannya. Giok Ciu bangkit dari duduknya lalu tiba-tiba suling itu terlepas dari tangannya, menggelinding di atas tanah,

"Tolong, Koko, sulingku jatuh..." Sin Wan buru-buru membungkuk dan mengambil barang itu, tetapi pada saat ia membungkuk ia merasa sesuatu bergerak di lehernya. Ia terkejut dan segera berdiri dan... Ia melihat Giok Ciu tertawa girang sambil menunjuk ke arah dada pemuda itu. Kini Sin Wan tundukkan muka untuk memandang, ternyata sepasang sepatu kecil yang tadinya tergantung di dada dengan sutera biru yang dikalungkan dileher, ternyata telah keluar dan bergerak-gerak di luar bajunya! Ternyata ketika ia membungkuk tadi, Giok Ciu telah menyambar pita sutera itu dan membetotnya sehingga sepatunya terbetot keluar! Sin Wan tak dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah Giok Ciu dengan mulut tersenyum lebar dan muka kemerah-merahan.

"Bukankah kataku tadi telah kusimpan baik-baik? Kau sungguh kurang percaya."

"Sekarang aku percaya dan puas, terimakasih Koko," jawab Giok Ciu dengan manis.

"Hayo kita kembali, telah terlampau lama kita keluar, nanti Suhu marah," tiba-tiba Sin Wan berkata. Ucapan ini mengingatkan Giok Ciu dan mereka segera meloncat masuk ke dalam sumur itu dengan khawatir kalau-kalau gurunya akan marah. Betul saja, baru kaki mereka menginjak pasir di dalam sumur itu, telah terdengar suara Suhu mereka memanggil dari dalam gua ular. Mereka segera masuk dan mendapatkan Bu Beng Lojin duduk bersemedhi dan menghadap ke dalam. Tanpa menengok lagi, orang tua aneh itu berkata, suaranya tetap dan keras.

"Sin Wan dan Giok Ciu! Kalian telah melanggar laranganku dan keluar dari tempat ini sebelum waktunya!" Sin Wan dan Giok Ciu segera menjatuhkan diri berlutut,

"Ampunkan teecu berdua Suhu. Kami tidak sengaja keluar dan..."

"Cukup! Aku sudah tahu semua. Pelanggaranmu tidak kusesalkan sekali, tetapi yang paling kusesalkan ialah karena kalian melanggar maka kalian bertemu dengan kaki tangan Kaisar itu! Dan kalian tentu tahu akan akibat pertempuran tadi. Sekarang terpaksa kalian harus keluar dari sini!" Terkejut sekali kedua murid itu mendengar ini. Dengan khidmad mereka berlutut dan memohon ampun.

"Muridku, jangan menganggap aku terlampau kejam kepada kalian. Aku suruh kalian keluar dan pergi bukanlah dengan maksud mengusir karena kemarahanku. Aku suruh kau pergi untuk mendahului mereka dan memukul dulu sebelum mereka menyerbu dan mencari kalian kesini! Bukankah kalian hendak menuntut balas? Nah, sekarang waktunya! Berangkatlah dan bawalah pedangmu. Tetapi, berhati-hatilah, lawan-lawanmu bukan orang lemah!" Kalau tadinya kedua murid itu merasa bingung dan takut, kini mereka merasa girang sekali.

Mereka menghaturkan terima kasih kepada Suhu mereka yang agaknya tidak memperdulikan mereka karena duduknya membelakangi mereka itu. Kemudian mereka berpamit tanpa dijawab oleh Bu Beng Lojin, Sin Wan dan Giok Ciu mengambil kedua pokiam mereka dan meloncat keluar dari sumur itu. Mereka merasa seakan-akan baru sadar dari mimpi dan seakan-akan baru terbebas dari kurungan. Hati mereka gembira sekali dan mereka berjalan turun gunung sambil bergandeng tangan seperti lakunya dua orang kanak-kanak nakal. Sin Wan seperti biasa mengenakan pakaian warna putih yang menjadi kesukaannya semenjak kecil, sedangkan Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang berwarna gelap kehitam-hitaman. Memang menurut nasihat dari Suhu mereka, warna pakaian yang paling cocok dan tepat bagi Sin Wan ialah putih dan bagi Giok Ciu warna hitam!

"Karena kalian memiliki pedang pusaka yang ampuh dan keramat, maka kalian juga seberapa bisa harus menyesuaikan keadaanmu dengan pedang itu sehingga pedang pusaka itu akan lebih besar faedahnya," demikianlah Kakek yang luar biasa itu berkata ketika mereka baru berlatih pedang. Karena pemandangan alam yang indah dan hawa gunung yang segar, Giok Ciu timbul gembiranya dan berkata,

"Koko, hawa begini bagus. Marilah kita berlatih pedang. Sekarang kita berada di luar dan bebas merdeka, aku ingin sekali mencoba pokiamku." Sehabis berkata demikian, ia mencabut Ouw Liong Pokiam sehingga tampak sinar hitam menyambar.

"Hush, Giok Ciu, jangan kita main-main dengan pokiam kita. Kalau mau berlatih, mari kita gunakan ranting kayu seperti biasa," berkata Sin Wan.

"Selalu berlatih menggunakan sepotong ranting, aku bosan, Koko. Kita diberi pedang, untuk apa kalau tidak digunakan?"

"Kita hanya menggunakan di mana perlu, Giok Ciu."
(Lanjut ke Jilid 05)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 05
"Koko, jangan kau terlalu kukuh. Kita belajar ilmu pedang dan telah bertahun-tahun kita pegang dan mainkan pedang kita, tetapi tidak sekali pedang kita boleh kita pakai latihan bersama. Mengapakah? Bukankah kedua pedang kita sama kuatnya? Nah, marilah kita mencobanya sekalian melihat pedang siapa lebih hebat!" Mendengar desakan dan bujukan nona itu, Sin Wan tertarik juga. Memang Suhunya orang aneh dan kukuh sehingga belum pernah mereka berlatih pedang bersama dengan menggunakan pedang tulen. Pedang itu hanya boleh dipakai sendiri saja. Karena itu, iapun ingin sekali mengukur kelihaian permainan Ouw Liong Kiam-Sut dari gadis itu dengan menggunakan pedng mereka yang asli. Ketika Sin Wan mencabut Pek Liong Pokiam dan mereka mulai berlatih, maka tampaklah dua sinar hitam dan putih bergulung-gulung saling sambar dan saling belit,

Bagaikan sepasang naga hitam dan putih sedang bersenda gurau dan berterbangan di antara mega-mega di angkasa. Keduanya merasa kagum sekali karena setiap serangan selalu menemui tangkisan yang tepat sekali sehingga keduanya merasa tidak berdaya! Sungguh-sungguh Suhu mereka lihai sekali dalam memecah Sin-Liong Kiam-Sut menjadi dua macam ilmu pedang itu, karena jika dimainkan sendiri-sendiri kedua ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut itu tampaknya berbeda sekali kembangannya dan mempunyai keistimewaan berbeda pula. Pek Liong Kiam-Sut gerakannya gagah dan kuat, tetapi gerakan-gerakan yang lurus itu mengandung bermacam-macam tenaga dan tipu gerak tak terduga. Sebaliknya Ouw Liong Kiam-Sut gerakannya lincah dan gesit sekali, membingungkan lawan karena banyak sekali pecahan dan gerak tipunya.

Sinar pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan pertahanan lawan. Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah kini dimainkan bersama dan dipakai untuk saling serang, ternyata kedua duanya gagal dan tak berdaya, seakan-akan keduanya telah saling kenal baik gerakan masing-masing! Kalau Pek Liong Kiam-Sut diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw Liong Kiam-Sut adalah sarungnya! Giok Ciu penasaran sekali dan ia mengeluarkan gerakan terhebat dari Ouw Liong Kiam-Sut, namun sia-sia, karena Sin Wan tahu belaka kemana dan bagaimana ia hendak menyerang. Memang hal ini tidak aneh kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang ini berasal dari satu cabang, yakni Sin-Liong Kiam-Sut, dan mereka telah mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut sampai hafal benar. Sedangkan Pek Liong Kiam-Sut dan Ouw Liong Kiam-Sut sebenarnya belum mereka kuasai seluruhnya,

Karena sebetulnya mereka belum tamat mempelajari kedua ilmu pedang ini, dan sebelum mereka dapat menguasai dengan sempurna, keburu datang perisitiwa di luar sumur sehingga mereka disuruh turun gunung! Setelah lelah berlatih, keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing, lalu duduk beristirahat di aas rumput sambil menikmati angin gunung yang sejuk. Dan aneh sekali, karena latihan itu, di dalam lubuk hati masing-masing timbul rasa tidak puas karena terhadap masing-masing mereka merasa tidak berdaya. Lebih-lebih Giok Ciu, gadis ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tidak berarti kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atas menang, ia akan merasa puas, tetapi ia kini menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah tidak, menangpun bukan! Juga ia tidak dapat menentukan, pedang mana yang lebih baik atau lebih ampuh!

"Koko, aku merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita pelajari ini tidak seberapa hebat." Sin Wan memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab,

"Aneh, moi-moi, akupun merasa mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah kau ketika terjadi pengeroyokan itu? Kau menggunakan pedang dan sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu.!" Giok Ciu teringat dan kekecewaannya agak berkurang.

"Kau benar, Koko. Tapi anehnya, menghadapi ilmu pedangmu, kepandaianku tiada gunanya sama sekali!" Sin Wan melirik sambil tersenyum.

"Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw Liong Kiam-Sut untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa betapa pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!" Setelah beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di dalam hutan di lereng bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat.

"Koko, apakah kita pergi ke gedung Suma-Cianbu?"

"Ya, kita langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma lebih dulu!" jawab Sin Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat akan musuh besarnya. Karena mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka dua hari saja mereka telah tiba dikota tempat tinggal Suma-Cianbu. Hari telah menjadi gelap ketika mereka berdua memasuki kota. Maka mereka menanti sebentar sebelum menyerbu ke gedung Suma-Cianbu itu. Setelah hari menjadi gelap, keduanya lagi loncat keatas genteng dan sambil berlari-lari cepat di atas genteng merupakan dua bayangan putih dan hitam, mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu. Tetapi mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu sunyi saja dan yang menjaga keamanan hanya empat orang anggauta keamanan yang berjalan mondar-mandir di belakag tembok yang mengurung gedung itu.

Didalam gedung sendiri sunyi senyap, hanya dibagian belakang tampak lampu bernyala dan ada suara orang bercakap-cakap. Bagaikan dua ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan sekali sehingga tidak menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga lewat ditempat mereka bersembunyi, mereka menerjang dan tanpa dapat mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena tertotok dan roboh pingsan. Demikianlah nasib ke dua penjaga lainnya. Kemudian Sin Wan Giok Ciu meloncat masuk ke dalam gedung. Alangkah kecewa mereka ketika mendapat kenyataan bahwa gedung itu betul-betul kosong dan tidak ada orangnya, dan yang sedang bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang pelayan saja. Para nelayan itu, empat orang tua dan dua orang laki-laki terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah berada dihadapan mereka.

"Jangan taku, kami takkan mengganggu!" Kata Sin Wan kepada mereka yang berlutut, sambil menggigil ketakutan. "Asal saja kalian terangkan di mana adanya Sum-Cianbu dan keluarganya."

"Taijin, Hujin dan Siocia beserta beberapa orang pelayan dan pengawal telah tiga hari pergi ke kota raja." Jawab seorang pelayan yag agak tabah.

"Awas, jangan membohong!" Giok Ciu membentak sambil menendang sebuah meja sehingga meja itu terpental dan semua barang di atas meja itu beterbangan. Mereka takut sekali dan makin pucat wajah mereka.

"Tidak" tidak, Lihiap... Kami ti" tidak berani membohong."

"Bukan main rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu meninggalkan gedung itu, setelah terjadi pula sedikit pertentangan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu. Karena kecewa dan marah, Giok Ciu hampir saja mengangkat tangan dan membunuh semua isi gedung Suma-Cianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya,

"Moi-moi tak perlu membunuh mereka ini. Mereka tiada sangkut pautnya dengan kedosaan Suma-Cianbu."

"Tetapi orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki tangannya bukankah orang baik-baik!" Giok Ciu bersikeras.

"Jangan begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi. Kalau mereka tidak mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam terhadap mereka." Giok Ciu mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tapi ia tidak membantah lagi, lalu mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh Sin Wan dari belakang. Malam itu juga mereka meninggalkan kota Wie-Kwan untuk mengejar Suma-Cianbu yang sedang pergi ke kota raja. Jarak antara Wie-Kwan dan kota raja bukanlah dekat dan jika mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari.

"Moi-moi, di kota raja kita harus berlaku hati-hati, karena disana adalah pusat para pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi." Giok Ciu menahan tindakan kakinya dan menengok,

"Ah, jadi kau tiba-tiba merasa jerih dan takut, Koko?" katanya mengandung suara sindiran. Sin Wan mengerutkan jidatnya dan berkata,

"Tidak takut, moi-moi, tapi berhati-hati. Kau kann juga ingin agar pekerjaan kita membalas dendam kali ini jangan sampai gagal, bukan?" Giok Ciu berkata jumawa,

"Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak takut segala pahlawan anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan dengan Tosu siluman Cin Cin Hoatsu, dan aku seujung rambutpun tidak takut padanya!" Sin Wan makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu, karena tidak disangkanya gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia tidak tahu bahwa semenjak dapat mengalahkan para pahlawan yang mengeroyok mereka diluar sumur, didalam hati gadis muda itu timbullah sifat bangga yang besar sehingga membuat ia menjadi jumawa dan menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan! Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia menjadi penasaran dan kecewa karena tak dapat menangkan pemuda itu! Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kiong-Kwan yang besar.

Kota ini cukup ramai karena letaknya dekat kota raja dan di sini banyak pula tinggal orang-orang berpangkat pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di pinggir jalan memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar yang pandai sekali menunggang kuda. Ketika tiga orang itu lewat di depan mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam. Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tidak ambil perduli sama sekali dan melanjutkan perjalan mereka memasuki kota. Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu dan tiang-tiangnya di cat merah sehingga nampak indah sekali, maka ia lalu mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum melihat kegembiraan gadis itu dan menurut saja. Kepada seorang pelayan ia lalu minta disediakan dua kamar.

"Dua kamar ukuran kecil, atau satu saja kamar ukuran besar?" Pelayan yang berlidah tajam dan jenaka itu bertanya sambil melirik ke arah Giok Ciu. Gadis itu timbul marahnya dan ia membentak,

"Tulikah kau? Kami minta dua kamar dan jangan kau banyak cerewet lagi!" Pelayan itu memandang dengan terkejut dan buru-buru ia menyediakan kamar yang diminta.

"Sabarlah, moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti dia?"

"Apa? Justeru orang-orang macam dia itu kalau tidak diberi hajaran tentu selalu akan mengganggu orang!" Sin Wan hanya tersenyum melihat kegalakan nona ini, karena betapapun juga, jika Giok Ciu sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya kemerah-merahan, kulit hidunganya yang tipis kembang-kempis dan bibirnya yang bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi menambah manisnya! Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkata-kata dan Sin Wan lalu memberi isarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang yang berkuda yang tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang kota. Ketika orang itupun memandang kepada mereka dengan tajam, tetapi lalu mereka membuang muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan. Sin Wan lalu mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata,

"Moi-moi, kurasa tiga orang itu bukanlah orang-orang baik. Mereka agaknya mengikuti kita."

"Apa? Biar kuhajar mereka sekarang juga!"

"E, e! Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari perkara? Biarkan sajalah, tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati."

"Menghadapi tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ribut-ribut? Aku malam ini ingin melihat-lihat kota, Koko." Sin Wan menyatakan setuju.

"Baiklah, kita pergi mencari tempat makan yang paling besar." Setelah membersihkan tubuh Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari rumah penginapan dan berjalan melihat-lihat kota yang indah dan besar itu. Giok Ciu kagum melihat bangunan-bangunan yang besar dan tinggi. Sungguhpun kedua anak muda itu tampaknya berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan kota namun sebenarnya mereka tahu bahwa ada seorang diantara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka! Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tapi dipinggang tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.

"Kita sikat dia, Koko?" kata Giok Ciu. Mereka lalu masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan masakan. Dan alangkah mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika melihat betapa si pincang itupun memasuki restoran dan duduk di meja yang dekat dengan meja mereka. Alangkah kurang ajar dan beraninya! Kalau ia tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia melemparkan meja di depannya kepada orang tinggi kurus itu! Tetapi Sin Wan berkejab kepadanya untuk mencegah gadis itu melakukan sesuatu yang mengacaukan.Untuk melampiaskan marahnya, Giok Ciu berkata,

"Tak kusangka, tiga bangkai tikus yang terserak di sanan tadi tahu-tahu yang seekor terdampar kesini!" Sambil berkata demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah! Tentu saja, kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran, sedangkan si pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas menahan-nahan diri untuk tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya balas memandang tajam, lalu menundukkan kepala dan maka hidangan yang dipesannya. Setelah makan kenyang, Sin Wan dan Gio Ciu sengaja mengambil jalan memutar, melalui jalan yang sunyi. Dan betul saja, si tinggi pincang itu tetap mengikuti mereka. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itupun pandai dalam ilmu ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang itu tidak berapa tinggi.

"Giok Ciu, tentu ada apa-apa yang tidak beres. Mari kita pulang dengan diam-diam kita lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa dan sedang melakukan apa."

"Dan tikus ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya." Sin Wan tersenyum,

"Sesukamulah asal jangan terlalu lama." Giok Ciu lalu membungkuk untuk memungut sepotong batu, lalu ia berhenti dan berteriak,

"He, tikus pincang, jalanmu tidak sedap dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah aku tolong kau dan bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!" Tangannya lalu diayun dan batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar. Si tinggi kurus itu berlaku waspada, tetapi ternyata batu yang menyerangnya lebih cepat lagi. Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu tulang keringnya berbunyi,

"Pletak!" dan ia roboh karena kaki kanannya tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia merabanya, ternyata tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam terkejut sekali melihat kelihaian kedua anak muda itu.

"Masih baik mereka tidak menghendaki jiwaku," Ia berpikir dan merangkak maju untuk minta pertolongan orang.

Sin Wan dan Giok Ciu lalu meloncat ke atas genteng dan mereka menggunakan kepandaian untuk meloncati rumah-rumah dan cepat menuju ke rumah penginapan. Ginkang mereka sudah demikian sempurna sehingga yang tampak berkelebat hanya dua bayangan putih dan hitam. Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan mengintai. Tiba-tiba tampak bayangan beberapa orang bergerak di atas genteng dan meloncat ke bawah dengan gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu. Ternyata di dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang dan langkah terkejut mereka melihat bahwa diantara mereka terdapat juga pahlawan-pahlawan Kaisar yang dulu mengeroyok mereka di atas sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.

"Benarkah mereka mengejar Suma-Cianbu?" terdengar seorang berkata. "Kalau begitu, kita harus dapat menangkap mereka sebelum kabur."

"Tetapi mereka lihai sekali," berkata seorang yanng dulu mengeroyok Sin Wan.

"Jangan takut, Hek Twako dan Mo Susiok ada disini. Pula, mereka tadi telah diikuti oleh Liu sute. Kita nanti mengepung mereka, masak tak dapat merobohkan dua orang anak muda saja?" Maka tahulah Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di gedung Suma-Cianbu telah diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula bahwa orang-orang ini bukan lain ialah para pengawal dan pahlawan kerajaan! Maka Giok Ciu menjadi hilang sabar dan ia tertawa nyaring di atas genteng, sambil memaki,

"Bangsat anjing penjilat Kaisar! Kalau kalian sudah bosan hidup, naiklah ke sini kutunggu!" Sin Wan terpaksa juga meloncat dan bersiap menanti kedatangan para lawan itu, ia merasa geli tercampur "Bohwat" atau tak berdaya menghadapi gadis yang pemberani sekali ini. Mendengar kata-kata Giok Ciu, tiba-tiba api lilin di dalam kamar itu ditiup pada tak lama kemudian dari empat penjuru berloncatan naiklah orang-orang dengan senjata tajam di tangan! Sin Wan melihat bahwa yang naik lebih dari dua puluh orang dan yang terdepan sekali adalah seorang tua yang gerakannya gesit dan seorang pemuda gagah dan bersenjata tombak. Orang tua itu bersenjata sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.

"Bangsat pemberontak yang berani mati. Menyerahlah hidup-hidup dari pada mati tertembus pedang," orang tua itu membentak garang. Giok Ciu tertawa dan menunjuk ke arah orang tua itu sambil berkata kepada Sin Wan,

"Koko, kau lihat baik-baik. Bukankah orang she Mo ini mukanya sama benar dengan tikus tua yang hampir mati kelaparan?"

Sin Wan memandang dan hampir saja ia tertawa geli kalau saja ia tidak ingat bahwa orang tua itu seorang yang berkepandaian tinggi sehingga tidak baik menghinanya, karena sesungguhnya muka yang sempit dan berpotongan tajam, ditambah dengan beberapa lembar kumis dibawah hidunganya itu memang seperti seekor tikus! Ternyata Giok Ciu menduga tepat, karena memang orang tua itu adalah Mo Hin Cu yang berjuluk Iblis berpedang dua dan termasuk pahlawan Kaisar kelas dua. Ilmu pedangnya telah terkenal dan kepandaiannya masih lebih tinggi dari semua orang yang kini mengepung Giok Ciu dan Sin Wan. Sebagai seorng yang memiliki kepandaian dan kedudukan tinggi, tentu saja Mo Hin Cu marah sekali mendengar ejekan Giok Ciu. Ia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyerang sambil membentak,

"Bangsat pemberontak rendah!" Sepasang pedang di tangan kiri kanannya bergerak, yang kanan menusuk lengan dan yang kiri menyapu pinggang gadis itu!

"Haya...!!" Giok Ciu berkelit mundur sambil mengejek sehingga Mo Hin Cu makin marah dan menyerang lagi.

Kalau dibandingkan, kepandaian orang she Mo ini setingkat dengan kepandaian Song Tat Kin murid Cin Cin Hoatsu yang pernah dijatuhkan oleh Giok Ciu. Memang dulu secara mudah sekali Song Tat Kin dapat dirobohkan oleh gadis itu, tapi hal itu terjadi karena Song Tat Kin tak bersenjata dan tidak pernah menyangka bahwa gadis itu demikian lihai. Sedangkan kini orang she Mo ini telah dapat menduga bahwa lawannya adalah seorang muda yang memilki kepandaian tinggi, dan di kedua tangannya terdapat sepasang pedang yang telah mengangkat namanya tinggi-tinggi, maka setelah diserang terus, Giok Ciu terdesak juga dan menjadi marah. Sambil berseru keras gadis itu mencabut pokiamnya dan Mo Hin Cu bergidik ketika melihat sinar hitam berkelebat dan menyambarnya dengan mengeluarkan hawa panas mengerikan!

Cepat sekali Mo Hin Cu menggunakan sepasang pedangnya menangkis dengan tipu gerakan Hong-Sauw Pai-Yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Maksudnya hendak menggunakan tenaga untuk menangkis dengan keras agar sekali babat saja membuat senjata lawan yang aneh itu terpental. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa kedua siang-kiamnya seakan-akan membacok air dan tahu-tahu yang tinggal di dalam kedua tangannya hanya gagang pedang saja, sedangkan pedangnya sendiri entah telah terbang kemana? Demikianlah hebat dan ketajaman Ouw Liong Pokiam. Giok Ciu mengeluarkan seruan menghina dan sekali saja ia menyerang, pundak lawannya telah kena terbabat oleh pokiamnya sehingga orang she Mo itu roboh sambil mengeluarkan teriakan ngeri!

Sementara ituo rang muda yang bersenjata tombak menyerang Sin Wan, akan tetapi oleh Sin Wan mudah saja dikelit dan anak muda ini balas menyerang dengan tangan kosong. Anak muda bersenjata tombak itu hanya pahlawan kelas tiga saja, mana ia dapat melawan Sin Wan? Dalam beberapa jurus saja, tombaknya telah dapat dirampas dan sekali tekuk dalam tangannya, tombak besi itu menjadi bengkok dan dilemparkan Sin Wan ke bawah genteng. Melihat betapa lihainya kedua anak muda itu, semua pahlawan maju mengeroyok dengan senjata masing-masing. Sin Wan terpaksa mencabut Pek- Liong Pokiam dan bersama-sama Giok Ciu ia mainkan pedangnya dengan gerakan bergelombang yang hebat.

Harus dikasihani para pengeroyok itu, seakan-akan rombongan semut mengeroyok api, begitu mendekat segera tubuh mereka bergelimpangan karena sinar hitam dan putih itu saja sudah cukup membuat mereka roboh! Akhirnya beberapa orang yang masih belum menjadi korban segera meloncat turun dan melarikan diri dari amukan Sin Wan dan Giok Ciu. Tak lama kemudian datanglah barisan tentara dibawah pimpinan seorang komandan mengurung rumah penginapaan tu. Sin Wan dan Giok Ciu sudah masuk kembali ke dalam kamar dan berkemas, karena malam ini juga mereka hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Sin Wan melihat keluar, ternyata puluhan tentara penjaga keamanan yang datang membantu telah mengurung rumah itu dan semua tamu yang tidur menginap disitu menjadi ketakutan.

"Pemberontak-pemberontak keluar dengan damai!" komandan yang gemuk dan bermuka merah itu berteriak-teriak sambil mengatur barisannya mengurung. Sin Wan tersenyum melihat ini, kemudian setelah beres membungkus pakaian dan lain-lain, ia dan Giok Ciu keluar dari pintu depan dengan tenang! Para anggota penjaga itu tidak tahu yang manakah pemberontak-pemberontak yang harus ditangkap, maka ketika melihat Sin Wan dan Giok Ciu keluar mereka diamkan saja. Baru setelah seorang pengeroyok yang lari dan kini telah ikut mengepung berteriak,

"Inilah pemberontak-pemberotak itu, serbu!" Mereka segera bergerak dengan mata memandang heran. Inikah pemberontak-pemberontaknya? Seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik? Komandan muka merah memperlihatkan kegagahannya dan sambil palangkan golok besar ia mencegat Sin Wan dan Giok Ciu.

"Menyerahlah!" bentaknya dengan suaranya yang tinggi kecil.

"Hm, kalian gentong-gentong kosong ini harus diberi hajaran!" Giok Ciu berkata gemas, tetapi Sin Wan mendahului membentak kepada komandan muka merah yang gemuk itu.

"Kau menggelindinglah pergi dari sini!" dan sebelum si gemuk itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasa tangan pemuda itu yang kuat sekali mendorongnya demikian keras sehingga tidak ampun lagi tubunya terjengkang ke belakang dan bergulingan, betul-betul seperti bola menggelinding!

"Hayo, moi-moi! Buat apa mengotorkan tangan melayani segala tikus rendah." Biarpun belum puas, Giok Ciu mengejar Sin Wan yang meloncat naik ke atas genteng dan mereka pergi tinggalkan Kiong-Kwan menuju ke kota raja.

Menjelang fajar mereka telah tiba di luar tembok besar kota raja dan di sebuah bukit kecil mereka melihat sebuah Kuil kecil yang mungil. Karena perlu beristirahat sebentar sebelum memulai dengan pekerjaan yang penting itu. Ternyata itu adalah Kelenteng Kwan-Im-Pouwsat yang dijaga oleh dua orang Pendeta wanita yang telah tua. Kedua Pendeta itu sangat ramah tamah dan mereka menerima kedatangan Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang. Kedua anak muda itu memberi hormat kepada patung Kwan-Im, lalu mereka mengaso sambil bersamadhi di ruang belakang. Setelah matahari pagi menerangi permukaan bumi dan kedua anak muda itu makan bubur hidangan Nikouw tadi, mereka lalu meninggalkan bungkusan uang dan pakaian, dan hanya dengan membekal pedang, mereka berangkat menuju ke pintu gerbang kota raja.

Tetapi ternyata bahwa para penjaga yang mereka pukul kucar-kacir di Kiong-Kwan malam tadi, telah cepat memberi kabar ke kota raja pada malam itu juga sehingga Suma-Cianbu telah bersiap menanti kedatangan mereka! Hal ini Sin Wan dan Giok Ciu tidak menyangkanya, maka ketika mereka tiba di pintu gerbang mereka kaget melihat banyak orang menghadang di jalan masuk pintu itu. Ketika mereka melihat tegas, ternyata kesemuanya adalah pahlawan Kaisar dan diantaranya terdapat Suma-Cianbu sendiri yang berpakaian perang dengan lengkap! Selain Suma-Cianbu sendiri, di dekat kapten itu terdiri tiga orang Tosu dan seorang perempuan tua berbaju hijau. Melihat musuh besarnya berdiri di depannya, Sin Wan timbul marahnya dan segera ia mencabut Pek Liong Pokiam sambil membentak,

"Bangsat Suma sekarang kau hendak lari kemana?" Sambil berkata begini ia meloncat menerjang Suma-Cianbu yang cepat menangkis dengan pedangnya, tetapi sekali bentur saja pedang itu patah! Sin Wan melanjutkan pedangnya membabat leher dan Suma-Cianbu berteriak kaget, tetapi pada saat itu, seorang diantara tiga Tosu itu telah maju menolong dengan tongkat bajanya yang berat menusuk perut Sin Wan dengan gerakan Ular Hitam Masuk Lubang! Terpaksa Sin Wan menarik kembali pedangnya dan meloncat berkelit karena jika ia meneruskan serangannya, maka sukar baginya untuk menghindarkan diri dari sodokan tongkat itu.

"Bangsat muda sabar dulu!" Tosu itu membentak, "Siapakah kau berani mengacau ke kota raja? Apakah kau sudah bosan hidup?" Sin Wan tersenyum dan membalas memaki,

"Hm, hm, kau bangsat berjubah Pendeta. Agaknya kaupun bukan orang baik-baik. Ketahuilah, aku adalah Bun Sin Wan dan kedatanganku hendak membalas dendam orang tuaku kepada bangsat she Suma ini. Kalian tiada permusuhan dengan aku, maka lebih baik mundurlah. Tetapi kalau hendak membela bangsat ini, akupun tidak takut!" Tiba-tiba terdengar suara perempuan tua baju hijau itu berkata,

"Cianbu, apakah ini anak pemberontak itu?" Suma-Cianbu mengangguk.

"Benar, Toanio. Inilah anak pemberontak itu." Wanita itu lalu menunding dan berkata,

"Anak muda, kau lebih baik menyerah saja, mungkin dosa-dosamu dapat diperingan. Kau mengandalkan apakah berani melawan kami?" Sikap wanita ini jumawa sekali sehingga menimbulkan marahnya Giok Ciu.

"Eh, kau ini siluman perempuan darimakah begitu sombong?" bentaknya. Wanita baju hijau itu memandang kepada Giok Ciu dengan tersenyum mengejek.

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Kau anak kemarin sore sudah berani unjuk gigi. Ketahuilah nenekmu ini ialah Liong-San Kui-Bo! Hayo lekas kau berlutut di depanku." Wanita itu agaknya mengira bahwa Giok Ciu tentu pernah mendengar namanya yang tersohor dan menjadi jerih. Tidak tahunya, tidak saja Giok Ciu memang belum pernah mendengar julukan yang berarti Biang Hantu dari Liong-San itu, bahkan andaikata sudah mendengarpun, gadis yang bernyali besar sekali pasti takkan merasa takut. Mendengar kata-kata Liong-San Kui-Bo, ia bahwa tertawa merdu dan nyaring, lalu berkata,

"Jadi kaukah si Biang Hantu? He, anakku, kalau begitu kau harus berlutut tiga kali di depanku. Ketahuilah, aku ini ialah Nenek Moyang Biang Hantu! Hayo kau lekas berlutut!" Tentu saja Liong-San Kui-Bo menjadi marah sekali. Ia berpaling kepada ketiga Tosu itu lalu berkata,

"Toyu sekalian, mari kita bikin mampus dua anak kurang ajar ini!" Sehabis berkata demikian, perempuan tua baju hijau itu lalu mencabut keluar sepasang pedangnya dan langsung menyerang Giok Ciu dengan hebat.

Giok Ciu terkejut melihat betapa gerakan perempuan itu ganas dan cepat sekali, tapi ia tidak takut dan sambil berloncatan menyingkiri serangan lawan, ia mencabut Ouw Liong Pokiam. Kini Liong-San Kui-Bo yang kaget karena tiba-tiba ia merasa sambaran pedang hitam yang ganas itu. Ia tahu bahwa pedang gadis itu adalah sebuah pokiam yang sangat ampuh, maka ia tidak berani beradu pedang. Ia hanya menggunakan kiam-hwatnya yang memang indah dan cepat itu untuk mengurung Giok Ciu. Tapi ia tidak tahu bahwa disamping Kiam-Sutnya, yakni Sin-Eng Kiam-Sut yang lihai, masih banyak ilmu pedang yang lebih hebat lagi, dan diantaranya yang terlihai adalah Ouw Liong Kiam-Sut! Maka ketika Giok Ciu mulai menjalankan ilmu pedangnya, sebentar saja ia menjadi sibuk menangkis sambil mundur. Tosu termuda diantara ketiganya, yakni Liang Ging Tosu segera maju membantu,

Sedangkan yang dua, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, maju menyerang Sin Wan dengan tongkat mereka yang berat dan kuat. Pertempuran makin ramai ketika beberapa orang pahlawan yang memiliki kepandaian tinggi juga mengurung mereka. Tapi pedang-pedang mustika itu dimainkan oleh Sin Wan dan Giok Ciu demikian hebat sehingga merupakan sepasang naga sedang mengamuk dan membuat jerih mereka yang mengeroyoknya. Sebentar saja beberapa orang pengeroyok telah roboh dan yang lain-lainnya terdesak. Sin Wan menggunakan sebagian besar daripada perhatiannya untuk menyerang Suma-Cianbu yang telah berganti pedang sehingga karena beberapa kali hampir saja kapten itu menjadi korban keganasan Pek Liong Pokiam, dan melihat betapa para pembantunya terdesak mundur, Suma-Cianbu lalu meloncat mundur dan lari memasuki pintu gerbang!

"Bangsat jangan lari!" Sin Wan loncat mengejar, tapi ia dihalang-halangi pengeroyok lain sehingga ia harus merobohkan dua orang dulu baru ia dapat meloncat mengejar. Karena ia melihat betapa Suma-Cianbu meloncat ke atas genteng, iapun mengayun tubuhnya ke atas dan masih dapat ia melihat bayangan musuhnya itu di atas wuwungan yang tinggi.

Ia segera mengejar tapi kedua Tosu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu, sudah mengejarnya pula dan menyerangnya dengan tongkat mereka. Sin Wan memutar pedangnya menangkis lalu setelah melayani mereka beberapa jurus dan mendapat ketika, ia meloncat pula mengejar ke arah bayangan tadi. Ia mencari-cari dengan matanya dan melihat berkelebatnya bayangan di tempat jauh, di atas sebuah gedung yang jauhnya beberapa belas rumah dari situ. Ia lalu meloncat lagi dan lari mengejar. Ia masih sempat melihat betapa Suma-Cianbu yang ketakutan setengah mati itu lari dan meloncat turun dalam pekarang belakang sebuah gedung. Tapi pada saat itu, Liang Gwat Tosu dan Liang Hun Tosu sudah sampai pula ke situ dan mengirim serangan mereka lagi!

"Pendeta-Pendeta tak tahu diri! Aku tak ingin membunuhmu, lepaskanlah aku!"

"Bangsat kecil, jangan kau banyak tingkah. Menyerah atau mati." Maka timbullah marah Sin Wan. Ia memutar Pokiamnya sedemikian rupa sehingga Pek Liong Pokiam seakan-akan berubah menjadi puluhan dan menyerang ke dua Tosu itu dari segala jurusan. Tosu-Tosu itu adalah murid Cin Cin Hoatsu tingkat pertama, maka kepandaian silat mereka memang tinggi. Tapi kini menghadapi Pek Liong Kiam-Sut, mereka tak berdaya.

Mereka masih mencoba untuk memutar-mutar tongkat menangkis, tapi sia-sia, karena pokiam itu telah mendahului mereka dan tiba-tiba Liang Hun Tosu berteriak kesakitan karena lengan tanggannya berikut tongkatnya terbabat putus! Dengan kaget Liang Gwat Tosu meloncat mundur, dan Sin Wan lalu lari pula ke arah gedung di mana tadi Suma-Cianbu turun. Liang Gwat Tosu terpaksa hanya bisa menolong Sutenya yang terluka parah. Sin Wan meloncat turun ke pekarangan gedung besar itu dan ia tiba di taman yang indah. Ia menengok ke sana ke sini, lari lari ke arah gedung. Ia mengintai ke dalam dari sebuah jendela, tapi gedung itu sunyi saja. Setelah mengambil jalan memutar ia mengintai ke jendela lain dan di dalam sebuah kamar ia melihat seorang gadis sedang membaca kitab Tiong Yong, yakni kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Seorang pelayan wanita datang mengantar air teh dan berkata,

"Suma-Siocia, kau rajin sekali sehingga siang malam hanya belajar kitab saja. Apakah Siocia ingin menjadi sasterawan wanita? Ataukah Siocia ingin menjadi gadis suci?" Pelayan itu menggoda. Dan gadis itu perdengarkan suara ketawanya yang halus dan merdu. Tubuhnya yang langsing itu bergoyang-goyang di atas bangku yang didudukinya ketika ia tertawa, lalu terdengar suaranya yang lemah lembut,

"A-bwe, aku adalah seorang wanita terpelajar, kalau tidak membaca kitab yang balik di dalam kamar atau menyulam sulaman yang indah, habis apakah harus pegang pedang main panah?" A-bwe, pelayan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan ujung lengan baju, lagaknya genit sekali.

"Siocia, apa salahnya kalau kau bermain pedang? Ayahmu seorang pembesar militer yang gagah perkasa."

"Ingat, A-bwe, aku seorang wanita."

"Tapi, Siocia. Bukankah jaman sekarang banyak terdapat wanita-wanita pandai bersilat? Coba saja lihat nyonya tua yang berbaju hijau yang kemarin datang itu, namanya kalau tidak salah Liong-San Toanio, begitulah disebut orang. Ia selalu membawa-bawa pedang dan kabarnya kepandaiannya tidak dibawah Ayahmu sendiri. Bukankah itu hebat dan luar biasa sekali namanya?"

Nona itu menghela napas dan ia memutar tubuhnya perlahan dan menghadap jendela hingga Sin Wan terkejut dan buru-buru bersembunyi, dan mendengar lebih jauh sambil mengagumi wajah gadis yang luar biasa cantiknya itu. Usia gadis itu paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya indah berkembang, tubuhnya tinggi langsing, rambunya hitam panjang dikonde ke belakang dengan manisnya, sedangkan kulit muka yang halus lemas kemerah-merahan itu terhias sepasang mata yang cerdas dan lembut sinarnya, hidung dan mulutnya kecil dan indah bentuknya. Pendeknya seorang Cian-Kim Siocia yang benar-benar tiada cacad celanya! Nona itu menghela napas dan berkata,

"A-bwe, biarpun Ayah berpangkat Cianbu dan tiap hari kau melihat orang-orang dari golongan ahli silat, namun sesungguhya aku tidak suka melihat orang-orang yang biasanya hanya bermain dengan senjata tajam untuk membunuh orang lain! Lihatlah betapa permusuhan ditumpuk-tumpuk, orang-orang saling kejar, saling bunuh, dan saling balas sakit hati. Apakah hidup macam demikian itu baik? Ah, aku lebih senang membaca kitab-kitab kuno yang memberi nasehat-nasehat dan petuah tentang hidup yang baik."

"Suma-Siocia, kau memang seorang Ciankim Siocia yang berbudi dan pandai," A-bwe memuji.

Sementara itu, kini Sin Wan tidak ragu-ragu lagi bahwa nona cantik di dalam kamar itu adalah puteri musuhnya, anak perempuan dari Suma-Cianbu! Ia tidak mau mengganggunya, karena yang dibenci dan dicarinya hanya Suma-Cianbu seorang. Maka ia segera tinggalkan tempat itu dan memeriksa kamar lain. Tapi Suma-Cianbu tidak tampak bayangannya! Sin Wan menjadi marah dan timbul gemasnya. Ia lalu kembali ke atas kamar Suma-Siocia tadi dan cepat meloncat masuk dari jendela! Suma-Siocia menggunakan saputangan menutup mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan kaget ketika melihat betapa tiba-tiba seorang pemuda yang tampan dan gagah tahu-tahu telah berada di dalam kamarnya! Kebetulan sekali A-bwe baru saja keluar dari kamar itu karena disuruhnya mengambil benang sulam baru.

"Maaf Siocia. Aku tak hendak mengganggumu, hanya ingin bertanya bukankah Siocia puteri dari Suma-Cianbu?" Melihat sikap dan kata-kata Sin Wan yang halus, lenyaplah rasa kaget nona itu dan ia mengangguk untuk membenarkan kata-kata Sin Wan.

"Di manakah Ayahmu sekarang, Siocia? Tadi aku melihat ia masuk ke dalam gedung ini, tapi telah lenyap begitu saja. Dimana ia bersembunyi?" Tiba-tiba Suma-Siocia menjadi berani dan bertanya,

"Ada urusan apakah kau mencari Ayahku?"

"Dia adalah musuh besarku yang harus menebus dosanya!" Terbelalak sepasang mata yang bening itu mendengar pengakuan ini.

"Apa?? Mengapa begitu? Apakah dosanya terhadapmu?" Sin Wan kertak gigi ketika menjawab.

"Ayahmu telah membunuh Ibuku dan Kakekku! Hayo katakan, dimana dia?"

"Tidak, tidak! Ayah...!! Kau pergilah... ada orang jahat!!" Suma-Siocia berteriak-teriak. Sin Wan cepat maju dan ulurkan tangannya sehingga sekelebat saja Suma-Siocia kenan tertotok dan lemas tak berdaya. Tiba-tiba timbullah akal pada pikiran Sin Wan. Musuh besarnya sangat licin dan selain banyak pelindungnya, juga pandai bersembunyi. Lebih baik kalau ia culik Suma-Siocia saja untuk memancing Suma-Cianbu! Karena pikiran ini, maka ia berkata kepada gadis itu yang masih dapat mendengarnya walaupun telah menjadi gagu.

"Maaf, Siocia. Kau terpaksa kubawa untuk memancing Ayahmu keluar dari tempat sembunyiannya!" Pada saat itu A-bwe telah datang dan melihat seorang pemuda berada disitu dan nonanya dalam keadaan lemas dipegang oleh pemuda tampan dan asing itu, segera ia lari keluar kamar dan menjerit-jerit. Sin Wan tidak buang waktu lagi, segera ia pondong tubuh Suma-Siocia dan meloncat keluar dari jendela, terus saja ia melayang ke atas genteng.

"Bangsat penculik jangan lari!" terdengar teriakan orang dan beberapa orang pengawal meloncat naik mengejar. Tapi Sin Wan kecewa sekali karena di antara lima orang pengawal yang mengejarnya itu tidak tampak Suma-Cianbu sendiri.

"Kalian minggirlah dari sini! Aku tidak butuh jiwamu. Suruh bangsat Suma-Cianbu itu keluar sendir!" Sin Wan berseru marah dan gemas, tapi kelima pahlawan itu segera mengurungnya dan menyerangnya. Sin Wan hanya berkelit karena ia tiada nafsu untuk melayani orang-orang ini. Ia segera menggunakan ginkangnya dan sekali loncat saja ia telah keluar dari kepungan itu sambil pondong tubuh Suma-Siocia!

Kemudian ia berlari-lari cepat di atas genteng. Lima orang pengawal itu mengejarnya, tapi sebentar saja Sin Wan telah lenyap jauh di depan. Sin Wan kembali ke tempat di mana tadi Giok Ciu dikeroyok, yakni dipintu gerbang kota. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak melihat orang berkelahi di tempat itu lagi. Apakah Giok ciu telah berhasil memukul mundur semua musuhnya dan menyusulnya? Tapi kenapa ia tidak bertemu dengan gadis itu? Atau barangkali Giok Ciu telah kembali lebih dulu di Kelenteng. memikir demikian, Sin Wan lalu cepat lari menuju ke Kelenteng dimana ia dan Giok Ciu tinggal. Tapi kembali ia kecewa karena di tempat inipun gadis itu belum pulang! Dua orang Nikouw tua dari Kwan-Im-Bio heran sekali melihat Sin Wan memondong seorang gadis cantik yang setengah pingsan.

"Bun Taihiap, kalau kau hendak melanggar kesopanan dan melakukan kejahatan, maka terpaksa kami mengusir kau dari sini!" Nikouw itu berkata dengan sikap keren, karena mereka menyangka keliru pada Sin Wan yang membawa seorang gadis dalam keadaan demikian. Sin Wan segera lepaskan totokan Suma-Siocia yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kedua Nikouw itu sambil menangis sedih.

"Jangan khawatir, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Gadis ini sengaja saya culik untuk memaksa Ayahnya keluar dari tempat persembunyiannya, dan Ayahnya ialah musuh besar saya, pembunuh Ibu dan Kakek! Suma-Siocia, ku harap kau suka tinggal di Kelenteng ini untuk sementara waktu sampai Ayahmu sudah bertemu dengan aku. Aku bukanlah orang rendah yang hendak menyusahkan dan mengganggumu, dan percayalah, aku melakukan ini karena sangat terpaksa. Kalau Ayahmu tidak berlaku curang dan pengecut, mungkin kau dan aku selamanya tak pernah bertemu muka. Agaknya memang telah menjadi nasibmu harus ikut merasakan dosa-dosa Ayahmu!" Sin Wan lalu meninggalkan gadis itu kepada kedua Nikouw yang terheran-heran sekali mendengar kata-katanya. Gadis itu hanya menangis sedih dan segera dihibur oleh kedua Nikouw itu dan dibawa kekamar mereka.



JILID 06



Sementara itu, Sin Wan dengan hati sangat gelisah menanti-nanti kembalinya Giok Ciu. Ia duduk dalam kamarnya, lalu keluar untuk melihat apakah gadis itu telah kembali, kemudian kembali ke kamar dan duduk lagi. Ia gelisah sekali karena setelah ditunggu sampai sore, belum, juga Giok Ciu kembali! Setelah hari menjadi gelap dan bintang-bintang malam mulai tampak menghias langit hitam, kegelisahan Sin Wan memuncak dan ia tidak sabar untuk untuk menanti lebih lama. Giok Ciu pasti terkena bencana, pikirnya dengan hati cemas dan tercampur mendongkol. Pembalasan dendam belum berhasil, telah ditambah lagi dengan lenyapnya Giok Ciu! Ia segera meninggalkan Kelenteng setelah berpesan kepada kedua Nikouw agar menjaga Suma-Siocia baik-baik, dan langsung menuju ke dalam kota. Ia berdiri lama sekali di tempat persembunyian siang tadi, tapi di situ sunyi senyap.

"Kemanakah ia harus mencari jejak Giok Ciu?" Ia lalu meloncat naik ke atas genteng dan menuju ke gedung Suma-Cianbu dari mana tadi ia menculik Suma-Siocia. Disitupun sunyi saja, bahkan gedung di bawah itu gelap sama sekali, menunjukkan bahwa pada saat itu tidak ada penghuni. Tentu bangsat tua she Suma itu telah pergi ke lain tempat, pikirnya gemas. Apakah betul-betul bangsat itu demikian kejam dan tega terhadap puteri sendiri sehingga tidak hendak menolong? Apakah ia hendak mengorbankan puterinya untuk keselamatan jiwa sendiri? Pada saat ia berdiri termenung di atas genteng, tiba-tiba dari arah kiri tampak berkelebat bayangan orang dengan gerakan sangat gesit. Begitu tiba dekat Sin Wan, bayangan itu bertanya,

"Apakah kau mencari Kwie Lihiap?" Terkejutlah Sin Wan mendengar ini, dan cepat ia mencabut Pek Liong Pokiam dari pinggangnya dan membentak,

"Bangsat rendah, hayo katakan dimana kalian sembunyian Kwie Giok Ciu!" Bayangan itu yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan dan putih, tersenyum.

"Sebelum aku menjawab, marilah kita main-main sebentar!" Dan ia lalu mencabut keluar sebatang pedang dan menyerang Sin Wan yang menjadi marah sekali dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar bunyi

"Trang!!" dan bunga api bepercikan ketika kedua pedang itu berardu dengan kerasnya. Sin Wan terkejut karena ternyata bahwa senjata lawannya juga sebatang pedang pusaka yang kuat dan tajam, juga ketika kedua pedang bertemu.

Ia merasakan betapa telapak tangganya tergetar karena tenaga lawannya tidak lemah! Sebaliknya pemuda muka putih itu mengeluarkan suara kagum karena ia merasa telapak tangannya perih dan hampir saja pokiam yang dipegangnya terpental! Mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Setelah bertempur puluhan jurus, tahulah Sin Wan bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang Bu-Tong-Pai, tapi yang telah memiliki kepandaian aseli hingga gerakan-gerakannya sangat sempurna dan hebat. Diam-diam ia mengeluh karena kalau fihak musuhnya mempunyai orang-orang yang seperti ini kepandaiannya, maka makin sukarlahnya untuk membalas dendam. Memang ilmu pedang Bu-Tong mempunyai keistimewaan dalam membela diri, hingga pedang pemuda muka putih itu diputar sedemikian rupa bagaikan benteng baja yang amat kuat.

Akan tetapi kali ini ia menghadapi Sin Wan, pemuda yang telah meyakinkan Sin-Liong Kiam-Sut yang tiada bandingnya di dunia ini, ditambah pula telah mempelajari Pek Liong Kiam-Sut, maka desakan-desakannya membuat pemuda ahli Bu-Tong-Pai itu repot juga. Sin Wan mainkan gerakan Sin-Liong Kiam-Sut di bagian yang paling sulit dilawan, yakni Sin-Liong Koan-Jit atau Naga Sakti Menutupi Matahari. Tubuhnya yang memiliki ginkang tinggi itu berkelebat ke atas dan bawah demikian cepatnya, didahului dengan gerakan pedang yang menyambar-nyambar merupakan sinar putih menyilaukan dan setiap saat mengancam hendak menembus dan membobolkan benteng baja dari pedang pemuda muka putih itu! Kali ini benar-benar pemuda muka putih itu kewalahan dan hampir saja ia tak dapat bertahan lagi, maka cepat ia berseru,

"Bun Taihiap, tahan dulu!" lalu ia meloncat ke belakang berjumpalitan dengan gerak tipu Ular Air Menerjang Ombak. Sin Wan menahan serangannya dan memandang dengan mata tajam dan marah di tahan-tahan.

"Kau mau apa?" tanyanya dengan ketus. Heran sekali, pemuda itu agaknya tidak mengambil sikap bermusuhan, sebaliknya bahkan tertawa.

"Bun-Taihiap, sungguh hebat Pek Liong Kiam-Sut yang kau mainkan! Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, aku Gak Bin Tong mengaku kalah! Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan tadi."

"Eh, apa artinya kata-katamu semua ini? Jangan kau bermain-main didepanku, aku sedang sibuk!" Sin Wan menegur gemas. Pemuda muka putih itu segera angkat tangan menjura.

"Maaf, Taihiap, sebetulnya aku tadi hanya ingin mencoba kelihaianmu saja. Aku bukan musuhmu, jika kau tidak percaya, hendak kubuktikan sekarang. Bukankah kau sedang mencari-cari kawanmu yang lenyap?"

"Ya, dimanakah dia? Tahukah kau apa yang telah terjadi dengan Kwie Lihiap?"

"Dia telah tertawan," kata Gak Bin Tong. Terkejutlah Sin Wan mendengar ini.

"Tertawan? Ah, rasanya tak mungkin!" Gak Bin Tong tersenyum mengejek.

"Memang kau dan kawanmu itu sudah cukup pantas untuk bersikap jumawa, tapi ingatlah, di dunia ini masih banyak sekali orang yang terlebih pandai daripada kita. Kwi Kai Hoatsu kebetulan datang dan apa yang tidak mungkin baginya? Sumoimu itu mudah saja tertawan olehnya."

"Kwi Kai Hoatsu, siapakah itu? Dan bagaimana bisa tertawan olehnya?" Sin Wan bertanya cepat.

"Kwi Kai Hoatsu adalah jago nomor tiga dari Tibet yang memiliki kepandaian hebat dan tinggi sekali. Juga ia pandai ilmu sihir yang sukar sekali dilawan. Aku melihat sendiri tertawannya kawanmu siang tadi. Beginilah..." Gak Bin Tong lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya siang tadi. Ketika Sin Wan lari mengejar Suma-Cianbu yang melarikan diri, Giok Ciu memutar Ouw Liong Pokiam di tangannya lebih cepat lagi untuk mencegah orang-orang itu mengejar Sin Wan dan membela Suma-Cianbu.

Memang gadis ini lincah sekali gerakannya dan ketika ia memainkan silat pedang di bagian Ouw Liong Ciong-Thian atau Naga Hitam Terjang Langit, sebentar saja dua orang pengeroyoknya telah roboh mandi darah. Kemudian ia maju terus menghadapi pengeroyoknya yang tinggal empat orang lagi, yakni Liong-San Kui-Bo si wanita baju hijau, dan ketiga pahlawan lain yang berkepandaian tinggi, termasuk Liang Ging Tosu yang bersenjata tongkat baja. Biarpun dikeroyok empat, namun Giok Ciu masih berada difihak penyerang dan keempat musuhnya hanya dapat menangkis dan berkelit saja! Tak lama lagi tentu keempatnya akan dapat dirobohkan oleh gadis yang konsen itu. Tapi pada saat itu, datanglah seorang Pendeta berjubah merah yang tubuhnya tinggi sekali, matanya lebar bundar dan hidungnya seperti pelatuk burung kakatua. Tosu ini memegang sebatang tongkat aneh,

Karena tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular cobra yang telah mati dan dikeringkan, dengan bagian lehernya berkembang mengerikan, sedangkan di punggu Tosu itu terselip sebatang hudtim atau kebutan dengan bulu berwarna hitam. Tosu ini datang dengan tindakan lebar, dan di sebelahnya terdapat seorang laki-laki yang berpakain serba mewah dan bertopi indah terhias permata. Laki-laki ini usianya paling banyak empat puluh tahun dan dari topinya ternyata bahwa ia adalah seorang pangeran! Ia datang sambil naik seekor kuda yang tinggi besar dan berbulu putih. Biarpun kudanya lari cepat, namun Tosu itu yang tampak berjalan seenaknya, ternyata tidak ketinggalan. Ini saja membuktikan kelihaian Tosu aneh itu. Melihat betapa seorang gadis dengan hebatnya mengurung keempat pahlawan Kaisar dengan sinar pedangnya yang berwarna hitam, pangeran itu berkata,

"Gadis cilik manakah yang berani main gila disini?" Tosu itu lalu tertawa besar dan berkata,

"Kalian mundurlah, biarkan Pinto menangkapnya!" Setelah berkata begini, Tosu itu meloncat dan tahu-tahu telah menghadang di depan Giok Ciu. Gadis ini terkejut melihat gerakan orang yang demikian cepat, tapi ia tidak jerih dan memutar pokiamnya dengan gerakan Ouw Liong Ciauw-Hai atau Naga Hitam Lintasi Laut, langsung menyerang dengan tusukan maut ke dada Tosu itu.

Tosu itu cepat-cepat berkelit ke kiri dan berbareng ulur tangan kanannya yang berbulu hitam itu untuk menangkap lengan Giok Ciu yang memegang pedang, tapi siapa sangka, begitu tusukannya dapat dikelit, Giok Ciu teruskan serangannya dengan gerakan Naga Hitam Caplok Ekornya. Pedangnya lalu berbalik dan menablas tangan Tosu yang hendak mencengkeram lengannya itu! Tosu itu berseru heran dan terkejut. Tak disangkanya bahwa kiam-hwat gadis ini sedemikian lihainya hingga kalau tidak ia buru-buru meloncat ke belakang dan menarik kembali lengannya, tentu lengan itu telah terbabat putus! Diam-diam ia mengeluarkan keringat dingin dan kini ia tahu bahwa gadis ini adalah murid seorang sakti yang tidak boleh dibuat main-main lagi.

Ia lalu memindahkan tongkat ular yang tadinya dipegang di tangan kiri, ke tangan kanan, lalu dengan tongkat aneh itu ia melayani Giok Ciu. Karena kulit ular cobra yang menjadi tongkat itupun berwarna ke hitam-hitaman, maka kini tampak dua sinar hitam saling serang dengan hebatnya! Betapapun hebat gerakan dan senjata Tosu itu, namun menghadapi Ouw Liong Pokiam yang dimainkan dengan sedemikian luar biasanya oleh Giok Ciu, Tosu itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan ia harus berlaku hati-hati sekali, karena kalau tidak, banyak kemungkinan tongkat ular senduk itu akan terbabat putus oleh Ouw Liong Pokiam! Tosu itu adalah Kwi Kai Hoatsu, seorang paderi di Tibet yang telah diusir pergi oleh kaum Lama karena paderi ini ternyata bukanlah orang suci seperti seharusnya seorang Pendeta, dan dalam tingkat kepandaian,

Ia boleh dibilang menduduki tingkat ke tiga di seluruh Tibet. Ia bukan lain ialah Suheng atau kakak seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, ialah Pendeta Tibet yang dulu membunuh Kwie Cu Ek, Ayah Giok Ciu! Tapi dibandingkan dengan Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu lebih lihai. Sebetulnya dalam hal lweekang atau ginkang, Giok Ciu masih belum dapat menyamai Kwi Kai Hoatsu yang lihai, tapi karena gadis itu memegang sebuah pedang keramat yang sangat ampuh, pula memainkan ilmupedang yang benar-benar menjagoi di seluruh kalangan persilatan pedang, maka untuk beberapa lama Tosu itu tidak berdaya. Sebaliknya Giok Ciu juga merasa lelah karena lawannya ini benar-benar tangguh. Setelah mereka bertempur hampir seratus jurus dan belum juga dapat merobohkan gadis itu, Kwi Kai Hoatsu merasa penasaran dan malu sekali.

Ia merasa kehilangan muka di depanpara pahlawan, terutama di depan pangeran yang tadi datang bersama-sama dia dan kini masih menonton di atas kudanya, ia merasa betapa nama besarnya dipermainkan oleh gadis cilik ini. Karena itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulut ular yang telah menjadi tongkat itu menyambar keluar asap hijau ke arah muka Giok Ciu! Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu sedang menyerang dengan pukulan ke leher Giok Ciu dan Giok Ciu hanya miringkan kepala berkelit maka ketika tiba-tiba mulut ular itu mengeluarkan uap hijau, ia tak dapat berbuat lain kecuali membuang diri kebelakang. Tapi terlambat, karena ia telah mencium bau yang amis sekali dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang. Kemudian, dengan pekik nyaring, gadis gagah itu roboh pingsan dengan pedang masih terkepal erat di tangannya!

"Nah, demikianlah, Kwie Lihiap tertawan oleh mereka dan dibawa pergi." Gak Bin Tong mengakhiri ceritanya kepada Sin Wan. Sin Wan marah sekali, kedua matanya mengeluarkan cahaya api dan giginya berbunyi. Kemudian ia dapat menekan perasaan cemasnya, lalu ia menjura kepada Gak Bin Tong.

"Maafkan sikapku yang kasar tadi, saudara. Sebetulnya dengan siapakah aku berhadapan? Dan mengapa kau agaknya membela kami?" Gan Bin Tong membalas hormatnya,

"Aku adalah Gan Bin Tong dan aku terpaksa menggabungkan diri dengan para pahlawan Kaisar, karena Ayahku adalah seorang pembesar di istana, tapi semenjak kecil aku belajar di Bu-Tong-San dan baru beberapa bulan kembali ke sini. Aku suka melihat sepak terjangmu dan sepak terjang Kwie Lihiap, karena aku tahu bahwa kalian hanya datang untuk menuntut balas, sekali-kali bukan maksud kalian untuk memberontak atau mengacau. Sekarang, marilah kita tolong Kwie Lihiap."

"Apa dia tidak apa-apa? Dimana dikeramnya?" Sin Wan bertanya dengan hati memukul.

"Tenanglah, ia tidak apa-apa dan kalau tidak salah, ia dibawa oleh Pangeran Lu ke gedungnya."

"Pangeran Lu? Siapakah dia?"

"Pangeran Lu Boh Ong adalah murid dari Kwi Kai Hoatsu, kepandaiannya lumayan juga, dan ia sangat disayang oleh Suhunya karena pangeran Lu pandai mengambil hati dan menguruk diri Kwi Kai Hoatsu dengan segala kesenangan dan harta benda."

"Kalau begitu, mari kita segera berangkat. Biar kau serahkan saja pangeran anjing itu kepadaku," kata Sin Wan.

"Sabar, kawan. Kita harus menggunakan siasat, karena ketahuilah bahwa Kwi Kai Hoatsu menjaga gedung itu."

"Siapa takuti dia?" kata Sin Wan gagah.

"Memang kau tak perlu takuti dia, tapi ia benar-benar lihai dan ilmu sihirnya berbahaya sekali. Lebih baik diatur begini. kau menyerbu ke dalam gedung dan aku akan ajak Tosu itu bercakap-cakap, karena aku sudah kenal padanya dan sering bercakap-cakap atau main catur dengan dia." Sin Wan girang sekali dan dia menjabat tangan kawan baru itu dengan berterima kasih. Kemudian mereka lalu berangkat dan bergerak cepat sekali di atas genteng. Biarpun dalam hal ilmu lari cepat Gak Bin Tong masih jauh di bawah kepandaian Sin Wan, namun pemuda muka putih itu tidak tertinggal jauh. Ketika mereka tiba di sebuah gedung besar dan megah, Gak Bin Tong memberi tanda kepada Sin Wan supaya berhati-hati. Pertama-tama mereka menuju ke kamar di sebelah kiri. Begitu mereka menginjak genteng, tiba-tiba dari bawah terdengar bentakan.

"Siapa di atas?" Terkejutlah Sin Wan melihat kelihaian orang di bawah yang segera mengetahui bahwa di atas genteng ada orang! Ia tidak tahu bahwa memang di bawah genteng dipasangi alat hingga jika genteng itu terpijak sedikit saja, maka akan ada tanda di dalam kamar itu. Gak Bin Tong segera menjawab,

"Bukan lain orang, Totiang, aku Gak Bin Tong hendak bercakap-cakap dengan kau orang tua!" Pemuda muka putih itu segera memberi tanda kepada Sin Wan untuk meloncat ke bagian lain, sementara ia sendiri meloncat untuk bertemu dengan Kwi Kai Hoatsu yang lihai. Sin Wan segera memeriksa gedung itu dengan hati-hati sekali. Ketika ia memeriksa bagian belakang gedung itu, terdengar suara orang berkata-kata dengan suara marah. Ia girang sekali karena kenal suara ini sebagai suara Giok Ciu. Cepat Sin Wan membuka genteng dan mengintai ke dalam. Ternyata Giok Ciu tampak duduk di atas sebuah pembaringan dengan wajah pucat bagaikan seorang yang baru sembuh dari sakit.

Ternyata bisa yang tersembur dai mulut tongkat ular dan yang telah kena tercium olehnya itu berbahaya sekali dan setelah minum obat penawar dari Kwi Kai Hoatsu, barulah jiwa Giok Ciu tertolong. Sebetulnya, biarpun tidak minum obat penawar, belum tentu gadis itu akan terbinasa, karena di dalam tubuhnya telah mengalir pengaruh mujijat dari buah-buah yang dulu ia makan didalam gua ular. Tentu saja ia sendiri maupun Kwi Kai Hoatsu tidak mengetahui hal ini. Setelah Giok Ciu sadar, maka Pendeta yang lihai itu lalu menotok urat jalan darah gadis itu bagian Koan-Goan-Hiat, hingga biarpun Giok Ciu telah kembali kesehatannya, namun tenaganya lumpuh dan ia tidak berdaya. Kalau tidak mendapat pertolongan untuk memunahkan pengaruh totokan itu, ia harus menanti tiga hari baru tenaganya akan pulih dan totokan itu akan lenyap pengaruhnya sendiri.

Ia telah kerahkan tenaganya tapi karena totokan itu memang lihai, ia tidak bisa gerakkan lweekangnya hingga sia-sia saja usahanya untuk melepaskan totokan. Sin Wan sekejab saja tahu bahwa Giok Ciu berada dibawah pengaruh totokan, maka hatinya menjadi marah sekali. Tapi ia masih menahan sabar karena ia harus bertindak hati-hati. Ia melihat bahwa pada saat itu, seorang pelayan wanita sedang membujuk gadis itu yang dijawab dengan makian dan cacian sehingga pelayan itu menjadi kewalahan. Pada saat Sin Wan hendak meloncat turun, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang laki-laki berpakaian mewah dan indah berjalan masuk. Laki-laki itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, lagaknya dibuat-buat dan ceriwis sekali. Sepasang matanya yang kekuning-kuningan itu berminyak dan memandang kepada Giok Ciu dengan kurang ajar.

"Aah, Siocia, bagaimana rasanya tubuhmu? Sudah sehat kembali, bukan? Sukurlah..." Kata laki-laki itu kepada Giok Ciu yang tidak menjawabnya, tapi memandang dengan tajam dan marah.

"Siocia telah berkali-kali kukatakan tak perlu kau melawan kami, karena di kota raja banyak sekali terdapat pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa dan orang-orang berilmu tinggi. Dan lagi, apakah perlunya mengacau dan memberontak? Usahamu akan sia-sia belaka, bahkan nyawamu akan tak tertolong. Bukankah sayang sekali kalau orang seperti kau yang semanis dan semuda ini mengorbankan jiwa dengan sia-sia?" Suara bujukan yang manis ini bahkan menambah marah hati Giok Ciu.

"Siapa yang perduli omonganmu yang kosong? Aku datang hendak membunuh bangsat she Suma itu dan kawan-kawannya! Apa hubungannya dengan kau?"

"Itulah yang salah sekali, Suma-Cianbu adalah seorang berjasa di istana, dan yang dibunuh olehnya dulu adalah para pemberontak negara. Mana bisa kau sekarang datang-datang hendak membunuhnya? Itulah yang disebut mengapa kau memberontak mengacau. Sudahlah, kau menyerahlah saja dengan baik-baik. Kalau kau berjanji hendak menyerah dan tidak mengamuk lagi, aku Lu Boh Ong akan menanggung dan membelamu. Percayalah kepada Pangeran Lu!"

"Sudahlah kau jangan banyak mengobrol di depanku. Tunggu saja, kalau kawanku datang, kau pasti akan mendapat hadiah ujung pedangnya!"
(Lanjut ke Jilid 06)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 06
Lu Boh Ong tertawa bergelak-gelak.

"Kawanmu? Ha, ha, jangan ngelindur! Kawanmu itu telah mati di tangan para pahlawan. Tubuhnya sudah dihancurleburkan, maka jangan kau menanti sia-sia!" Sehabis berkata demikian, pangeran ceriwis itu bertindak mendekat dan hendak memeluk Giok Ciu. Gadis itu biarpun telah lumpuh karena totokan, tidak sudi didekati pangeran itu, maka ia bergerak, berdiri dan hendak meloncat. Tapi tubuhnya menjadi limbung dan ia roboh! Terdengar pangeran itu tertawa besar dan pada saat itu Sin Wan dengan gemasnya telah meloncat ke dalam kamar. Kaget sekali Pangeran Lu itu melihat seorang pemuda dengan pedang berkilau putih di tangan tahu-tahu telah berada di situ. Ia segera menyambar sebatang pedang yang memang tersedia di punggungnya dan cepat bagaikan seekor harimau ia menubruk ke arah Sin Wan.

Pemuda itu dengan tenang menangkis keras dan Pangeran Lu dengan mata terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri entah telah terlempar kemana. Sebelum ia hilang kagetnya, tahu-tahu pedang Sin Wan menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi pangeran itu roboh dengan kepala terpisah dari lehernya! Sebetulnya Pangeran Lu yang menjadi murid Kwi Kai Hoatsu, cukup memiliki kepandaian silat, tapi karena dalam gemasnya Sin Wan datang-datang menggunakan gerak tipu Naga Putih Menyambar Awan, mana Pangeran itu dapat menghindarkan diri dari maut! Sin Wan cepat ketok-ketok dan mengurut-urut pundak dan punggung Giok Ciu dan sebentar saja lenyaplah pengaruh totokan yang melumpuhkan gadis itu. Pelayan yang ketakutan itupun lalu dirobohkan dengan totokan.

"Kau tidak apa-apa, moi-moi?" Tanyanya. Giok Ciu tersenyum manis sambil geleng-geleng kepala...

"Aku tadi juga sama sekali tidak percaya obrolan pangeran rendah ini tentang matimu," katanya.

"Hayo kita serbu Pendeta binatang itu!" Sin Wan berkata gemas.

"Baik, Koko, memang aku hendak mencari dia, karena pokiamku juga berada di tangannya."

"Apa? Ah, kita harus rampas kembali," kata Sin Wan. "Biarlah kita menggunakan siasat. Aku bikin panas hatinya dan kau boleh tantang serta maki-maki dia untuk bertanding lagi dan jangan menggunakan ilmu curang!" Dengan cepat keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan langsung menuju tempat dimana Kwi Kai Hoatsu dan Gak Bin Tong sedang main catur. Tanpa ragu-ragu lagi, Sin Wan dan Giok Ciu meloncat turun dan menuju ke ruang itu. Kwi Kai Hoatsu tahu akan kedatangan mereka, tapi ia sedang asyik memikirkan jalan untuk menghindari serangan Gak Bin Tong dalam permainan itu, ia sengaja diam saja. Demikianlah kesombongannya yang menganggap rendah tiap orang yang datang padanya.

"Tosu siluman hayo kita bertanding lagi sampai seribu jurus tanpa menggunakan ilmu siluman rendah dan hina!" Giok Ciu menantang sambil memandang ke arah pedang Ouw Liong Pokiam yang benar saja terletak di atas meja di dekat papan catur. Gak Bin Tong memandang ke arah mereka dan pura-pura merasa kaget. Tapi Kwi Kai Hoatsu dengan tenang menggerakkan biji caturnya dulu sebelum menengok ke arah mereka. Matanya yang lebar dapat melihat Sin Wan yang berdiri di sebelah Giok Ciu dengan pedang putih berkilauan di tangan, maka ia lalu mengerti bahwa gadis itu telah tertolong.

"Hm, kalau tertangkap lagi olehku, tentu aku akan menotok jalan darah Tai-Wi-Hiat agar kau takkan tertolong lagi," katanya menghina.

"Pendeta bangsat jangan banyak mulut, kalau kau memang orang gagah, marilah kita bertempur untuk menetapkan kepandaian siapa yang lebih unggul!" Giok Ciu berseru.

"Moi-moi, aku mendengar bahwa Kwi Kai Hoatsu adalah seorang tokoh di Tibet yang menduduki kelas tiga. Tapi ternyata ia hanya mengandalkan ilmu siluman. Sedangkan terhadap kau seorang muda saja ia sudah ketakutan setengah mati hingga mana ia berani menghadapimu, apalagi kalau pedangmu berada di tanganmu kembali!" Sin Wan berkata kepada Giok Ciu, cukup keras hingga terdengar oleh Kwi Kai Hoatsu.

"Anak muda sombong! Siapakah kau berani menghina Kwi Kai Hoatsu? Apakah kau sudah bosan hidup?" teriak Pendeta itu dengan marah, tapi Sin Wan memandangnya dengan mengejek.

"Kwi Kai Hoatsu! Aku adalah Suheng dari nona ini. Tadi kau telah mendengar sendiri tantangannya, dan aku ingin sekali melihat apakah benar-benar kau bisa mengalahkan sumioku ini. Aku tidak percaya kau begitu becus mengalahkan ilmu pedang Sumoiku. Sayang kau begitu pengecut hingga pedang Sumoiku kau sembunyikan! Kalau kau bisa mengalahkan Sumoiku, barulah kau ada harga untuk mencoba kepandaianku!" Lagak Sin Wan dalam kata-katanya demikian jumawa hingga membuat Kwi Kai Hoatsu marah sekali! Ia adalah seorang tokoh kenamaan dan biasanya dihormati orang, apalagi oleh yang muda-muda. Sekarang di depan Gak Bin Tong ia dihina oleh dua anak muda tentu saja ia murka luar biasa. Lebih-lebih ketika Gak Bin Tong yang mengerti maksud Sin Wan, berkata kepada Kwi Kai Hoatsu,

"Kwi Totiang, anak muda itulah yang mencari-cari Suma-Cianbu untuk dibunuhnya. Ilmu silatnya lihai sekali." Kwi Kai Hoatsu berdiri dan membanting papan caturnya.

"Baiklah, aku akan menghancurkan kepala dua binatang kecil ini!"

"Majulah kau, Pendeta palsu. Biar aku lawan kau dengan tangan kosong!" Giok Ciu menyombong. Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu memungut pedang Ouw Liong Pokiam dan sekali ia ajunkan tangan, sambil berseru,

"Nah terimalah kembali pedangmu!" Pedang itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah dada Giok Ciu, merupakan sinar hitam yang luar biasa! Tapi Giok Ciu dengan tenang miringkan tubuh dan ulur tangannya dan dengan cepat pedang itu telah berada di tangannya. Inilah gerakan hebat untuk menyambut timpukan senjata rahasia yang disebut Kwan-Imsiu-Hwa atau Dewi Kwan Im Sambut Bunga.

"Bagus!" Kwi Kai Hoatsu berseru dan sekejab kemudian ia telah meloncat menyerang Giok Ciu dengan tongkat ularnya yang lihai. Sebaliknya Giok Ciu setelah mendapatkan kembali pedangnya, terdorong oleh hati yang sakit karena pernah dijatuhkan dengan kecurangan oleh Tosu itu, segera menyerang dengan sengit dan ganas sekali. Sin Wan melihat betapa Tosu itu betul-betul kosen dan gerakan-gerakannya berbahaya hingga Giok Ciu hanya dapat mengimbanginya saja. Kalau Tosu itu keluarkan serangan-serangan gelap yang tak terduga, tentu gadis itu akan menjadi kurban lagi. Maka ia segera meloncat maju sambil kelebatkan Pek Liong Pokiam dan berseru,

"Tosu siluman, kau cukup berharga untuk mampus di tanganku!" Melihat Sin Wan maju, Gak Bin Tong merasa tidak pantas kalau tinggal diam, lagi pula ia kuatir kalau-kalau dicurigai maka iapun meloncat sambil menyerang Giok Ciu dan membentak,

"Jangan menghina Kwi Totiang!" Sebetulnya orang she Gak ini hendak menggunakan kesempatan itu untuk menjajal ilmu pedang Giok Ciu, tapi tidak disangka, Kwi Kai Hoatsu berkata padanya,

"Gak Kongcu, jangan ikut campur. Aku masih belum perlu dibantu untuk menghadapi dua orang anak kecil ini saja!" Demikianlah kesombongan Kwi Kai Hoatsu hingga ia menolak bantuan orang biarpun dirinya dikeroyok! Terpaksa Gak Bin Tong mundur kembali dan berdiri di pinggir sambil menonton. Majunya Sin Wan mendatangkan perubahan besar, karena biarpun dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tidak lebih jauh dari pada Giok Ciu tingkatannya, namun mempunyai perbedaan gerakan yang besar sekali. Dan kini karena dua macam ilmu pedang yang kedua-duanya hebat itu dimainkan berbareng, maka mendatangkan serangan yang luar biasa, tidak terduga-duga dan yang tak mungkin dihadapi oleh seorang saja!

Pendeta itu terdesak dan dengan repot memutar-mutar tongkat ular dan kebutan yang kini telah digunakan di tangan kirinya untuk menangkis datangnya serangan yang bertubi-tubi itu. Bebera kali hampir saja tubuhnya terluka oleh pedang lawan dan jubah merahnya telah robek terkena sambaran pedang Giok Ciu, maka ia menjadi terkejut, marah dan berbareng kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi lawan-lawan yang segini lihai dan memiliki Kiam-Hwat yang luar biasa. Ia ingin menggunakan senjata-senjata rahasianya tapi merasa malu, maka diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya untuk merobohkan lawannya dengan sihir. Setelah tenaga batinnya terkumpul ia lalu berkata, suaranya menggetar dan mendatangkan pengaruh menyeramkan hingga Giok Ciu merasa bulu tengkuknya berdiri ketika Tosu itu berkata,

"Haa, kalian anak-anak muda hendak melawan aku? Pasti kalah, pasti roboh. Lihatlah, aku siapa, lihat, pandanglah dan roboh!" Karena kata-kata itu memang aneh Giok Ciu memandang heran tapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kwi Kai Hoatsu, ia tiba-tiba merasa kepalanya pusing dan berat hingga tubuhnya menjadi limbung!

"Haaa! Pasti roboh, pasti roboh!" Sin Wan terkejut sekali, lalu dengan tangan kiri ia memegang lengan Giok Ciu dan menyendalkan sambil berseru keras,

"Moi-moi, jangan pandang matanya! Lekas gunakan lweekang melawan kepusingan dan atur napasmu!" Giok Ciu memang telah hampir berada dalam pengaruh sihir Pendeta itu, tapi karena suara Sin Wan adalah suara orang yang selalu dekat di hatinya, pula pemuda itu memang menggunakan suara batinnya yang kuat,

Maka dengan ucapannya itu Sin Wan dapat merampas kedudukan si Pendeta, dan dialah yang pegang pengaruh atas diri Giok Ciu. Maka seketika itu juga gadis itu lalu menurut dan taat atas perintah Sin Wan, dan melakukan apa yang diperintahkan tadi. Segera ia sembuh kembali dan menyerang lagi dengan lebih sengit. Juga Sin Wan menyerang sengit tetapi selalu berhati-hati. Ia tahu bahwa tongkat ular itu mengandung senjata-senjata rahasia yang tersembunyi. Melihat betapa ilmu sihirnya telah terpukul punah sebelum menjatuhkan kurban, Kwi Kai Hoatsu marah sekali. Terpaksa ia harus menggunakan senjata rahasia untuk melawan dua anak muda yang kosen ini. Tapi ia tak mau menggunakannya dengan diam-diam karena takut disangka curang. Ia segera membentak,

"Awas jarum!" tiba-tiba dari ujung kebutannya itu menyambar keluar sembilan batang jarum halus ke arah jalan darah tubuh Sin Wan dan Giok Ciu. Baiknya kedua anak muda itu telah berjaga-jaga, maka ketika mendengar desir jarum itu menyambar, mereka memutar pedang dengan cepat hingga jarum jarum terpukul pergi semua. Dan pada saat itu, pedang Sin Wan berhasil pula menabas pundak Kwi Kai Hoatsu yang cepat menggulingkan diri kebawah, tapi tidak urung sedikit kulit dan daging pundaknya telah terkelupas! Ia berseru marah sekali dan berkata,

"Gak Kongcu, sekarang majulah!" Gak Bin Tong segera memutar pedangnya membantu, disambut oleh Giok Ciu dengan hebat, karena gadis itu belum tahu akan pertolongan pemuda itu. Ia hanya menganggap bahwa pemuda itu adalah seorang pahlawan istana juga. Tapi ia segera terkejut melihat betapa pedang pemuda muka putih itu dapat menahan Ouw Liong Pokiam, sedangkan ilmu pedang pemuda itu tidaklah lemah! Pada saat mereka bertempur hebat, dari belakang muncul banyak pahlawan yang maju mengurung kedua anak muda itu.

"Moi-moi, lari!" ajak Sin Wan yang mengerahkan tenaga menyerang Kwi Kai Hoatsu yang terpaksa meloncat mundur. Kemudian kedua anak muda itu menggunakan ilmu loncat mereka menerjang ke luar sambil memutar pokiamnya sehingga terlepas dari kurungan. Dengan hati murung dan penasaran serta kecewa, Sin Wan dan Giok Ciu pulang ke Kelenteng Nikouw di luar kota tu. Setelah bersusah payah sedemikian lama, belum juga mereka dapat membalas dendam, bahkan hampir saja terkena celaka! Di sepanjang jalan Sin Wan menghibur gadis yang diketahuinya sedang murung itu.

"Biarlah kita besok menyerang lagi dan mencari jalan yang baik," kata Sin Wan. Ketika mereka tiba di Kelenteng, Giok Ciu melihat Suma-Siocia duduk di ruang belakang sambil menangis. Ia heran sekali dan bertanya kepada Sin Wan. Lalu dengan ringkas Sin Wan menuturkan pengalamannya ketika berpisah dengan Giok Ciu siang tadi dalam mengejar Suma-Cianbu. Mendengar bahwa gadis itu adalah anak perempuan Suma-Cianbu, Giok Ciu maju dan membentak,

"Coba angkat mukamu!" Suma-Siocia terkejut mendengar suara orang membentaknya, maka ia segera mengangkat muka memandang. Giok Ciu melihat betapa gadis itu sangat cantik maka timbul rasa cemburu di dalam hatinya.

"Siapa namamu?" Tanyanya dengan kasar, Suma-Siocia tidak senang sekali melihat sikap orang dan ia anggap gadis cantik yang masih muda ini kasar dan galak, tidak tahu aturan. Maka iapun tidak mau menjawab dan menundukkan mukanya lagi. Marahlah Giok Ciu.

"Jawablah kalau tak ingin aku pukul mukamu!" Sin Wan mendekati mereka,

"Suma-Siocia, ini adalah Kwie Giok Ciu, Sumoiku. Harap kau terangkan namamu kepadanya." Suma-Siocia mengangkat mukanya dan memandang Sin Wan. Alangkah halusnya sikap pemuda yang telah menculiknya ini. Halus dan sopan santun! Ia sangat tertarik dan kagum melihat Sin Wan, dan menyesali nasibnya mengapa pemuda seperti itu justru menjadi musuh dan hendak membunuh Ayahnya! Kini mendengar kata-kata itu, ia berkata,

"Namaku Suma Li Lian dan tolong beritahu kepada Lihiap ini bahwa aku tidak perlu dibentak-bentak. Kalau kalian mau bunuh, boleh bunuh saja." Melihat sikap Sin Wan yang agaknya ramah tamah dan sopan santun terhadap gadis cantik puteri musuhnya itu, Giok Ciu makin cemburu saja, kini mendengar kata-kata Suma Li Lian, ia makin marah.

"Minta mati, sekarang juga kau mati!" dan cepat sekali pedangnya menyambar.

"Tahan, moi-moi!" Sin Wan menggunakan pedangnya menangkis sehingga sepasang pedang hitam dan putih itu beradu dengan keras mengeluarkan titik-titik bunga api. Giok Ciu penasaran sekali.

"Koko, lupakah kau bahwa perempuan ini adalah anak bangsat she Suma yang telah membunuh Ibu dan Kakekmu?"

"Sabar, moi-moi. Benar ia anaknya, tapi ia tidak berdosa dalam hal itu. Ia tidak tahu apa-apa!"

"Kalau begitu, mengapa kau bawa ia kemari? Apa maksudmu? Katakanlah!"

"Moi-moi, dia kubawa ke sini hanya untuk memancing keluar Ayahnya!" Tapi Giok Ciu menganggap alasan ini terlalu lemah dan tak masuk di akal dan tetap ia merasa sangat cemburu. Maka ia segera mengirim serangan kembali ke arah Li Lian sambil berseru,

"Kalau kau tidak memusuhinya, biar aku yang menjadi musuhnya. Dia anak seorang jahat dan tetap jahat." Serangannya hebat sekali dan cepat Sin Wan mengangkat senjata menangkis tapi tidak urung pundak Sum Li Lian masih terkena sedikit oleh ujung pedang Giok Ciu hingga gadis yang malang itu menjerit perlahan dan roboh pingsan.

"Moi-moi!"

"Kau mau bela padanya? Baik belalah!" Kemudian Giok Ciu menyerang lagi ke arah tubuh yang sudah rebah di lantai, tapi Sin Wan kembali menangkis.

Giok Ciu menjadi marah dan kini menujukan serangannya kepada Sin Wan! Maka terjadilah pertempuran di ruang itu. Sebetulnya bukanlah pertempuran, karena Sin Wan tak pernah membalas serangan Giok Ciu, hanya menangkis saja sambil berusaha menyabarkan hati gadis yang kalap itu. Akhirnya Giok Ciu menghentikan serangan sambil menangis karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Ia mencabut sesuatu dari dalam saku bajunya dan menyambitkan barang itu ke arah Li Lian. Sin Wan cepat meloncat dan menyamba benda itu yang ternyata adalah suling kecil tanda perjodohan mereka! Sin Wan terkejut dan hendak mengembalikan suling itu, tapi Giok Ciu sudah meninggalkan dia dengan lari keluar Kelenteng. Ketika Sin Wan mengejar, gadis itu membalikkan tubuh dan membentak,

"Aku tidak sudi tidur serumah dengan anak musuhku dan hendak tidur di luar Kelenteng, apakah ini juga tidak boleh?" Ia memandang Sin Wan dengan mata tertutup air mata. Sin Wan hanya menghela napas dengan sedih dan meninggalkan dia masuk. Ia minta kedua Nikouw yang ketakutan itu menolong dan membalu luka di pundak Suma Li Lian yang telah sadar dan menangis terisak-isak, kemudian ia masuk kamarnya dengan hati gelisah. Ternyata segala-galanya berjalan tiadk menurut rencananya. Musuh belum terbalas, Giok Ciu telah tertawan dan hampir saja celaka. Sekarang usahanya memancing Suma-Cianbu keluar dengan menculik Li Lian bahkan menimbulkan keributan antara dia dan Giok Ciu sendiri. Ah, ia menyesal sekali! Ia tahu bahwa Giok Ciu melakukan keganasan itu hanya karena merasa cemburu padanya, timbul dari hati kuatir kalau-kalau ia jatuh cinta kepada gadis lain!

Ia tidak persalahkan Giok Ciu, karena sudah sepantasnya gadis itu marah-marah karena hampir saja kena celaka oleh tipu muslihat Suma-Cianbu dan kawan-kawannya! Untuk membalas dendam belum tentu bisa, maka tentu saja melihat anak perempuan dari musuh itu, ia menjadi marah sekali kepada anak gadis itu dan hendak melampiaskan rasa dendamnya kepada anak gadis itu. Yang membikin ia sangat sedih ialah sulingnya yang dilempar itu! Ah, sampai demikian hebatnya marah yang menggelora dalam dada Giok Ciu? Karena pikiran ini, biarpun tubuhnya sangat lelah, namun Sin Wan tidak dapat meramkan matanya. Ia gelisah sekali dan berguling di atas pembaringannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pada waktu ayam jantan berkeruyuk nyaring, Sin Wan telah turun dari pembaringannya dimana ia tidak tidur sama sekali dan berjalan keluar dari kamarnya menuju ke pekarangan belakang.

Suling hitam kecil yang semenjak terpegang olehnya tak pernah dilepaskannya lagi itu dibawahnya ke belakang. Pekarangan belakang itu lebar sekali, karena dari situ orang terus dapat menuju ke bukit kecil di belakang sawah ladang. Sin Wan berjalan melalui jalan kecil di antara ladang dan batu. Kemudian berdiri memandang ke depan dengan bengong. Embun pagi mendatangkan pemandangan yang makin menyedihkan hati. Semua tampak kabur dan abu-abu, seakan-akan seluruh dunia berkabung dan menyedihi sesuatu. Bahkan suara ayam berkeruyuk juga terdengar menyedihkan dan bagaikan suara tangis yang mengharukan. Maka sedihlah hati Sin Wan. Terbayang segala kesedihan di ruang kepalanya.

Terbayanglah ia akan segala yang telah lalu dan terkenang kembali kepada Ibu dan Kakeknya. Tak terasa lagi naik sedu-sedan dari ulu hatinya yang berhenti dari kerongkongannya karena ia tekan dari atas. Kemudian bagaikan dalam mimpi tak terasa lagi ia angkat suling kecil itu ke arah bibirnya. Sebentar kemudian terdengarlah suara tiupan suling yang halus itu mengiris kesunyian pagi. Suara itu terdengar mengalun di antara embun pagi yang melayang-layang, merayu-rayu dan indah sekali bunyinya. Tanpa merasa lagi Sin Wan meniup lagu ciptaannya sendiri ketika ia masih kecil. Dalam tiupannya sekali ini, tercurahlah seluruh kesedihan hatinya yang tadi naik dari ulu hatinya. Ia main dengan penuh perasaan, seakan-akan jiwanya ikut melayang-layang dengan suara itu, seakan-akan seluruh perasaannya mengemudi lagu yang dimainkannya itu.

Halus merdu, nyaring melengking, naik turun, sedih dan menyayat hati tiap pendengarnya. Bahkan ayam jantan di belakang Kelenteng yang tadi tiada hentinya berkeruyuk menyambut datangnya pagi, kini terdiam seakan-akan terpesona dan ikut mengagumi suara yang mengalun bagaikan turun dari angkasa itu. Sin Wan tidak tahu betapa di dalam kamarnya di Kelenteng itu, Suma Li Lian duduk dari tempat tidurnya dan mendengarkan dengan penuh keheranan. Kemudian gadis itu tekap mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Ia teringat akan peristiwa tadi dan menjadi sedih sekali. Ia dapat menduga bahwa yang bermain suling itu tentu Sin Wan karena iapun telah sadar dan melihat ketika Giok Ciu menyambitnya dengan suling yang disambar oleh Sin Wan tadi.

Ia tahu bahwa pemuda yang halus dan sopan itu mencinta Giok Ciu dan ia menyesali diri sendiri bahwa dengan adanya dia disitu maka timbullah pertentangan dan perselisihan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu yang kasar, tapi hatinya tak dapat menyangkal lagi bahwa ia jatuh hati kepada Sin Wan, pemuda yang tampan dan gagah itu. Maka kini tak tertahan lagi olehnya mendengar tiupan suling Sin Wan dan tangisnya menjadi-jadi hingga kedua Nikouw itu terbangun dan cepat menghiburnya, karena disangkanya bahwa gadis itu menangis karena luka dipundaknya terasa sakit. Sementara itu, Sin Wan juga tidak tahu bahwa pada saat ia meniup suling dengan asiknya itu, di sebuah tikungan jalan kecil itu tampak tubuh seorang gadis mendatangi. Gadis itu adalah Giok Ciu yang datang bagaikan tidur sambil berjalan. Kedua matanya basah air mata dan ia merasakan bagaikan dirinya ditarik oleh suara lagu itu.

Ia juga satu malam tak dapat tidur, bahkan tidak berganti pakaian, hanya menambahkan sehelai mantel diluar pakaiannya karena malam sangat dingin. Kini ia mendatangi ke arah suara tiupan suling dengan hati terharu sekali. Semalam penuh ia gunakan untuk berpikir dan setelah kemarahannya agak mereda, ia dapat berpikir secara dingin dan sehat. Ia merasa telah berlaku agak terlalu terburu nafsu hingga sampai terjadi pertempuran dengan Sin Wan hanya karena gadis itu saja! Memang tidak ada bukti-bukti bahwa Sin Wan cinta kepada gadis anak musuh itu, dan mungkin juga pemuda itu menculiknya hanya untuk memancing musuhnya keluar dari persembunyiannya. Ah, kenapa ia begitu terburu nafsu sehingga suling tanda perjodohan yang keramat itu dilempar? Dapatkah Sin Wan memaafkannya?

Ketika mendengar suara suling itu, ia terkejut. Kemudian, perlahan-lahan air matanya jatuh menitik ketika ia kenali lagu itu. Lagu yang dulu pernah dimainkan oleh Sin Wan dengan suling itu juga di rumahnya, dan lagu yang telah membuat mendiang Ayahnya menangis. Maka ia segera bangun dan menghampiri tempat suara itu, dimana ia dapatkan Sin Wan berdiri sambil meniup sulingnya. Dalam keadaan biasa Sin Wan tentu akan mendengar suara tindakan kaki Giok Ciu dengan telinganya yang sudah terlatih baik, tapi pada saat itu ia seperti orang tak sadar dan seluruh perhatian dan perasaannya terbawa oleh suara suling itu, maka ia tidak tahu bahwa Giok Ciu telah berdiri di belakangnya. Setelah suara suling makin merendah dan melambat hingga akhirnya berhenti, Sin Wan menurunkan tangannya yang memegang suling dan menghela napas.

"Koko!" tiba-tiba terdengar suara halus merdu di dekat telinganya. Ia menengok dan sepasang mata bertemu saling tangkap.

"Moi-moi!"

"Koko, kau memaafkan aku, bukan?" suara Giok Ciu mengandung isak. Sin Wan girang sekali dan semua rasa sedihnya lenyap seketika. Ia maju dan memegang tangan Giok Ciu dengan mesra. Mereka berdiri berhadapan dan berpegang tangan sambil saling pandang dengan penuh perasaan. Entah berapa lama mereka berdiri dalam keadaan seperti itu, dan tiba-tiba keduanya melepaskan pegangan masing-masing karena mendengar tindakan kaki orang mendatangi! Melihat orang yang datang sambil tersenyum itu, Giok Ciu segera mencabut pedang dan siap menghadapinya. Tapi Sin Wan tersenyum dan berkata perlahan,

"Moi-moi, simpanlah pedangmu. Dia adalah saudara Gak Bin Tong yang telah menolongmu."

"Menolongku? Bukankah ia malam tadi membantu Kwi Kai Hoatsu?" tanya Giok Ciu terheran. Sementara itu, Gak BinTong sudah tiba disitu dan disambut dengan girang oleh Sin Wan.

"Gak-Lotee, terima kasih atas petunjukmu hingga Sumoiku dapat tertolong," kata Sin Wan dengan wajah berseri. Hati pemuda itu sekarang sudah seperti biasa, bahkan gembira sekali. Kemudian Sin Wan menceritakan Giok Ciu bagaimana orang she Gak itu telah membantu dan menolong mereka. Giok Ciu lalu menjura dan menyatakan terima kasihnya kepada pemuda tampan bermuka putih itu.

"Tidak apa, tidak apa!" Gak Bin Tong balas menjura. "Kwie Lihiap janganlah terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita memang sudah sepantasnya bantu membantu dan tolong menolong, bukan? Sayang aku terlahir dalam keluarga hamba Kaisar, hingga tak mungkin dapat membantu jiwi secara berterang."

Sebetulnya, biarpun harus mengakui bahwa pemuda muka putih itu telah berjasa dan membantunya menolong Giok Ciu, namun Sin Wan tidak suka bergaul rapat dengan Gak Bin Tong. Ia diam-diam tidak merasa suka kepada pemuda ini karena dianggapnya bahwa pemuda ini mempunyai watak palsu dan tidak setia. Kalau tidak demikian, mengapa pemuda ini membantu orang luar dan mengkhianati golongan sendiri? Kalau misalnya ia tidak suka kepada golongannya, mengapa tidak secara terus terang saja ia keluar dari situ? Sikap berpura-pura dari pemuda itu terhadap golongan pahlawan Kaisar membuat Sin Wan diam-diam bercuriga dan tidak suka padanya.

"Saudara Gak, pagi-pagi sekali telah datang mengunjungi kami, tentu ada sesuatu yang sangat penting bukan?" Kata Sin Wanda dengan suara manis dan ramah.

"Benar katamu, Bun-Lauwte, ada berita baik sekali. Suma-Cianbu pagi ini pergi melarikan diri ke Cee-Tong-An, hanya dengan tiga orang pengawal. Kau dapat mencegatnya di hutan sebelah selatan kota raja karena ia pasti mengambil jalan itu." Girang sekali Sin Wan mendengar ini, lebih-lebih Giok Ciu yang segera berkata,

"Hayo kita berangkat sekarang juga, Koko."

"Kukira Kwie Lihiap jangan ikut pergi," tiba-tiba Gak Bin Tong berkata hingga gadis itu terkejut dan heran, demikianpun Sin Wan.

"Mengapa begitu?" Sin Wan bertanya.

"Mereka telah mengetahui bahwa Suma-Siocia dibawa ke tempat ini, maka aku kuatir kalau-kalau ada orang menyerbu kesini. Lebih baik Lihiap tinggal di sini menjaga Suma-Siocia, pula Suma-Cianbu hanya dikawal oleh tiga orang yang tidak berapa tinggi kepandaiannya, sehingga agaknya tidak akan menyukarkan saudara Bun."

Sin Wan menganggap omongan ini betul juga, maka setelah memesan agar Giok Ciu berhati-hati, ia lalu pergi ke hutan yang berada di sebelah selatan tembok kota. Sementara itu, setelah Sin Wan pergi, Giok Ciu mempersilahkan Gak Bin Tong masuk Kelenteng dan duduk di ruang tamu, dimana mereka bercakap-cakap dengan asik, karena Gak Bin Tong memang pandai berkata-kata. Pemuda ini selain tinggi kepandaian silatnya, juga sudah berpengalaman dan ia menarik perhatian Giok Ciu dengan ceritanya tentang berbagai tempat yang ramai. Kemudia pembicaraan mereka tertuju kepada persoalan yang mereka hadapi dan mereka membicarakan Suma-Cianbu.

"Memang kapten she Suma itu cukup banyak mengurbankan jiwa orang-orang gagah hingga banyak orang gagah sakit hati kepadanya," kata Gak Bin Tong dengan gemas, kemudian suaranya melembut ketika ia melanjutkan kata-katanya,

"Tapi puterinya Suma-Siocia, berbeda jauh dengan Ayahnya itu. Ia adalah seorang gadis terpelajar tinggi, cantik jelita, dan berbudi baik, hingga ia terkenal sebagai seorang Ciankim-Siocia yang harum sekali namanya."

"Saudara Gak, apa perlunya kau membicarakan hal gadis itu kepadaku? Aku tidak tertarik sama sekali!" kata Giok Ciu dengan sikap murung karena hatinya panas sekali mendengar gadis yang dibencinya itu dipuji-puji orang didepannya. Gak Bin Tong tersenyum dan pura-pura tidak tahu akan sikap gadis itu. Ia menghela napas.

"Tapi puteri itu terlalu angkuh dan tinggi hati. Tiada seorang pemuda diacuhkannya, agaknya memang saudara Bun saja yang pantas untuk memetik bunga harum itu!" Mata Giok Ciu menyambarnya dengan tajam,

"Apa katamu? Apa... Apa maksudmu?" Gak Bin Tong memandang dengan kaget dan heran terbayang nyata di mukanya yang cakap.

"Eh, kau belum tahukah, Kwie Lihiap?"

"Tahu apa?"


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Saudara Bun jatuh hati kepada gadis cantik itu." Giok Ciu menahan debaran jantungnya dengan menggigit bibir,

"Aah masak, Bun Twako tidak semudah itu jatuh hati!"

"Ha, ha, ha! Memang, saudara dekat tak mungkin mengetahui isi hati kakak seperguruannya yang tiap hari dekat dan merupakan seperti saudara sendiri. Mungkin juga Bun-Lauwte malu-malu untuk mengaku padamu, tapi apakah kau tidak dapat menduga? Kalau dia tidak cinta kepada gadis itu, tak perlu ia menculiknya, bukan?"

"Sudahlah jangan bicarakan soal ini!" kata Giok Ciu dengan gemas dan tak senang.

"Maaf, Lihiap. Tapi sungguh aku heran melihat sikapmu. Apakah kau tidak ikut gembira melihat kakak seperguruanmu mendapat jodoh seorang gadis yang demikian cantik dan bijaksana seperti Suma Li Lian itu? Aku sendiri yang hanya menjadi kawan barunya, ikut merasa gembira dan girang!" Terpaksa Giok Ciu menyembunyikan perasaannya dan menjawab,

"Bukan aku tidak girang, tapi itu bukanlah urusanku, dan pula, aku masih tidak percaya bahwa Bun Twako mencinta gadis anak musuh kami itu. Sungguh tak masuk akal dan mustahil!" Gak Bin Tong bangun dan berdiri dari bangku yang didudukinya.

"Kwi Lihiap, aku Gak Bin Tong tidak biasa membohong. Kalau kau hendak membuktikan kebenaran bicaraku, coba kau buktikan dan baik kita sama-sama lihat siapa yang lebih tepat dugaannya. Kalau ternyata aku memang keliru sangka , aku bersedia meminta maaf kepadamu, dan kepada saudara Bun!" Giok Ciu tersenyum dan sebetulnya ia tak ingin melayani orang yang cerewet seperti pemuda ini, namun di dalam hatinya telah menyala api yang dicetus oleh kata-kata Gak Bin Tong tadi. Ia lalu bertanya,

"Dengan cara bagaimanakah kita membuktikan itu?"

"Mudah saja. Kalau saudara Bun datang, coba kau beritahu padanya bahwa kau telah membunuh mati nona Suma itu, coba kita bagaimana sikapnya terhadapmu. Bukankah ini ujian yang baik sekali? Kalau ia mencinta Suma-Siocia, pasti ia akan marah dan sedih sekali." Giok Ciu mengangguk-angguk dan anggap bahwa ujian itu baik dan tepat sekali, maka ia merasa setuju. Setelah bercakap-cakap lagi beberapa lama, beberapa kali Gak Bin Tong menutup mulut dengan tangan dan menguap.

"Saudara Gak. Kalau kau lelah dan mengantuk, tidurlah di kamar Bun Twako. Akupun hendak beristirahat di kamarku sambil menanti kembalinya Bun Twako." Gak Bin Tong menyatakan setuju dan ia lalu menuju ke kamar Sin Wan dan gadis itupun lalu memasuki kamarnya.

Karena memang semalam tidak tidur, maka cepat sekali Giok Ciu pulas di atas pembaringannya. Dari jauh masih terdengar suara ayam jantan menyambut datangnya pagi. Sementara itu, Sin Wan seorang diri lari menyusul dan mencegat musuh besarnya di dalam hutan sebelah selatan. Ternyata pemberitahuan Gak Bin Tong terbukti. Karena belum lama ia menanti, dari jauh terdengar suara kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah sebuah kendaraan yang diiringi empat orang berkuda. Dari tempat persembunyiannya, Sin Wan melihat bahwa empat orang yang berkuda itu adalah Suma-Cianbu sendiri dan tiga orang lain yang kelihatan gagah, sedangkan ia dapat menduga bahwa yang berada di dalam kereta itu tentu Nyonya Suma. Setelah rombongan tiba dekat, ia meloncat keluar dengan pedang Pek Liong Pokiam berkilau di tangan.

"Suma-Cianbu! Sekarang tibalah saatnya kau membayar hutangmu!" Secepat kilat Sin Wan meloncat menubruk dan mengirim tusukan maut yang diteruskan dengan bacokan hebat. Suma-Cianbu terkejut sekali dan segera menggulingkan diri dari atas kudanya dan "Caapp!" pedang pemuda itu masuk ke dalam perut kuda dan hampir menabas potong tubuh kuda itu. Suma-Cianbu dan tiga orang pengawalnya segera mengurung Sin Wan. Tiga orang pengawalnya itupun telah meloncat turun dari kuda masing-masing dan menyerang Sin Wan dengan hebat. Ternyata mereka itu memiliki kepandaian yang lihat juga hingga untuk sementara waktu Sin Wan belum juga berhasil merobohkan lawannya. Dengan gemas sekali Sin Wan lalu mengeluarkan jurus-jurus dari Pek Liong Kiam-Sut yang paling hebat dan kini gerakannya berhasil.

Sambil mengeluarkan teriakan ngeri seorang pengawal roboh dengan dada tertembus pedang! Tapi pada saat itu juga seorang pengawal lain yang tubuhnya tinggi besar menggerakkan tangan dan lima buah senjata berwarna hitam menyambar ke arah Sin Wan! Pada saat itu senjata di tangan Suma-Cianbu, yakni Hong-Twi Siang-Kiam pedang sepasang yang lihai itu bergerak dengan nekad dan mati-matian mengirim dua serangan dari kanan kiri, maka dalam keadaan masih berkelit dan menangkis seragan ini, datangnya lima senjata rahasia yang menyambar tempat-tempat berbahaya itu sungguh mengejutkan! Namun Sin Wan mempunyai gerakan yang lincah dan gesit sekali. Pedangnya yang tadi dipakai menangkis sengaja dipentalkan dan dapat menyampok pergi tiga batang senjata rahasia itu yang ternyata adalah piauw-piauw beracun!

Dua batang lagi yang menyambar ke arah leher dapat ia kelitkan sambil miringkan kepala, tapi pada saat itu datang lagi sebatang piauw dari belakang dan biarpun ia telah miringkan tubuh, senjata itu tetap masih menancap di pundak kirinya! Sin Wan marah sekali, ia meloncat menerjang dan pengirim piauw itu roboh dengan kepala terpisah dari tubuhnya! Dengan beringas Sin Wan lalu mengamuk dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Pengeroyoknya yang hanya tinggal Suma-Cianbu dan seorang pengawal itu mana dapat menahan amukan murid Bu Beng Sianjin ini. Sebentar saja pengawal ke tiga itu roboh dengan nyawa melayang. Biarpun hanya tinggal seorang diri menghadapi pemuda yang hebat mengerikan ini, Suma-Cianbu tidak mau mundur atau lari, karena selain ia harus melindungi isterinya yang berada di dalam kereta, iapun tahu bahwa sia-sia saja untuk lari.

Ia melawan dengan nekad sekali, tapi karena kepandaian Sin Wan jauh lebih tinggi dari kepandaiannya, dengan tipu gerakan Pek Liong Chio-Sin atau Naga Putih Rebut Hati, pedangnya berhasil menusuk dada kiri Suma-Cianbu yang menjerit ngeri dan roboh dengan tak dapat berkutik pula. Untuk beberapa saat Sin Wan memandang pada musuhnya yang mengucur keluar dan membasahi seluruh pakaiannya itu. Ia merasa puas, puas sekali! Kemudian ia mendengar teriakan ngeri dan dari dalam kereta itu keluarlah seorang wanita yang berlari-lari menghampiri tubuh Suma-Cianbu. Ia adalah Suma-Hujin yang menubruk jenazah suaminya dan memeluknya sambil menjerit-jerit. Sin Wan sedikitpun tidak merasa terharu, bahkan ia lalu teringat betapa ia dulu juga seperti nyonya itu, menangis dan memeluki tubuh Ibu dan Kakeknya! Nyonya Suma lalu berdiri dan berpaling kepadanya,


JILID 07



"Kau... kau... semua ini telah demikian kejam! Kau sungguh orang rendah!" Sin Wan tersenyum mengejek,

"Tidak serendah suamimu yang membunuh mati Ibuku dan Kakekku!"

"Tapi... mengapa kau tidak hanya membalas suamiku saja? Mengapa kau menculik anakku? Li Lian kau bawa kemana?" Sin Wan menjawab angkuh,

"Jangan kuatir, anakmu takkan kuganggu. Ia pasti akan pulang ini hari juga. Sekarang aku telah membalas dendam dan tidak butuh lagi bantuan anakmu."

"Kau... kau... bangsat hina! Kalau kau... mengganggu anakku... lebih baik kau bunuh dia dan kau bunuh aku juga!"

"Tutup mulutmu!" Sin Wan membentak marah. "Kau kira aku ini orang macam apakah? Aku adalah seorang yang mengutamakan kegagahan dan perbuatan rendah macam itu tak mungkin kulakukan. Kau pulanglah dan sebentar lagi aku lepaskan puterimu untuk pulang pula."

"Kau... berani bersumpah bahwa kau tidak mengganggu Li Lian?" Marahlah Sin Wan mendengar ini. Kalau yang bicara itu seorang laki-laki mungkin ia sudah mengirim tendangan atau pukulan!

"Aku bersumpah demi kehormatanku!" Kemudian ia membalikkan tubuh dan lari pergi meninggalkan nyonya yang masih menangisi suaminya itu. Ketika ia tiba di Kelenteng, hari telah agak siang dan ia disambut oleh Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Ia melihat betapa wajah pemuda itu agak pucat dan datang-datang ia bertanya cepat,

"Saudara Bun, bagaimanakah hasilnya?"

"Ya, bagaimana Twako? Berhasilkah kau?" Sin Wan membanting dirinya di atas bangku. Ia lelah sekali, karena semenjak ia mencabut piauw yang menancap di pundak kanannya, ia merasa betapa pundaknya merasa ngilu dan pegal sekali, juga ada rasa gatal-gatal sedikit. Tapi ia mengeraskan hati dan mempertahankan rasa sakitnya.

"Aku berhasil," katanya sambil mengangguk, "Suma-Cianbu telah kubunuh mati bersama tiga orang pengawalnya!" Giranglah wajah Giok Ciu mendengar ini, dan sambil mendongak ke atas ia berbisik,

"Ayah, seorang musuh telah mampus!" Pada saat itu Gak Bin Tong diam-diam memberi isyarat dengan kejapan mata kepada Giok Ciu. Gadis itu teringat lalu berkata kepada Sin Wan dengan perlahan,

"Twako, aku tidak mau bertindak kepalang tanggung. Aku juga bunuh mati gadis she Suma anak musuh kita itu." Tiba-tiba Sin Wan meloncat bangun. Wajahnya pucat bagaikan mayat dan kedua matanya terbelalak sedangkan bibirnya menggigil.

"Kau... kau bunuh mati Suma Li Lian??" Melihat sikap pemuda seperti ini, naiklah darah Giok Ciu. Sambil mengangkat dada ia menjawab,

"Ya, aku bunuh dia! Kau sedih dan menyesal?" Sin Wan tumbuh-tumbuk kepalanya dan berseru,

"Celaka...!" dan hampir saja ia tampar muka gadis itu karena marahnya. Ia tela bersumpah takkan mengganggu gadis itu, telah bersumpah demi kehormatannya kepada Ibu gadis itu, dan sekarang Giok Ciu membunuh gadis itu tanpa bertanya lebih dulu padanya. Celaka benar-benar! Dengan cepat dan bingung sekali Sin Wan meloncat ke dalam dan berlari-lari ke arah kamar Suma Li Lian.

Pintu kamar itu tertutup dan ia segera mendorong pintu itu terbuka dan meloncat masuk. Tapi, tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung ketika melihat gadis cantik jelita itu bukannya rebah menjadi mayat di atas pembaringan, tapi sedang duduk dengan muka berseri-seri melihat kedatangannya! Gadis itu mengenakan pakaian dalam yang ringkas dan memperlihatkan potongan tubuh yang menggairahkan, sedangkan sepasang matanya berseri-seri memandangnya dan sepasang pipinya kemerah-merahan! Tiba-tiba Suma Li Lian turun dari pembaringannya dan lari menghampirinya. Sebelum Sin Wan hilang terkejutnya dan dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh gadis itu, tahu-tahu Suma Li Lian telah memeluknya dan merangkul lehernya! Muka gadis itu disembunyikan ke dada dalam rangkulan mesra sekali! Sin Wan menjadi bingung dan buru-buru ia melepaskan rangkulan orang, lalu bertindak mundur.

"Eh, eh... Siocia, jangan... jangan begitu!"

"Koko... kenapa kau sebut aku Siocia...?" Suma Li Lian berkata lirih dengan nada yang mesra sekali. Makin terkejutlah hati Sin Wan melihat dan mendengar ini. Ia merasa kasihan sekali dan menyangka bahwa gadis itu tentu telah berubah menjadi gila! Maka ia hendak berlaku tegas dan cepat saja.

"Nona dengarlah baik-baik. Kau telah bebas kini. Aku tidak menahanmu lagi. Kau boleh pulang dan kau bisa minta Nikouw disini mengantarmu. Dan sebelum kita berpisah, lebih baik aku beritahukan dulu padamu. Aku telah berhasil membunuh Ayahmu, musuh besarku yang dulu membunuh Ibu dan Kakekku!" Suma Li Lian menjerit lirih dan menutup muka dengan kedua tangannya. Ia terhuyung mundur dan menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis.

"Ayah... Ayah..." demikian ratapnya. Sin Wan hanya berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar dingin. Kemudian ia berkata,

"Nona Suma! Aku telah berjanji kepad Ibumu untuk membebaskan kau. Nah selamat berpisah. Aku akan pergi dulu dari sini dan kita takkan bertemu pula, kecuali kalau kau menaruh dendam kepadaku karena Ayahmu kubunuh. Kalau demikian halnya, maka sewaktu-waktu kau boleh membalas sakit hatimu dan mencari aku ke puncak Kam-Hong-San!"

"Koko... Koko... begitu kejamkah hatimu...? Sampai hatikah kau setelah apa yang terjadi pada waktu fajar tadi...Koko...?" Gadis itu berdiri dan lari hendak memeluknya tapi Sin Wan segera meloncat keluar dan menutup daun pintu dengan keras. Ia hanya mendengar isak tangis gadis itu. Diam-diam ia merasa kasihan juga karena menganggap bahwa benar-benar gadis itu telah menjadi gila! Ketika bertemu Giok Ciu, Sin Wan berkata,

"Maafkan sikapku tadi, moi-moi! Tapi, sebenarnya apakah maksudmu dengan membohongi seperti itu?" Kalau saja tadi Giok Ciu tidak mendengar kata-kata Sin Wan terhadap Suma Li Lian yang jelas menyatakan bahwa di dalam hati pemuda itu tidak ada perasaan apa-apa terhadap Li Lian, tentu Giok Ciu masih marah dan cemburu. Sekarang ia hanya balas bertanya,

"Coba kau jawab dulu, Twako. Mengapa ketika mendengar kematian gadis itu kau menjadi pucat sekali seakan-akan seorang yang hancur hatinya?"

"Moi-moi... kau... kau tidak tahu. Aku telah bersumpah kepada Ibu gadis itu bahwa aku takkan mengganggu Li Lian, maka tentu saja aku terkejut dan bingung ketika mendengar bahwa kau telah membunuhnya! Dan... dan tentang wajahku yang pucat... agaknya dari lukaku inilah... aku... sekarang juga aku merasa pening sekali..."

"Kau terluka, Koko? Mana yang terluka?" Suara gadis itu penuh perhatian dan kecemasan hingga diam-diam Sin Wan merasa geli melihat watak gadis kekasihnya yang sebentar marah sebentar mesra sikapnya itu. Setelah memeriksa luka di pundak Sin Wan yang menjadi hitam, maka gadis itu berkata,

"Twako, luka di pundakmu adalah akibat senjata beracun, warnanya hitam sekali. Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedangmu dapat digunakan untuk mengobati pengaruh bisa yang hitam bekasnya? Mari kita coba." Sin Wan juga teringat akan pesan Suhunya itu, maka dengan tangan lemah ia mencabut Pek Liong Pokiam dan memberikan pedang itu kepada Giok Ciu. Gadis itu lalu mencuci bersih ujung pedang putih itu, lalu merendam pedang di dalam arak untuk beberapa lamanya. Kemudian ia memberikan arak itu kepada Sin Wan yang lalu meminumnya sebagian dan sebagian pula dipakai mencuci luka itu. Heran sekali, setelah terkena arak rendaman Pek Liong Pokiam, dari luka itu mengalir darah seakan-akan tersedot keluar. Darah itu hitam sekali warnanya. Setelah racun itu keluar dari pundaknya, Sin Wan memandang sekeliling dan bertanya,

"Eh, dimanakah saudara Gak? Sejak tadi aku tidak melihatnya!" Giok Ciu cemberut dan teringat akan gara-gara yang ditimbulkan oleh pemuda muka putih.

"Entahlah, dia sudah pergi tadi, tanpa memberi tahu padaku. Agaknya ia tak enak hati melihat kita bertengkar tadi."

"Giok Ciu, mari kia cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Karena Suma-Cianbu terbunuh olehku, tak lama lagi tentu datang pahlawan-pahlawan mencari kita di sini, sedangkan tenagaku masih lemah."

"Memang seharusnya kita cepat-cepat pergi. Maksud membalas dendam telah tercapai, untuk apa lama-lama tinggal di kota ini?" Kata Giok Ciu yang sebenarnya ingin lekas-lekas mengajak Sin Wan pergi meninggalkan Suma Li Lian! Mereka lalu pergi dan karena masih banyak musuh-musuh yang belum terbalas, mereka segera menuju ke Siauw-San untuk mencari musuh-musuh mereka nomor dua, yakni Siauw-San Ngo-Sinto Lima Golok Sakti dari Siauw-San! Karena luka Sin Wan, biarpun setelah racunnya keluar hanya merupakan luka tidak berbahaya, namun atas desakan Giok Ciu, mereka melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa.

Dengan cara begini berangsur-angsur luka itu sembuh kembali. Sementara itu, tanpa terasa mereka telah melakukan perjalanan sepuluh hari lebih. Pada suatu hari mereka tiba di dusun Tung-Kwang yang berada di kaki bukit Siauw-San. Ketika memasuki pintu dusun itu, mereka melihat empat penunggang kuda membalapkan binatang tunggangan mereka ke dalam dusun. Di punggung keempat orang itu tampak gagang pedang hingga Sin Wan dan Giok Ciu dapat menduga bahwa mereka tentu ahli-ahli silat, juga dari cara mereka duduk di atas kuda dapat diketahui bahwa mereka mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Ternyata dusun itu ramai juga dan kedua anak muda itu berhenti di sebuah kedai untuk mengisi perut mereka yang lapar. Penjaga kedai itu melirik ke arah gagang pedang mereka dan dengan senyum menghormat ia berkata,

"Ah, jiwi engku tentu akan mengunjungi Ngo Lo-Enghiong di puncak Siauw-San, bukan? Hari ini telah lebih dari dua puluh orang-orang gagah yang lewat disini perjalanan mereka ke sana." Sin Wan dan Giok Ciu dengan sikap acuh dan tak acuh lalu duduk memesan masakan.

"Apakah keempat orang gagah berkuda tadi juga kesana?" Tanya Sin Wan sambil lalu.

"Tentu saja, habis kemana lagi? Tapi mereka agaknya tergesa-gesa sekali hingga tidak singgah di warungku. Mereka hanya membeli bakpauw dan membawanya berkuda terus mendaki Siauw-San. Sin Wan dan Giok Ciu menduga-duga. Ada terjadi apakah di puncak gunung Siauw-San hingga banyak orang gagah mengunjungi Ngo-Sinto?

"Tentu kali ini banyak yang datang mengunjungi Ngo Lo-Enghiong, bukan?" Tanyanya dengan cerdik untuk memancing keterangan. Ternyata pancingannya berhasil karena penjaga kedai yang doyan omong itu lalu berkata,

"Tentu saja! Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, Twa Lo-Enghiong mengadakan pesta besar dan mengundang banyak orang gagah. Menurut penuturan Aliok yang dipanggil ke sana untuk membantu memasak, Ngo Lo-Enghiong membuat pesta besar dan memotong tiga ekor babi gemuk dan puluhan ekor ayam. Bahkan bumbu-bumbu telah di datangkan dari kota Cin-Lok-An sampai hampir satu gerobak banyaknya! Pendeknya, jiwi kali ini naik ke sana akan menikmati pesta besar!" Sin Wan dan Giok Ciu tersenyum dan mempercepat makannya.

"Kalau aku tidak salah ingat, pesta itu diadakan besok pagi, bukan? Karena kami hanya mendengar dari teman-teman, mungkin keliru?" Penjaga itu memandang mereka dengan wajah lucu.

"Eh, bagaimana jiwi bisa keliru? Pesta itu diadakan sore hari ini, kalau datang besok pagi, tentu terlambat dan tidak mendapat bagian hidangan lezat!"

"Kalau begitu, kami harus pergi sekarang juga!" kata Sin Wan yang segera membayar harga makanan dan mengajak Giok Ciu meninggalkan warung itu. Ketika mereka telah jauh dari situ, ditengah jalan Giok Ciu berkata,

"Twako mengapa kau tergesa-gesa benar? Bukankah lebih baik kalau kita datang besok saja setelah semua tamu pergi? Kalau kita datang sekarang, jangan-jangan kita menimbulkan keributan dan mendapat musuh-musuh baru." Sin Wan memandang gadis itu.

"Moi-moi, aku mengerti akan maksudmu, dan dipandang sepintas lalu memang benar sekali pendapatmu tadi. Tapi, ketahuilah bahwa Siauw-San Ngo-Sinto adalah orang-orang gagah yang ternama sekali walaupun mereka itu menjadi anjing-anjing penjilat Kaisar. Kalau kita diam-diam bunuh mereka, maka orang-orang gagah di kalangan kang-ouw akan bisa salah sangka terhadap kita. Tapi sekarang kebetulan sekali disana banyak berkumpul orang-orang kang-ouw hingga biarlah mereka yang menjadi saksi bahwa kita membunuh mereka hanya untuk membalas dendam dan menagih hutang jiwa!" Giok Ciu mengangguk-angguk.

"Mungkin kau benar, Twako. Laginya, bagiku sih sama saja, pokoknya asal kita bisa berhasil membunuh anjing-anjing tua itu. Ada banyak orang atau tidak, aku tidak takut!" Sin Wan tersenyum melihat sikap yang tabah dan agak jumawa dari Giok Ciu itu.

Mereka segera keluar dari dusun itu dan menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk mendaki Gunung Siauw-San yang tidak seberapa besarnya tapi tanahnya sangat subur itu. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di lereng puncak Siauw-San. Dari jauh telah nampak berkelap-kelipnya cahaya penerangan di atas puncak di mana terdapat sebuah bangunan besar, yakni sebuah Bio tua yang di cat indah dan menjadi tempat pertapaan Siauw-San Ngo-Sinto. Pada saat itu, Siauw-San Ngo-Sinto sedang sibuk menyambut para tamu dan mengepalai para pelayan mengeluarkan hidangan. Kelima saudara itu berpencar dan masing-masing sibuk mendekati setiap tamu untuk diajak bercakap-cakap dan beramah tamah. Saudara tertua dari Ngo-Sinto itu yang kini sedang dirayakan hari kelahirannya yang ke enam puluh, adalah seorang tinggi besar dan disebut Twa-Sinto atau Golok Sakti Tertua.

Yang ke dua, yakni Ji-Sinto adalah seorang tinggi kurus dan bermuka pucat. Kelima saudara secabang ini memang ahli golok yang pandai, tapi di samping kepandaian bermain golok, masing-masing masih mempunyai kepandaian istimewa. Twa-Sinto atau yang tertua memiliki kepandaian melempar huito atau golong terbang yang melengkung dan jika dilempar ke arah lawan dapat terbang kembali dan menyambar pula, maka biarpun golok itu dapat dikelit, tapi ia akan memutar kembali dan melakukan serangan kedua! Dan hebatnya, ia bisa melepas tiga buah golok sekali lempar! Yang kedua, yakni Ji-Sinto yag bermuka pucat itu, mempunyai ilmu Pasir Besi atau Tiat-See-Ciang, yakni kedua tangannya telah terlatih sedemikian rupa hingga sanggup menyambut senjata tajam.

Dan juga dapat digunakan sebagai senjata yang cukup ampuh karena tangan itu telah berpuluh tahun digembleng dan dilatih dengan menggunakan bubuk besi atau pasir besi yang diremas-remas dan dipukul-pukul. Yang ketiga atau Sam-Sinto yang pendek gemuk memiliki ilmu tendangan yang sangat berbahaya, yakni yang disebut Siauw-Cu-Twie, yang dapat dilakukan bertubi-tubi dan sangat berbahaya, terutama terhadap musuh yang tidak memiliki ginkang tinggi dan kegesitan pasti akan tertendang roboh! Orang ke empat yang tubuhnya tinggi besar juga, memiliki ilmu weduk Kim-Ciong-Ko dan ia sanggup untuk menerima pukulan senjata tajam tanpa terluka kulitnya! Sedangkan orang yang ke lima, yang bertubuh sedang dan berwajah cakap, juga usinya termuda, kurang lebih puluh lima tahun, adalah seorang ahli Liap-Kang Pek-Ko-Chiu atau ilmu keraskan tangan yang lebih berbahaya dari pada Tiat-See-Ciang,

Karena dengan jari-jarinya yang dilempangkan dan keras laksana baja, ia sanggup menyerang lawan dengan Coat-Meh-Hoa atau ilmu totok dari Bu-Tong-Pai yang tak mencari urat atau jalan darah ketika digunakannya! Karena mereka ini rata-rata lihai sekali, maka banyak orang-orang gagah yang kenal baik nama mereka dan jauh-jauh memerlukan datang untuk memberi selamat kepada saudara tertua atau Twa-Sinto dari Ngo-Sinto ini. Memang sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini kelima jago tua yang lihai itu kena terpikat bujukan dan pikatan harta benda dan kemulian dunia oleh orang-orang kaki tangan Kaisar hingga mereka "kesalahan tangan" dan membunuh mati Kang Lam Ciuhiap atau Kakek Sin Wan dan karenanya mereka berlima menanam bibit permusuhan dengan Sin Wan.

Bio atau Kuil tua di puncak Siauw-San itu sangat besar dan mempunyai ruang depan yang luas. Di situ berkumpul kurang lebih tiga puluh orang tamu dari macam-macam golongan, ada yang masih muda sekali, ada pula yang telah Kakek-kakek. Ada yang berpakaian sebagai piauwsu, sebagai guru silat, dan banyak juga yang berpakaian Hwesio berkepala gundul dan pertapa-pertapa lain, seperti Tosu dan sebagainya. Ketika datang empat orang penunggang kuda yang tampaknya sangat tergesa-gesa, maka keempat orang tamu itu cepat menjumpai tuan rumah dan memberitahukan sesuatu. Kelima Ngo-Sinto terkejut sekali tampaknya dan mereka lalu menghadapi semua tamu sambil minta mereka tenang. Kemudian saudara tertua dari Ngo-Sinto berkata.

"Cuwi yang terhomat. Kami berlima sangat berterima kasih dan bergembira dengan kunjunga cuwi sekalian, tapi sayang sekali kami mendengar beria buruk yang baru saja datang dari kota raja! Ternyata bahwa beberapa orang anak pemberontak yang dulu di basmi oleh Suma-Cianbu dengan bantuan tenaga kami, kini telah mengacau di kota raja dan berhasil membunuh Suma-Cianbu yang gagah itu. Dan menurut pembawa berita, maka selain membunuh Suma-Cianbu dan menodai puterinya, juga dua orang pemberontak itu agaknya menuju ke sini untuk mencari kami!" Terdengar suara marah disana sini, yakni dikalangan orang-orang yang memang tidak menyetujui sepak terjang para orang gagah yang sengaja mengacau pemerintahan yang mereka anggap tidak adil. Tapi di kalangan beberapa orang gagah yang duduk di situ, berita itu di anggap biasa saja dan bukan urusan mereka.

"Ah mengapa Ngo-Wi Lo-Enghiong pusingkan pengacauan yang dilakukan oleh beberapa ekor tikus kecil saja!" kata seorang anak muda yang bersikap gagah dan berpakaian indah.

"Kami berlima bukannya merasa takut dan bingung, sama sekali tidak!" jawab Ji-Sinto. "Akan tetapi, setidak-tidaknya kalau mereka itu berani datang, tentu akan mengacaukan suana pesta ini dan dengan demikian membikin tidak enak kepada cuwi sekalian yang mulia."

"Biarkan mereka datang, nanti kami sambut mereka bersama. Sebagai tamu sudah sepantasnya kalau kita membela tuan rumah," jawab seorang tamu lain. Mendengar ini, kelima orang tuan rumah itu merasa lega dan senang. Mereka menjura keempat penjuru dan berkata,

"Terima kasih banyak atas budi kecintaan dan rasa setia kawan cuwi, tapi agaknya kalau baru dua orang anak pemberontak saja, tulang-tulang kami yang tua masih sanggup untuk melayani mereka!" Para tamu lalu melanjutkan pesta mereka dengan gembira.

Tapi diam-diam Siauw-San Ngo-Sinto bersiap, bahkan lalu mereka menyuruh orang mengambil golok mereka untuk disediakan di situ dan Twa-Sinto sendiri diam-diam lalu memasang kantung huito di atas punggungnya. Mereka telah mendengar dari keempat tamu pembawa berita dari kota raja tadi bahwa pembunuh-pembunuh Suma-Cianbu memiliki kepandaian tinggi, juga ada pesan dari Cun Cun Hoatsu agar mereka berhati-hati! Oleh karena inilah mereka berlaku waspada dan agak merasa lega karena banyak di antara para tamu adalah orang-orang gagah yang mereka bisa diharapkan bantuannya. Ketika pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba api lilin di meja tengah bergoyang-goyang hampir padam dan tahu-tahu disitu telah berdiri dua orang anak muda, seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang keduanya bersikap gagah sekali.

"Ngo-Sinto keluarlah untuk membuat perhitungan lama!" Pemuda itu berkata dengan suara nyaring dan tenang, sedangkan gadis jelita itu menggunakan sepasang matanya yang tajam bagaikan sepasang bintang pagi itu untuk menatap orang-orang di sekelilingnya! Pada saat itu, tiba-tiba dari belakang mereka melayang tiga batang huito atau golok terbang yang menyambar cepat sekali! Biarpun tidak melihat datangnya senjata hebat ini, namun telinga Sin Wan dan Giok Ciu yang tajam dapat menangkap sambaran angin senjata itu, maka mereka lalu berkelit ke kiri dan kekanan sehingga tiga batang golok kecil itu terbang di samping mereka. Tapi golok itu segera membelok dan melayang kembali menyerang ke dua orang muda itu! Sin Wan dan Giok Ciu walaupun merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan senjata rahasia ini, berlaku tenang.

Dengan gerakan cepat Sin Wan dapat menangkap sebuah senjata yang melayang ke arahnya, sedangkan Giok Ciu yang hendak pertontonkan kepandaiannya sambil meloncat berjungkir balik ia berhasil menyaut dua batang huito di tangan kanan kirinya. Pada saat itu, kembali dari arah belakang, Twa-Sinto melepas tiga batang golok lagi. Tapi sekali ayunkan kedua tangannya, sepasang golok di tangan Giok Ciu melayang dan membentur dua batang golok yang datang menyambar itu hingga empat buah golok terbang jauh di tanah mengeluarkan suara berkerontangan. Sedangkan Sin Wan menggunakan golok rampasannya unuk menyabet golok ketiga yang datang menyambar hingga golok itupun terpukul jatuh, kemudian dengan menggunakan dua jari tangannya, ia tekuk golok tiu patah menjadi dua potong! Tiba-tiba Sin Wan tertawa bergelak-gelak dengan suara mengandung penuh ejekan, lalu katanya,

"Aah, tak kusangka bahwa nama besar kelima golok Sakti dari Siauw-San tak lain hanya nama kosong belaka! Lima orang tua yang menyebut diri sebagai orang-orang gagah itu ternyata hanya lima orang pengecut yang menyambut kedatangan tamu dengan senjata gelap yang dilepas dari belakang pula!" Ketika melihat kelihaian kedua orang muda itu, pelepas golok terbang, yakni Twa-Sinto sendiri, merasa terkejut sekali. Tapi ia tidak mau kehilangan muka di depan para tamunya, maka ia membentak keras,

"Sepasang tikus kecil, kalian sungguh kurang ajar berani mengacau pesta kami dan menghina serta tidak pandang sebelah mata kepada para tamu yang gagah perkasa! Apa kalian sudah bosan hidup?" Sin Wan dan Giok Ciu memutar tubuh menghadapi pembicara ini yang ternyata seorang tua tingi besar yang sikapnya sangat jumawa dan gagah. Mereka belum menjawab dan menduga-duga ketika seorang muda yang berpakaian indah dan bersikap sombong meloncat dengan gerakan indah dan berdiri di depan Si Wan, lalu menuding dengan jari telunjuknya dan berkata,

"Kau ini siluman dari mana berani mengacau di sini dan tidak mengindahkan tuan rumah? Kepandaian apakah yang kau miliki maka kau berani membikin ribut-ribut?" Sin Wan dengan tak acuh mengerling ke arah orang itu. Ternyata ia masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, sikapnya gagah dan jumawa sekali, pakaiannya dari sutera yang atas kuning, yang bawah biru, dan lagaknya tengil sekali dengan mata liarnya yang saban-saban mengerling tajam ke arah Giok Ciu!

"Kau anak-anak tahu apa, jangan ikut campur. Pergilah!" kata Sin Wan. Marahlah orang itu mendengar ejekan ini. Ia mencabut pedangnya dan meloncat mudur ke tempat lega sambil menggerak-gerakkan pedangnya dengan cepat dan bertenaga hingga pedang itu menerbitkan suara bersiutan. Katanya dengan suara keras.

"Kau bangsat pemberontak! Tak tahukah kau siapa aku? Aku adalah wakil cabang Kun-Lun-Pai dan kau tidak boleh pandang rendah padaku sesukamu saja. Lihat pedang Kun-Lun-Pai akan menghukum orang-orang sombong yang menghina kaumnya!" Giok Ciu memberi isarat kepada Sin Wan dengan matanya, lalu iapun meloncat menghadapi orang itu. Ia menjura dengan senyum manis lalu berkata,

"Maaf kalau kami tidak mengenal seorang tokoh dari Kun-Lun-Pai yang terbesar. Tidak tahu siapakah hohan dan apa pula gelarnya?"
(Lanjut ke Jilid 07)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 07
Melihat sikap Giok Ciu yang sopan dan memuji-mujinya, si baju sutera menjadi girang sekali dan ia makin berlagak, bahkan kini angkat-angkat dadanya ke depan sebelum menjawab sambil melihat ke kanan kiri.

"Hem, kau jauh lebih sopan dan baik jika dibandingkan dengan kawanmu itu, nona. Sungguh heran bisa bersahabat dengan orang kasar itu! Ketahuilah, aku adalah Hui Tat dan disebut orang Eng-Jiauw-Kam atau Pedang Kuku Garuda! Kalau kau menyatakan maaf kepada tuan rumah, aku Hui Tat suka bikin habis perkara ini, tapi kawanmu yang kasar itu jangan harap akan dapat terlepas dari pedangku!"

Giok Ciu mengingat-ingat dan sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang bernama atau berjuluk seperti itu. Ia tahu betul akan nama-nama para tokoh Kun-Lun-Pai karena dulu seringkali Ayahnya yang juga seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang ternama menceritakannya. Maka kini mendengar obrolan Hui Tat, ia dapat menduga bahwa orang ini hanya mengaku-aku saja cabang Kun-Lun sebagai cabangnya untuk mengangkat diri, atau boleh jadi juga ia seorang murid cabang itu, karena memang murid cabang Kun-Lun-Pai banyak sekali jumlahnya dan tersebar kemana-mana. Maka berubahlah sikapnya, karena tadipun ia hanya ingin main-main saja, sedangkan ada dugaan tidak baik terhadap orang sombong ini.

"Jadi kau adalah seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang ternama? Aku telah lama sekali mendengar bahwa ilmu pedang dari Kun-Lun-Pai adalah luar biasa sekali, dan diantaranya terdapat gerakan-gerakan seperti Pek-Hong Koan-Jit dan Tiang-Khing King-Thian. Sukakah kau menambah pengetahuanku yang dangkal dan memperlihatkan kedua gerakan ini?" Memang watak Hui Tat sangat sombong dan jumawa, dan kini ia kena di "bakar" oleh Giok Ciu yang nakal. Gadis ini sengaja menyebutkan gerakan ilmu pedang yang mudah hingga tentu saja Hut Tat girang mendengar ini. Dengan lagaknya yang jumawa ia berkata,

"Kau baru mendengar sebutannya saja sudah tertarik, apa lagi kalau melihat gerakan itu dimainkan olehku! Lihatlah, ini yang disebut Pek-Hong Koan-Jit!." Ia menggerakkan pedangnya dan diputar sedemikian rupa hingga pedang itu mengeluarkan sinar putih yang besar dan bulat di atas kepala dan melindungi bagian atas dari serangan musuh. Memang gerakan ini bagus sekali karena dilihat sekelebatan seakan-akan Hui Tat sedang memegang sebuah payung putih di atas kepalanya!

"Dan inilah yang disebut Tiang-Khing King-Thian!" Ia lalu mengubah gerakan tangannya yang tadi memutar-mutar pedang dan kini tubuhnya ikut berloncatan ke kanan kiri dan pedangnya mendatangkan sinar panjang berkelebatan. Giok Ciu yang telah mempelajari Kun-Lun Kiam-Hoat dengan baik dan kenal semua tipu gerakan ilmu pedang cabang ini, mendapat kenyataan bahwa biarpun gerakan si sombong ini cukup cepat, namun hanya merupakan latihan luar saja dan kepandaiannya yang bagus ditonton itu sebenarnya tidak berisi. Maka ia segera tertawa nyaring hingga Hut Tat menjadi makin sombong. Ia mengangkat dada dan berkata sambil tersenyum girang,

"Bagaimana nona? Bukankah hebat gerakan ilmu pedangku?" Tiba-tiba Giok Ciu memandangnya dengan mata tajam dan menghina.

"Hui Tat, hayo kau lekas berlutut di depanku!" bentaknya. Bukam main kagetnya Hui Tat mendengar perubahan sikap gadis cantik ini. Juga semua tamu dan tuan rumah yang semenjak tadi melihat mereka menjadi terkejut.

"Eh, apa... apa maksudmu?" Hui Tat bertanya.

"Jangan banyak cerewet, hayo lekas memberi hormat kepadaku. Kau hanyalah cucu muridku kalau dipandang dari sudut kepandaianmu!"

"Apa? Kau juga murid anak murid Kun-Lun?"

"Mungkin gurumu baru pantas menjadi murid keponakanku. Maka hayo lekas kau berlutut!"
Marahlah Hui Tat.

"Kau jangan kurang ajar seperti kawanmu itu. Memang kalian pemberontak-pemberontak yang harus dibasmi. Janan kau sembarangan hendak menghina Kun-Lun-Pai!"

"Siapa yang menghina Kun-Lun-Pai? Bukan aku, tapi kau sendirilah! Akulah benar-benar anak murid Kun-Lun sedangkan kau ini hanya mengaku-aku saja! Kau kira kedua gerakan tadi betul? Ha, ha! Dalam satu dua jurus saja aku bisa mainkan Tiang-Khing King-Thian dan merobohkanmu jika kau menangkis dengan gerakanmu Pek-Hong Koan-Jit yang tak karun tadi."

"Boleh kau coba!" tantang Hui Tat yang merasa dihina sekali.

"Betulkah? Nah, lihat baik-baik, dalam satu jurus saja aku akan merampas pedangmu dan merobek bajumu yang terlalu mewah itu!" Sambil berkata begitu Giok Ciu mencabut pedangnya dari punggung.

"Awas, kau gunakan Pek-Hong Koan-Jit baik-baik!" Seru gadis itu dan dengan cepat Hui Tat telah bersiap dan pasang kuda-kuda, Giok Ciu lalu bersuit keras dan mengerahkan ginkangnya meloncat menyerbu ke arah lawan itu. Hui Tat melihat lawannya menyerang dari atas segera memutar pedangnya dengan tipu gerakan Pek-Hong Koan-Jit tadi untuk melindungi kepalanya.

Dan benar saja, Giok Ciu bergerak menjalankan serang dengan tipu Tiang-Khing King-Thian atau Pelangi Panjang Melengkung di Langit. Pedangnya bergerak cepat dan dari mulutnya masih melengking suitannya yang membuat Hui Tat tiba-tiba merasa keder dan gugup sekali. Karena Giok Ciu memang memiliki tingkat kepandaian dan lweekang yang jauh diatasnya, maka sekali kedua pedang menempel, Hui Tat kehilangan keseimbangan badan dan tangannya. Ketika Giok Ciu menggunakan tangan kiri mengetuk pergelangan tangannya maka pedangnya telah pindah tangan tak terasa pula! Pada saat tubuh gadis itu turun di sebelah kiri lawan, gadis itu menggerakkan pedangnya dan "brebeett" ujung pedang itu merobek baju Hui Tat hingga terbukalah baju itu dari batas leher sampai pinggang!

"Nah, tidak lekas berlutut mau tunggu kapan lagi?" Giok Ciu membentak sambil mengayunkan pedang rampasan itu keatas dan pedang itu bagaikan anak panah menancap di balok melintang hingga hampir setengahnya!! Hui Tat merasa malu dan terkejut sekali. Tanpa berkata apa-apa ia lalu lari pergi dan menggunakan tangan kanan unuk memegang bajunya yang robek. Sedikitpun ia tidak berani menoleh dan lari bagaikan dikejar setan karena ia merasa malu sekali! Giok Ciu dan Sin Wan tertawa bergelak-gelak.

"Siauw-San Ngo-Sinto! Janganlah berlaku pengecut, dan keluarlah kalian untuk mengadu kepandaian! Apakah kalian takut pada kami?" Kelima Golok Sakti dari Siauw-San yang telah puluhan tahun membuat nama besar itu, tentu saja tidak sudi menelan hinaan kedua anak muda itu, dan berbareng mereka berlima meloncat menghadapi Sin Wan dan Giok Ciu, sedangkan golok andalan mereka telah berada di tangan masing-masing!

"Hm, anak muda sombong. Kalian terlau mengandalkan kepandaian sendiri dan tidak pandang sebelah mata kepada semua orang berada disini! Tidak tahukah kalian bahwa kami sedang melakukan pesta perjamuan dan bahwa kalian tidak kami undang? Tapi kalian sengaja datang mengacau dan karena ini selain kalian menghina kami berlima orang-orang tua, juga kalian telah memandang rendah dan tidak menghargai semua tamu-tamu kami yang terhormat!" kata Twa-Sinto sambil memandang kepada semua tamu.

Sin Wan terkejut dan mengagumi kecerdikan dan kelicinan orang tua itu. Ucapan yang dikeluarkan seakan-akan menegurnya itu sebenarnya adalah semacam hasutan untuk menarik semua tamu di pihak mereka agar semua tamu dipandang rendah oleh Sin Wan dan Giok Ciu sehingga menjadi marah. Maka buru-buru Sin Wan menjura ke sekelilingnya dan berkata dengan suara yang lebih keras lagi dari pada suara Twa-Sinto.

"Cuwi yang terhormat! Ketahuilah bahwa kami berdua orang muda tidak sekali-kali berani memandang rendah kepada cuwi yang gagah perkasa. Siauwte telah cukup mendapat didikan Kakekku Kang Lam Ciuhiap untuk berlaku hormat kepada sahabat-sahabat dari kalangan kang-ouw dan para Lo-Cianpwe, sedangkan adikku inipun cukup mendapat didikan dari Ayahnya yang bukan lain adalah Kwie Cu Ek si Harimau Terbang! Kami berdua adalah keturunan orang-orang gagah yang binasa dalam keadaan mengandung penasaran karena penghinaan orang-orang semacam Ngo-Sinto ini! Kini kami datang ke sini semata-mata hendak membalas sakit hati atas terbunuhnya orang-orang tua kami, dan urusan kami hanyalah dengan Ngo-Sinto, sedikitpun tiada sangkut paut dengan cuwi sekalian!"

Mendengar kata-kata Sin Wan ini, semua tamu diam-diam mengangguk-angguk karena nama-nama besar seperti Kang Lam Ciuhiap dan Hui-Hauw Kwie Cu Ek memang telah mereka dengar dengan baik. Maka sebagian besar daripada mereka ini lalu duduk dan tidak hendak mencampuri urusan orang lain yang sebenarnya adalah urusan pribadi dan balas dendam perseorangan yang sedikitpun tiada sangkut paut dengan mereka. Tapi seorang pertapa rambut panjang yang digelung ke atas dan memakai tusuk rambut emas dan jubahnya berwarna merah, berdiri dari tempat duduknya dan lalu tubuhnya yang jangkung kurus itu berjalan tenang dan menghampiri Sin Wan dan Giok Ciu. Ia mengangguk ke arah tuan rumah lalu berkata kepada Sin Wan,

"Eh, anak muda! Kau pandai sekali menggunakan nama Kakekmu Kang Lam Ciuhiap dan nama Hui-Hauw Kwie Cu Ek untuk menakut-nakuti para tamu! Tapi ketahuilah, nama-nama yang kau sebut itu tidak berada di atas kedudukan dan tingkatku, maka aku tidak berlaku lancang kalau mengajukan diri untuk membereskan urusan ini!" Sin Wan melihat seorang Tosu tinggi kurus yang bermata tajam itu datang-datang membela tuan rumah, segera mengerti bahwa urusan akan menjadi hebat, maka buru-buru ia mengangkat tangan memberi hormat,

"Totiang dari mana dan siapakah maka sudi mencapikkan diri mengurus kami yang muda-muda?"
Tosu itu tertawa sambil mengdongakan kepalanya ke atas hingga lehernya memanjang bagaikan leher merak.

"Aku adalah Keng Kong Tosu. Kau tadi bilang bahwa urusanmu dengan Siauw-San Ngo-Enghiong tiada sangkut pautnya dengan para tamu, tapi mengapa kawanmu telah menghina seorang tamu, yakni Hui Tat Enghiong tadi? Apakah kalian benar-benar hendak mengagulkan kepandaian disini?"
Atas pertanyaan ini Giok Ciu yang maju menjawab.

"Bukankah Totiang tadi juga melihat bahwa orang she Hui adalah seorang sombong yang hendak menggunakan nama Kun-Lun-Pai untuk menjual muka? Aku sebagai keturunan seorang tokoh Kun-Lun tentu takkan membiarkan nama Kun-Lun-Pai dipermainkan orang macam itu!"

"Hm, sungguh masih muda tapi sudah mempunyai suara besar! Kulihat kepandaian nona ini cukup bagus, maka tentu kepandaianmu lebih kuat lagi, anak muda! Sebenarnya kau murid siapakah?"

"Guru kami adalah Bu Beng Sianjin." Tapi nama ini tak dikenal oleh Tosu itu maka ia keluarkan suara ejekan.

"Ketahuilah anak muda. Siauw-San Ngo-Enghiong bukanlah anak-anak kecil yang boleh kau ajak berkelahi begitu saja. Itu berarti kalian menghina padanya, sedangkan aku pada saat ini menjadi tamu, maka bagaimana aku bisa membiarkan orang luar menghina tuan rumahku? Biarlah kuukur dulu kepandaianmu apakah sudah cukup pantas untuk digunakan melayani Ngo-Enghiong. Kalau kepandaianmu masih terlampau rendah, maka pulanglah saja dan belajar barang sepuluh tahun lagi sebelum memberanikan diri mencari Siauw-San Ngo-Enghiong!" Sambil berkata begini, Tosu ini mengeluarkan sebuah hudtim, yakni kebutan pertapa dan sebatang pedang pendek, lalu menghadapi Sin Wan sambil berkata,

"Nah, keluarkanlah senjatamu dan kalian berdua boleh maju berbareng." Sin Wan dan Giok Ciu marah sekali melihat lagak orang ini yang terang-terangan memandang rendah kepada mereka. Tapi Sin Wan memberi isyarat kepada Giok Ciu dan sambil mencabut pedangnya ia berkata kepada Keng Kong Tosu,

"Totiang, ketahuilah! Kami berdua bukanlah orang-orang berjiwa pengecut yang mudah digerak untuk menarik kembali niat kami membalas dendam. Jangankan baru kau yang menghalangi kami, biarpun menghadapi lautan api akan kami terjang untuk mencari dan membalas dendam ini! Kalau kau orang tua hendak merendahkan diri dan mengotorkan tangan mengikut campuri urusan yang tiada sangkut pautnya dengamu, maka silahkan maju dan jangan kira kami takut padamu!" Melihat ketabahan anak muda yang bersikap tenang ini, Keng Kong Tosu yang sudah banyak pengalaman maklum bahwa anak muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi.

Apapula ketika melihat sinar pedang Pek Liong Pokiam yang mengeluarkan hawa mujijat dan sinar mengerikan! Diam-diam Keng Kong Tosu terkejut sekali dan menjadi keder menghadapi pokiam yang benar-benar jarang dicari keduanya itu. Namun sebagai seorang yang mempunyai tingkat dan disebut Lo-Cianpwe oleh kebanyakan orang kang-ouw, Keng Kong Tosu menenangkan hatinya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara ketawa menyeramkan yang nyaring dan panjang. Suara ini memang terdengar aneh dan serem hingga semua orang yang berada di situ merasa bulu tengkuk mereka berdiri, karena selain kedengarannya menyeramkan, juga suara ketawa itu mengandung pengaruh yang kuat sekali! Memang Tosu itu sedang mengluarkan kepandaian Hoat-Sutya, yakni semacam sihir atau ilmu hitam.

Dengan mukjizat ia dapat menyebarkan pengaruh yang kuat di dalam suara ketawa itu untuk membuat Sin Wan lemah semangat dan terpengaruh olehnya. Memang benar Sin Wan yang terkena tenaga yang sebenarnya ditujukan sepenuhnya kepadanya itu merasa seakan-akan ada sesuatu memukul dari dalam tubuhnya, yakni tenaga yang memasuki telinganya dan terbawa oleh suara ketawa yang menyeramkan itu. Tapi, sebelum ia merasa mabuk dan pening, tiba-tiba jari tangan kanannya yang memegang pedang merasakan seperti ada air hangat yang menjalar ke seluruh tubuh dan mengusir pergi pengaruh Mukjizat itu! Sin Wan menduga bahwa tentu pokiamnya yang memang ampuh dan mukjizat itu menolongnya dan dari Pokiamnya itulah datangnya tenaga hawa aneh yang melenyapkan pengaruh ilmu hitam! Maka ia selalu tersenyum dan dengan hati tetap berkata,

"Majulah, Totiang!" Keng Kong Tosu heran dan terkejut sekali melihat betapa Sin Wan tenang-tenang saja seakan-akan tidak terpengaruh oleh suaranya, bahkan ketika Giok Ciu juga mencabut pedangnya yang hitam mulus bersinar-sinar, iya merasa betapa cahaya pedang itu tajam menusuk matanya hingga ia mundur dua tindak! Segera ia dapat menguasai dirinya dan dengan seruan keras ia maju menyerang dan Mengayunkan pedang dan hudtim dari dua jurus yang bertentangan menyerang tempat-tempat berbahaya di tubuh anak muda itu!

"Bagus!" seru Sin Wan yang segera melibatkan pokiamnya dan menangkis. Keng Kong Tosu biarkan pedang pendek nya ter tangkis, karena pedang pendeknya itu pun pedang pusaka yang ampuh dan tajam, tapi dia tidak berani membiarkan hudtimnya menjadi putus oleh pedang lawan yang hebat itu, maka cepat sekali ia kelebatkan kebutannya dan kini meluncurlah ujung kebutan itu dengan cepatnya ke arah darah di leher Sin Wan!

Inilah serangan maut yang sangat berbahaya dan disebut gerak tipu Hio-Te Hoan-Hwa atau Dibawah Daun Cari Bunga. Namun Sin Wan telah berlaku waspada. Cepat ia merubah bhesi dengan memiringkan kepala dan leher hingga ia dapat berkelit dari ujung kebutan lalu balas menyerang dengan pokiamnya yang tak kalah hebat dan berbahayanya. Serangan balasan ini demikian hebatnya hingga Keng Kong Tosu berseru kaget dan meloncat mundur sambil putar pedang pendeknya di depan tubuhnya sebagai pelindung. Tapi ketika Sin Wan memutar pula pedangnya ke arah yang bertentangan, kedua pedang itu beradu keras dan hampir saja pedang pendek Keng Kong Tosu terlepas karena kuatnya serangan lweekang muda itu. Keng Kong Tosu merasa telapak tangannya panas dan ia menjadi pucat karena timbul rasa jerih terhadap anak muda yang tenang ini!

Untung Gadis itu tidak maju mengeroyoknya, kalau terjadi hal ini, tentu ia takkan dapat bertahan, karena ia tahu bahwa pokiam di tangan Gadis itu mukjizat sekali dan tidak kalah ampuhnya dengan pokiam putih di tangan pemuda ini! Diam-diam Keng Kong Tosu heran sekali mengapa tiba-tiba di dunia kang-ouw bisa muncul jago-jago luar biasa yang semuda ini dan ia mulai memikir siapa gerangan Suhu mereka ini yang tadi disebut Bu Beng Sianjin! Tapi serangan dan desakan Sin Wan membuat ia tidak dapat berpikir karena ia harus memusatkan seluruh perhatiannya kepada senjata musuh agar tidak sampai di robohkan. Setelah bertempur hampir dua ratus jurus dengan hebat sekali, mulailah Keng Kong Tosu terdesak hebat tak berdaya. Ia segera mengerahkan kekuatan gaib nya dan sambil semburkan Tenaga dari dada dan perutnya ke arah lawan, membentak dengan suara menggeledek,

"Robohlah kau!" Tenaga ilmu hitam ini hebat sekali karena Sin Wan merasa betapa tenaga raksasa yang tidak kelihatan mendorongnya ke belakang hingga ia terhuyung-huyung dan bhesi kakinya tergempur, tapi aneh! Kembali ada tenaga hangat yang menjalar dari telapak tangan yang memegang pedang hingga ia tertolong dari bahaya maut karena pada saat itu Keng Kong Tojin yang heran sekali melihat lawannya tidak roboh terkena ilmu hitamnya tapi hanya terhuyung saja, segera maju menerjang dan mengirim serangan maut dengan pedang pendek dan hudtimnya!

Ketika itu Ujung hudtim telah dekat sekali dengan urat di leher Sin Wan yang jika terkena akan menghentikan Jalan pernapasannya. Tapi untung sekali pemuda itu telah tertolong oleh hawa pedangnya hingga ia bisa menggulingkan diri ke samping dan menggunakan pokiamnya menyabet keras ke arah lengan lawan yang memegang hudtim! Keng kong Tosu berteriak kaget dan menarik lengannya tapi Pek Liong Pokiam telah berhasil membabat kebutannya itu hingga putus di dekat gagangnya! Kemudian dengan gemas Sin Wan maju menyerang dan mengeluarkan Pek Liong Kiam-Sut yang jarang terdapat keduanya di dunia ini! Payahlah Keng Kong Tosu mempertahankan diri, maka dengan terpaksa sekali dan lupa akan rasa malu, ia meloncat mundur keluar dari kalangan pertempuran sambil berkata,

"Kau hebat sekali! Biar Lain kali kita bertemu pula!" kemudian Tosu itu lalu kabur dengan cepat sekali turun gunung karena merasa tidak ada muka untuk bertemu dengan semua orang yang menyaksikan kekalahannya tadi! Sin Wan dan Giok Ciu dengan pedang di tangan kini menghadapi kelima musuh besarnya yang sementara itu telah bersiap sedia, walaupun hati mereka gentar sekali melihat kehebatan Sin Wan tadi. Namun betapa pun juga, mereka masih mengandalkan Ngo-Heng-Tin mereka yakni barisan lima elemen yang diatur oleh kelima golok mereka itu. Selamanya belum pernah mereka dapat dikalahkan musuh dalam barisan hebat ini.

"Ngo-Sinto, bersiaplah terima binasa!" kata Giok Ciu. Twa-Sinto tersenyum,

"Kalian anak muda sungguh sayang sekali, setelah memiliki kepandaian tinggi akhirnya harus mampus di tangan kami." Setelah Twa-Sinto berkata demikian maka ia dan keempat saudaranya lalu berdiri berjajar, yang tertua di depan, kedua di belakangnya demikian seterusnya hingga mereka merupakan barisan seekor ular, memang mereka sengaja membentuk Kim-Coa-Tin atau Barisan Ular Emas,

"Bersiaplah kalian terima binasa!" Twa-Sinto berkata keras dan Ia lalu maju menyerang Sin Wan dengan goloknya.

Harus diketahui bahwa golok kelima orang tua ini, selain indah dipandang dan bergagang emas, juga terbuat dari baja tulangan yang baik sekali hingga merupakan senjata mustika yang ampuh dan tajam, kenapa senjata itu berani menghadapi Pek Liong dan Ouw Liong, tanpa kuatir tertabas putus. Dan golok itu berat dimainkan dengan gerakan gerakan golok yang khusus mereka pelajari untuk digunakan dalam barisan mereka ini hingga gerakan mereka bagaikan dilakukan oleh satu orang saja! Melihat datangnya serangan, Sin Wan menangkis dan balas menyerang, tapi Twa-Sinto yang merupakan kepala barisan ular, menjauhinya dan serangan itu disambut Ji-Sinto, lalu Diteruskan oleh serangan Sam-Sinto! Demikianlah, tiap kali gebrakan, Sin Wan menghadapi orang lain dan kelima orang itu bergerak bergerak teratur sekali bagaikan seekor ular merayap rayap!

Sin Wan menjadi bingung dan pada saat itu Giok Ciu berseru keras lalu menyerbu. Pertempuran menjadi lebih ramai Karena kini dua pedang melawan lima golok! Dengan masuknya Giok Ciu ke dalam pertempuran, maka Kim-Coa-Tin dapat dibikin bubar dan kacau karena kalau Sin Wan menyerang kepalanya, Giok Ciu membarengi menghantam lehernya atau orang kedua gerakan barisan ular itu tidak bisa otomatis lagi dan terpotong-potong! Karena inilah maka Twa-Sinto yang selalu merupakan pimpinan karena Ia memang paling cerdik, juga kepandaiannya paling tinggi, bersuit dua kali dan tiba-tiba barisan ular itu bergerak-gerak dan berubah menjadi barisan ombak samudra! Tiga orang menyerang Sin Wan dan Giok Ciu sedangkan yang dua lagi menyerang sambil bergulingan dan selalu menunjukkan golok mereka ke arah kaki kedua anak muda itu!

Golok kedua orang ini menyambar-nyambar dan sekali saja kaki terbabat, maka akan putuslah kaki anak-anak muda itu! Sin Wan dan Giok Ciu tak dapat mendesak kedua orang yang bergulingan sambil menyerang kaki mereka itu karena tiga orang lawan menjaga dengan kuat tiap serangan ke arah dua orang penyerang bawah itu dilindungi oleh tiga orang penyerang atas! Barisan ini bahaya sekali dan membingungkan Sin Wan dan Giok Ciu yang tiap kali harus berloncat-loncatan melindungi kaki mereka! Tiba-tiba Giok Ciu bersuit keras dan Ia menggunakan ginkangnya untuk berkelebat ke atas dan menyerang orang-orang yang bergulingan itu dengan menyambar-nyambar dari atas! Sin Wan melihat gerakan ini teringat akan ilmu silat garuda terbang yang dulu diajarkan oleh Kwie Cu Ek,

Maka iapun lalu menggunakan ginkangnya untuk melayani barisan aneh ini! Diserang oleh dua anak muda yang sangat gesit dan memiliki ginkang tinggi ini hingga merupakan sepasang Garuda menyambar-nyambar, barisan ombak Samudra menjadi kacau balau. Maka kembali Twa-Sinto bersuit keras tiga kali dan kali ini kelima Tosu itu mengeluarkan kepandaian mereka yang paling hebat, yakni Ngo-Heng-Tin atau Barisan Lima Elemen merupakan segi lima yang kadang-kadang berubah menjadi Bundaran. Mereka lari berputar dan menyerang Sin Wan dan Giok Ciu dari lima jurusan yang teratur sekali! Golok mereka yang berat dan tajam itu bergerak dengan cepat dan pergerakan kelima golok itu demikian teratur dengan otomatis mereka itu saling membantu kawan setiap serangan merupakan serangan berantai!

Misalnya Twa-Sinto menyerang, maka musuh yang berkelit segera disambut serangan golok kedua dan demikian seterusnya hingga apabila lawan dapat sebuah serangan, berarti ia harus dapat pula kelit empat serangan golok lain! Karena mereka berlima menyerang dan bersilat sambil berputaran dan mengurung Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di tengah, maka kedua anak muda itu tak dapat bergerak leluasa. Kemudian Giok Ciu memberi seruan keras dan pokiamnya itu mendengung mengeluarkan suara ketika digerakkan dengan hebatnya! Ternyata Gadis itu telah menggunakan pokiamnya bersilat dengan ilmu Pedang Naga Hitam yakni Ouw Liong Kiam-Sut yang menjadi kepandaian simpanannya! Melihat betapa kawannya telah mulai bersungguh-sungguh, Sin Wan tidak mau kalah dan setelah berseru keras, ia menggerakkan pedangnya yang putih dalam ilmu Pedang Naga Putih atau Pek Liong Kiam-Sut!

Sebentar saja kedua pemuda-pemudi itu lenyap dalam gulungan dua sinar pedang hitam dan putih yang mengeluarkan hawa dingin dan panas secara mukjizat sekali! Yang menonton pertandingan ini diam-diam meleletkan lidah melihat kehebatan permainan pedang kedua anak muda itu! Pedang hitam dan putih itu kini seakan-akan telah berubah menjadi sepasang naga hitam dan putih yang melayang-layang dan menyambar-nyambar menerbitkan angin, gerakan yang indah tapi buas sekali. Sin Wan dan Giok Ciu setelah mainkan Ouw Liong Kiam-Sut dan Pek Liong Kiam-Sut menjadi demikian gembira hingga seakan-akan mereka berlomba memperebutkan pahala! Sebentar saja terdengar jeritan ngeri ketika pada saat hampir berbaring sepasang pokiam itu menyambar leher dua orang Tosu hingga leher mereka terbabat dan kepalanya terpental jauh!

Tiga Tosu lagi menggertak gigi dan melawan dengan nekad, tapi dibarengi teriakan nyaring, kembali pedang hitam Giok Ciu telah menembus dada Sam-Sinto hingga Tosu ini menjerit ngeri dan roboh binasa. Melihat hasil Giok Ciu , Sin Wan tidak mau kalah, dengan gerak tipu Pek Liong Cut-Tong atau Naga Putih Keluar Gua, iya berhasil menusuk mati Ji-Sinto! Tinggal Twa-Sinto seorang yang masih melawan mati-matian, tapi karena kedua anak muda itu agaknya benar-benar bersaing dalam membunuh musuh mereka, kedua pedang itu dengan secara hebat sekali dan tak terduga datangnya, tahu tahu keduanya telah tembus perutnya! Saudara tertua dari Siauw-San Ngo-Sinto ini roboh tak dapat bersuara lagi! Melihat betapa kelima musuh besar telah menggeletak dalam darah mereka sendiri, Sin Wan dongakkan kepala keatas dan berseru keras,

"Ibu, Kong-kong! Lihatlah, musuh-musuhmu telah dapat kami binasakan!" Kemudian ia tertawa bergelak-gelak dan sebentar kemudian disusul dengan suara tangisnya terisak-isak. Giok Ciu lalu ikut menangis tersedu-sedu di samping Sin Wan, karena ia teringat akan kematian Ayahnya sendiri yang sampai saat itu belum juga terbalas!

Musuh besar gadis ini ialah Cin Cin Hoatsu, yakni Pendeta Tibet yang telah membunuh Ayahnya, sedangkan pada saat itu ia belum dapat bertemu dengan musuh besar itu. Para tamu yang tadinya merasa ngeri dan kagum melihat betapa dua orang muda yang konsen dan lihai sekali itu dapat menewaskan kelima golok sakti dari Siauw-San dengan mudah, kini merasa heran sekali melihat betapa keduanya berdiri sambal menutup muka dan kucek-kucek mata dengan kedua tangan dalam tangisan sedih! Mendengar tangis Giok Ciu makin keras saja, Sin Wan menunda tangis dan memandang ke arah gadis itu dengan heran. Ia sendiri tadi menangis karena terharu dan girang, terharu teringat akan Ibunya dan Kakeknya yang tercinta dan girang karena akhirnya ia berhasil membasmi semua musuh besar, Tapi kini mendengar tangis Giok Ciu, ia memandang heran dan kuatir.

"Eh, moi-moi kau kenapakah?" tangannya sambal memegang pundak orang. Mendengar pertanyaan ini, Giok Cu makin memperhebat tangisannya dan ia kipatkan tangan Sin Wan yang memegang pundaknya! Sin Wan makin heran dan bertanya mendesak.

"Eh, moi-moi, kenapakah? Mengapa kau ngambek? Katakanlah? Sementara itu para tamu melihat tontonan ini merasa heran sekali, karena kedua anak muda yang lihai itu ternyata bersikap seolah-olah disitu hanya ada mereka berdua saja! Benar-benar sepasang orang muda yang berilmu tinggi dan bersikap luar biaa dan aneh!

"Kau" kau murid tidak setia! Sudah lupakah kau akan terbunuhnya Ayah? Atau" atau kau tak mau ambil perduli lagi??"

"Moi-moi, jangan berkata begitu! Sakit hati Ayahmu adalah sakit hatiku juga, penderitaanmu adalah penderitaanku juga! Mari kita mencari Cin Cin Hoatsu untuk membalas kematian hati Ayahmu!"
Kemudian Sin Wan memandang ke sekeliling dan menjura, "Dengan sangat menyesal kami mengharap cuwi suka memberi maaf kepada kami orang-orang muda yang datang untuk menagih hutang kelima orang yang kini telah tewas ini. Sekali lagi kami tekankan bahwa kami tiada urusan apa-apa dengan cuwi. Mungkin diantara cuwi ada yang tahu dimanakah seorang Tibet yang bernama Cin Cin Hoatsu?" Tiba-tiba dari sudut kiri terdengar suara orang bertanya,


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Jiwi mencari Cin Cin Hoatsu ada urusan apakah?" Sin Wan menengok dan Giok Ciu segera keringkan air matanya lalu ikut berpaling juga. Ternyata yang bertanya adalah seorang tua yang gundul dan Hwesio ini tampaknya gagah dan berkepandaian. Melihat sikap orang yang ramah tamah dan pandangan matanya yang menyatakan simpati kepada mereka itu, Sin Wan lalu maju dan menjura,

"Lo-Suhu apakah dapat menolong kami memberitahukan tempat Cin Cin Hoatsu? Orang tua penjilat Kaisar itu adalah musuh kami juga, karena ia telah membunuh mati Suhu kami, Kwie Cu Ek."
Hwesio itu mengangguk-angguk,

"Mencari Cin Cin Hoatsu bukanlah perkara mudah, karena selain Lo-Cianpwe itu berkepandaian tinggi sekali juga kemana ia pergi tak seorangpun dapat mengetahuinya. Khabarnya ia mendapat tugas dari Kaisar untuk melawat ke Tibet membawa pesan rahasia dan penting. Tahukah kalian bahwa Keng Kong Tosu yang kau kalahkan tadi juga seorang diantara saudara-saudaranya?" Alangkah kecewa dan menyesalnya Sin Wan dan Giok Ciu. Kalau tadi mereka tahu bahwa Keng Kong Tosu adalah Sute atau saudara Cin Cin Hoatsu, tentu mereka takkan melepaskan begitu saja! Melihat kekecewaan kedua anak muda itu, si Hwesio segera menambahkan,


JILID 08



"Tapi yang pasti ialah bahwa waktu ini Cin Cin Hoatsu telah pergi ke Tibet!" Sin Wan dan Giok Ciu menghaturkan terima kasih dan mereka segera meninggalkan tempat itu untuk menyusul ke Tibet! Giok Ciu sangat bernafsu untuk lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya itu hingga ia medesak Sin Wan untuk terus-menerus melakukan perjalanan cepat! Pada suatu hari mereka melepaskan lelah di dalam sebuah hutan yang lebat dan penuh dengan pohon-pohon besar dan bunga-bunga indah. Mereka duduk di dekat serumpun tanaman bunga yang sedang mekar kembangnya dan menyebar bau harum menyedapkan.

"Giok Ciu, ketika kita bertempur membinasakan Siauw-San Ngo-Sinto dulu, ternyata bahwa ilmu pedangmu sangat hebat dan maju sekali," Sin Wan menyatakan pendapatnya memuji. Tapi Giok Ciu memandangnya tak puas,

"Aah, dikata majupun susah, engko Sin Wan. Buktinya masih belum melebihi kemajuanmu, kau berhasil pula membunuh dua orang musuh dan yang seorang terakhir mati di tangan kedua pokiam kita!" Sin Wan memandang gadis itu dengan heran,

"Itu bukan berarti bahwa kau masih kalah olehku, moi-moi. Kita seri, sama-sama kuat hingga seorang berhasil menewaskan dua setengah orang musuh!" Mendengar kelakar Sin Wan ini, Giok Ciu tersenyum,

"Giok Ciu," kata Sin Wan pula dengan suara halus sambal memandang wajah gadis yang manis itu, "Kalau kita dapat bertemu dengan Cin Cin Hoatsu, pasti kau dan aku akan dapat membunuhnya."
Giok Ciu menghela napas.

"Mudah-mudahan kita akan lekas bertemu dengan bangsat tua itu, kalau aku belum membunuh mati orang tua itu, selamanya hatiku dan pikiranku takkan tenteram dan tenang."

"Jangan kau kuatir, moi-moi, bukankah ada aku yang selalu akan berada disampingmu dan membelamu?" kata Sin Wan mengulurkan tangan dan memegang tangan gadis itu. Giok Ciu diam saja dan tidak menarik tangannya karena tempat yang indah itu dengan hawanya yang nyaman rupanya juga mempengaruhi hatinya, maka ia hanya memandang saja wajah Sin Wan yang tampan dan terkasih itu dengan lirikan mesra. Keduanya diam tak bergerak hanya merasakan nikmat dan bahagia ayunan asmara melalui denyutan tangan mereka yang saling berpegang dan melalui pandang mata mereka yang menyampaikan seribu satu kalimat bisu yang mesra! Akhirnya terdengar elahan napas perlahan Sin Wan,

"Giok Ciu, setelah kita berhasil membalas sakit hati dan menewaskan Cin Cin Hoatsu, kita" kita akan kemanakah?" Untuk beberapa saat Giok Ciu tak dapat menjawab, hanya menekan tangan Sin Wan dengan erat dan penuh arti.

"Aku" aku hanya menurut saja padamu, Koko." Sin Wan menjadi girang sekali dan menarik tubuh Giok Ciu hingga kepala gadis dengan rambutnya yang harum itu bersandar di dada Sin Wan yang bidang.

"Benarkah? Kalau begitu, setelah kita berhasil, kau" Kita" akan" kawin?" Merahlah wajah Giok Ciu, tapi ia hanya meramkan mata dan berbisik,

"Terserahlah, Koko, bukankah aku memang calon jodohmu"?" Giok Ciu yang bersandar di dada Sin Wan tiba-tiba merasa sesuatu mengganjal kepalanya. Segera ia mengangkat kepalanya yang bersandar dan memandang Sin Wan karena teringat sesuatu,

"Koko, apakah" Sepatuku dulu itu masih tergantung di lehermu?" Sin Wan tersenyum malu dan ia mengeluarkan sepatu kecil itu.

"Tentu saja!" jawab Sin Wan pasti.

"Koko, kau simpan baik-baik sepatu itu dan belum pernah terpisah dari tubuhmu. Kalau" Kalau kita sudah suami isteri, apakah kau juga masih akan menyimpan terus sepatu itu?"

"Tentu saja!" jawab Si Wan pasti. "Untuk" untuk dipakai oleh kaki kecil kelak!" Gok Ciu masih belum mengerti.

"Kaki kecil? Kaki siapa, Koko?" di dalam suaranya terdengar cemburu. Sin Wan tertawa besar.

"Kaki siapa lagi? Kaki anak kita, tentu!"

"Ah, kau ceriwis!" kata Giok Ciu sambil mencubit lengan pemuda itu, tapi Sin Wan hanya tertawa saja.

"Dan sulingku itu kau kemanakan, moi-moi?" Giok Ciu mencabut suling itu dari ikat pinggang.

"Apakah hanya kau yang bisa berlaku setia?" katanya. Sin Wan mengambil suling itu dan segera mainkan dengan tiupannya yang merayu. Tapi kali ini ia meniup lagu gembira yang menyatakan betapa bahagia rasa hatinya saat itu, sedangkan Giok Ciu lalu menyandarkan kepalanya di dada itu lagi, karena dalam bersandar ini ia merasa seakan-akan dirinya aman sentausa dan mendapat sandaran yang teguh kuat hingga mengamankan hatinya. Memang ia menganggap pemuda itu sebagai tiang sandaran hidup yang selamanya akan melindunginya! Pada saat kedua anak muda itu dimabuk anggur asmara, tiba-tiba terdengar suara tertawa menghina di belakang mereka! Karena asyik mendengar suling yang ditiup oleh Sin Wan, maka keduanya sampai tidak mendengar bahwa di belakang mereka berdiri dua orang Kakek!

Sin Wan dan Giok Ciu mencelat bangun dengan muka merah karena malu. Tapi setelah melihat siapa adanya kedua orang yang menertawakan mereka itu, terkejutlah mereka, berbareng merasa marah sekali. Ternyata bahwa yang datang adalah Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu, dua pertapa lihai yang pernah bertempur dengan mereka! Diam-diam kedua anak muda itu terkejut juga melihat betapa dua orang saudara dari Cin Cin Hoatsu berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Untuk Keng Kong Tosu mereka tak perlu takut, walaupun Tosu itupun memiliki kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, tapi karena disitu terdapat Kwi Kai Hoatsu yang telah mereka ketahui memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Keng Kong Tosu,

Maka kali ini mereka berdua benar-benar merupakan lawan yang jauh lebih berat daripada Siauw-San Ngo-Sinto! Ternyata bahwa ketika dikalahkan oleh Sin Wan, Keng Kong Tosu lalu ke kota raja dan menemui Kwi Kai Hoatsu. Tapi kebetulan sekai, mereka bertemu di jalan, karena Kwi Kai Hoatsu juga sedang menuju ke Siauw-San untuk membela kelima Tosu ini dari pembalasan musuh-musuhnya yang ia dapat menduga pasti akan mengunjungi Siauw-San pula. Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali ketika mendengar bahwa ia terlambat dan bahwa kedua anak muda yang lihat itu telah datang ke Siauw-San bahkan telah mengalahkan Keng Kong Tosu. Ia segera mengajak Keng Kong Tosu cepat-cepat ke Siauw-San, tapi disitu ia hanya menemui makam kelima golok sakti itu yang ternyata telah terbunuh oleh Sin Wan dan Giok Ciu!

Marahlah Kwi Kai Hoatsu dan ia melakukan pengejaran dengan Keng Kong Tosu. Karena kepandaian mereka memang tinggi, pula mereka tiada hentinya melakukan pengejaran, mereka dapat menyusul kedua anak muda itu. Kedua pertapa itu merasa sakit hati sekali karena telah dikalahkan hingga mendapat malu oleh sepasang anak muda itu, maka alangkah girang hati mereka dapat menyusul Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka yakin bahwa dengan maju berdua, pasti sakit hati itu dapat terbalas. Pula mereka telah mendengar bahwa kedua anak muda itu adalah musuh-musuh Suheng mereka, ialah Cin Cin Hoatsu! Sebenarnya, ketiga pertapa ini bukanlah saudara seperguruan, tapi ketiganya telah merupakan persekutuan pemimpin paderi Lama di Tibet, yakni sekumpulan paderi yang memberontak dan mengingkari hak kekuasaan pemerintah Lama pusat di Tibet.

Karena sikap memberontak ini, maka terjadi pertempuran dan perebutan kekuasaan di Tibet dan ternyata dalam pertempuran hebat itu, Cin Cin Hoatsu, Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu dapat dikalahkan dan diusir dari Tibet dan lari ke Tiong-Gwan. Dalam hal tingkat ilmu silat dan ilmu sihir, Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu menduduki tingkat ketiga, hingga dapat diduga betapa tinggi kepandaian mereka. Tingkat kepandaian Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu hampir sama, hanya mereka memiliki ke istimewaan masing-masing. Memang senjata Kwi Kai Hoatsu berupa kebutan dan tongkat ular itu lebih menyeramkan dan lebih berbahaya, karena kedua senjata itu dapat menyemburkan senjata-senjata rahasia yang tak terduga datangnya dan lihai sekali.

Tapi dalam hal kepandaian lweekang, agaknya Cin Cin Hoatsu lebih lihai, sedangkan dalam pertempuran, selalu Cin Cin Hoatsu menggunakan ujung lengan baju yang tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam yang bagaimanapun juga. Keng Kong Tosu sebenarnya adalah seorang murid dari Cin-San-Pai yang sesat jalan dan sudah lama mengekor saja kepada kedua Pendeta berilmu tinggi itu, bahkan mempelajari ilmu hitam dan ilmu sihir dari mereka. Keng Kong Tosu mempunyai semacam penyakit, yakni ia tidak boleh melihat wanita cantik. Maka, sekali bertemu dan melihat Giok Ciu yang cantik jelita, timbullah niat jahat didalam batinnya yang kotor. Kini, setelah melihat betapa mesra hubungan antara gadis itu dengan Sin Wan, cemburulah hatinya.

"Bangsat kecil tak tahu malu!" ia memaki hudtimnya lalu menyerang Giok Ciu! Ia terlalu cerdik untuk menyerang Sin Wan yang pernah merobohkannya, maka ia hendak menyerahkan pemuda yang lihai itu kepada Suhengnya saja, sedangkan ia sendiri ingin menghadapi Giok Ciu yang jelita! Tidak disangka sedikitpun olehnya, ketika Giok Ciu berseru nyaring dan mencabut Ouw Liong Pokiam dan menangkisnya, ternyata pedang pendeknya terpental karena tenaga lweekang gadis itupun luar biasa sekali! Ia lalu berlaku hati-hati dan melempar semua pikiran-pikiran yang nyeleweng untuk dapat memusatkan perhatian dan kepandaian gadis yang ternyata merupakan lawan yang tangguh ini.
Sementara itu, dengan senyum menyindir Kwi Kai Hoatsu berkata kepada Sin Wan,

"Kau hendak mencari dan membunuh Cin Cin Hoatsu? Ha, jangan kau mimpi terlalu jauh, anak muda. Untuk menghadapi kami saja tak mungkin kau menang, apalagi jika ada saudaraku itu disini! Bersiaplah kau menerima pembalasanku terhadap hinaanmu yang melukai kulit pundakku dulu!" Sambil berkata demikian, Pendeta itu lalu mencabut keluar kebutan hudtim dan tongkat ularnya yang lihai telah siap di tangan! Sin Wan tahu benar bahwa lawan ini adalah sangat tangguh dan kepandaiannya masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, maka ia tidak mau didahului, lalu berkelebat dan menyerang hebat dengan Pek Liong Pokiam!

"Bagus!" Kwi Kai Hoatsu berseru menyindir dan iapun menggerakkan tongkatnya di tangan kanan yang diputarnya sedemikian rupa hingga merupakan sinar bundar yang hitam warnanya dan mengeluarkan hawa dingin dan bau amis. Ular yang telah kering dan menjadi tongkat itu kini seolah-olah hidup lagi dalam tangan Pendeta itu hingga Sin Wan harus berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan Pek Liong Kiam-Sut untuk melayaninya.

Memang dalam hal lweekang, Sin Wan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Kwi Kai Hoatsu yang telah berpengalaman dan telah memiliki tenaga batin yang kuat, biarpun tenaga itu berasal dari ilmu hitam. Baiknya ilmu Pedang Naga Putih yang dimainkan oleh pemuda itu adalah semacam ilmu yang jarang bandingannya di permukaan bumi, hingga ia masih dapat melayani Pendeta lihai itu dengan ulet. Sebaliknya permainan Ouw Liong Kiam-Sut dari Giok Ciu juga telah membuat Keng Kong Tosu repot sekali dan hanya dapat menangkis saja. Tosu ini dalam sibuknya lalu memusatkan tenaga batinnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian ia mengeluarkan suara siulan keras sekali hingga Giok Ciu merasa jantungnya berdebar dan merasa ada hawa yang dingin menyerangnya dari depan.

Dalam pandangan matanya, tiba-tiba Tosu itu telah berubah menjadi pucat sekali bagaikan seorang mayat hidup yang mengerikan hingga ia menjadi terkejut sekali. Baiknya ia masih dapat teringat bahwa Tosu ini pandai ilmu siluman dan tentu ini adalah sebuah dari pada ilmu hitamnya itu, maka cepat sekali gadis itu lalu mengumpulkan lweekangnya dan meloncat keatas sambil mementang kedua tangannya dan mengeluarkan siulan-siulan tinggi dan nyaring sekali. Inilah Sin-Tiauw Kiam-Hwat Ilmu Pedang Rajawali Sakti, kepandaian tunggal dari Ayahnya yang telah dipelajari baik-baik. Memang ilmu ini gerakan-gerakannya mengandung tenaga lweekang tinggi dan gerakan-gerakan tangannya mempunyai pengaruh untuk memunahkan segala cengkeraman ilmu sihir dan ilmu hitam.

Biarpun dalam hal ilmu lweekang, gadis itu masih kalah sedikit jika dibandingkan dengan Keng Kong Tosu, namun berkat ilmu pedangnya yang luar biasa dan keteguhan hatinya yang membaja, ia tak usah menyerah kalah terhadap seorang Pendeta ilmu hitam semacam Keng Kong Tosu saja! Keng Kong Tosu terkejut sekali karena setelah berkali-kali gadis itu menyerang dari atas dengan gerakan-gerakan aneh dibarengi siulan-siulan nyaring, maka buyarlah semua tenaga yang dipusatkan, bahkan ia lalu terhuyung-huyung kebelakang. Dengan gemas ia lalu mengebutkan lengan bajunya dan dari situ mengebul keluar asap tebal warna hijau! Giok Ciu dapat menduga bahwa itu tentu semacam racun yang berbahaya sekali,

Maka cepat ia meloncat mundur menjauhinya, lalu menggunakan ginkangnya meloncat tinggi sekali di atas asap itu dan menyerang lawannya dari atas! Gerakannya bagaikan seekor naga sakti terjun dari awan dan terdengarlah teriakan ngeri karena ujung Ouw Liong Pokiam berhasil melukai pundak Keng Kong Tosu! Baiknya Tosu ini mempunyai ilmu kebal, yakni yang disebut "Kim-Ciong-Ko" hingga pedang yang seharusnya membinasakannya itu, hanya melukai pundaknya saja. Tapi ini cukup membuat ia gugup dan jerih sekali. Sedangkan Kwi Kai Hoatsu mendengar teriakan ini lalu menengok. Marahlah ia setelah melihat bahwa kawannya telah terluka. Ia sendiri, biarpun dengan tongkat ular dan kebutan hudtimnya dapat melayani Sin Wan dengan baik, namun ternyata bahwa pemuda itu benar-benar tangkas dan gagah perkasa.

Sin Wan telah mainkan Pek Liong Pokiam sedemikian sempurnanya, hingga sinar putih dari pedangnya merupakan gelombang ombak yang kuat dan besar sekali dan menahan segala serangan kedua senjata lawannya. Namun lawan ini terlalu tangguh hingga ia tidak dapat balas menyerang, biarpun sebaliknya Kwi Kai Hoatsu sendiripun tidak berdaya untuk melukai lawannya yang masih muda itu! Kini marahlah Kwi Hoatsu. Kalau tadi ia masih merasa malu untuk mengeluarkan ilmu hitamnya, kini terpaksa ia gunakan. Diam-diam ia menyimpan kebutannya dan kini tangan kirinya telah memegang segulung tali sutera hitam yang dibuat dari semacam ular. Sin Wan tidak mengerti apa maksud lawannya itu dan senjata apakah yang dipegangnya, maka berlaku sangat hati-hati. Pada saat itu, Kwi Kai Hoatsu membentak,

"Awas jarum!" Dulu pernah Sin Wan menghadapi serangan jarum Pendeta ini dan maklum betapa bahayanya serangan itu, maka ia berlaku waspada. Dari mulut tongkat ular itu menyembur benda warna hitam dan tahu-tahu benda itu terpecah menjadi puluhan jarum-jarum kecil sekali yang menyambar ke seluruh tubuhnya dari mata sampai ke kaki! Karena menyambarnya jarum ini cepat sekali, maka sukar untuk dikelit, juga kalau ditangkis dengan pedang, mungkin tidak semuanya akan tertangkis. Terpaksa Sin Wan lalu jengkangkan tubuh ke belakang dan setelah tubuhnya menyentuh tanah, ia bergulingan pergi cepat sekali!

Maka selamatlah ia, karena jarum-jarum kecil berwarna hitam yang menyambarnya tadi semua adalah jarum berbisa yang luar biasa berbahayanya. Tapi pada saat itu ia menjadi terkejut sekali. Ternyata setelah melihat Sin Wan bergulingan dan untuk sementara waktu tidak berdaya, Kwi Kai Hoatsu lalu meloncat ke arah Giok Ciu yang masih mendesak Keng Kong Tosu dan sambil mengeluarkan bentakan keras, Kwi Kai Hoatsu menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam panjang menyambar bagaikan ular hidup dan tahu-tahu sutera hitam panjang yang lemas itu telah membelit pedang dan tangan Giok Ciu! Gadis itu terkejut sekali karena benda yang halus lemas itu datangnya tidak mengeluarkan suara apa-apa dan tahu-tahu pedangnya telah dibelit, sedangkan tangannya yang terbelit benda hitam itu merasa kesemutan dan tak berdaya.

Juga dari sutera hitam itu keluarlah bau wangi sekali yang menusuk hidungnya dan membuat kepalanya terasa pening hingga ia tidak dapat menguasai tenaga lweekangnya lagi untuk mempertahankan ketika sabuk sutera itu disendal! Pedangnya Ouw Liong Pokiam kena terampas dan kini terpegang oleh Kwi Kai Hoatsu yang tertawa bergelak-gelak! Sin Wan terkejut dan marah sekali. Sambil berseru nyaring ia meloncat menerjang Kwi Kai Hoatsu, tapi pada saat itu Keng Kong Tosu berseru sambil mengeluarkan asap hijaunya ke arah Sin Wan, sedangkan Kwi Kai Hoatsu meloncat ke samping dan kembali menggerakkan tangan kirinya dan pedang Sin Wan seperti halnya pedang Giok Ciu tadi, kini kena terampas pula! Sin Wan terpaksa melepaskan Pek Liong Pokiam, karena ia tahu akan hebatnya racun asap hijau yang mengancamnya, maka ia meloncat pergi sambil melepaskan pedangnya.

"Ha, ha, ha! Kalian seperti harimau-harimau muda kehilangan kuku dan gigi! Mau ke mana lagi?" Kwi Kai Hoatsu mengejek dan mengirim serangan dengan tongkatnya. Juga Keng Kong Tosu segera menyerang Giok Ciu yang kini bertangan kosong! Memang tadi kedua anak muda itu dapat melawan dengan baik dan berada di pihak penyerang karena mereka mengandalkan pokiam dan permaian pedang mereka yang hebat. Tapi kini, bertangan kosog saja menghadapi dua lawan yang sedemikian tangguhnya, membuat mereka sibuk sekali dan harus berkelit ke sana kemari!

"Mari kita pergi, moi-moi!" Sin Wan berteriak. Mereka lalu menggunakan ginkang mereka yang tinggi untuk meloncat jauh dan lari. Tapi mereka menahan kaki mereka karena ternyata kedua Pendeta itu tidak mengejar, hanya tertawa bergelak-gelak sambil memandang.

Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang dan kertak gigi karena marah dan gemas, tapi apa yang dapat mereka lakukan? Melawan dengan nekad berarti mengantarkan nyawa sia-sia belaka, sedangkan musuh besar mereka belum juga dapat dibalas! Dengan hati hancur mereka melihat betapa kedua orang tua itu sambil tertawa-tawa membawa pedang mereka meninggalkan tempat itu. Memang Kwi Kai Hoatsu maklum akan kelihaian ginkang kedua anak muda itu hingga kalau ia memaksa mengejar, takkan berhasil dan berarti mencapaikan diri dengan sia-sia. Melihat betapa pedangnya dibawa pergi, tiba-tiba Giok Ciu menangis sambil menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis karena gemas dan penasaran sekali dan karena tidak berdaya. Tapi tiba-tiba Sin Wan memegang tangannya dan berbisik,

"Moi-moi, kau lihat disana itu!" Giok Ciu mengangkat muka dan memandang dan iapun terbelalak heran dan mereka lalu tak merasa pula gerakkan kaki dan perlahan-lahan menghampiri kedua musuh mereka.

Sebenarnya apakah yang telah terjadi? Ketika kedua pertapa itu sambil tertawa-tawa membawa pedang rampasan meninggalkan tempat itu dan belum jauh pergi dengan heran mereka tiba-tiba melihat seorang pengemis tua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam sedang tidur melintang di tengah jalan di depan mereka. Pengemis itu sudah tua dan hampir telanjang, karena pakaiannya compang-camping, rambutnya panjang, hingga dengan mukanya yang hitam itu ia tampak bagaikan setan berkeliaran! Mukanya kurus penuh keriput menandakan usia tua, tapi rambutnya yang panjang itu masih hitam mulus. Ia tiduran di jalan kecil itu hingga sama sekali menghalangi jalan yang hendak dilewati kedua pertapa. Melihat si jembel itu, Keng Kong Tosu membentak,

"Hei, pengemis tua! Pergilah jangan menghalangi jalan kami." Mendengar bentakan ini, pengemis jembel itu memalingkan mukanya yang tadi sebagian tertutup tangan dan lengannya, dan terkejutlah Keng Kong Tosu melihat wajah itu, karena benar-benar menyerupai setan! Matanya lebar memandangnya dan sepasang mata itu berputar-putar aneh mengerikan, sedangkan mulutnya yang berbibir merah sekali itu menyeringai menakutkan. Ini bukanlah wajah seorang biasa yang sehat! Kwi Kai Tosu dapa menduga bahwa jembel tua yang tinggi besar itu tentu berotak miring, karena sinar mata orang waras tidak demikian! Makai a mencegah Keng Kong Tosu mengganggu orang itu lebih jauh.

"Kita lompati saja dia!" katanya Tapi kata-katanya ini bahkan membuat orang gila itu menjadi marah, walaupun ia sama sekali tidak bergerak untuk bangun, hanya tubuhnya yang tadinya miring kini menjadi telentang memandang ke langit dengan matanya yang merah jelalatan. Bibirnya masih tetap menyeringai, tapi sama sekali ia tidak melihat kepada dua Tosu itu. Kini tangan kanannya mengambil batu-batu kecil dan ia bawa batu-batu itu di depan matanya, dipandangi sambil tertawa ha-ha hi-hi, lalu batu-batu itu diciuminya! Kwi Kai Hoatsu tertawa geli dan berkata,

"Kau tidak mau pergi, baiklah, kami pergi!" Ia lalu menggerakkan tubuh hendak meloncati gembel gila itu. Tapi tiba-tiba si jembel menggerakkan kakinya yang panjang dan ia melonjorkan kedua kakinya ke udara sambil tertawa ha-ha hi-hi!

Gerakan ini seperti tidak disengaja, tapi kebetulan sekali ujung kakinya bergerak sedemikian rupa merupakan tendangan-tendangan mau ke arah perut dan dada Kwi Kai Hoatsu yang sedang meloncat, hingga Pendeta itu terkejut sekali lalu meloncat kembali ke tempat semula! Ia hendak marah, tapi melihat betapa si jembel itu mempermainkan kedua kakinya ke atas bagaikan laku seorang kanak-kanak sambil tertawa, ia mengurungkan marahnya karena tahu bahwa orang gila itu tidak sengaja menggunakan kaki untuk menghalang-halanginya ketika meloncat tadi. Setelah memandang kepada Keng Kong Tosu sambil tersenyum untuk menghilangkan kekesalan hatinya, Kwi Kai Hoatsu kembali meloncat, kini tinggi sekali agar jangan sampai melanggar kedua kaki orang gila itu. Tapi tiba-tiba orang gila itu berseru girang,

"Ada burung besar! Ada burung besar!" Suaranya serak dan besar sekali, sedangkan tangannya lalu melempar batu-batu kecl itu ke atas! Kwi Kai Hoatsu yang sedang melayang diatas terkejut sekali karena batu-batu kecil itu menyambar ke arah jalan-jalan darah di kedua kaki dan kedua pundaknya! Cepat sekali ia poksai berjumpalitan untuk menghindarkan batu-batu itu dan kembali meloncat turun di sebelah Keng Kong Tosu. Kini wajahnya berubah merah dan ia marah sekali karena tahu bahwa orang gila itu sengaja mempermainkannya.

"Bangsat gila, bangun kau!" Bentaknya, tapi orang gila itu tikka mengindahkannya dan tertawa ha-ha hi-hi sambil bergulingan di atas tanah.

"Coba lihat, kau mau bangun tidak!" kata Kwi Kai Hoatsu sambil menggunakan ujung kaki mengorek-ngorek tanah hingga debu tebal mengepul ke arah muka dan tubuh, orang gila itu tetap tidak mau bangun dan membiarkan muka dan tubuhnya berleporan debu tebal dan kotor. Tiba-tiba kedua mata yang merah dari si jembel itu memandang ke arah sepasang pedang Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam yang dipegang oleh kedua Tosu itu, dan matanya memancarkan sinar yang ganjil dan terkejut. Sejak melihat kedua pedang itu, ia tidak mau melepaskan pandangan matanya dari kedua pedang itu lagi. Kemudian ia bangun berdiri dan tubuhnya benar-benar tinggi besar hingga kedua Tosu itu hanya sampai dibawah lehernya. Urat-urat di tubuhnya melingkar-lingkar bagaikan belut dan rambutnya yang panjang terurai ke depan dan belakang. Sungguh ia mengerikan sekali.

"Kau manusia kurang ajar! Siapakah kau yang berani mengganggu kami?" Kwi Kai Hoatsu menahan napsu marahnya dan bertanya, karena ia kuatir kalau-kalau orang ini adalah tokoh kang-ouw yang ternama dan tidak ia kenal. Si gila itu tertawa bekakakan.

"Aku siapa! Siapa aku... Coba kau katakan aku siapa? Aku sendiri sering bertanya-tanya siapakah aku ini! Aku adalah aku dan habis perkara. Kau sudah tahu bahwa aku ini aku, mengapa pakai bertanya-tanya lagi?" Dan ia lalu tertawa ha-ha hi-hi tak karuan. Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu kini percaya betul bahwa mereka sedang menghadapi orang gila.

"Kau pergilah dan jangan mengganggu kami. Ketahuilah, aku adalah Kwi Kai Hoatsu dan tidak boleh dibuat permainan. Kau pergilah!" Suara Kwi Kai Hoatsu berpengaruh sekali ketika ia memerintah ini.
Aneh sekali, tiba-tiba sikap si gila itu menjadi penurut. Ia menundukkan kepala sebagai seorang kanak-kanak yang ketakutan sekali mendengar perintah ini, lalu keluar jawaban dari mulutnya,

"Aku tidak kenal segala Hoatsu, tapi baiklah aku akan pergi, jangan kau ganggu aku. Tapi" tapi" kedua pedang itu" berikan padaku!"

"Kurang ajar! Pedang ini pedang kami, kau tidak boleh memintanya!"

"Bohong!" tiba-tiba terdengar teriakan Sin Wan yang sementara itu sudah datang mendekat. "Pedang itu pedang kami yang mereka rampas!" Orang gila itu tertawa keras.

"Nah, nah! Kalau begitu harus dikembalikan kepada orang-orang muda ini. Kembalikanlah dulu, nanti aku pergi!" Ia mendesak Kwi Kai Hoatsu yang kini sudah habis sabarnya lagi. Ia maju dan mengirim pukulan keras ke dada orang gila itu untuk mendorongnya ke pinggir. Pukulan itu mengenai dada si gila dengan tepat sekali, tapi aneh sekali, si otak miring itu tidak roboh, bahkan menyeringai sambil berkata berkali-kali,

"Jangan pukul aku... jangan pukul aku...!" kemudian terdengar pula suara ketawanya yang menggema di hutan itu. Bukan main terkejutnya Kwi Kai Hoatsu. Dorongannya tadi sedikitnya mengandung tenaga lima ratus kati, tapi si gila itu tidak terpental bahkan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit! Juga Keng Kong Tosu dan kedua anak muda yang berdiri di situ menjadi bengong terheran.

"Kau ingin mampus!" teriak Kwi Kai Hoatsu yang segera mengayun hudtimnya menyambar ke arah leher si gila itu. Ujung hudtim itu menotok ke arah leher dan tepat mengenai jalan darah, tapi lagi-lagi Kwi Kai Hoatsu terkejut sampai pucat mukanya, karena jangankan roboh, berkejab mata juga tidak si gila yang aneh itu. Hanya kali ini ia memandang Kwi Kai Hoatsu dengan mata heran dan berkata,

"Kenapa berkali-kali kau pukul aku?" Kwi Kai Hoatsu tidak menjawab, tapi dengan gemas sekali lalu pencet tekanan di gagang hudtimnya dan dari tengah bulu hudtim itu melayang keluar tujuh buah jarum kecil yang menyambar ke arah leher dan dada si gila!

Giok Ciu hampir berteriak ngeri karena merasa bahwa kali ini si gila pasti akan mampus! Juga Sin Wan merasa kuatir sekali. Tapi si jembel gila itu tidak menjadi gugup. Ia moncongkan bibirnya yang merah seperti darah itu lalu meniup dan sekalian jarum-jarum kecil yang terkenal kelihaiannya itu runtuh ke bawah semua tak berdaya! Kini Kwi Kai Hoatsu benar-benar terkejut dan maklum bahwa gila atau tidak, orang tinggi besar di depan ini bukanlah sembarang orang dan memiliki ilmu yang tinggi! Ia lalu berkemak-kemik dan menggunakan ilmu sihirnya, karena tak mungkin orang ini dapat bertahan menghadapi ilmu hoatlek. Setelah tenaganya terkumpul, ia menggerakkan kedua tangan ke depan dan dengan suara yang sangat berpengaruh ia membentak,

"Kau rebahlah!" Si jembel itu cepat membarengi bentakan Kwi Kai Hoatsu dan berseru lebih keras lagi dengan suaranya yang serak dan besar,

"Mari kita sama-sama rebah!" dan aneh sekali Kwi Kai Hoatsu tak dapat mempertahankan tenaga gaib yang memaksanya untuk menggulingkan diri, hingga lalu rebah di tanah! Kwi Kai Hoatsu jengkel dan marah mendengar betapa Sin Wan dan Giok Ciu terkekeh melihat pemandangan lucu itu, bahkan Keng Kong Tosu sendiri yang menganggap kawannya sedang main gila, berkata,

"Suheng, apa penyakit otak si gila itu menular padamu?" Tapi Kwi Kai Hoatsu juga berbareng merasa terkejut dan jerih, karena entah dengan ilmu apa, si gila telah berhasil menampar kembali tenaga gaibnya hingga senjata makan tuan! Melihat Kwi Kai Hoatsu bangun si gila juga ikut bangun sambil tertawa menyeringai.

"Sobat, sebenarnya kau siapakah dan apa maksudmu menggangu kami?" Kwi Kai Hoatsu bertanya,

"Kau sudah tahu, aku ya aku, dan siapa menganggu kalian? Kaulah yang mengganggu mereka, maka pulangkanlah pedang mereka itu!"

"Kau sungguh keterlaluan!" Keng Kong Tosu membentak marah dan ia lalu menggerakkan pedang pendeknya untuk menyerang. Tapi tiba-tiba ia terkejut sekali karena sekali berkelebat saja si gila itu telah lenyap dari pandangannya dan tahu-tahu suara ketawanya yang ha-ha hi-hi telah terdengar di belakang telinganya! Ia membalikkan tubuh dan menyerang lagi bertubi-tubi, tapi sia-sia, karena gerakan si gila yang tak teratur itu sungguh cepat sekali dan membingungkannya.
(Lanjut ke Jilid 08)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 08
Melihat kawannya dipermainkan, Kwi Kai Hoatsu juga lalu menggerakkan tongkat dan kebutan hudtimnya untuk menyerang, hingga sebentar saja orang gila itu dikeroyok oleh kedua Tosu yang bersenjata dan lihai itu. Tapi kesudahannya sungguh-sungguh membuat Sin Wan dan Giok Ciu diam-diam dan tak terasa saling berpegangan tangan dan menahan napas! Dengan tangan kosong, orang gila itu melayani kedua Tosu itu dan saban-saban ada kesempatan, ia menggunakan kedua telapak tangannya yang kotor dan bau itu untuk diusapkan di muka kedua lawannya, hingga setelah kena diusap beberapa kali, muka Kwi Kai Hoatsu dan Kang Keng Tosu menjadi kotor dan hitam! Tentu saja perbuatan si gila ini tampak lucu sekali dan merupakan hal yang sangat menghina kedua tokoh itu. Ah, kalau saja ada kawan-kawan mereka melihat hal ini, alangkah akan malunya!

Dipermainkan sedemikian rupa oleh seorang gila yang bertangan kosong, sedangkan mereka mengeroyok berdua! Sebaliknya Sin Wan dan Giok Ciu merasa kagum karena tak mereka sangka di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai. Mereka taksir bahwa kepandaian orang yang seperti gila itu setidak-tidaknya setingkat dengan kepandaian guru mereka, Bu Beng Sianjin! Maka timbul harapan di dalam hati mereka, karena agaknya orang gila itu membantu mereka untuk merampas kembali kedua pokiam mereka. Sementara itu, karena makin lama makin sering tangan si gila itu mengusap muka mereka, Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu merasa geli dan ngeri. Kalau saja si gila ini bermaksud jahat, tentu sudah tadi-tadi mereka menjadi mayat! Maka mereka lalu meloncat pergi dengan maksud kabur. Tapi alangkah terkejut mereka ketika tahu-tahu si gila telah menghadang di depan pula!

"Sebenarnya kau mau apakah?" teriak Kwi Kai Hoatsu dengan gemas sekali.

"Pedang mereka... pedang mereka... kembalikan!" kata si gila sambil melanjutkan gerakan-gerakan silatnya yang luar biasa anehnya dan yang selama hidupnya belum pernah dilihat oleh kedua Tosu itu.

"Kau mau pedang ini? Nah, terimalah!" Kwi Kai Hoatsu lalu sambitkan Pek Liong Pokiam ke arah si gila itu yang disambut dengan mudahnya oleh orang gembel itu. Juga Keng Kong Tosu lalu sambitkan Ouw Liong Pokiam ke arah lawannya. Kini si gila itu menggunakan Pek Liong Pokiam untuk menerima luncuran Ouw Liong Pokiam. Ketika pedang hitam itu meluncur dan hendak menancap di dadanya, ia menggunakan pedang putih untuk menempel pedang hitam hingga kedua pedang menempel lalu diputar sedemikian rupa dengan cepat sekali hingga pedang hitam terputar-putar di sekeliling pedang putih dengan ujung saling tempel!

"Bukankah itu gerakan Naga Sakti Putar Ekor yang diajarkan oleh Suhu?" Tiba-tiba Giok Ciu berbisik sambil menekan tangan Sin Wan.

"Memang betul, agaknya orang itupun kenal ilmu silat kita. Mari kita hampiri dia." Si Gila itu masih memutar-mutar pedang itu ketika Sin Wan dan Giok Ciu tiba di situ dan kedua anak muda itu tanpa ragu-ragu lagi lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Si gila sambil memutar-mutar pedang melihat ke arah depan di mana Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu berlari-lari cepat meninggalkan orang yang aneh dan membuat mereka jerih dan ketakutan itu, karena selama hidup belum pernah mereka bertemu denga orang yang seaneh dan sehebat itu kepandaiannya! Mereka merasa beruntung tidak terbunuh olehnya.

"Mereka itu kutu-kutu busuk!" si gila berkata berulang-ulang. Kemudian ia melihat kedua anak muda yang berlutut di depannya, maka iapun berlutut dan melihat-lihat tanah di depan Sin Wan dan Giok Ciu.

"Eh, eh, kalian sedang mencari apakah? Apa sedang mengintai jangkerik?" maka iapun lalu mencari-cari dan menyingkap-nyingkap rumput di situ! Sin Wan dan Giok Ciu saling melirik.

"Lo-Cianpwe, teecu berdua menghaturkan banyak-banyak terima Kasih atas pertolongan Lo-Cianpwe kepada kami," kata Sin Wan dengan suara menghormat. Orang aneh itu bangun berdiri dan sekali sentak dengan sebelah tangannya, tubuh Sin Wan terangkat naik hingga anak muda itu terpaksa berdiri.

"Kau berdirilah, tak enak bicara sambil berlutut!" katanya kepada Giok Ciu yang segera berdiri. Mereka berdua berdiri dengan sikap hormat sekali.

"Siapakah yang tolong siapa? Mereka merampas pedangmu dan aku ambilkan itu dari mereka untukmu!"

"Lo-Cianpwe sudilah kiranya memberitahukan teecu berdua nama yang mulia dari Lo-Cianpwe agar teecu berdua tak mudah melupakan budi Lo-Cianpwe ini."

"Bicaramu sulit dimengerti," kata si gila setelah memeras otak memikir-mikir untuk memahami kata-kata Sin Wan.

"Namaku ya aku, dan nama kalian siapa akupun tak perlu tahu. Nah, ini terima pedangmu!" Dengan tak acuh ia angsurkan kedua pedang itu yang disambut oleh Sin Wan dan Giok Ciu dengan girang sekali dan membungkukkan tubuh.

"Pedang ini baik sekali, sayang kalau terjatuh di tangan mereka. Lain kali jangan sampai kena dirampas orang pula!" Tiba-tiba saja suara si gila ini terdengar terang dan waras.

"Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe, karena teecu berdua memang masih dangkal pengetahuan," kata Sin Wan. Orang tinggi besar itu tertawa lalu tiba-tiba ia berjungkir balik, kedua tangannya di bawah dan kedua kaki di atas! Dalam keadaan begini, agaknya orang itu meraa lebih enak, lalu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata.

"Petunjuk apakah? Kalau kalian bisa meniru kepandaianku ini, tak mungkin dua imam itu mampu merampas pedangmu!" Hampir saja Giok Ciu tertawa geli, karena apakah susahnya untuk berdiri dengan kaki di atas seperti itu? Jangankan dengan kedua tangan, biar dengan sebelah tanganpun ia sanggup melakukannya dengan mudah sekali. Tapi Sin Wan segera berkata.

"Lo-Cianpwe, kenalkah Lo-Cianpwe kepada Suhu kami? Suhu disebut Bu Beng Sianjin! Kenalkah Lo-Cianpwe padanya?" Sepasang mata yang berada di bawah itu berputar-putar cepat, tanda bahwa otaknya yang telah hampir beku itu dikerjakan keras.

"Bu Beng...? Bu beng...? Ah, aku kenal... aku kenal...!" Tiba-tiba ia berseru keras sekali.

"Heh...!" dan tahu-tahu tubuhnya yang tadi berdiri terbalik itu membal ke atas tinggi sekali! Di atas masih terdengar suaranya "Bu... Beng"?" Dan sekali lagi di atas ia berseru "Heh...!" Tahu-tahu tubuh yang masih berada di atas itu mencelat jauh dan lenyap dari pandangan mata kedua anak muda itu. Sin Wan dan Giok Ciu bengong Mereka terkejut, heran, dan kagum sekali melihat kehebatan orang gila itu! Sin Wan menghela napas dan berkata,

"Ah, sungguh di dunia ini banyak orang-orang berilmu tinggi, hingga jika dibandingkan, kita ini bukan apa-apa."

"Tadi ketika ia berdiri jungkir balik, ia bilang bahwa kalau kita bisa menirunya, maka kedua Tosu itu takkan mungkin dapat merampas pedang kita. Apakah maksudnya, koko? Apakah artinya kepandaian jungkir balik macam itu?"

"Aku juga sedang memikirkan itu, moi-moi. Memang kelihatannya itu bukan kepandaian yang berarti, tapi kau ingatkah ketika ia meloncat ke atas tadi? Ia mempergunakan bentakan dalam dada dan tahu-tahu tubuhnya telah mumbul ke atas tinggi sekali, bahkan di ataspun ia dapat gunakan tenaga mujijat itu untuk melesat pergi jauh sekali! Kurasa ia melatih lweekang dan ginkang yang tinggi dengan cara bersamadhi sambil berdiri jungkir balik!" Giok Ciu mengangguk-angguk.

"Mungkin juga, bukankah Suhu juga sering bersamadhi dengan cara yang aneh-aneh?" Maka teringatlah Sin Wan.

"Agaknya orang aneh tadi kenal kepada Suhu, tapi mungkin juga tidak, karena sikapnya sungguh-sungguh aneh hingga aku hampir percaya bahwa ia benar-benar gila! Giok Ciu, kita harus akui bahwa kepandaian kita masih dangkal sekali. Baru menghadapi dua orang saudara Cin Cin Hoatsu saja kita hampir mengalami bencana, apalagi kalau harus menghadapi Cin Cin Hoatsu yang lihai. Memang sebenarnya pelajaran kita belum tamat dan dahulu kita terpaksa berpisah dari Suhu. Kurasa lebih sempurna lagi kalau kita sekarang kembali dulu dan mohon kepada Suhu untuk memberi pelajaran selanjutnya kepada kita sampai tamat. Setelah itu, barulah kita berdua pergi mencari Cin Cin Hoatsu. Bagaimana pendapatmu, moi-moi?" Sebenarnya, gadis itu ingin lekas-lekas mencari musuh besarnya dan membalas dendam, tapi setelah dipikir-pikir bahwa kata-kata Sin Wan betul, pula mengingat betapa baru saja mereka gagal melawan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu ia lalu menyetujui ajakan Sin Wan.

Maka mereka lalu kembali dan menuju ke Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka dan minta pimpinan lebih jauh. Ketika mereka tiba di kaki bukit Kam-Hong-San, Sin Wan tidak lupa untuk mampir di kampungnya. Penduduk kampung dengan gembira ria menyambut pemuda pemudi itu dan memaksa mereka bermalam di situ. Sin Wan didesak untuk menceritakan pengalamannya dan ketika mendengar bahwa pembunuh-pembunuh Kang Lam Ciuhiap dan Ibu Sin Wan telah dapat terbalas dan dibinasakan, mereka bersorak-sorak girn dan merasa puas sekali, karena ini berarti bukan hanya pembalasan sakit hati kedua orang itu, tapi juga pembalasan sakit hati para orang-orang yang dulu dengan gagah menolong Kang Lam Ciuhiap tapi juga terbunuh oleh para kaki tangan Kaisar itu.

Pada keesokan harinya Sin Wan dan Giok Ciu menengok makam Kang Lam Ciuhiap dan Ibu Sin Wan, dimana pemuda itu bersembahyang dengan hati terharu. Ia merasa berterima Kasih kepada orang-orang kampung yang ternyata merawat makam itu dengan baik-baik hingga rumputnya terbabat rapih dan tampaknya bersih. Kemudia mereka berdua mendaki bukit Kam-Hong-San untuk mencari Suhu mereka. Di sepanjang jalan, pemandangan-pemandangan di gunung yang telah mereka kenal baik itu membuat mereka terharu dan membongkar kenangan-kenangan lama. Ketika mereka tiba di sumur naga tempat pertapaan Suhu mereka, dari jauh mereka sudah melihat Bu Beng Sianjin duduk di pinggir sumur seorang diri! Alangkah girang hati mereka dan cepat-cepat mereka berlari lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut,

"Suhu...!"

"Kalian sudah kembali? Berhasilkah usahamu?" kakek yang kurus kerig dengan rambut putih panjang terurai ke belakang itu bertanya halus. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menuturkan pengalaman mereka bergantian, betapa mereka telah berhasil membunuh Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, tapi betapa mereka hampir celaka di tangan Kwi Kai Hoatsu dan Keng Kong Tosu kalau saja tidak ditolong oleh seorang aneh yang adatnya seperti orang gila. Bu Beng Sianjin mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar tentang orang-orang aneh itu, ia tertarik sekali.

"Coba ceritakan, bagaimana rupa orang itu?" Sin Wan lalu melukiskan keadaan orang gila yang sakti itu sedapat mungkin. Kakek itu mengangguk-angguk.

"Hem, hm, tinggi sekali dan besar, rambut hitam, mukanya hitam, matanya bundar dan besar? Ya, ya, tak salah lagi, dialah itu""

"Siapakah orang itu, Suhu? Ketika teecu menanyakan namanya, ia hanya menjawab bahwa dia adalah dia, sama sekali tidak menyebut nama, entah lupa entah memang tidak punya nama. Ketika teecu menyebut nama Suhu, ia kelihatan seperti orang mengingat-ingat dan lalu pergi."

"Muridku, dia tidak mau dikenal untuk apa pusing-pusing dan memaksa-maksa? Dia adalah seorang gagah perkasa yang beradat keras dan jujur, tapi malang sekali ia menerima ilmu silat dari mahluk-mahluk halus, ia berguru kepada iblis sendiri, maka ilmu silatnya demikian lihai, tapi untuk kepandaian itu ia harus mengorbankan jiwanya karena ia menjadi gila! Maka muridku, sekarang tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian lahir untuk berlaku sewenang-wenang atau menyombong. Ketahuilah bahwa segala kepandaian itu hanya milik pinjaman saja dan akan lenyap dan musnah bersama raga kita. Maka selagi masih hidup harus dapat mempergunakan segala macam kepandaian yang dimiliki untuk mengerjakan sesuatu yang berguna bagi orang-orang lain, melakukan perbuatan-perbuatan baik demi perikemanusian dan dengan demikian maka takkan percumalah orang mengejar ilmu. Kalau mengejar ilmu dengan susah payah untuk kemudian dipergunakan hanya untuk kepentingan diri sendiri saja, untuk menyenangkan diri sendiri tanpa memikirkan kesulitan dan kesengsaraan orang lain, maka kau berarti lebih gila daripada orangyang sebenar-benarnya gila! Mengertikah kalian?" Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk menyatakan bahwa mereka mengerti akan petuah ini.

"Kalian tadi mengatakan bahwa kalian dikalahkan oleh dua orang Tosu yang memiliki hoatsut? Apakah sebenarnya hoatsut? Bukan kepandaian yang mengherankan, karena sebenarnya orang yang menggunakan ilmu sihir bukanlah karena mereka memang mempunyai tenaga yang berlebihan, tapi mereka justeru menggunakan kelemahan lawan untuk menjatuhkannya. Ketahuilah bahwa alam ini digerakkan oleh kesatuan tenaga maha hebat dan di dalam tiap tubuh manusia terdapat sebagian daripada kesatuan tenaga dan dengan tenaga inilah maka segala hal mungkin dilakukan oleh manusia. Galilah dan carilah tenaga ini, maka kalian akan kuat menghadapi segala macam hoatsut dari orang-orang jahat!"

Demikianlah, semenjak saat itu Sin Wan dan Giok Ciu mendapat gemblengan ilmu batin yang hebat dari Suhu mereka dan mendapat latihan lweekang yang lebih tinggi. Juga di bawah pimpinan orang tua yang aneh itu mereka menyempurnakan latihan mereka dalam hal ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut. Tapi berbeda dengan dulu, kini mereka berlatih di udara terbuka, karena Bu Beng Lojin bersamadhi diluar sumur dan berkata untuk berlatih lweekang yang tinggi dan berlatih napas, maka lebih baik bagi kedua orang murid itu untuk bersamadhi di udara terbuka.

Setahun telah berlalu dengan cepat sekali semenjak Sin Wan dan Giok Ciu kembali ke Kam-Hong-San untuk mempertinggi ilmu silat mereka. Di dalam waktu setahun itu, mereka mendapat kemajuan pesat sekali. Hubungan mereka tetap mesra dan saling cinta, walaupun kini mereka dasarkan cinta mereka lebih mendalam, tanpa dikotori napsu. Namun, betapapun mereka telah menerima gemblengan ilmu batin, jiwa muda mereka selalu dipanaskan oleh darah muda hingga mereka tetap bersemangat dan penuh hasrat hidup yang bernyala-nyala. Suhu mereka juga tahu akan eratnya hubungan kedua muridnya dan kakek yang aneh ini sering kali diam-diam menghela napas seakan-akan menderita sesuatu yang menyedihkan. Ia pernah panggil menghadap kedua muridnya dan berkata dengan perlahan dan tenang, tapi cukup mengejutkan hati kedua anak muda itu.

"Sin Wan dan Giok Ciu! Aku telah maklum sedalam-dalamnya apa yang terkandung dalam hatimu berdua, memang demikianlah seharusnya perasaan dua orang yang sudah terikat jodoh. Hanya pesanku, murid-muridku, jika kalian telah berhasil membalas sakit hati orang tuamu, maka sebelum kalian menjadi suami isteri, kalian harus membawa kembali kedua pokiam itu dan menyimpannya kembali ke dalam gua naga di dalam sumur. Karena kedua pokiam itu sudah cukup membersihkan karat mereka dengan darah orang-orang jahat, dan adalah menjadi pantangan besar bagi kedua pedang pusaka itu untuk dimiliki oleh sepasang suami isteri!" Tentu saja Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang dengan muka berubah karena hati mereka terguncang, tapi mereka tak berani membantah, hanya berlutut dan menyanggupi kehendak Suhu mereka. Bu Beng Lojin menghela napas lagi dan berkata,

"Sin Wan dan Giok Ciu, hal jodoh adalah kehendak Tuhan, asal saja kalian selalu ingat bahwa sepasang suami isteri sama sekali tidak boleh memiliki kedua pedang itu!" Pada suatu pagi, Sin Wan dan Giok Ciu berjalan-jalan di lereng-lereng bukit Kam-Hong-San. Mereka menikmati tamasya alam yang indah dan yang membuat mereka teringat akan peristiwa-peristiwa dulu. Bagi mereka, tempat ini merupakan tempat takkan dapat dilupa seumur hidup, karena disinilah mereka pertama kali bertemu.

"Koko, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk berpamit kepada Suhu dan pergi mencari musuh besarku," kata Giok Ciu.

"Kurasakan begitu, moi-moi. Baiklah kita tanyakan saja kepada Suhu, karena Suhu sakti dan waspada." Tiba-tiba Giok Ciu menunding ke bawah bukit dan berseru,

"Koko, lihat!" Dari bawah lereng tampak bayangan orang berlari-lari cepat sekali ke atas bukit, dan ternyata ilmu lari cepat orang itu boleh juga, hingga sebentar saja ia telah datang dekat dengan kedua anak muda itu.

"Gak Bin Tong!" Giok Ciu berseru heran. Juga Sin Wan heran melihat datanya pemuda muka putih yang berlari-lari ke atas dengan wajah ketakutan itu.

"Aduh, kebetulan sekali, tolonglah aku, saudara Bun! Kwie Lihiap, tolonglah aku!"

"Ada apakah, saudara Gak?" Sin Wan bertanya dengan heran, tapi jawaban pertanyaannya itu terdengar olehnya ketika dari bawah muncul bayangan banyak orang yang berlari-lari cepat sekali mengejar ke atas.

"Siapakah mereka yang mengejarmu?" tanya Sin Wan.

"Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing istana!" jawab Gak Bin Tong. "Mereka hendak membunuhku. Tolonglah, saudara Sin Wan yang baik!" Setelah berkata demikian, orang she Gak itu lalu melarikan diri di belakang Sin Wan dan Giok Ciu, agaknya ia takut sekali. Giok Ciu yang masih merasa marah karena sikap Gak Bin Tong yang dulu telah mengacaukan perhubungannya dengan Sin Wan, berkata kurang senang.

"Bukankah kau seorang gagah yang memiliki kepandaian tinggi? Mengapa harus berlari-lari terhadap mereka? Mengapa tak kau lawan dengan pedangmu?" kata-kata ini jelas sekali menyatakan bahwa ia enggan untuk membantu, tapi Gak Bin Tong berkata dengan suara memohon.

"Kwie Lihiap, mereka lihai sekali, bukan lawanku!" Giok Ciu memandang Sin Wan dan berkata perlahan,

"Koko, kurasa tak baik kita ikut campur urusan ini. Bukan urusan kita dan tidak ada sangkut pautnya dengan kita."

"Bukan demikian, moi-moi. Biarpun andaikata kita tidak membantu saudara Gak, sudah sepatutnya kita halau pergi pahlawan-pahlawan Kaisar itu. Mereka bukanlah manusia-manusia baik dan perlu diusir. Pula, saudara Gak pernah melepas budi kepada kita, masakan sekarang kita tidak mau menolongnya? Jangankan dia sendiri, bahkan siapa saja yang dikejar-kejar pengawal kraton dan hendak dibunuhnya, harus kita tolong bukan?" Alasan-alasan yang dimajukan Sin Wan ini kuat sekali hingga Giok Ciu tak dapat membantah lagi sementara itu, pengejar-pengejar Gak Bin Tong telah tiba di situ dan ternyata mereka terdiri dari tujuh orang pahlawan-pahlawan kelas satu. Di antara mereka terdapat orang-orang yang pernah mengeroyok sin Wan dan Giok Ciu, maka begitu melihat kedua orang muda itu, mereka berteriak.

"Betul saja, binatang she Gak itu telah bersekutu dengan orang pemberontak ini. Hayo tangkap ketiga-tiganya!" Mereka itu menjadi tabah karena di antara mereka terdapat jagoan-jagoan yang berilmu tinggi, maka segera mereka mengurung dan menyerbu dengan senjata di tangan. Gak Bin Tong menangkis serangan seorang pengawal dengan pedangnya dan Sin Wan bersama Giok Ciu memutar sepasang pokiam mereka melayani pengeroyok yang lain. Sin Wan dan Giok Ciu pada saat itu bukanlah Sin Wan dan Giok Ciu pada waktu setahun yang lalu. Kepandaian mereka telah maju pesat dan didorong oleh tenaga batin dan lweekang mereka yang tinggi, otomatis ilmu pedang mereka juga maju hebat.

Dulu ketika ilmu pedang mereka belum matang saja sudah sukar sekali dilawan, maka kini setelah kepandaian mereka matang dan mendekati kesempurnaan, tak dapat ditaksir kelihaiannya. Para pengeroyok itu hanya melihat sinar panjang hitam dan putih berputar-putar mengelilingi mereka dan mendengar sambaran pedang itu tapi hampir tak dapat mengikuti gerakan kedua anak muda yang menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga sakti. Baru beberapa gebrakan saja terdengar jeritan-jeritan mengaduh dari para pengeroyok yang kena pukul atau tendang. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Wan dan Giok Ciu tidak mau menewaskan jiwa orang, maka mereka hanya kena pukulan yang biarpun cukup hebat hingga membuat mereka tak berdaya, namun tak sampai membahayakan keselamatan jiwa mereka. Setelah masing-masing menjatuhkan dua orang, Sin Wan membentak,

"Hayo pergilah kalian kalau sayang jiwa!" Para pengeroyok yang belum terluka mendengar bentakan ini segera menarik kembali senjata mereka dan sambil membantu kawan-kawan yang terluka, mereka meninggalkan lereng itu dengan jalan terpincang-pincang, Gak Bin Tong menjura kepada dua orang anak muda itu,

"Terima Kasih banyak atas pertolongan jiwi. Kalau tidak tertolong oleh kalian, tentu Gak Bin Tong hari ini tinggal namanya saja. Sungguh merasa kagum sekali melihat kehebatan kalian, baru beberapa bulan saja berpisah. Sungguh membuat aku takluk dan tunduk" Sambil tiada habisnya memuji-muji, pemuda muka putih itu menjura dengan hormatnya. Terpaksa Sin Wan balas menjura, sedangkan Giok Ciu memalingkan muka tak mengacuhkannya.

"Sudahlah, saudara Gak. Sebetulnya, mengapakah kau dikejar-kejar oleh mereka itu?" tanya Sin Wan. Gak Bin Tong menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Kau tahu sendiri, saudara Sin Wan, bahwa biarpun aku tinggal di kota raja dan menjadi keluarga pembesar, namun aku berbeda dengan mereka. Aku bukanlah seorang pengawal, dan aku tidak mencampuri urusan mereka. Karena itulah maka mereka itu diam-diam membenciku. Kemudian datanglah hari celaka bagiku, ketika ada seorang membuka rahasiaku dan mengatakan bahwa dulu aku pernah menolong kalian!" Terkejutlah Sin Wan mendengar ini.

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Heran sekali, siapa yang dapat mengetahui hal itu?"

"Siapa lagi kalau bukan... Suma Siocia!" Mendengar nama ini disebut-sebut sepasang mata Giok Ciu memancarkan sinar ketika ia memandang kepada pemuda muka putih itu.

"Jangan kau sebut-sebut nama orang itu disini!" bentaknya dengan tiba-tiba dan marah hingga tidak hanya Gak Bin Tong, tapi juga Sin Wan juga merasa terkejut dan heran. Tapi gadis itu tanpa perdulikan mereka, lalu memutar tubuhnya dan pergi dari situ.

"Saudara Gak, sekarang keadaan sudah aman dan kau boleh pergi tanpa kuatir lagi," kata Sin Wan yang sebenarnya bermaksud mengusir dengan halus, karena sesungguhnya, iapun tidak suka kepada pemuda ini. Gak Bin Tong memandangnya dengan wajah kaget.

"Pergi? Kemana, saudara Bun? Lindungilah aku dan tolonglah untuk dua atau tiga hari lagi. Aku tahu bahwa mereka itu masih penasaran dan mereka tidak mengejarku hanya karena ada kau dan Kwie Lihiap di sini. Mereka tentu menanti di kaki bukit dan kalau melihat aku turun seorang diri, celakalah aku!"

"Habis, apa yang kau kehendaki, saudara Gak?"

"Ijinkanlah aku tinggal di tempatmu barang tiga hari. Biarlah, aku akan tidur di atas tanah saja, asal dekat dengan engkau hingga anjing-anjing itu takkan dapat menggangguku." Sin Wan ragu-ragu.

"Tapi Suhu telah pesan bahwa orang luar tidak boleh memasuki dan tinggal di puncak dimana kami bertiga tinggal," katanya.

"Suhumu?" mata pemuda muka putih itu berseri-seri, "Biarkan aku memohon padanya, biarlah kalau beliau marah, aku yang bertanggung jawab dan sedia dihukum." Setelah didesak-desak dengan alasan bahwa kalau dipaksa turun tentu akan mati terbunuh oleh pahlawan-pahlawan Kaisar, akhirnya Sin Wan dengan apa boleh buat mengabulkan permintaan Gak Bin Tong dan membawa pemuda itu kepada Suhunya. Bu Beng Lojin sedang duduk seorang diri di atas sebuah batu ketika Sin Wan menghadap diikuti oleh Gak Bin Tong di belakangnya. Giok Ciu tidak tampak di situ. Sin Wan berlutut di depan Suhunya dan Gak Bin Tong dengan hormat sekali juga berlutut.

"Suhu!" Sin Wan memanggil karena kakek tua itu diam saja seolah-olah tidak melihat mereka. Mendengar panggilan muridnya, ia menggerakkan kepala memandang dengan 


JILID 09




"Eh, Sin Wan, kau datang dengan siapakah?" Gak Bin Tong buru-buru mengangguk-angguk kepala lalu berkata,

"Mohon beribu ampun, Lo-Cianpwe, teecu Gak Bin Tong datang menghadap. Karena di kejar-kejar dan hendak di bunuh oleh pengawal Kaisar, maka teecu lari ke sini dan mohon perlindungan Lo-Cianpwe yang mulia." Bu Beng Lojin mengerutkan alisnya lalu berkata dengan suara yang berpengaruh,

"Coba kau angkat mukamu!" Gak Bin Tong tak dapat membantah, lalu angkat mukanya dan memandang kepada kakek tua yang aneh itu. Bu Beng Lojin ketika melihat wajah Gak Bin Tong tiba-tiba entah mengapa, menjadi berubah mukanya dan ia mengangguk-angguk dan menghela napas, panjang berulang-ulang. Mendengar ini, sin Wan memandang gurunya dan kagetlah ia karena gurunya tampak seakan-akan bersedih sekali.

"Sin Wan, kaukah yang membawanya masuk ke tempat kita?"

"Benar, Suhu, karena tak dapat teecu biarkan saja dia terancam maut kalau turun gunung."

"Lo-Cianpwe, mohon jangan persalahkan saudara Sin Wan, sebenarnya teecu lah yang mendesaknya dan..."

"Sudahlah, sudahlah... kau, orang she Gak, kau pergilah ke rimba itu, aku ingin bicara berdua dengan Sin Wan." Gak Bin Tong dengan takut-takut mengundurkan diri dan pergi ke rimba yang berada tak jauh dari situ, lalu duduk dibawah sebatang pohon besar sambil termenung memikirkan nasibnya.

"Sin Wan, kau panggil Giok Ciu ke sini," kata Bu Beng Lojin. Sin Wan lalu berdiri dan setelah menahan napas, ia segera memanggil,

"Giok Ciu"!" Suaranya ini tidak keras, tapi nyaring sekali. Anehnya, biarpun ia memanggil tidak keras, suaranya seakan-akan memenuhi dan menjalar-jalar di seluruh pucak, hingga terdengar sampai dimana-mana, bahkan Gak Bin Tong yang duduk jauh di dalam rimba itu juga mendengarnya! Sin Wan lalu berlutut kembali dan tak lama kemudian, benar saja, sesosok bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu Giok Ciu telah berada disitu dan berlutut di depan Suhunya.

"Sin Wan dan Giok Ciu, kini sudah tiba saatnya bahwa aku harus berpisah dengan kalian. Kalau ada jodoh, sepuluh tahun kemudian kita bertiga dapat bertemu pula di puncak ini. Sekarang kepandaian kalian sudah cukup tinggi hingga aku tidak usah merasa ragu-ragu melepaskan kalian. Asal kalian mempergunakan kepandaian itu dengan benar, maka agaknya di dunia ini hanya ada beberapa orang saja yang dapat menandingi kalian. Murid-muridku, harapanku tak lain mudah-mudahan segala petuahku selama kalian berada di sini takkan kalian lupakan. Pula, pesanku terakhir ini supaya diingat benar-benar, yakni sekali lagi kutegaskan: Pedang pusaka Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam tak boleh dimiliki oleh sepasang suami isteri, maka jika kalian melangsungkan perjodohan, kedua pusaka itu harus disimpan kembali ke dalam gua naga. Ingatlah benar-benar ini, karena kalau tidak, kalian akan mendapat bencana besar. Nah sekarang aku mau pergi."

"Suhu, tunggu!" tiba-tiba Giok Ciu berseru dengan suara terharu. Entah mengapa, gadis ini merasa terharu sekali pada saat Suhunya hendak meninggalkannya.

"ada apakah, Giok Ciu?" tanyanya dengan suara mengandung iba.

"Suhu..." gadis itu menahan isaknya, "teecu... mohon doa restu agar... Teguh iman dan kuat hati, Suhu..." Bu Beng Lojin tersenyum. Ia menggerakkan tangannya dan menaruh telapak tangannya di atas kepala Giok Ciu, mengusap rambut muridnya lalu berkata bagaikan seorang kakek kepada cucunya,

"Giok Ciu, segala apa akan berjalan baik asalkan kau ingat selalu bahwa kebahagiaan itu letaknya di dalam diri sendiri. Alangkah mudahnya mencari kebahagiaan asal kau telah mengenal diri sendiri dan dapat melihat betapa kebahagiaan menanti-nantimu di situ. Selanjutnya... terserah kepadamu sendiri, muridku. Nah, Giok Ciu, Sin Wan, selamat berpisah!" Baru saja habis kata-katanya ini, tubuhnya telah melayang ke bawah gunung, diikuti oleh pandang mata Sin Wan yang mengerutkan pelupuk mata dan Giok Ciu yang mengalirkan air mata. Setelah agak lama Suhunya pergi, Sin Wa memandang Giok Ciu yang masih berdiri bengong ke arah ke mana Suhunya turun gunung tadi. Pipi gadis itu masih basah air mata sedangkan wajahnya agak kepucat-pucatan, maka terbitlah hati yang sangat iba dan sayang dalam dada Sin Wan. Ia dekati kekasihnya itu dan memegang kedua pundaknya dari belakang dengan mesra.

"Giok Ciu, jangan kau bersedih. Bukankah masih ada aku di sampingmu?" Giok Ciu merasa terhibur juga, ia memalingkan muka memandang kepada Sin Wan dan wajahnya mulai berseri kembali, dan bibirnya tersenyum, seakan-akan matahari mulai terbit mengusir kabut di waktu pagi.

"Koko di manakah perginya manusia she Gak itu?" Sin Wan tersenyum.

"Mengapa kau agaknya benci sekali padanya, moi-moi?"

"Ah, ia bukan orang baik-baik. Jika dekat dengan ia, aku merasa seakan-akan dekat dengan seekor serigala berkedok muka domba."

"Sudahlah jangan pikirkan soal dia. Dia tadi disuruh pergi ke rimba itu oleh Suhu, biarlah ia berlindung di tempat kita untuk beberapa hari lamanya. Kitapun harus menyelesaikan latihan lweekang yang terakhir, moi-moi, sesuai dengan perintah Suhu. Kurasa dalam tiga empat hari lagi aku akan berhasil. Bagaimana dengan kau, moi-moi?"

"Akupun sudah mendekati hasil baik. Api dalam tubuh terasa makin hangat dan gerakan-gerakan tenaga dalam tubuh makin besar hingga dapat kugerakkan ke seluruh bagian tubuh."

"Bagus sekali kalau begitu. Biarlah kita berlatih tiga hari lagi, kemudian kita turun gunung melakukan tugas kita. Jangan ambil peduli orang she Gak itu."

Mereka lalu pergi melatih diri, pertama-tama bersama-sama melatih ilmu silat, kemudian mereka bersamadhi di tempat masing-masing. Seperti biasa, semenjak mendapat latihan di udara terbuka oleh Suhu mereka, masing-masing telah memilih tempat latihan sendiri, Sin Wan memilih tempat di bawah sebatang pohon liu dimana terdapat sebuah batu hitam besar yang dipakai sebagai tempat duduk bersamadhi sedangkan Giok Ciu memilih tempat di dalam hutan pohon siong yang banyak ditumbuhi kembang-kembang yang harum baunya. Ia selalu merasa tenteram jika bersamadhi di situ, karena selain bau bunga dan rumput menyegarkan pernapasannya, juga suara burung-burung di atas pohon merupakan nyanyian indah yang tambah menyempurnakan samadhinya.

Ketika hari telah menjelang senja, Giok Ciu masih tenggelam dalam samadhinya. Tubuhnya bersila di atas rumput, diam tak bergerak sedikitpun bagaikan patung seorang dewi. Wajahnya yang cantik jelita tampak bercahaya dan bibirnya serta kedua pipinya berwarna kemerah-merahan. Pada saat demikian itu ia tidak hanya tampak cantik, tapi juga agung sekali. Tiba-tiba Giok Ciu merasa seakan-akan tersendal turun dari atas dan ia sadar kembali. Otomatis sepasang matanya menatap ke depan dan bertemu pandanglah ia dengan sepasang mata yang telah lama sekali memandangnya dengan kagum dan terpesona. Agaknya pandangan mata inilah yang membuat ia terganggu dari samadhinya. Ketika gadis itu memperhatikan ternyata bahwa yang memandanginya itu adalah mata Gak Bin Tong yang duduk di depannya sambil tersenyum-senyum mengambil hati!

"Kwie Siocia, alangkah suci, agung dan cantik jelita kau! Melihat kau bersamadhi seperti ini, aku teringat akan patung Dewi Kwan Im di See-Coan, Kwie-Siocia..." Giok Ciu merasa tidak senang sekali dan memandang tajam.

"Sudah lamakah kau duduk di sini?" tanyanya dengan suara dingin.

"Sudah sejak tadi, Siocia aku mengagumi kecantikanmu, keindahan bentuk tubuhmu, keagungan yang bersinar keluar dari wajahmu..."

"Tutup mulut! Orang she Gak, kau sungguh kurang ajar sekali. Apa perlumu datang kesini menggangu samadhiku?" Tiba-tiba Gak Bin Tong berlutut! Ya pemuda muka putih itu berlutut di depan Giok Ciu hingga gadis itu tercengang sekali dan heran. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan menyangka bahwa tiba-tiba pemuda itu menjadi gila. Memang pada saat itu Gak Bin Tong telah gila, gila asmara! Ia berlutut di depan kaki Giok Ciu yang masih bersih sambil berkata dengan suara merayu,

"Kwie-Siocia, tidak tahukah kau... aku... aku mengagumimu, aku... ah, kau kuanggap sebagai seorang dewi yang suci murni, dewi pujaan hatiku. Siocia, aku" aku cinta padamu, dengan sepenuh jiwa dan hatiku." Giok Ciu menjerit kecil dan tiba-tiba ia meloncat dan bangun berdiri. Ia marah dan malu sekali mendengar ucapan itu hingga ia merasa betapa kedua tangannya menggigil dan dadanya berdebar.

"Orang she Gak! Kau benar-benar tak tahu diri dan kurang ajar sekali! Kau... kau telah menghinaku dengan pernyatamu itu...!" karena marahnya, gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, bahkan dari kedua matanya mengalirlah air mata! Gak Bin Tong dengan nekad melanjutkan kata-katanya,

"Nona Giok Ciu... aku... aku cinta padamu! Aku tahu bahwa kau mempunyai hubungan yang erat dengan saudara Sin Wan, tapi... tapi tidak tahukah kau bahwa saudara Sin Wan itu telah menjadi... suami yang tidak syah dari nona Suma Li Lian?" Terbelalak mata Giok Ciu yang bening itu mendengar kata-kata ini.

"Bangsat bermulut jahat! Kau harus dibasmi dari muka bumi ini!" Giok Ciu mencabut Ouw Liong Pokiam dan menyerang pemuda itu yang segera meloncat dan berkelit cepat.

"Nona Giok Ciu... Percayalah padaku..."

"Bangsat keji!" Giok Ciu makin marah dan mengirim serangan-serangan maut. Kalau bukan Gak Bin Tong yang di serang seperti itu, tentu sukar untuk menyelamatkan diri, tapi pemuda she Gak inipun memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dalam tiga empat jurus saja Giok Ciu yang sedang marah itu belum dapat merobohkannya. Akan tetapi, segera keadaan pemuda itu berbahaya sekali karena Giok Ciu dapat mengendalikan marahnya dan menggerakkan pedangnya secara lihai sekali! Pada saat yang sangat berbahaya, tiba-tiba Sin Wan muncul dan berseru,

"Moi-moi, tahan pedangmu!" Tapi Giok Ciu tidak memperdulikan seruan Sin Wan, bahkan memperhebat serangannya hingga Gak Bin Tong sibuk sekali berloncatan menghindarkan diri.

"Moi-moi, segala hal bisa diurus, jangan menggunakan kekerasan." Tapi tetap saja gadis yang sudah panas dan naik darah itu tidak mau menghentikan serangannya hingga Sin Wan terpaksa mencabut Pek Liong Pokiamnya dan menangkis sebuah tusukan Giok Ciu yang mengarah tenggorokan Gak Bin Tong yang sudah kepepet sekali keadaannya.

"Kau mau membela dia?" kata Giok Ciu gemas sekali dan dengan ganasnya ia mengirim serangan lagi ke arah Gak Bin Tong. Sin Wan menangkiskan lagi dan berserulah dia.

"Moi-moi, lupakah kau akan pesan Suhu? Jangan sembarangan membunuh orang!" Lemaslah tangan Giok Ciu mendengar peringatan ini. Ia memandang kepada Sin Wan dengan gemas, kemudia ia membentak kepada Gak Bin Tong.

"Bangsat rendah, kau tidak lekas pergi?" Gak Bin Tong menjura kepada mereka, lalu meloncat pergi sambil berkata,

"Lihatlah saja, kelak akan terbuka matamu." Dan secepat mungkin ia lari turun gunung, diikuti pandang mata marah dari Giok Ciu dan keheranan dari Sin Wan.

"Moi-moi apakah salahnya maka kau hendak membunuhnya?" tanya Sin Wan.

"Dia... Dia..." Giok Ciu hendak mengatakan bahwa pemuda muka putih itu menuduh Sin Wan menjadi suami tidak syah dari Suma Li Lian, tapi kata-kata ini ditelannya kembali, sebaliknya ia berkata, "Dia datang dan mengganggu ketika sedang bersamadhi, bahkan ia berkata kurang ajar!" Sin Wan menghela napas karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu lupa akan kesopanan melihat Giok Ciu duduk bersamadhi karena ia sendiripun pernah melihat betapa ayu dan agung gadis itu tampaknya jika sedang bersamadhi. Maka ia menghela napas panjang.

"Sudahlah, moi-moi, untuk apa memperdulikan orang seperti dia? Dia sekarang sudah pergi, lebih baik kita mencurahkan perhatian kita kepada latihan-latihan kita, karena kita menghadapi urusan besar."

"Siapa memperhatikan dia?" jawab Giok Ciu karena sesungguhnya ia sama sekali tidak perhatikan Gak Bin Tong, tapi yang mengganggu pikirannya ialah kata-kata pemuda muka putih tadi.

Ia yakin dan pasti bahwa orang she Gak itu tentu membohong, namun masih saja ada rasa tidak enak dan tidak senang di dalam hatinya. Selama tiga hari semenjak peristiwa itu, di tempat terpisah, Giok Ciu dan Sin Wan mengerahkan seluruh perhatian untuk berlatih hingga pelajaran latihan lweekang terakhir telah mereka lalui dengan hasil baik. Pada hari keempatnya, Giok Ciu berdiri dari tempat siulian di bawah pohon siong itu, dan melemaskan kedua kaki dengan berjalan-jalan ke lereng puncak. Kedua kakinya terasa agak kaku dan perutnya lapar sekali. Ia tahu bahwa di sebuah hutan terdapat pohon-pohon buah yang lezat buahnya dan tempat ini telah merupakan "Gudang makanan" bagi kedua anak muda itu serta guru mereka.

ketika Giok Ciu tengah makan buah yang baru saja dipetiknya dan rasanya segar dan enak sekali, tiba-tiba ia menunda makannya karena pada saat itu ia mendengar suara wanita menangis dan memaki-maki. Ia segera meloncat dan lari cepat menuju ke arah suara itu yang ternyata datang dari arah bawah. Ia menuruni lereng itu dengan cepatnya dan alangkah marahnya ketika melihat betapa empat orang laki-laki menarik-narik seorang wanita muda keluar dari sebuah tandu! Ia tidak melihat jelas wajah wanita itu, hanya tahu bahwa wanita itu menggendong seorang anak kecil yang menangis keras. Agaknya keempat orang laki-laki itu tadinya adalah tukang-tukang pikul tandu yang kini hendak berbuat jahat.

"Bangsat-bangsat keji!" Giok Ciu berseru keras dan tahu-tahu keempat laki-laki tiggi besar dan bertubuh kuat itu melihat bayangan berkelebat cepat dan sebelum mereka dapat melihat tegas,

Bayangan itu telah tiba dan tahu-tahu seorang demi seorang, mereka terlempar ke dalam jurang yang sangat curam di dekat situ! Keempat orang itu mengalami kematian tanpa mengetahui siapa yang membunuh mereka dan dengan cara bagaimana. Setelah menggunakan kegesitan dan ketangkasannya melempar-lempar keempat orang itu bagaikan melemparkan rumput-rumput saja, Giok Ciu lalu bertindak maju dan menyingkap kain sutera penutup tandu. Tiba-tiba tangannya yang pegang tandu itu gemetar dan dadanya berdebar keras, karena wanita muda yang ditolongnya itu bukan lain ialah nona Suma Li Lian! Suma Li Lian ketika melihat bahwa yang menolongnya adalah Kwi Giok Ciu, gadis pendekar yang perkasa dan yang pernah dilihatnya dulu, tampak gembira sekali dan segera ia keluar dari tandu sambil memondong anak kecil itu.

"Kwie Lihiap! Kaukah itu? Sukurlah dan banyak-banyak terima kasih, Lihiap, karena kau ternyata telah menolong jiwaku dari ancaman empat binatang keparat tadi." Giok Ciu terima pernyataan terima kasih itu dengan senyum dingin saja.

"Siapakah mereka itu dan hendak kemanakah kau sampai tersesat di gunung ini?" tanyanya.

"Kwie Lihiap, aku sengaja menyewa tandu ini untuk mendaki bukit ini. Aku telah membayar mahal sekali kepada empat orang itu. Siapa tahu, sampai ditempat ini mereka agaknya mengandung maksud buruk terhadap diriku. Untung sekali kau keburu datang!"

"Hmm, dengan maksud apakah kau mendaki bukit ini?" tanya Giok Ciu dengan sikapnya yang masih dingin. Tiba-tiba Li Lian menangis sambil mendekap anak perempuan yang usianya kurang lebih enam bulan itu di dadanya!

"Eh, mengapa tiba-tiba kau menangis?" tanya Giok Ciu.

"Lihiap, kau... kau tolonglah, Lihiap. Aku sedang mencari Ayah anak ini, dan dia dulu pernah memberi tahu padaku bahwa jika aku hendak mencari padanya aku harus mendaki bukit Kam-Hong-San ini..." Makin keras debar jantung Giok Ciu dan ia kini merasa betapa kedua kakinya menggigil, tapi sedapat mungkin ia menahan dan menindas perasaan ini.

"Siapa... siapakah Ayah anak ini dan... Dan ini anak siapakah...?" Tanyanya gagap.

"Ini adalah anakku, Lihiap, dan Ayahnya... Adalah Bun Sin Wan..." Biarpun tadi dengan kuatir sekali di dalam dada Giok Ciu telah ada yang menduga akan hal ini, namun keluarnya pernyataan dari bibir Suma Li Lian sendiri itu membuat ia merasa seakan-akan bumi yang dipinjaknya bergoyang-goyang hingga kedua matanya menjadi gelap dan kepalanya pening. Ia terhuyung-huyung, tapi segera ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaannya. Setelah mengatur napas beberapa lama, barulah ia tenang kembali dan kegelapan yang menyelimuti dirinya berangsur-angsur lenyap. Ia lalu memandang wajah yang cantik tapi agak pucat dihadapannya itu, dan sedapat mungkin ia menekan suaranya hingga tidak terdengar ketus.

"Nona Suma, tidak salahkan pendengaranku tadi bahwa Ayah anakmu ini adalah Bun Sin Wan?" tanyanya. Suma Li Lian memandang Giok Ciu dengan sinar mata penasaran hingga mata yang bening bagaikan mata burung Hong itu memancarkan cahaya.

"Kwie Lihiap, biarpun aku bukan seorang wanita gagah seperti engkau, namun tetap mempunyai kesetiaan dan kejujuran dalam hal ini. Kalau bukan kanda Sin Wan yang menjadi suamiku, untuk apakah aku mengatakan bahwa dia adalah Ayah anakku ini?" Dan setelah berkata demikian ia memandang Giok Ciu dengan sikap menantang.

"Kau bohong!" teriak Giok Ciu marah sekali. "Kau sengaja memfitnah orang! Kau perempuan hina yang harus mampus!" Dengan pedang terhunus di tangan, Giok Ciu mengancam. Tapi Suma Li Lian tidak takut, bahkan tetap tersenyum tenang,

"Kwie Lihiap, mungkin kau mencinta kanda Sin Wan dan karenanya menjadi sakit hati kepadaku. Tapi jangan kau sebut aku pembohong karena aku sama sekali tidak bohong padamu. Anak ini adalah anak kanda Sin Wan dan aku! Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja hal ini kepadanya sendiri. Bukankah ia ada di sini?"

"Suma Li Lian! Kalau kau memfitnah, jangan anggap aku keterlaluan kalau aku akan cincang hancur tubuhmu! Bun Sin Wan selalu bersamaku dan kami tak pernah berpisah. Bagaimana kau dapat berkata bahwa anak ini adalah anaknya?" Kini Giok Ciu berubah pucat sekali dan bibirnya terasa kering. Sinar matanya seakan-akan memohon kepada Li Lian supaya menarik kembali kata-kata tuduhan tadi. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Li Lian yang tenang itu bagaikan sebilah pisau berbisa yang mengiris-iris jantungnya.

"Kwie Lihiap, memang benar kata-katamu itu, dan akupun hanya sekali saja bertemu dengan kanda Sin Wan. Tapi pertemuan yang sekali itu telah mengikat kami menjadi suami isteri dan bukti yang terutama ialah anak kami ini. Ingatkah kau ketika Sin Wan pergi seorang diri hendak mencegat Ayahku? Bukankah waktu itu kau tidak ikut dan tinggal di dalam Kelenteng? Nah, pada waktu itu, larut tengah malam menjelang fajar, pada waktu itulah kami bertemu, atau lebih tepat, kanda Sin Wan menemuiku. Ia memasuki kamarku dan menyatakan cintanya padaku. Pada saat itulah kami menjadi suami isteri." Giok Ciu maju dan memegang erat lengan Li Lian.

"Kau... kau... katakanlah sebetulnya, apakah kau tidak bohong? Apakah hal ini terjadi betul-betul? Mengapa kau tidak berteriak pada waktu itu?" Suma Li Lian menundukkan muka dengan wajah memerah,

"Aku tidak membohong, Lihiap. Demi kehormatanku, demi Thian Yang Maha Kuasa, aku tidak membohong. Biarpun aku tidak dapat melihat wajahnya pada waktu itu dan keadaan gelap, namun aku dapat mengenal suaranya dan iapun mengaku bahwa ia adalah kanda Sin Wan sendiri. Dan aku... aku tentu akan berteriak minta tolong, kalau saja dia bukan kanda Sin Wan... aku, aku cinta padanya, Lihiap. Aku cinta kepada musuh Ayahku!! Sekarang, sekarang... aku merasa malu dan hina sekali, tapi apa boleh buat... anak ini telah terlahir dan perlu bertemu dengan Ayahnya..." Maka menangislah Li Lian tersedu-sedu dan Giok Ciu melepaskan pegangannya pada lengan tangan Ibu muda itu, dan gadis itu berdiri termenung seakan-akan semangatnya telah meninggalkan tubuhnya. Ia tidak measa betapa air matanya mengalir turun dari sepasang matanya yang suram, tidak tahu betapa wajahnya pada saat itu lebih menyerupai seorang mayat hidup! Kemudian ia teringat sesuatu.

"Benarkah kau telah mengkhianati seorang she Gak dan mengatakan kepada para pahlawan bahwa dia ini mempunyai hubungan dengan kami?"

"Benar, Lihiap. Aku benci sekali kepadanya. Telah beberapa kali ia bersikap tak patut terhadapku, maka aku segera mengadukan dia dan sepanjang yang kudengar, ia dikejar-kejar oleh para pengawal Kaisar. Lihiap, sekarang kau tolonglah aku, dimanakah adanya kanda Sin Wan?"

"Kau hendak bertemu padanya? Boleh! Memang kau harus bertemu padanya, kau harus bertemu sekarang juga! Hayo, kuantar kau!!"" Kemudian Giok Ciu mengajak Suma Li Lian naik ke lereng bukit itu. Ibu muda itu naik dengan sukar sekali, tapi Giok Ciu tidak memperdulikannya, bahkan berjalan mendahuluinya dengan tindakan bagaikan orang mabok. Sin Wan yang baru saja sadar dari siulian, menyambut kedatangan Giok Ciu dengan senyum gembira. Tapi ia kaget sekali melihat wajah gadis itu. Ia segera maju hendak memegang tangan Giok Ciu, tapi gadis itu berkelit cepat dan memandangnya penuh kebencian. Nyata sekali betapa Giok Ciu menahan-nahan nafsunya hendak menyerang Sin Wan.

"Moi-moi... Kau kenapakah??" Sin Wan cemas sekali melihat keadaan Giok Ciu yang disangkanya sakit atau telah terjadi hal yang hebat. Tapi Giok Ciu hanya menggigit bibir dan memandangnya dengan mata yang kini mulai digenangi air mata! Pada saat itu terdengar suara kaki orang menaiki jalan naik itu dengan susah payah. Sin Wan cepat memandang dan terkejutlah ia ketika melihat betapa Suma Li Lian sambil menggendong anak kecil sedang mendaki dengan napas terengah-engah karena sangat kelelahan! Sebagai seorang berbudi halus, melihat keadaan Li Lian, Sin Wan tidak tega mendiamkannya saja, maka cepat ia maju dan mengulurkan tanggannya untuk membantu gadis itu menaiki sebuah batu. Tapi tak disangkanya sama sekali, ketika Suma Li Lian telah berdiri tetap didepannya, wanita itu segera menubruk dan memeluknya sambil berbisik tercampur isak.

"Kanda Sin Wan... alangkah banyak derita kualami dalam mencari engkau"" maka terdengarlah tangis mengharukan dibarengi dengan pekik tangis bayi dalam gendongan ibunya itu. Sin Wan mendengar sebutan Li Lian padanya itu menjadi heran sekali. Ia mengangkat-angkat kedua alis matanya dan memandang dengan muka bodoh. Tak dapat ia berlaku kasar untuk mencegah pelukan Li Lian, karena ia tahu betapa gadis itu sangat lelah dan juga ia takut kalau-kalau anak dalam gendongan itu akan terjatuh.

"Suma-Siocia, kau tenanglah, jangan peluk-peluk aku seperti ini. Duduklah dan mari kita bicara baik-baik," katanya dengan halus.

"Koko... kenapa kau masih sebut aku Siocia? Lihat... lihatlah! Ini adalah anakmu! Anak kami, terlahir lima bulan yang lalu! Koko... ternyata jodoh kita tak dapat direnggut putus demikian saja, lihat anak ini belum kuberi nama, sengaja kubawa kepadamu, kepada Ayahnya untuk menimangnya dan memberinya nama." Kalau ada geledek menyambar barangkali Sin Wan takkan sekaget ketika mendengar kata-kata Suma Li Lian ini. Ia merasa seakan-akan seluruh rambut dikepala dan tubuhnya berdiri dan meremang. Ia takut kalau-kalau wanita ini telah menjadi gila! Tak terasa pula ia mundur beberapa langkah dengan napas terengah-engah, lalu katanya,

"Suma-Siocia, apakah yang kau maksudkan dengan semua ini? Kau telah menjadi gila atau akukah yang sedang mimpi?" Kemudia Sin Wan berpaling kepada Giok Ciu yang masih memandangnya seperti tadi, bahkan kini di sudut bibir gadis itu membayang senyum menghina.

"Moi-moi, agaknya kau lebih tahu tentang hal ini. Coba terangkan, apakah artinya semua ini? Mengapa kau bawa Suma-Siocia ke sini dan anak ini anak siapakah?" Tiba-tiba Giok Ciu menggunakan jari telunjuk menunding mukanya.

"Siapa sudi kau sebut moi-moi? Laki-laki rendah, laki-laki hina, laki-laki pengecut! Tak tahu malu, sudah berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan masih berpura-pura bodoh pula sekarang! Sungguh tak kusangka sama sekali! Kau... orang yang tadinya kuanggap semulia-mulianya orang, yang kusangka sejantan-jantannya diantara sekalian yang jantan, tak tahunya hanyalah seorang hina dina!"

"Moi-moi tahan mulutmu!" bentak Sin Wan dengan marah sekali dan wajahnya memucat.

"Tidak! Aku hendak bicara terus, kau mau apa? Lihat, mulai saat ini aku Kwie Giok Ciu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan seorang rendah bernama Bun Sin Wan!" Sambil berkata demikian gadis itu mencabut suling pemberian Sin Wan dulu dan mematahkan suling itu ke dalam tangan, lalu dua potong patahan suling itu ia remas-remas sampai hancur lebur sambil tertawa bekakakan.

"Moi-moi, diamlah!" Sin Wan membentak lagi dengan keras sekali karena ia merasa ngeri melihat betapa gadis itu berdongak sambil tertawa yang sangat aneh bunyinya dan pada saat itu ia tampak seperti mayat sedang tertawa menyeramkan. Giok Ciu melempar-lemparkan hancuran suling itu ke atas dan angin gunung membawa bubukan itu bertebaran ke mana-mana,

"Ha, ha, ha! Lihatlah, lihatlah, hai bunga dan pohon! Lihatlah betapa cita-cita itu telah lebur, telah cerai berai dan musnah terbawa angin. Lihatlah betapa semua telah hancur, telah hancur... sekarang tidak ada apa-apa lagi... hancur lebur... habis..." Dan kembali ia tertawa menyeramkan, tapi suara ketawanya itu berangsur-angsur menjadi isak tangis sedih. Lalu Giok Ciu lari dari situ dengan cepat sekali sambil membawa suara tangisnya makin menjauh.

"Moi-moi...!" Sin Wan juga lari mengejar, tapi tiba-tiba Giok Ciu mencabut pedang Ouw Liong Pokiam dan membalikkan tubuh dengan pedang hitam itu melintang di dada. Sikapnya garang sekali dan ia membentak,

"Bangsat rendah! Kau mau apa? Jangan halang-halangi pergiku, kembalilah kepada isteri dan anakmu! Awas, satu tindak saja kau melangkah maju, aku akan mengadu jiwa denganmu!" Tadinya Sin Wan hendak nekad maju, tapi ia pikir lagi bahwa Giok Ciu sedang panas hati dan mata gelap, maka tidak baik kalau dipaksa dan mungkin akan terjadi pertempuran mati-matian dan ia anggap ini bukanlah penyelesaian yang baik. Maka ia hanya memandang gadis itu dengan wajah sedih, lalu berkata,

"Baiklah, moi-moi. Kau menuduh aku yang bukan-bukan tanpa memberi kesempatan dan ketika kepadaku untuk membela diri!" Tapi Giok Ciu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara terus karena gadis itu telah membalikkan tubuhnya dan lari ke bawah gunung dengan cepat sekali dan Ouw Liong Pokiam di tangannya berkilau-kilau ditimpa sinar matahari!

Akhirnya Sin Wan membalikkan tubuhnya setelah bayangan gadis itu tidak tampak lagi dan ia teringat kembali akan Suma Li Lian, maka dengan kertak gigi karena gemas, ia lari kembali ke tempat gadis bangsawan itu. Ia melihat betapa gadis itu berdiri sambil menyusui anak itu, maka wajah Sin Wan memerah. Ia memalingkan mukanya dan dalam keadaan malu dan jengah melihat betapa Li Lian di hadapannya tanpa malu-malu menyusui anak itu, timbullah keheranan besar dalam hati Sin Wan. Li Lian telah mempunyai anak dan mengaku bahwa anak itu adalah anaknya pula! Li Lian mengaku bahwa dia adalah suaminya! Sungguh gila, gila dan lucu. Sambil berdiri membelakangi Li Lian, Sin Wan berkata,

"Suma-Siocia, kalau kau sudah selesai menyusui anak itu, katakanlah agar kita bisa bicara dengan baik." Beberapa lamanya mereka berdiri dalam keadaan demikian. Li Lian berdiri menyusui anaknya sambil memandang tubuh belakang Sin Wan dengan mata sayu dan agak terheran melihat sikap pemuda itu, sedangkan Sin Wan berdiri memangku kedua lengan sambil memeras otaknya mengapa timbul perkara aneh dan gila ini! Tak lama kemudian terdengar Li Lian berkata kepadanya,

"Kanda Sin Wan, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu. Kau adalah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi tinggi. Benar-benarkah kau tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu sendiri?" Sin Wan kertak giginya dengan marah dan gemas sekali.

"Sudah selesaikah kau menyusui anakmu?" bentaknya.

"Sudah, biarpun aku tidak mengerti mengapa kau pura-pura tidak bisa melihat anakmu sendiri menyusu di dada ibunya!" jawab Li Lian penasaran. Bagaikan kilat cepatnya Sin Wan meloncat sambil membalikkan tubuh dan ia berdiri di depan Li Lian. Gatal-gatal tangannya hendak menampar perempuan ini, tapi melihat betapa sepasang mata yang bening dan wajah yang ayu itu tampak sangat agung memandangnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, ia menjadi lemas.

"Nona Suma, sekarang kau katakanlah yang sebenarnya. Mengapa kau lakukan hal keedan-edanan ini? Apakah salahku kepadamu maka kau memfitnah padaku?" Tiba-tiba Sin Wan menjadi pucat dan kedua matanya bersinar-sinar. Ia lalu tertawa dan berkata kepada Li Lian yang terheran-heran.

"Ha, ha, ha! Kau perempuan licin! Sungguh kau cerdik dan lihai! Kini aku tahu, tentu kau lakukan ini untuk membalas dendammu karena aku telah membunuh Ayahmu bukan? Ha, ha, ha! Benar-benar kau hebat dan lihai! Dengan tenaga kau tak mungkin dapat membalas, kini kau membalas, dengan akal jahatmu. Tapi hasil muslihatmu ini ternyata lebih hebat dan sakit rasanya daripada kalau kau membalas dengan pukulan maut! Ah, mengapa Giok Ciu tidak menginsafi hal ini...?"

"Koko Sin Wan! Jangan kau ngaco belo tidak karuan..." Dan tiba-tiba Li Lian menangis sedih. "Aku... mengapa pula aku harus membalas dendam? Bukankah aku sudah menjadi isterimu? Koko, biarpun kau hendak berlaku pengecut dan mengingkari janji dan membodohi semua orang, tapi kau tidak dapat menipu Thian Yang Maha Agung! Inilah buktinya! Lihatlah anak ini, inilah hasil pertemuan kita dulu! Atau kau pura-pura lupa ketika kau memasuki kamarku pada pagi hari dulu itu? Koko, kau tahu bahwa aku... aku mencinta padamu, kalau tidak demikian halnya, mungkinkah aku sudi melayanimu sedangkan aku tahu bahwa kau adalah musuh Ayahku? Aku telah korbankan Ayahku, korbankan namaku, korbankan perasaanku untuk membalas cintamu, tapi mungkinkah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi seperti engkau ini mempunyai hati palsu? Ah, tak mungkin! Aku takkan percaya! Wajahmu tak mungkin palsu tapi... mengapa sikapmu begini terhadapku, koko..." dan dengan sangat sedihnya Li Lian menangis dan menutupi mukanya sehingga ia tidak melihat betapa Sin Wan mendengarkan ucapannya dengan wajah makin terheran dan mata makin lebar terbelalak. Sin Wan benar-benar tak berdaya karena herannya. Setelah menggunakan lidahnya membasahi bibirnya yang kering, ia akhirnya berkata dengan halus,

"Nanti dulu, nona, tenanglah dulu. Coba kau ceritakan padaku tentang pagi hari itu, pada waktu mana kau bilang aku memasuki kamarmu. Coba ceritakanlah hal itu dengan terus terang." Suma Li Lian memandangnya heran dan seakan-akan tak percaya akan apa yang didengarnya dari mulut pemuda itu. Akhirnya ia menghela napas dan berkata,

"Baiklah kalau kau kehendaki itu. Dulu ketika mendengar bahwa kau mencari-cari Ayahku untuk kau bunuh, hatiku hancur dan sedih sekali, karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kau membunuh Ayah. Pertama-tama memang sebagai seorang anak tentu saja aku tidak rela kalau Ayah dibunuh orang, kedua, di lubuk hatiku aku sangat tertarik dan suka kepadamu yang biarpun menjadi musuh Ayahku, namun kau telah berlaku sopan dan jujur terhadapku, bahkan kau telah membela aku dari kemarahan Kwie Lihiap. Semenjak itulah maka timbul rasa cinta di dalam hatiku. Malam ketika kau pergi itu aku tak dapat tidur. Menjelang fajar, aku melihat bayangan orang memasuki kamarku dari jendela. Karena lampu telah padam, maka aku tak dapat mengenal mukamu, hanya dapat menduga karena potongan tubuhmu kukenal baik dan bayangan itu potongan tubuhnya memang sama dengan engkau. Kemudian kau membuka suara memanggilku, maka aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kaulah yang datang. Kau menyatakan cintamu tanpa banyak kata dan aku... aku tak berdaya menolakmu karena... memang aku cinta padamu...! Ah, kanda Sin Wan, perlukah hal ini disebut-sebut lagi? Atau apakah ketika itu kau hanya pura-pura saja dan sengaja mempermainkan aku?" Tiba-tiba Sin Wan mengangkat tangan dan meramkan mata karena ia sedang memikir keras.

"Nanti dulu... ketika hal itu terjadi, yakni ketika bayangan itu memasuki kamarmu, apakah waktu itu sudah terdengar ayam berkokok?" Suma Li Lian mengingat-ingat lalu berkata tetap,

"Belum koko, karena aku ingat betul bahwa setelah kau pergi meninggalkan aku, barulah aku mendengar suara ayam berkokok memasuki jendela kamarku yang terbuka karena kau agaknya lupa menutup kembali." Sin Wan mengangguk-angguk,

"Hmm, aku tahu sekarang mengapa kau dulu ketika hendak berpisah dengan aku, mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti sama sekali, yakni kau sesalkan aku yang tidak ingat akan kejadian pagi itu. Kini aku mengerti. Ketahuilah, Suma-Siocia, Pada saat itu aku masih belum kembali ke Kelenteng, dan datangku ke Kelenteng adalah pada waktu matahari telah naik tinggi! Pada saat ada orang memasuki kamarmu itu aku tengah mencegat seorang diri di hutan, mencegat kendaraan Ayahmu!"
(Lanjut ke Jilid 09)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 09
Kini wajah suma Li Lian menjadi pucat sekali, dan ia lalu berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran,

"Apa...? Kalau begitu... siapakah... siapakah...?" ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu menggigil hingga timbul hati iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang malang ini.

"Siocia, biarpun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang menganggu engkau tentu bukan lain orang ialah Gak Bin Tong!"

"Apa katamu?" Li Lian berteriak keras. Sin Wang mengangguk-angguk,

"Kau tentu tidak mengetahui bahwa pada malam itu, pemuda muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga dan tentang potongan tubuh, memang ia sama dengan aku agaknya. Pula, ia memang terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!"

Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak dan roboh pingsan! Sin Wan cepat sekali menyambar tubuh nona itu, lalu mengambil anak kecil dari gendongan Li Lian dan merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput. Anak itu menangis keras dan Sin Wan terpaksa gendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam lengannya. Ia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu! Ketika Li Lian sadar dari pingsannya, ia menangis menggerung-gerung dan memukul-mukul kepala sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali ia mengeluh,

"Ya Tahun, Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil!! Mengapa aku harus menderita semua ini? Koko Sin Wan, biarpun perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya engkaulah orang itu! Tidak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah kuperbuat maka terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat!! Tunggu, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!"

Tiba-tiba Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, menjadi liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh dan bangun lagi, terus lari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seakan-akan pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya untuk dibunuh!

Sin Wan kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya telah berubah pikiran dan menjadi gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras! Ia menjadi serba salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu dan tidak berani lari sambil menggendong. Untuk tinggalkan anak itu iapun tidak tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian? Maka akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di dalam pelukannya itu. Setelah ditimang-timang beberapa lama tapi anak itu tidak juga mau diam seakan-akan menangisi ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin Wan menjadi bingung sekali.

Kemudia ia meletakkan anak itu di atas rumput kering, lalu ia meloncat memetik buah yang telah masak. Setelah ia memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu hingga Sin Wan yang tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu! Sin Wan memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan membingungkan ini? Kala teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih, apalagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya terharu dan ia merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.

Ayahnya telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan dan yang menghancurkan namanya dan nama keluarganya. Teringat akah hal ini, memuncaklah kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong! Kemudia ia teringat kembali kepada anak Li Lian yag ditinggalkan oleh ibunya ini. Apa yang harus ia lakukan? Memelihara anak ini? Ah, ia tak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana? Tiba-tiba ia teringat akan kampung ibunya. Wajahnya menjadi terang, dan ia lalu angkat anak itu dalam dukungannya dan berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan Ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung, tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!

Dengan singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa membongkar-bongkar rahasia Ibu anak itu, kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu. Kemudian, ia pun pergi hendak mencari Giok Ciu. Ia pikir bahwa gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asal saja ia pergi mencari Pendeta Tibet itu, banyak harapan ia akan bertemu dengan Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu menjelaskan segala hal tapi apa boleh buat, ia harus bersabar, karena ia tak tahu jurusan mana yang diambil oleh gadis itu! Beberapa hari kemudian ketika Sin Wan tiba di luar sebuah kampung, ia melihat bayangan seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu adalah Kwi Kai Hoatsu!

Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan berlari keras sekali. Sin Wan juga merasa penasaran dan marah karena pernah terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar. Juga, selain hendak membalas kekalahan dulu, iapun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin ia hendak mendapat keterangan tentang musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu. Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia "Tancap Gas" dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan telah mempunyai ginkang yang mendekati puncak kesempurnaan, maka ia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti, ia makin dekat dengan Pendeta yang dikejarnya itu.

Diam-diam ketika menengok, Kwi Kai Hoatsu terkejut sekali melihat betapa orang yang mengejarnya itu makin dekat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya demikian lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja. Karena marah dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan kanan kiri hanya terdapat sawah kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tapi ketika pengejarnya dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.

"Eh, ternyata engkaukah ini?" katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu. Tak mungkin pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biarpun andaikata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa waktu sependek itu tak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya. Sin Wan menjawab dengan tenang,

"Ya, akulah!" Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis yang lihai dulu itu ikut datang, maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.

"Anak muda, apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang kau terima dulu itu belum membikin kau merasa kapok?" Sin Wan tersenyum mengejek.

"Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sesungguhnya antara kita tidak terdapat sesuatu permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barangkali sifat-sifat sombong dan tidak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri yang memaksaku!" Kwi Kat Hoatsu memandang kepada Sin Wan dengan heran.

"Kalau bukan untuk bertempur, mengapa kau mengejarku?" Sin Wan tersenyum sabar.

"Aku hanya ingin bertanya di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?" Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu tertawa besar.

"Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa kita tidak ada permusuhan?"

"Memang saudaramu itu musuh besarku. Ia telah membunuh mati Suhuku, yakni Hui-Houw Kwie Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini suatu hal yang lajim dan pantas?"

"Anak muda, jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu serendah ini mana kau dapat melawan Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba kulihat apakah kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!"

Sambil berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtimnya yang terkenal lihai itu dan mendahului menyerang. Sin Wan juga telah mencabut keluar Pek Liong Pokiam dan melayani Tosu itu. Ketika tongkat ularnya beradu dengan pedang pusaka berwarna putih itu, terkejutlah si Tosu, karena dari bentrokan kedua senjata ini saja ia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu! Sungguh luar biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh dibawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia, kalau tidak lebih tinggi malah! Karena inilah maka ia menjadi jerih. Memang, dalam hal ilmu silat, setahun yang lalupun ilmu pedang Pek-Liong Kiam-Sut telah membuat Tosu itu sibuk,

Hanya pada waktu itu lweekangnya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan. Maka, kini setelah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh lebih hebat lagi. Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya tak terasa berat lagi baginya, hingga ia menjadi girang dan mendesak hebat dengan sinar pedang. Dulu ia merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, tapi sekarang ia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih. Ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu itu berseru kaget.

Kalau saja Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu, tapi pemuda itu tidak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya mengurung dan maksudnya hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan. Kwi Kai Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan menyangka bahwa Sin Wan tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan tiba-tiba ia berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan untuk merampas pedang Sin Wan. Kini agaknya iapun hendak menggunakan lagi senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang hidup menyambar pedang Sin Wan.

Pemuda ini girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek Liong Pokiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekangnya untuk menggerakkan pedang itu. Terdengarlah suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang sangat diandalkan oleh Kwi Kai Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek Liong Pokiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit kaget karena ia tahu bahwa kini ia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen ini, maka tanpa malu-malu lagi ia lalu meloncat jauh untuk melarikan diri. Tapi Sin Wan segera meloncat pula mengejar sambil berseru.

"Kwi Kai Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal Cin Cin Hoatsu!" tapi Tosu tidak memperdulikan teriakannya dan lari makin cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.

Biarpun ilmu lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat. Tapi, ketika Kwi Kai Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba Tosu itu mengeluarkan sebuah benda dan membantingnya ke belakang. Benda itu pecah dan mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya. Sin Wan merasa terkejut dan cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu karena ia menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya.

Tapi, ternyata Tosu itu telah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu karena tanpa diketahui oleh Sin Wan ke mana arah yang ditempuh imam itu. Sin Wan merasa penasaran dan kecewa sekali mengapa tidak ia robohkan saja imam jahat itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku dimana tempat tinggal Cin Cin Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari kemana. Tapi ia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri yakni tidak mempunyai tujuan yang tetap dalam mencari musuh besarnya. Maka besar kemungkinan gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para pembatu Kaisar berkumpul dan disitu pula akan dapat dicari keterangan tentang musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja. Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Giok Ciu dengan hati sedih dan kalbu hancur lari turun dari Kam-Hong-San. Gadis itu berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang yang telah membunuh Ayahnya itu. Ia merasa bingung sekali karena tidak tahu harus mencari kemana, maka ia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal Pendeta Tibet itu.

Karena sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikitpun, ia tiba di kota Ang-Len dan karena merasa kepalanya pening sekali dan tubuhnya panas, terpaksa ia mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu tutup pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia jatuh pingsan. Ternyata karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya dan orang satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya telah mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka.

Dan ternyata pemuda itu telah melakukan perbuatan yang hina dina dan yang tak mungkin dapat ia maafkan lagi. Dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan dapat dilawan oleh kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Akhirnya tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan jatuh sakit! Setelah sadar dari pingsannya, Giok Ciu merasakan tubuhnya sangat lemah dan kepalanya pusing sekali. Juga tubuhnya terasa panas seakan-akan ada api yang membakar tubuhnya dari dalam. Ia maklum bahwa gangguan kesehatan ini terjadi karena kesalahannya sendiri, terjadi karena kacaunya keadaan hati dan pikirannya, juga karena ia tidak memperhatikan pemeliharaan tubuhnya. Ia teringat betapa Suhunya, Bu Beng Lojin yang sakti itu, pernah berkata demikian,

"Alam telah mempunyai hukum-hukum tertentu dan siapa saja yang tidak menyesuaikan dirinya dengan hukum alam, pasti akan mengalami bencana dan hukuman. Siapa yang melanggar hukum alam, pasti akan terhukum dan menderita, sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum alam itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah daripada hukum-hukum alam itu ialah hukum kesehatan, misalnya ketentuan bahwa manusia harus makan pada saat tubuhnya membutuhkan makanan, harus beristirahat pada waktu tubuh lelah dan membutuhkan istirahat. Kalau kita paksakan diri dan melanggar ketentuan hukum ini, tak dapat tidak pasti akan menderita hukumannya, yakni mendapat sakit! Penyakit bukan datang dari luar, tapi terjadi karena pelanggaran hukum itu tadilah! Demikian pula dengan hukuman-hukuman yang lain, yang kesemuanya terjadi karena pelanggaran-pelanggaran hukum alam yang kita lakukan sendiri, bagaimana macamnya hukuman dan penderitaan itu. Maka hati-hatilah menghadapi percobaan dalam hidupmu, karena sekali kau salah tindak, bukan orang lain yang akan menerima hukumannya tapi kau sendiri. Inilah keadilan alam!" Mengingat akan semua nasihat-nasihat dan petuah-petuah Suhunya yang sangat berharga, agak terobatlah luka di hati Giok Ciu. Ia menjadi tenang, walaupun rasa bencinya kepada Sin Wan masih menghebat.

Ia lalu turun dari pembaringan dengan perlahan dan memanggil pelayan. Ketika pelayan datang, ia minta dibelikan makanan dan makan dengan hati-hati, kemudian ia memerintahkan pelayan untuk membeli obat pelawan panas dan setelah merawat diri baik-baik dan membantu pekerjaan obat itu dengan bersamadhi dan mengatur napas, maka dua hari kemudian sembuhlah ia. Setelah merasa sembuh betul, barulah ia melanjutkan perjalanannya. Malam hari berikutnya ia bermalam di sebuah kota kecil, di dalam sebuah hotel. Menjelang tengah malam, ia terjaga dari tidurnya oleh suara kaki orang yang dengan hati-hati sekali berjalan di atas hotel itu! Giok Ciu dengan telinga terlatih dan tajam, dapat menduga bahwa yang berjalan di atas genteng itu hanyalah seorang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa tinggi.

Namun tindakan orang itu cukup mencurigakan dan karena menduga akan terjadinya kejahatan, Giok Ciu segera berganti pakaian dan meloncat keluar dari jendela, terus melayang naik ke wuwungan rumah. Ia melihat bayangan hitam meloncat dan berlari-lari di atas genteng rumah di depan maka ia segera mengejarnya. Giok Ciu sengaja mengikuti orang itu untuk melihat apakah yang hendak dilakukan olehnya. Ternyata setelah berputar-putar di atas rumah-rumah orang, bayangan hitam itu meloncat turun ke dalam sebuah rumah. Giok Ciu cepat mengejar dan meloncat turun pula. Ia melihat betapa bayangan hitam itu menggunakan goloknya membuka jendela sebuah kamar dan meloncat masuk. Terdengar teriakan tertahan dan suara laki-laki yang kasar membentak,


JILID 10



"Diam kalau tak ingin mampus!" Giok Ciu marah sekali karena teriakan itu adalah teriakan seorang wanita. Ia dapat menduga bahwa bayangan hitam itu tentulah seorang penjahat. Kalau bukan Jai-Hwa-Cat atau Penjahat Pemetik Bunga, tentulah seorang pencuri atau perampok! Maka ia segera membentak dari luar jendela,

"Bangsat hina yang berada di dalam kamar orang. Ayo lekas kau keluar kalau tidak ingin kepalamu kutabas putus!"

Dari dalam kamar terdengar seruan marah dan heran dan pada saat selanjutnya bayangan hitam itu meloncat keluar dari dalam kamar sambil memutar-mutarkan goloknya ketika melalui jendela agar jangan sampai disergap musuh. Tapi Giok Ciu hanya tertawa menyindir sambil bertolak pinggang dan menanti di atas genteng. Ketika penjahat itu telah berada di atas genteng, ia heran sekali melihat di bawah sinar bulan bahwa yang mengganggunya hanyalah seorang dara berpakaian serba hitam yang cantik sekali. Dalam pakaiannya yang hitam itu, Giok Ciu tampak cantik dan gagah, sedangkan kulit muka dan kedua tangannya tampak putih sekali. Bayangan hitam itu ternyata seorang laki-laki yang masih muda dan mempunyai sepasang mata bangsat yang liar. Kini, menghadapi Giok Ciu, ia menyeringai dan berkata,

"Aduh, nona yang cantik seperti bidadari! Apa kehendakmu maka kau memanggil aku kemari?" Giok Ciu marah sekali mendengar kata-kata orang ini mengandung kekurangajaran. Ia berkata dingin,

"Kau mencari celaka sendiri! Tadinya kusangka kau hanya seorang penjahat rendah yang patut dikasihani dan diberi ampun dengan menerima peringatan keras saja, tidak tahunya kau seorang yang lancang mulut pula! Untuk kelancanganmu ini, kau harus meninggalkan sebelah tanganmu!" Marahlah orang itu dan ia lalu menerjang dengan goloknya setelah berseru,

"Bagus! Perlihatkan kepandainmu, nona cilik!" Tapi Giok Ciu dengan sekali sabet saja telah membuat golok penjahat itu terbabat putus, kemudian cepat bagaikan kilat Ouw-Liong Pokiam berkelebat dan sebelum kuasa menghilangkan kagetnya karena goloknya terbabat putus, tahu-tahu orang itu merasa tangan kirinya perih dan dingin. Ketika ia melihat, ternyata tangannya sebelah kiri telah terpotong pula pada sebatas pergelangan tangan itu! Ia membelalakan mata dan lari sambil berteriak-teriak,

"Aduh... aduh tolong... Suhu... Tolong" Suhu...!" Demikian tajamnya Ouw-Liong Pokiam sehingga hampir saja penjahat itu tidak merasa bahwa tangan kirinya telah terbabat putus! Giok Ciu merasa puas telah memberi pelajaran kepada penjahat itu, tapi begitu mendengar penjahat itu menyebut-nyebut gurunya, ia segera mengejar.

Kalau penjahat itu mempunyai seorang guru di kota ini, maka gurunya tentu bukan seorang baik-baik pula dan perlu dan dibasmi agar jangan merupakan pengganggu dan pengacau rakyat di kota itu. Penjahat itu, terus menuju ke sebuah rumah yang tinggi gentengnya sambil terus berteriak-teriak minta tolong kepada gurunya. Tiba-tiba dari dalam rumah itu melayang keluar bayangan seorang yang mempunyai gerakan gesit sekali. Giok Ciu siap dengan pedangnya karena dari gerakan orang itu ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Ketika bayangan orang itu tiba di depannya dan membentak nyaring, Giok Ciu merasa terkejut berbareng girang karena ternyata bahwa orang itu bukan lain ialah Keng Kong Tosu!

"Ha, jadi kaukah guru penjahat itu? Pantas saja muridnya jahat, tidak tahunya gurunya seorang penjahat besar!" Keng Kong Tosu lebih kaget lagi ketika melihat bahwa orang yang melukai dan mengejar muridnya bukanlain adalah gadis lihai yang dulu pernah bertempur dengannya! Ia masih ingat betapa lebih setahun yang lalu gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, apalagi sekarang, maka diam-diam ia merasa jerih juga. Akan tetapi, karena lawan itu telah berada disitu, pula ia dapat mengharapkan bantuan tiga murid lain yang berada di bawah ia lalu membentak,

"Pemberontak perempuan, tidak tahunya kaukah yang lagi-lagi menghina kami dan melukai muridku? Kau agaknya telah bosan hidup!"

"Jangan banyak cakap, kau majulah Tosu palsu!"

Giok Ciu lalu menyerang hebat dengan pokiamnya, hingga Keng Kong Tosu buru-buru meloncat dan mengeluarkan pedang pendek dan hudtimnya yang digerakkan secara istimewa untuk menangkis dan balas menyerang. Ia berlaku hati-hati sekali karena dulu pernah merasakan kelihaian dari pendekar ini dan pernah dilukai pundaknya oleh pedang pusaka yang ampuh itu. Tapi baru saja bertempur beberapa jurus, makin kuncup dan jerih hati Tosu itu karena ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekang dan permainan pedang dara itu kini telah maju hebat sekali! Ia lalu bersuit nyaring untuk memanggil murid-muridnya dan sambil membentak keras ia mengeluarkan senjata-senjata rahasia jarum hitam dari dalam kebutannya. Jarum-jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang dan kecil sekali sehingga ketika menyambar di dalam gelap itu, sama sekali tidak tampak.

Tetapi Giok Ciu memiliki tenaga pendengaran, yang halus sekali dapat menangkap angin gerakan hudtim itu maka ia dapat menduga bahwa dari gerakan itu tentu keluar senjata rahasia. Ia lalu menggunakan pedangnya yang diputar dalam gerak tipu Naga Hitam Menutup Gua untuk melindungi tubuhnya dan benar saja, terdengar suara tring-tring nyaring sekali ketika jarum-jarum itu terpukul oleh pedangnya. Pada saat itu, dari bawah meloncat naik tiga bayangan yang juga memiliki gerakan gesit. Mereka ini adalah murid-murid Keng Kong Tosu yang tadi sibuk menolong Sute mereka yang terbabat tangannya oleh pedang Giok Ciu. Kini mereka mendengar tanda siutan Suhu mereka, ketiga orang itupun mengambil senjata masing-masing dan naik untuk membantu Keng Kong Tosu.

Sekali-kali Keng Kong Tosu berseru keras dan asap hitam menyambar kearah tubuh Giok Ciu. Tapi Giok Ciu sekarang bukanlah dara setahun yang lalu, yang takut akan segala ilmu hitam dan senjata-senjata mujijat. Ia telah memiliki tenaga lweekang dan tenaga batin yang kuat sekali dan membuatnya waspada dan tenang. Melihat datangnya asap hitam yang berbau busuk itu, ia lalu menggunakan mulutnya meniup ke depan dari atas ke bawah. Tenaga tiupan ini demikian besar sehingga asap itu tertiup berbalik, dan kini bahkan menyerang Keng Kong Tosu dan murid-muridnya! Tosu sesat itu cepat menggunakan kebutannya diputar untuk mendatangkan angin mengusir asap itu, juga dua orang muridnya meloncat menyingkir, tapi seorang murid tidak menyangka sama sekali akan tiupan Giok Ciu maka ia terserang oleh asap hitam itu.

Ia kena sedot asap itu sehingga terbatuk-batuk dan tubuhnya lalu terguling roboh di atas genteng! Keng Kong Tosu terkejut dan marah sekali. Ia cepat mengeluarkan obat pemunah dan memasukkan obat itu ke dalam mulut muridnya. Seorang murid lain lalu memondong tubuh kawannya itu dan meloncat ke bawah sedangkan gurunya dan seorang kawannya yang masih berada disitu lalu maju mengeroyok gadis yang lihai itu. Giok Ciu memutar pokiamnya dan memainkan ilmu pedang Ouw-Liong Kiam-Sut yang luar biasa dan ganas. Sebentar saja sinar pedangnya yang hitam dan membuat ia lenyap dari pandangan mata kedua lawannya, telah mengurung dan mendesak kedua lawannya. Pada saat itu murid yang tadi menolong kawannya terkena asap berbisa dari Suhunya sendiri, telah naik pula dan maju mengeroyok dengan pedangnya. Tapi Giok Ciu tidak takut, bahkan tertawa menyindir.

"Keng Kong Tosu, Tosu busuk! Kau agaknya hendak mampus sambil membawa dua orang pengiring!" Keng Kong Tosu marah sekali, tapi ia tidak berdaya, maka ia lalu berkelahi dengan nekad dan mati-matian! Pada saat itu, tampak berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar putih yang terang sekali meluncur dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran serta langsung membantu Giok Ciu.

"Moi-moi, mari kita musnahkan manusia jahat ini!" terdengar seruan Sin Wan dengan suara gembira karena tanpa dinyana ia dapat bertemu dengan gadis itu di tempat ini! Tapi Giok Ciu menjawab marah.

"Siapa butuh pertolonganmu? Jangan kau ikut mencampuri urusanku!" Sin Wan merasa mendongkol juga mendengar betapa keng Kong Tosu dan kedua muridnya sengaja memperdengarkan suara ketawa untuk menghinanya. Ia merasa betapa gadis itu merendahkannya dimuka musuh-musuhnya, maka dengan suara dingin ia berkata,

"Siapa yang hendak membantu engkau? Akupun mempunyai sedikit urusan dengan Tosu jahanam ini!" Sambil berkata demikian, Sin Wan lalu menggunakan pedangnya yang bersinar putih menyerang hebat dengan tipu Naga Putih Menembus Awan. Gerakannya hebat dan cepat sekali sehingga Keng Kong Tosu menjadi terkejut dan cepat berkelit. Tapi pada saat itu Giok Ciu yang tidak mau "Didului" Sin Wan, segera menyerangnya dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut!

Sementara itu, Sin Wan sudah merubah gerakannya dan kini menyabet dengan tipu Naga Putih Sabetkan Ekor! Mana bisa Keng Kong Tosu mempertahankan dirinya terhadap serangan-serangan dari kedua anak muda yang mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Pek-Liong Kiam-Sut dan Ouw-Liong Kiam-Sut! Biarpun ia menggunakan pedang pendek dan hudtimnya untuk menjaga diri, tak urung kedua pedang lawan itu dengan berbareng telah menusuk tembus dada dan lambungnya sehingga tanpa dapat berteriak lagi Keng Kong Tosu roboh tak bernyawa pula! Giok Ciu merasa penasaran karena lagi-lagi ia tak dapat mendahului Sin Wan dan boleh dikata Tosu jahanam itu terbunuh oleh mereka berdua dengan berbareng! Dalam gemasnya ia hendak menyerang kedua murid Keng Kong Tosu yang berdiri terkejut dan kesima, tetapi Sin Wan menegur,

"Jangan, Giok Ciu, jangan bunuh mereka!"

"Peduli apa kau dengan urusanku sendiri?" bentak gadis tiu dan melanjutkan serangannya kepada dua orang murid Tosu yang telah mati itu. Tapi tiba-tiba sinar putih berkelebat cepat dan pedang Sin Wan telah menangkis Ouw-Liong Pokiam.

"Moi-moi, ingatlah pesan Suhu. Jangan sembarangan membunuh orang, kalau tidak terpaksa dan mempunyai asalan yang kuat! Sudah cukup kita bunuh Keng Kong yang memang jahat, jangan ganggu muridnya." Giok Ciu mencibirkan mulutnya,

"Cih, pandai benar bermain mulut, bisa saja berpura-pura alim dan suci, coba kau pandang mukamu sendiri. Tak malu menyebut-nyebut orang lain jahat!"

"Moi-moi, dengarlah dulu keteranganku..."

"Siapa sudai mendengarkan kata-katamu yang palsu!" Dengan ucapan ini Giok Ciu lalu meloncat pergi. Sin Wan tidak mengejarnya karena ia maklum bahwa gadis itu benar-benar telah membencinya dan tak mungkin mau diajak berbicara. Kalaupun ia dapat memberi penjelasan, belum tentu gadis yang keras hati itu suka mempercayainya.

Ah, sungguh serba susah dan Sin Wan menghela napas panjang. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa menyindir. Ia melihat betapa kedua murid Keng Kong Tosu masih berdiri di situ dan memandangnya dengan senyum sindir. Marahlah Sin Wan dan sekali tubuhnya bergerak, tahu-tahu dua orang itu kena diterjangnya dan roboh di atas genteng sambil merintih-rintih. Ternyata sekali bergerak saja Sin Wan telah berhasil menotok mereka hingga roboh tak berdaya dan biarpun mereka takkan mati karenanya, namun dalam waktu dua belas jam, kalau tidak ada orang pandai yang melepaskan totokan itu, mereka akan lemas tak dapat bergerak, hanya dapat merintih-rintih saja! Kemudian Sin Wan meloncat pergi dari situ dengan hati mengkal. Marilah kita ikuti perjalan Suma Li Lian, gadis bangsawan yang cantik jelita, tapi yang tertimpa nasib malang itu.

Setelah mendengar dari mulut Sin Wan kenyataan-kenyataan yang sangat pahit dan menikam ulu hatinya, gadis cantik ini hampir menjadi gila! Jiwanya memang telah tertekan oleh rasa terhina dan malu karena sebagai seorang gadis baik-baik keturunan bangsawan, adalah hal yang lebih hebat dan lebih rendah daripada mati ketika mengandung dan melahirkan seorang anak tanpa mempunyai suami! Sebetulnya ketika merasa bahwa dirinya mengandung, ia telah mengambil keputusan hendak membunuh diri, tapi wajah Sin Wan yang tampan dan gagah selalu terbayang di muka matanya, maka ia lalu menetapkan hatinya. Ia nekad untuk menghadapi semua hinaan daan nistaan karena betapapun juga, ia diam-diam mengakui bahwa ia tidak menyesal mengandung seorang keturunan dari Sin Wan!

Ia cinta pemuda itu, cinta dengan cinta murni, dan ia bersedia mengorbankan apa saja untuk pemuda itu. Jangankan baru hinaan dari dunia luar, aah, ia takkan merasa terhina, bahkan ia akan merasa bangga kalau anaknya telah lahir, anak mereka, anaknya dan anak Sin Wan! Demikian besar rasa cintanya terhadap Sin Wan hingga Li Lian rela dirinya mendapat hinaan karena sebagai seorang gadis yang melahirkan seorang anak tak ber Ayah. Ia bahkan sempat diusir oleh ibunya dan keluarganya dan hidup terlunta-luta di sebuah kampung kecil. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari dan menyusul Sin Wan, karena bukankah dulu Sin Wan pernah bilang bahwa jika hendak mencari dirinya, harus pergi ke puncak Kam-Hong-San? Maka, ia lalu jual semua perhiasannya untuk dipakai biaya mencari suaminya itu.

Dan akhirnya setelah bersusah payah, ia berhasil membawa anaknya yang baru berusia lima bulan itu ke puncak Kam-Hong-San. Tapi disana ia hampir saja menjadi kurban keganasan dan kejahatan empat orang pemikul tandu, dan baiknya datang Giok Ciu yang menolongnya. Dan akhirnya ia bertemu dengan Sin Wan, suaminya! Tapi alangkah remuk rendam hatinya, hancur luluh kalbunya. Segala penderitaan, segala perngorbanan yang dilakukan itu sia-sia belaka! Bukan Sin Wan pemuda idaman itulah yang sebenarnya menjadi Ayah anak itu, tapi Gak Bin Tong! Gak Bin Tong pemuda muka putih yang dibencinya, karena semenjak dulu pemuda itu selalu menggodanya, selalu memperlihatkan sikap ceriwis dan menjemukan. Pemuda yang pernah ia tolak lamarannya! Pemuda yang bahkan telah ia laporkan kepada para pengawal agar ditangkap dan dibunuh, karena ia sungguh-sungguh membencinya!

Dan kini... dari mulut Sin Wan sendiri, dari mulut laki-laki yang tadinya telah dianggap sebagai suaminya, ia mendengar bahwa suaminya bukanlah Sin Wan, tapi... Orang she Gak itu! Ketika ia melahirkan, segala hinaan yang didengarnya tak dapat menggoyahkan kalbunya, tak dapat merobah pendiriannya. Tapi kenyataan yang didengarnya ini merupakan penghinaan yang sebesar-besarnya baginya, dan kenyataan ini membuat ia tak sanggup memandang wajah Sin Wan lagi, membuat ia begitu membenci Gak Bin Tong hingga seakan-akan hendak dicekiknya dan dibunuhnya pada saat itu juga pemuda muka putih yang telah menodai dan merusak hidupnya itu! Demikianlah, ia lari bagaikan gila menuruni lereng bukit. Beberapa hari kemudian, Suma Li Lian yang tadinya cantik jelita, telah berubah menjadi seorang wanita yang menakutkan.

Rambutnya yang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang kotor penuh debu dan lumpur. Matanya merah dan liar dan bibirnya yang biasanya tersenyum manis menarik hati, kini tertarik menyeringai penuh kebencian. Pakaiannya yang tadinya indah dan rapi, kini robek disana-sini dan kotor sekali hingga tak tampak pula bekas-bekasnya yang terbuat dari bahan mahal. Kakinya tak bersepatu lagi, hanya berkaus yang sudah dekil dan hitam penuh tanah. Sungguh mengenaskan nasib manusia ini. Ketika ia memasuki sebuah dusun kecil, semua anak-anak lari ketakutan dan menggodanya dari jauh sambil melempar-lemparinya dengan batu. Dimana saja ia angsurkan tangan untuk minta makanan pengisi perutnya yang sudah lapar sekali, orang-orang mengusirnya dengan kata-kata menyatakan jijik.

Dengan tindakan kaki limbung dan terhuyung-huyung, terpaksa Li Lian meninggalkan dusun itu. Tubuhnya lemas, perutnya terasa perih sekali, dan pandang matanya berkunang-kunang. Karena terik matahari membuat kepalanya berdenyut-denyut, ia lalu menghampiri sebuah pohon besar yang tumbuh dipinggir jalan untuk meneduh, tapi ketika tiba di bawah pohon, tubuhnya tak tertahan lagi dan tubuh itu limbung hendak roboh, matanya meram dan kedua tangannya diulurkan meraba-raba mencari pegangan diudara! Pada saat ia pingsan, sebelum tubuhnya roboh di tanah, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun sebuah tali yang secara aneh dan cepat bagaikan ular telah membelit kedua pergelangan tangan Li Lian dan tahu-tahu tubuh Li Lian telah mencelat ke atas pohon bagaikan disendal oleh tenaga yang luar biasa besarnya!

Ketika tubuh gadis yang malang itu terapung ke atas, sebuah lengan yang panjang dan besar lagi hitam dan kotor terulur dan tubuh Li Lian ditangkapnya pada bajunya. Terdengar suara ketawa yang aneh, karena bunyinya seperti setengah tertawa setengah menangis dan sebuah jari yang kotor menyentil belakang kepala Li Lian sehingga gadis itu siuman dari pingsan dan membuka matanya. Alangkah herannya ketika Li Lian melihat bahwa ia sudah duduk di atas sebatang cabang pohon yang tinggi. Kalau saja hal ini terjadi padanya dahulu, tentu ia akan berteriak-teriak minta tolong karena takutnya melihat tanah sebegitu jauh di bawahnya. Tapi agaknya rasa takut telah lenyap di telan ombak samudera kesedihannya, hingga jangan kata baru tempat tinggi, biarpun berada di depan mulut harimau, agaknya gadis itu takkan merasa takut lagi.

Maut akan disambutnya dengan senyum dan lambaian tangan karena baginya hidup ini tak berarti lagi. Tapi ketika ia menengok dan memandang orang yang duduk di atas sebuah dahan lain dan sedang memandangnya pula, ia terkejut sekali dan tanpa disengaja ia membelalakan matanya. Di atas sebatang dahan duduk seorang laki-laki tua yang tinggi besar dan kurus sekali tapi keadaannya menyatakan bahwa orang itu bukanlah orang yang berotak waras! Orang itu memegang segulung tali yang ujungnya diputar-putar seperti lagak seorang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Ia memandang Li Lian sambil tertawa ha-ha hi-hi. Suma Li Lian menahan tubuhnya yang lemas dan gemetar karena lelah dan lapar, lalu berkata,

"Lopeh, kau siapakah dan mengapa kau menolong aku?" Orang yang berpakaian jembel itu memandangnya dengan heran, lalu pada wajahnya yang berkulit kotor hitam itu terbayang seri gembira ketika ia menjawab,

"Siapa aku?" ia garuk-garuk kepalanya, "Aku adalah aku dan siapa yang menolong siapa? Aku tidak menolong juga tidak ditolong. Nona sakit, maka kubawa naik ke sini."

Suma Li Lian maklum bahwa orang yang menolongnya ini benar-benar gila dan otaknya tidak waras namun ia heran sekali bagaimanakah orang gila ini dapat membawanya ke atas? Melihat wajah dan sinar mata orang tua tinggi besar itu, agaknya tidak berwatak jelek, bahkan ketika tadi tersenyumpun tampak baik hati benar, maka ia lalu berterus terang,

"Lopeh, aku tidak sakit, hanya lelah dan lapar."

"Lapar? Bagus! Akupun lapar!" jawabnya sambil tertawa terkekeh.

Mau tak mau, Suma Li Lian terpaksa ikut tertawa geli, hingga ia sendiri merasa heran mengapa ia dapat tertawa! Agaknya pada saat itu semua kesedihannya lenyap dan kegilaan orang tua itu menjalar kepadanya hingga iapun merasa sangat geli mendengar kata-kata si jembel gila yang lucu dan gila itu. Celaka dua belas, pikirnya. Dalam keadaan sedemikian menderita, bertemu dengan orang berotak miring. Tapi tiba-tiba si jembel gila itu gerakkan tangannya yang memegang tali dan tali itu meluncur panjang dan bergerak-gerak bagaikan seekor ular terbang, ujung tali itu telah menyelusup diantara daun-daun pohon dan ketika di tarik kembali, diujung tali itu telah terbelit setangkai ranting yang ada buahnya beberapa butir. Tali kecil itu agaknya dapat disuruh mencarikan makan! Si gila itu memetik beberapa butir buah dan memberikan kepada Suma Li Lian.

"Kalau lapar, enak sekali makan. Makanlah buah ini." Suma Li Lian memandang jembel gila itu dengan pandangan berterima kasih sekali. Ia maklum bahwa orang gila ini adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Dengan lahapnya ia lalu makan buah-buah itu bersama-sama si jembel yang mencari buah-buah lagi. Sambil makan buah, mereka saling pandang tanpa bercakap-cakap. Kemudian, Li Lian berkata lagi,

"Lo-Suhu, sebenarnya siapakah Lo-Suhu ini dan mengapakah kau begini baik kepadaku?" Kakek gembel itu tertawa lagi dengan geli.

"Dunia ini memang lucu, tapi kau tidak lucu, nona. Kau berwajah gelap diliputi kemurungan, menimbulkan rasa sakit dalam dada kiriku." Setelah berkata demikian, jembel gila itu meringis-ringis seperti menahan sakit dan tangan kirinya meraba-raba dadanya. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya,

"Aku adalah aku, kau tak usah bertanya karena aku sendiripun tidak tahu! Tapi kau mengapa bermuram durja? Siapa yang mengganggumu, anakku manis?" Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba diucapkan dengan suara sangat menyayang ini, hati Li Lian menjadi sedih sekali hingga tubuhnya limbung dan ia terjungkal dari dahan pohon yang didudukinya dan tubuhnya melayang ke bawah. Tapi sedikitpun Li Lian tidak menjerit, hanya meramkan mata menanti datanya maut. Tapi, tubuhnya tidak terbanting ke atas tanah keras, bahkan merasa seakan-akan tubuhnya diayun-ayun dan tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak tanah. Ketika ia membuka mata, ternyata ia telah berdiri di atas tanah dengan selamat, sedangkan empek gila tadi telah berdiri pula di depannya seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

"Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapakah yang mengganggumu?" Suma Li Lian tidak menjawab, tapi lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Jembel gila itu mengangkat kepala dan sambil memandang langit ia tertawa bergelak-gelak.

"Ha, ha, ha! Kau memang pantas menjadi muridku. Pantas, pantas!" Dengan ujung kakinya ia mencokel tubuh Li Lian dengan perlahan, tapi cukup membuat tubuh gadis itu mencelat mumbul ke atas, berputaran beberapa kali di udara sebelum jatuh lagi kebawah, tapi Li Lian sama sekali tidak merasa takut! Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak-gelak dan menyambar baju Li Lian untuk mencegah tubuh gadis itu terpelanting.

"Bagus, bagus ! berdirilah muridku!" Sebenarnya, sekali-kali bukan maksud Li Lian untuk mengangkat guru kepada orang gila ini ketika berlutut tadi, tapi karena kakek aneh itu telah menerimanya sebagai murid, ia tidak berani menolak atau membantah. Pula, di dunia ini tidak ada orang yang berlaku baik kepadanya hingga ia benci kepada dunia dan penduduknya, kini tiba-tiba ada seorang berotak miring yang sangat baik kepadanya, maka diam-diam timbul pikiran baru dalam otaknya. Kakek ini mempunyai kepandaian luar biasa, maka kalau ia menjadi muridnya dan mempunyai kepandaian tinggi, tak mungkin manusia-manusia macam Gak Bin Tong itu berani menghinanya. Gak Bin Tong! Teringat akan nama ini, mata Suma Li Lian memancarkan cahaya kemarahan. Kalau ia memiliki kepandaian tinggi, bahkan ia akan dapat membalas dendamnya kepada pemuda muka putih yang jahanam itu!

"Muridku, sekarang juga kau harus mulai belajar!" kata kakek gila itu. Ia lalu memutuskan sepotong tali dan gunakan itu untuk mengikat ujung celana Li Lian di bagian pergelangan kaki kiri, demikianpun dengan ujung celana di pergelangan kaki kanan muridnya. Lalu ia pergi ke bawah pohon dan berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kaki ke atas.

"Kau tiru ini, dan sandarkan kedua kakimu di batang pohon!" katanya kepada Li Lian. Semenjak kecil memang Li Lian belum pernah belajar silat hingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara orang bersilat, maka mendapat perintah demikian itu, dengan membuta ia turut dan taat.

Sebentar saja ia merasa kepalanya pening dan berdenyut-denyutan ketika ia berdiri dengan kepala di bawah macam itu. Kalau tidak ada batang pohon yang menahan tubuhnya, tentu sudah tadi-tadi ia terguling! Tapi karena hati dan perasaan Li Lian telah dibikin kaku dan membatu oleh penderitaan batin yang dipikulnya, ia bulatkan kemauannya dan biarpun andaikata sampai matipun tak nanti ia menyerah dan mundur! Agaknya gurunya yang gila itupun maklum akan kekerasan hati muridnya, maka ia lalu membuka rahasia pelajaran mengatur napas dan latihan lweekang yang sangat luar biasa, karena di kalangan persilatan tidak ada latihan-latihan yang kesemuanya dilakukan secara aneh dan terbalik macam yang diajarkan oleh si gila ini.

Demikianlah, berhari-hari Suma Li Lian, gadis bangsawan yang sopan santun terpelajar, dan halus budi pekertinya itu, kini menjadi murid seorang gila yang sakti dan mempelajari ilmu-ilmu yang sakti yang mujijat sekali! Karena Li Lian telah mendapat pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya boleh dikata tidak sewajarnya lagi, dan kini mendapat seorang orang guru yang gila pula, maka sikapnyapun makin tidak karuan dan ketidak acuhannya akan keadaan diri sendiri membuat ia lebih mendekati kegilaan! Latihan-latihan aneh dilakukan tiada hentinya di dalam sebuah hutan yang tak pernah dikunjungi manusia, dan mereka hanya berhenti berlatih apabila perut terasa lapar dan tak tertahan atau mata merasa ngantuk sekali.

Selain keperluan khusus yang tak dapat ditahan atau ditunda lagi, mereka siang malam terus berlatih mati-matian! Kakek tua jembel yang berotak miring ini sebetulnya dahulu adalah seorang gagah yang berwatak berani, jujur, dan jantan. Tapi karena tersesat seorang diri dalam sebuah gua siluman, ia mendapatkan ilmu mujijat yang penuh mengandung hawa siluman dan tanpa sadar mempelajarinya. Ilmu yang dipelajarinya itu demikian mujijat hingga setelah keluar dari gua itu ia menjadi gila tapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya pula, karena gerakan-gerakannya demikian aneh, sesuai dengan orangnya yang menjadi gila! Pengalaman-pengalaman hebat di waktu mudanya, dapat diikut dalam cerita "Bu Beng Kiam-hiap" yang ramai.

Entah apakah yang menggerakkan jiwa empek gila itu untuk merasa sangat tertarik dan sayang kepada Suma Li Lian sehingga ia menerima gadis sengsara itu sebagai muridnya dan menurunkan ilmu mujijat yang dimilikinya kepada murid ini. Setelah mereka berdua bersembunyi di dalam hutan itu selama sebulan lebih, maka si jembel gila lalu mengajak muridnya keluar untuk ikut dalam perantauannya yang tiada tentu tujuan itu. Kecantikan Li Lian lenyap tertutup oleh kekotoran yang menutupi mukanya dan oleh rambutnya yang riap-riapan mengerikan. Tapi sepasang matanya tetap bening dan jeli, hanya sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang seakan-akan merasa jemu melihat segala yang berada di sekelilingnya. Di sepanjang jalan tiada hentinya dan bosannya, Li Lian berlatih silat dan lweekang yang aneh-aneh.

Kita kembali kepada Giok Ciu, gadis jelita yang patah hati karena kecewa kepada Sin Wan kekasihnya. Ia tetap menganggap bahwa pemuda itu telah terpikat oleh kecantikan Li Lian dan telah bermata gelap hingga melakukan perbuatan rendah, maka perasaan cintanya terhadap pemuda itu berubah benci sekali, benci bercampur kecewa dan memandang rendah.

Setelah berpisah dari Sin Wan pada malam itu, yakni sesudah berhasil membunuh Keng Kong Tosu bersama-sama dengan Sin Wan seakan-akan mereka sekali lagi berlumba dan tidak mau kalah dalam hal mengeluarkan kepandaian membasmi musuh-musuh mereka, Giok Ciu lari cepat di malam gelap. Setelah keluar dari dusun itu dan memasuki sebuah hutan, ia melihat sebuah Kelenteng kecil atau Bio yang berdiri terpencil di pinggir jalan. Bio tua itu tampak sunyi terpencil hingga menarik perhatian Giok Ciu. Ia lalu masuk ke dalam Bio itu. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang sudah luntur catnya. Melihat patung kecil itu berada di tempat terpencil dan sunyi, biarpun di dalam keadaan remang-remang dan gelap,

Namun Giok Ciu seakan-akan melihat betapa patung itu merasa kesunyian dan sengsara karena tiada kawan, sebatang kara di dunia ini, maka sedihlah rasa hatinya. Ia lalu menangis dan mencurahkan semua kedukaan hatinya. Di depan patung kecil itu sambil berlutut. Sampai fajar menyingsing, gadis itu berlutut di depan patung Kwan Im. Kemudian ia lalu duduk bersila dan menjalankan siulian untuk menenangkan pikiran dan istirahat. Untuk beberapa lama ia bersamadhi, kemudian ia merasa seakan-akan ada orang yang memandangnya, maka sadarlah ia lalu membuka mata. Ternyata, seperti dulu ketika di puncak Kam-Hong-San, tak jauh di depannya tampak Gak Bin Tong duduk pula memandangnya dengan sepasang mata yang sangat kagum dan tertarik. Seketika itu juga naiklah warna merah di kedua pipi Giok Ciu dan ia lalu meloncat berdiri.

"Eh, kau lagi! Mau apa kau mengganggu aku?" bentaknya ambil mencabut pedangnya. Tapi Gak Bin Tong buru-buru berdiri dan mengangkat kedua tangannya menyabarkannya.

"Maafkan aku, Lihiap. Aku tidak mempunyai maksud jahat terhadapmu, hal ini kau tahu dengan baik. Kalau dulu-dulu aku pernah mengeluarkan kata-kata kurang ajar, maka lupakanlah itu dan aku mohon maaf sebesar-besarnya."

"Jangan bicarakan lagi hal dulu-dulu!" Giok Ciu membentak pula, tapi ia agak sabar melihat sikap pemuda itu.

"Baiklah, Lihiap. Aku selalu ingin sekali bersahabat dengan engkau, sama sekali tak ingin menjadi lawan. Bukankah dulu aku telah memperingatkan kau dari segala keburukan? Aku pernah mengatakan bahwa Li Lian dan Sin Wan..."

"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menyebut hal mereka, terpaksa pedangku ini yang akan berbicara!" Gak Bin Tong tersenyum dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Maaf! Baiklah, aku takkan mengulangi hal itu. Agaknya kau masih saja tidak percaya dan membenciku, Lihiap, sungguh hal itu sangat kusesalkan, karena sebetulnya aku ingin menolongmu dalam segala hal." Giok Ciu menjadi tidak sabar.

"Sudahlah, katakan saja apa maksudmu mengikuti aku dan datang kesini mengganggu istirahatku?" Gak Bin Tong memperlihatkan muka terkejut.

"Aku tidak mengikutimu, Lihiap. Hanya kebetulan saja aku lewat disini. Alangkah girang hatiku melihat kau berada dalam Bio ini. Aku... aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali kau akan mencari musuh besarmu, bukan? Nah, kalau betul dugaanku ini, agaknya aku akan dapat menolongmu." Tiba-tiba lenyaplah segala kegalakkan Giok Ciu. Wajahnya yang tadi muram kini tampak berseri dan penuh semangat,

"Betulkah? Tahukah dimana tempat tinggal siluman itu? Beritahukanlah padaku!" Diam-diam Gak Bin Tong tersenyum. Ia telah menggunakan senjata terampuh dalam menghadapi gadis ini.

"Begini, Lihiap. Aku sendiri pada saat sekarang ini tidak dapat menentukan di mana ia tinggal, tapi karena aku kenal semua tempat dan orang-orang di kota raja, mudah sekali bagiku untuk menyelidikinya. Aku tanggung, jika kau ikut aku ke kotaraja, pasti dalam waktu beberapa hari saja aku akan memberi tahu padamu dimana tempat sembunyinya siluman tua itu!" Giok Ciu adalah seorang gadis yang biarpun memiliki kepandaian tinggi sekali namun masih hijau dan belum banyak mengenal kepalsuan dan kelicinan muslihat orang. Mendengar kata-kata Gak Bin Tong ini, ia percaya penuh dan merasa bersyukur sekali. Lenyaplah sebagian besar rasa tidak sukanya kepada pemuda muda putih yang tampan itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura.

"Saudara Gak, sungguh kau ternyata seorang sahabat yang baik. Maafkan kelakuan kasarku yang sudah-sudah karena aku bercuriga kepadamu."

"Sama-sama, Kwie Lihiap, akupun sebagai seorang muda tentu banyak kekhilapan, maka harap dari pihakmu juga yang banyak memaafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah." Demikianlah, dengan kata-kata yang halus, sopan, dan manis, Gak Bin Tong memasang perangkapnya,

Dan Giok Ciu si dara muda yang masih bodoh ini bagaikan seekor lalat yang tanpa merasa mendekati jaring laba-laba yang berbahaya. Namun, Giok Ciu yang mempunyai kepercayaan besar sekali kepada diri sendiri, sedikitpun tidak merasa betapa pemuda muka putih itu sedang memasang perangkap untuknya. Hal ini sebenarnya dapat terjadi demikian mudahnya karena sikap Giok Ciu yang memandang rendah kepada pemuda itu. Ia menganggap bahwa betapapun juga, pemuda itu takkan berdaya menghadapinya dan ia tahu betul bahwa kepandaiannya masih jauh lebih tinggi hingga tak perlu berkuatir apa-apa. Ia tidak tahu bahwa disamping kelihaian ilmu silat, masih ada kepandaian yang lebih hebat dan lebih berbahaya lagi, yakni tipu muslihat yang banyak digunakan orang untuk menjatuhkan lawan yang lihai dan tangguh!

"Saudara Gak, menurut dugaanmu di manakah adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?"

"Kalau tidak salah tentu ada di kota raja, tapi entah di gedung mana. Kita harus berlaku hati-hati sekali, karena pada waktu ini di kota raja terdapat seorang yang sangat tangguh dan sakti, yakni Beng Hoat Taisu, seorang utusan dari Tibet yang masih paman guru dari Cin Cin Hoatsu sendiri. Aku mendengar berita bahwa kepandaian Taisu ini tinggi sekali, maka kau harus waspada dan berhati-hati Lihiap."

"Aku tidak takut, marilah kita berangkat mencari mereka!" Di dalam hatinya, Gak Bin Tong merasa girang sekali karena ternyata muslihatnya berhasil baik. Ia telah dicap sebagai pengkhianat oleh para pengawal kota raja semenjak rahasianya dibuka oleh Suma Li Lian dulu itu hingga ia dikejar-kejar sampai di puncak Kam-Hong-San. Kini ia mendapat kesempatan untuk menebus kedosaannya. Kalau saja ia dapat menjebak gadis pemberontak ini dan dapat menyerahkannya kepada Cin Cin Hoatsu, tentu ia akan mendapat muka terang dan mendapat jasa! Tentu saja Giok Ciu sedikitpun tak pernah menyangka akan apa yang terpikir di dalam kepala pemuda tampan muka putih ini.

Di sepanjang jalan dalam perjalanan mereka ke kota raja dan mencari tahu akan keadaan Cin Cin Hoatsu, Gak Bin Tong berlaku sopan santun dan baik hingga sedikit kecurigaan yang masih bersisa di dalam hati Giok Ciu dan membuatnya berlaku waspada terhadap pemuda itu, kini lenyap sama sekali, terganti kepercayaan besar. Berhari-hari mereka melakukan perjalanan dan setelah masuk ke kota raja, Gak Bin Tong mengajaknya secara sembunyi-sembunyi tinggal di dalam sebuah rumah di pinggir kota. Dari tempat itu, tiap malam mereka keluar melakukan penyelidikan. Kadang-kadang mereka berpisah, untuk melakukan penyelidikan masing-masing. Pada hari kelima setelah mereka berada di kota yang besar itu, Gak Bin Tong berkata dengan wajah girang setelah kembali dari penyelidikannya.

"Nah, terpeganglah sekarang olehku! Aku telah menemukan tempat tinggal siluman itu, Lihiap!" Bukan main girang hati Giok Ciu mendengar ini. Dengan wajah berseri-seri ia segera menanyakan di mana tempat itu.

"Kita harus berhati-hati, Lihiap. Sekali-kali tidak boleh berlaku lancang dan sembrono. Cin Cin Hoatsu sendiri kepandaiannya tinggi, sedangkan aku belum tahu jelas siapa saja yang tinggal di gedung besar itu. Mungkin Beng Hoat Taisu juga berada di situ pula, dan ini berbahaya sekali. Lebih baik malam nanti kita berdua pergi menyelidiki ke sana dan kalau kiranya ada kesempatan baik, kita turun tangan!" Giok Ciu memandang wajah pemuda itu dan menghela napas.

"Saudara Gak, kau sungguh baik hati kepadaku. Pekerjaan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau dan sangat berbahaya, maka janganlah kau membahayakan keselamatanmu untuk urusanku. Biarlah aku pergi sendiri malam nanti." Gak Bin tong membalas pandangan nona itu dan tersenyum menjawab,

"Lihiap harap jangan sungkan, Lihiap telah tahu betul akan perasaanku terhadapmu. Maaf Lihiap, aku tidak berani mengulang-ulangi hal itu karena kau tidak suka mendengarnya. Tentu kau tidak percaya kepadaku, maka biarlah kesempatan ini kugunakan untuk membuktikan betapa murninya perasaanku itu. Biarlah kalau perlu aku mengorbankan jiwa dalam membelamu." Giok Ciu merasa terharu mendengar ucapan ini, tapi ia tidak berkata apa-apa karena kembali bayangan Sin Wan terbayang di depan matanya dan membuatnya merasa sangat sedih.

Melihat keadaan gadis itu, Gak Bin Tong lalu meninggalkan gadis itu untuk mengadakan persiapan guna penyelidikan mereka malam nanti. Malam hari itu udara gelap sekali. Udara hanya diterangi oleh sinar ribuan bintang yang berkelap-kelip. Di dalam kegelapan malam itu, tampak dua bayangan hitam berkelebat di atas genteng-genteng rumah yang tinggi. Mereka ini adalah Giok Ciu dan Gak Bin Tong. Seperti biasa Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang serba hitam dan Ouw Liong Pokiam tergantung di pinggangnya. Rambutnya yang hitam dan bagus itu diikat ke atas degan pengikat kepala dari sutera merah. Gak Bin Tong mengenakan pakaian serba biru dan tampaknya gagah sekali. Mereka menggunakan ilmu lari cepat dan berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah. Akhirnya tibalah mereka di atas sebuah gedung yang tinggi besar.

"Lihiap, inilah gedungnya. Lebih baik kita berpencar, aku masuk dari kiri dan kau dari kanan." Giok Ciu mengangguk. Mereka lalu berpencar dan Giok Ciu dengan gesit sekali loncat ke atas wuwungan bangunan sebelah kanan. Ia melihat betapa di bawah masih terang sekali, tanda bahwa penghuni gedung itu belum tidur. Hatinya berdebar keras karena ia ingin sekali lekas-lekas bertemu dengan musuh besarnya dan membuat perhitungan. Ketika ia sedang mengintai ke dalam, telinganya yang tajam mendengar sesuatu di atas genteng sebelah belakangnya.

Cepat-cepat ia menengok dan melihat bayangan yang berkelebat cepat sekali tapi terus lenyap! Ia kaget sekali karena orang itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan yang cepat sekali. Pada saat ia menduga-duga, tiba-tiba di bawah genteng terdengar suara orang berjalan dan ia cepat mengintai dari celah-celah genteng. Hatinya berdebar keras ketika melihat bahwa yang berjalan dengan pedang berkilauan di tangan itu adalah Sin Wan! Ia merasa marah sekali karena hatinya takkan rela kalau pemuda itu mendahuluinya dan membinasakan musuh besar Ayahnya. Maka tanpa banyak pikir lagi Giok Ciu lalu melayang turun untuk menegur dan mengusir Sin Wan. Tapi pada saat itu dari dalam gedung keluarlah seorang tinggi besar yang langsung menyerang Sin Wan dengan sebatang tongkat ular! Ternyata yang datang ini adalah Kwi Kai Hoatsu!
(Lanjut ke Jilid 10 - Tamat)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 10 (Tamat)
"Tosu siluman, sekarang takkan kulepaskan lagi kau!" kata Sin Wan dengan marah dan menangkis dengan Pek Liong Pokiam. Pada saat itu Giok Ciu telah turun dan tanpa banyak cakap lagi ia kerjakan Ouw Liong Pokiam untuk menyerang Kwi Kai Hoatsu, hingga tosu itu terkejut sekali. Menghadapi Sin Wan seorang saja ia tidak mampu menang, sekarang ditambah kehadiran gadis lihai ini. Ia mundur dengan jerih.

Sin Wan juga terkejut melihat Giok Ciu. Hampir saja ia berseru memanggil, tapi melihat betapa muka gadis itu tampak marah dan sama sekali tidak memperdulikan padanya, ia juga diam saja, tapi mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menamatkan pertempuran ini. Pada saat Kwi Kai Hoatsu terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya sekali, dari dalam terdengar orang berseru keras dan tahu-tahu Cin Cin Hoatsu telah melayang dan dengan bentakan nyaring ia menggunakan ujung lengan bajunya menyerang Sin Wan! Pemuda ini melihat datangnya serangan yang demikian hebat, cepat merobah gerakan pedangnya dan menangkis, Cin Cin Hoatsu dapat merasa betapa sambaran pedang pemuda itu hebat sekali, maka ia tidak berani melanjutkan serangannya karena maklum bahwa ujung bajunya tentu akan terbabat putus, maka ia meloncat ke belakang sabil berjumpalitan.

"Ha, ha, ha! Kusangka siapakah tamu-tamu malamku, tidak tahunya kedua pemberontak muda ini! Memang telah kuduga bahwa kalian tentu akan datang juga akhirnya. Maka menyerahlah sebelum kalian mampus di ruangan ini!" Sementara itu, melihat datangnya musuh besar ini, Giok Ciu juga meninggalkan Kwi Kai Hoatsu dan kini menuding sambil memaki dengan marah sekali,

"Cin Cin, Pendeta palsu! Kalau kau memang laki-laki sejati, hayolah kau layani aku seribu jurus untuk menentukan siapa yang lebih unggul! Kau telah membunuh mati Ayahku, apakah sekarang kau begitu pengecut untuk menghindari puterinya yang hendak menuntut balas?"

"Ha, ha, nona cantik. Sungguh aku beruntung sekali mendapat kehormatan untuk melayanimu! Kau kira kau akan dapat menangkan aku? Pula, andaikata kau dapat menangkan aku juga, kau kira akan dapat lolos dari sini dengan aman? Ketahuilah, kini lebih dari dua puluh pahlawan istana kini telah mengepung gedung ini untuk menangkap kalian!" Giok Ciu dan Sin Wan terkejut juga mendengar ini. Mereka telah masuk perangkap! Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun bayangan orang dan ternyata yang turun itu adalah Gak Bin tong dengan pedang di tangan.

"Kwie Lihiap, jangan takut, aku membantumu!" katanya dengan gagah. Cin Cin Hoatsu tertawa bergelak-gelak lalu dari punggunya ia mengeluarkan sebatang pedang dan dari ikat pinggang ia mencabut hudtimnya yang warna.

Ia lalu menyerang ke arah Giok Ciu dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Gadis itu tidak menjadi jerih, bahkan ketika tahu bahwa ia telah dikepung, ia hendak berlaku nekad dan mengadu jiwa. Ia menggerakkan Ouw Liong Pokiam sedemikian rupa hingga Cin Cin Hoatsu kagum sekali. Ternyata bahwa kepandaian gadis ini lihai sekali, bahkan kiam-hoatnya aneh dan tak mampu ia memecahkannya! Ketika ia mengadu lweekang dan menggunakan pedangnya hendak menyampok pedangnya hendak menyampok pokiam Giok Ciu, kembali ia terheran karena lweekang gadis muda itupun tidak berada di bawah tingkatannya! Tadinya ia mentertawakan Suhengnya, yakni Kwi Kai Hoatsu yang memuji-muji kepadaian Sin Wan dan Giok Ciu di depan Sutenya, tapi kini ia setelah merasakan sendiri kelihaian Giok Ciu, diam-diam merasa jerih dan bingung. Sementara itu, Sin Wan gunakan pokiamnya mendesak Kwi Kai Hoatsu!

Sedangkan Gak Bin Tong yang merasa bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka yang bertempur, hanya berdiri dengan pedang di tangan melihat jalannya pertempuran. Pada saat yang sangat tidak menguntungkan itu, Cin Cin Hoatsu lalu bersuit keras memberi tanda kepada para pahlawan raja yang mengepung gedung itu untuk turun tangan membantu. Tapi biarpun berkali-kali ia bersuit dan berseru memberi tanda tak satupun bayangan kawan-kawannya tampak turun! Hal ini aneh sekali dan ia merasa sangat gelisah dan terkejut. Juga Gak Bin Tong yang sebenarnya adalah pengatur dari jebakan ini, tiba-tiba menjadi pucat dan diam-diam merasa cemas sekali. Ia tahu bahwa kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu hebat sekali dan kedua imam itu agaknya akan kalah. Ia merasa gemas sekali mengapa tanpa diduga sama sekali Sin Wan bisa datang di situ dan mengacau rencananya.

Tapi yang mengherankan sekali, mengapa dua puluh orang gagah yang berada di sekitar tempat itu tidak muncul-muncul? Ia ingin sekali meloncat naik dan melihat mereka, tapi kuatir kalau-kalau gerakan ini akan terlihat oleh Sin Wan dan Giok Ciu hingga menimbulkan kecurigaan, maka ia diam saja sambil berdiri bingung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa dua puluh orang yang menjaga di sekeliling tempat itu, semuanya telah kaku karena tertotok oleh tangan yang luar biasa gerakannya! Dengan gerakan Pek-Liong Ciau-Hai atau Naga Putih Lintasi Laut, pedang Sin Wan akhirnya berhasil menusuk leher Kwi Kai Hoatsu yang berteriak keras dan roboh di atas lantai! Setelah berhasil merobohkan lawannya, tanpa banyak cakap lagi Sin Wan lalu menerjang Cin Cin Hoatsu yang masih bertempur seru melawan Giok Ciu. Gadis itu merasa gemas sekali melihat Sin Wan ikut menyerbu, maka berkata marah,

"Jangan mencampuri urusanku, biarkan aku membalas sendiri sakit hati Ayahku!" Sin Wan menjawab,

"Bukan hanya engkau yang menaruh dendam, aku juga ingin membalaskan sakit hati Kwie-Suhu!" lalu ia menggerakkan pedangnya dengan hebat. Giok Ciu kertak gigi dan perhebat serangannya karena ia tak ingin didahului oleh Sin Wan. Kembali sepasang pedang pusaka itu seakan-akan berlumba memperebutkan pahala. Cin Cin Hoatsu merasa takut sekali ketika tiba-tiba kedua lawannya yang masih muda itu lenyap dari pandangan matanya dan seakan-akan berubah menjadi dua sinar hitam putih yang bergulung-gulung menyerang dirinya, seakan-akan sepasang naga hitam dan naga putih yang mencakar-cakar dan menyambar-nyambar. Imam yang sesat itu menjadi terdesak dan ia masih mencoba untuk menangkis dengan pedang dan kebutannya. Dalam bingungnya ia teringat akan paman gurunya yang berjanji hendak datang. Mengapa belum juga susioknya itu muncul? Ia berseru,

"Susiok... bantulah... susiok..." Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tak memberi ketika kepadanya untuk berteriak-teriak terus, karena dengan gerakan mematikan kedua pokiam itu berbareng menyambar dan tahu-tahu telah menembusi dada musuh besar itu dari kanan kiri!

Pedang dan kebutan Cin Cin Hoatsu terlepas dan tangan, tubuhnya kejang dan ketika dua pedang itu ditarik keluar, tubuhnya terhuyung dan akhirnya mandi darah! Giok Ciu yang masih merasa penasaran karena lagi-lagi Sin Wan telah memperlihatkan ketangkasannya hingga robohnya musuh besar inipun disebabkan oleh serangan mereka yang berbareng, segera maju dan mengayunkan pedangnya hingga putuslah kepala Cin Cin Hoatsu! Tapi Sin Wan setelah melihat betapa musuh besar itu dapat dibinasakan, kini menghampiri Gak Bin Tong yang berdiri dengan wajah pucat. Sikap Sin Wan yang menakutkan itu membuat ia mundur-mundur hingga sampai di tembok. Giok Ciu berpaling dan kaget melihat sikap Sin Wan.

"Bangsat hina dina! Laki-laki rendah! Kalau belum membunuh engkau, aku takkan merasa puas!" terdengar Sin Wan berkata perlahan.

"Saudara Bun... jangan... jangan... mengapa kau hendak membunuh...?" Gak Bin Tong merasa takut melihat wajah Sin Wan yang menyeramkan karena menahan marah dan gemasnya. Tapi Sin Wan tak dapat banyak berkata lagi, dengan loncatan cepat ia mengayun Pek Liong Pokiam ke arah leher Gak Bin Tong yang mencoba menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara "Trang!" keras sekali dan pedang pemuda she Gak itu putus menjadi dua potong! Ketika Sin Wan menyerang untuk kedua kalinya, tiba-tiba sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis oleh pedang Giok Ciu!

"Pengecut hina juga kau main bunuh saja orang yang lebih lemah! Lebih pantas kau bunuh dirimu sendiri, atau kau bunuh aku!" kata Giok Ciu. Sin Wan balas memandang dengan marah.

"Hem, jadi kau juga telah kena tipuannya dan pikatnya? Bagus! Bertambahlah alasanku untuk membinasakan anjing ini!" Kembali ia menyerang Gak Bin Tong tanpa perdulikan Giok Ciu, tapi gadis itu yang merasa dipandang rendah sekali, lalu menggerakkan pedangnya menangkis lagi hingga sebentar saja mereka berdua lalu bergebrak seru sekali. Tapi pada saat itu terdengar suara wanita yang nyaring dan merdu, dibarengi suara tertawa aneh,

"Suhu, kau rampas pedang mereka!" Dari atas melayang turunlah tubuh seorang yang tinggi besar. Tangan kiri orang itu memegang lengan tangan seorang wanita yang riap-riapan rambutnya. Begitu turun, orang tinggi besar itu melepaskan tangan wanita itu, lalu ia maju cepat menghampiri Sin Wan dan Giok Ciu yang sedang bertempur. Beberapa kali ia berloncat-loncatan dan kedua tangannya bergerak secara aneh dan tahu-tahu Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam telah terampas olehnya! Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tengah mereka bertempur, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang yang bergerak secara aneh di dekat mereka dan ada gerakan angin menyambar dan menyerang jalan-jalan darah mereka hingga mereka segera berkelit.

Tidak tahunya, tiba-tiba pedang mereka secara gaib telah terlepas dan terampas oleh bayangan itu. Sungguh satu gerakan ilmu merampas senjata dengan tangan kosong yang hebat sekali! Orang itu tertawa bergelak-gelak dan angsurkan kedua pedang kepada wanita yang menyebutnya Suhu. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka terkejut sekali karena orang tinggi besar yang merampas pedang mereka itu ternyata bukan lain ialah si jembel gila yang dulu pernah menolong mereka. Tapi lebih hebat kekagetan mereka ketika mereka lihat wanita muda yang menjadi murid si kakek gila itu, karena biarpun pakaiannya seperti orang gila dan rambutnya riap-riapan menutupi muka, mereka masih mengenali bahwa wanita itu bukan lain orang ialah Suma Li Lian adanya! Tak terasa lagi, dari mulut Sin Wan keluar seruan tertahan dan ia berbisik,

"Suma-Siocia... engkau...?" Sementara itu, Gak Bin Tong yang tadinya berdiri mepet di tembok karena merasa takut kepada Sin Wan kini memandang Suma Li Lian dengan kedua mata terbelalak ngeri,

Juga ia memandang kakek tinggi besar itu dengan heran karena tidak tahu siapakah orang yang aneh dan luar biasa ini. Suma Li Lian menerima kedua pedang Pek Liong dan Ouw Liong Pokiam di tangan kanan kiri dan memutar-mutar kedua senjata itu sedemikian rupa sehingga Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa lagi saling pandang dengan bengong, karena gerakan-gerakan gadis itu adalah tipu-tipu silat Sin-Liong Kiam-Sut! Kemudian mereka merasa ngeri ketika mendengar gadis itu tertawa pula bergelak-gelak seperti suara ketawa kakek gila itu. Suma Li Lain memandang kedua pedang itu berganti-ganti, lalu ia mendekati Sin Wan dan Giok Ciu. Pandang mata gadis yang agaknya telah menjadi gila itu membuat Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa pula mundur satu tindak kebelakang.

[gambar 1)

"Ha, ha, ha, kau... kau... orang! Orang-orang bodoh... ha, ha, ha! Sin Wan, kau telah mengecewakan dan menghancurkan hati seseorang, tapi kau telah menerima balasanmu. Kau juga dikecewakan, bukan? Ha, ha, ha! Itulah cinta! Cinta gila yang membuat orang-orang menjadi gila pula! Kau cinta kepada Giok Ciu? Tentu saja, gadis itu cantik jelita. Kalau Giok Ciu telah bercacat, telah menjadi gila seperti aku, masih akan cintakah kau padanya? Tak mungkin... ha, ha... inilah cinta!" Sin Wan memandangnya dengan muka menjadi merah. Pemuda itu merasa kasihan sekali melihat betapa Li Lian menjadi demikian, tapi ia juga merasa heran betapa ucapan-ucapan gila itu menikam jantungnya seakan-akan ucapan itu mengandung filsafat yang nyata. Kemudian gadis gila itu memandang kepada Giok Ciu.

"Kau... ha, ha! Kau lebih gila lagi! Kau bodoh dan mudah tertipu. Kau terlalu menurutkan perasaan hatimu, tidak mau menggunakan pertimbangan sehat! Kau mencinta Sin Wan? Bohong! Cintamu palsu. Kalau betul mencinta mengapa sedikit rasa cemburu saja dapat merobah cintamu menjadi benci. Itu bukan cinta! Kau mencinta diri sendiri! Giok Ciu... kau gadis tolol. Ha, ha,ha..."

Dan Giok Ciu terbelalak heran. Ia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Menurut rasa hatinya, ingin ia menyerang gadis ini dan merampas kembali pedangnya. Tapi ia malu, karena baru saja gadis gila itu menyatakan bahwa ia terlampau menurutkan perasaan hatinya! Kemudian Suma Li Lian membalikkan tubuh dengan cepat sekali, dan dengan tindakan perlahan dan mengancam ia menghampiri Gak Bin Tong! Pemuda itu melihat hal ini menjadi takut sekali dan tubuhnya bergemetar bagaikan api lilin besar yang berada di ruang itu dan pada saat itu tertiup angin. Sementara itu, kakek tua gila itu menjatuhkan diri duduk dan menyandarkan diri di tembok, melenggut, dan sebentar lagi ia mendengkur!

"Gak Bin Tong, manusia rendah! Bukan... bukan manusia, kau binatang hina! Dosamu besar sekali dan kau lebih gila daripada segala yang gila! Kau telah menodaiku, menghancur-leburkan hidupku, tapi secara pengecut sekali kau telah melemparkan tanggung jawab perbuatanmu itu kepada Sin Wan! Kau tidak hanya merusak hidupku, tapi kaupun merusak perhubungan dan kebahagiaan sepasang kekasih itu! Ha, ha! Tahukah apa hukumannya karena kau telah menipuku dan berpura-pura menjadi Sin Wan lalu memasuki kamarku! Ha, ha! Lihatlah dua pedang ini. Dengan pedang ini, aku hendak mengeluarkan jantungmu! Hendak kulihat apakah jantungmu berwarna hitam atau merah!"


JILID 11





Sambil berkata demikian, ia maju makin dekat. Terdengar seruan tertahan dari Giok Ciu, karena gadis ini ketika mendengar pengakuan dan keterangan Li Lian yang membuka rahasia persoalan menjadi demikian terkejut dan terharu hingga ia memekik perlahan dan menangis sambil menggunakan kedua tangan menutupi mukanya! Ia merasa malu, menyesal dan marah kepada Gak Bin Tong.

Ternyata Sin Wan benar-benar tak pernah melakukan perbuatan sesat sebagaimana yang dikiranya! Sin Wan tetap bersih, dan Gak Bin Tong pemuda jahanam itulah gara-gara semuanya. Kini terbuka matanya betapa ia telah tertipu oleh pemuda muka putih itu, betapa pemuda itu sebenarnya adalah pengkhianat dan "Pertolongan" yang diberikan padanya sekarang ini sebetulnya hanyalah sebuah perangkap untuk menangkap dan menjatuhkannya! Ah, betapa bodohnya, betapa tololnya. Benar belakalah kata-kata Li Lian tadi yang mengatakan bahwa ia adalah seorang gadis bodoh dan tolol! Tapi, demikian pikirnya, setolol-tolol dia masih lebih tolol Suma Li Lian yang dapat terpedaya oleh Gak Bin Tong! Maka ia lalu membuka tangannya dan sambil menahan tangis ia melihat kepada gadis yang telah berada di hadapan Gak Bin Tong. Pemuda muka putih itu dengan bibir gemetar berkata,

"Li Lian... Li Lian... ampunilah aku... Biarlah aku menebus dosa-dosaku dan merawatmu baik-baik... Li Lian, mana anakku...? Marilah kita mulai hidup baru lagi, kau ampunilah aku, Li Lian?" Terdengar pekik ngeri dari mulut Li Lian, seakan-akan kata-kata ini menusuk anak telinganya.

"Bangsat rendah! Jangan ulangi kata-kata palsu itu! Siapa yang sudi mendengarnya? Tahukah kau bahwa jika kuketahui kaulah orangnya yang menggangguku, pada saat itu juga aku lebih baik membunuh diriku? Siapa sudi dicinta olehmu? Cintamu kotor dan hina. Rasakanlah sekarang pembalasanku!"

Setelah berkata demikian, Li Lian maju menyerang dengan kedua pedang di kanan kiri, menyabet ke arah leher Gak Bin Tong. Sebetulnya kepandaian Gak Bin Tong bukanlah lemah dan kalau baru Li Lian saja yang hanya belajar silat selama satu bulan, tak mungkin dapat melawannya, biarpun gadis itu menyakinkan ilmu silat yang mujijat. Akan tetapi, pada saat itu Gak Bin Tong telah kehilangan tiga perempat bagian semangatnya yang membuatnya lemas da lambat. Ia telah putus asa melihat ancaman-ancaman Sin Wan dan kini setelah rahasianya terbuka oleh Li Lian, tentu Giok Ciu takkan dapat mengampuninya pula. Juga, selain tiga orang ini, masih ada lagi kakek gila yang duduk melenggut sambil mendengkur itu.

Ia maklum bahwa jembel itu tentu seorang sakti, karena ia dapat menduga bahwa dua puluh orang pahlawan yang kini tidak muncul-muncul itu tentu telah dibuat tak berdaya oleh kakek jembel itu! Maka apakah harapannya untuk tinggal hidup? Keputus-harapan inilah membuat ia setengah hati untuk menahan serangan Li Lian yang biarpun lemah tapi telah mempelajari ilmu silat aneh. Dengan mudah saja sambil menundukkan kepala, Gak Bin Tong dapat mengelit dua pedang yang menyambar di atas kepalanya, tapi pada saat itu Li Lian mengeluarkan teriakan demikian gila dan menyeramkan hingga seluruh tubuh Gak Bin Tong terasa lemas! Inilah lweekang luar biasa yang diajarkan oleh kakek gila itu, dan teriakan ini cukup untuk melumpuhkan seorang yang lweekangnya belum begitu tinggi.

Bahkan Sin Wan dan Giok Ciu yang mendengar pekik gila ini, merasa betapa dada mereka berdebar aneh dan keras! Pada saat Gak Bin Tong memandang kepada Li Lian dengan mata terbelalak takut dan tubuhnya lemas, sepasang pedang hitam dan putih itu meluncur cepat dan tahu-tahun telah menusuk dada Gak Bin Tong hingga tembus! Li Lian tertawa bergelak-gelak, tapi pada saat itu dari pintu di belakang Gak Bin Tong yang terbuka menyambar angin besar yang membuat tubuh Li Lian terlempar keras dan jatuh di pangkuan kakek jembel gila yang sedang melenggut. Ketika kakek gila itu membuka matanya, ternyata muridnya telah meringkuk di atas pangkuannya dalam keadaan mati! Juga Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali. Mereka tahu bahwa Li Lian telah terkena pukulan dari jauh yang dilakukan oleh orang berilmu tinggi.

Mereka tidak berani sembarangan bergerak, hanya berlaku waspada dan hati-hati menjaga segala kemungkinan. Jembel gila itu beberapa kali meraba jidat Li Lian. Tiba-tiba ia meletakkan tubuh muridnya di atas lantai, lalu ia berdiri dan menangis! Suara tangisan ini diseling-seling suara tertawa yang terdengar sangat aneh dan membuat bulu tengkuk Sin Wan dan Giok Ciu meremang karena merasa ngeri. Dan pada saat itu dari pintu di dekat tempat Gak Bin Tong berdiri, muncullah seorang tosu tua sekali dengan tubuh bongkok dan tongkat di tangan. Ia memasuki ruangan itu dan kedua matanya yang tajam menyambar-nyambar. Ia melihat betapa Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu rebah mandi darah dan mati di atas lantai, maka ia membuka mulutnya dan bertanya dengan suara kecil tinggi bagaikan suara kanak-kanak.

"Siapa orangnya yang berani membunuh kedua orang ini?" Tapi pada saat itu, lain suara terdengar, dan sungguh jauh bedanya dengan suara kakek bongkok tadi, karena suara ini terdengar besar, parau, dan bernada aneh dan janggal.

"Siapa orangnya yang berani membunuh muridku ini?" Kakek bongkok ini tujukan pandang matanya kepada si jembel gila yang berdiri di sudut lain. Ia memandang heran dan bertanya,

"Siapa pulakah orang gila ini?" tanyanya. "He, siapa namamu dan ada apakah kau berada di sini?" Jembel gila itu balas memandang.

"Siapa aku, siapa namamu? Aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku, dan mengapa aku berada di sini, entahlah. Tapi siapa yang telah membunuh muridku ini? Kaukah, orang bongkok?" Si bongkok tersenyum.

"Ya, akulah yang melakukan itu. Kau tidak mau memberitahukan nama, tapi aku tidak demikian pengecut. Pinto adalah Beng Hoat Taisu dan kedua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Nah, sekarang jawablah, kau siapa orang gila?" Si jembel gila itu mendengar pengakuan ini maju perlahan-lahan dan tertawa-tawa sambil menangis.

"Kau membunuh mati dia? Kalau begitu aku harus membunuhmu juga!" Beng Hoat Taisu tertawa kecil. Ia belum pernah melihat orang ini dan belum pernah pula mendengar seorang tokoh persilatan yang seperti orang gila ini, maka ia memandang rendah sekali. Sebaliknya, ia berhati-hati terhadap Sin Wan dan Giok Ciu, karena kedua anak muda ini tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka ia lalu menujukan pertanyaannya kepada mereka,

"He, orang-orang muda! Siapakah yang membunuh Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu?"

"Aku yang membunuh mereka!" jawab Sin Wan dengan gagah.

"Bukan, akulah yang membunuh mereka!" kata Giok Ciu tak mau kalah. Tiba-tiba terdengar gelak tawa si jembel gila dan dari tangannya menyambar seutas tali panjang yang meluncur cepat dan membelit gagang kedua pedang yang masih menancap di tubuh Gak Bin Tong yang telentang. Sekali sendal saja, kedua pokiam itu tercabut keluar dan sendalan kedua membuat kedua pedang itu melayang ke arah Sin Wan dan Giok Ciu! Kedua pemuda pemudi itu segera mengulurkan tangan dan menyambut pedang mereka dengan girang dan kagum sekali. Sebenarnya mereka tadi hendak mengambil pedang mereka dari tubuh Gak Bin Tong, tapi mereka kuatir kalau-kalau kakek bongkok yang lihai itu menyerang mereka. Melihat kelihaian jembel gila itu, si kakek bongkok merasa heran sekali. Ia lalu menjura dan sekali lagi bertanya,

"Toheng siapakah sebenarnya nama dan julukanmu?" Si jembel kini telah maju dekat dan berdiri di hadapan Beng Hoat Taisu.

"Aku adalah aku dan mengapa kau bunuh mati muridku? Aku harus membunuh kau!" Marahlah Beng Hoat Taisu mendengar ini karena ia merasa dipandang rendah sekali.

"Orang gila, baiklah kuantar kau menyusul muridmu!" Baru saja kata-katanya habis diucapkan tiba-tiba tongkatnya bergerak dan cepat sekali meluncur ke arah dada si jembel gila merupakan totokan maut yang berbahaya sekali. Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali, tapi si jembel gila sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak lalu bergerak dengan aneh dan tahu-tahu ia telah dapat berkelit dan talinya yang kecil panjang itu meluncur dalam serangan balasan! Beng Hoat Taisu tak berani memandang rendah serangan ini dan menangkis dengan tongkatnya. Tapi tali itu bergerak bagaikan ular dan ujungnya dapat membelit tongkat itu lalu ditarik untuk merampas tongkat lawan. Mereka berdua mengerahkan tenaga, tapi ternyata tenaga lweekang mereka sama kuat hingga tali dan tongkat itu masing-masing masih terpegang kencang, sama sekali tidak dapat terbetot!

Si jembel gila tertawa keras dan talinya mengendur dan melepaskan belitan, lalu mereka bertempur pula. Sin Wan dan Giok Ciu yang tahu bahwa jembel gila itu berdiri di fihak mereka, lalu maju membantu dengan pedang mereka di tangan. Tapi mereka segera mundur kembali dengan kaget, karena sekali saja pedang mereka beradu dengan tongkat Beng Hoat Taisu, mereka merasakan tangan mereka linu dan lemas, tenaga mereka terpukul kembali oleh tenaga si bongkok yang benar-benar lihai dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari mereka. Pada saat itu, terdengar seruan-seruan ramai dan ternyata dua puluh pengawal keraton Kaisar yang tadinya tertotok tak berdaya oleh si jembel gila, kini berserabutan masuk dengan senjata di tangan mereka.

Mereka tadi telah tertolong oleh Beng Hoatsu Taisu yang baru saja datang, dan setelah mereka dapat bergerak kembali, lalu membawa senjata masing-masing dan maju menyerbu! Karena tidak tahu akan kelihaian si jembel, mereka sambil berteriak-teriak membantu Beng Hoat Taisu dan menyerang si jembel. Tapi sekali saja si jembel gila itu menggerakkan talinya yang aneh, tali itu bersiutan nyaring dan empat orang roboh dengan kulit terbeset dan mengeluarkan darah karena kena di cambuk oleh ujung tali itu! Kini mereka mundur dengan jerih, lalu menujukan perhatian mereka kepada Sin Wan dan Giok Ciu. Melihat kedua anak muda ini, ramailah mereka menyerbu hendak menangkap. Sin Wan dan Giok Ciu memutar pedang mereka dan pertempuran hebat terjadi di dalam ruang gedung yang sangat luas itu.

Sementara itu, Beng Hoat Taisu dan si jembel gila telah lenyap dari pandangan mata. Tubuh kedua orang tua aneh dan berilmu tinggi itu telah tertutup sama sekali oleh sinar kedua senjata mereka yang walaupun hanya tongkat biasa dan tali saja, namun kehebatannya jauh melebihi puluhan senjata tajam terbuat daripada baja tulen! Angin gerakan kedua kakek itu membuat kursi dan meja bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berdesir-desir. Karena tidak merasa puas dengan adu tongkat dan tambang, mereka lalu melempar kedua senjata itu ke lantai, dan mulai berhantam dengan menggunakan sepasang kaki dan tangan! Pertempuran dilanjutkan dengan lebih mati-matian. Beng Hoat Taisu merasa penasaran dan heran sekali, karena selama hidupnya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu, belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang demikian tangguhnya.

Mungkin tak lebih tangguh daripada Bu Beng Lojin yang pernah juga menjatuhkannya, tapi ilmu pukulan si jembel ini sungguh-sungguh aneh sekali! Gerakan-gerakannya tak teratur sama sekali, pukulan-pukulannya ngawur belaka namun, tiap kali serangannya seperti akan mendatangkan hasil baik, tiba-tiba saja gerakan si jembel itu berubah dan tepat sekali dapat menangkisnya atau berkelit seakan-akan di seluruh bagian tubuh jembel itu ada matanya yang melihat datangnya bahaya! Juga, serangan-serangan ngawur yang dilancarkan oleh si jembel ini, sungguh-sungguh sukar diduga. Kalau serangannya seperti yang tepat dan hampir berhasil, tiba-tiba jembel itu dan menarik kembali tangannya, sedangkan jika serangannya dapat ditangkis atau dikelit oleh Beng Hoat Taisu, tiba-tiba serangan yang gagal itu masih dapat dilanjutkan dengan serangan lain yang terlebih lihai dan aneh!

Beng Hoat Taisu adalah seorang tosu kelas satu dari pegunungan Tibet dan ia telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan kelas tertinggi dan sukar dicari bandingannya pada masa itu. Hampir semua jago-jago silat di Tibet mapun di daratan Tiongkok, telah dicobanya dan belum pernah ia menderita kekalahan. Paling buruk tentu bermain seri, yakni ketika ia melawan jago-jago dari seluruh Tiongkok Selatan dan jago-jago dari seluruh Mongol. Baru tiga kali ia pernah benar-benar dikalahkan orang, yakni ketika bertemu dan melawan Bu Beng Lojin dan paling akhir ketika ia bertemu dengan Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin dua orang tokoh terbesar di Tiongkok timur. Tapi ketiga orang inipun hanya menang sedikit saja darinya.

Ia mengira tadinya bahwa hanya tiga orang itulah yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Tapi sungguh tidak dinyana, ini hari ia bertemu dengan seorang jembel gila yang memiliki kepandaian sungguh-sungguh istimewa dan aneh. Pula, angin gerakan pukulan si jembel gila itu seperti mendatangkan hawa gila yang menyeramkan dan aneh, hingga seakan-akan ia merasa seperti sedang bertempur melawan mahluk bukan manusia. Ia takkan ragu-ragu untuk percaya jika dikatakan bahwa ia sedang bertempur melawan iblis sendiri Gerakan silat macam ini memang tak mungkin dicipta oleh manusia kecuali manusia iblis! Beng Hoat Taisu mengerahkan tenaga batin dan lweekangnya untuk menjatuhkan jembel gila itu tapi selalu tenaganya ini buyar dan terpukul oleh hawa aneh yang keluar dari pukulan-pukulan dan gerakan si jembel. Tiba-tiba jembel gila itu tertawa lagi, nyaring dan panjang,

"Ha, ha, ha! Kau sungguh lihai, kau hampir selihai... Bu Beng...! Ya, kau hampir selihai Bu Beng!" Mendengar ini, Beng Hoat Taisu menjadi terkejut.

"Pernah apakah kau dengan Bu Beng Lojin?" tanyanya sambil mengirim serangan.

"Ha, ha! Bu Beng kawan baikku. Kau kenal Bu Beng?" balas tanya jembel itu, suaranya mengandung keramahan hingga Beng Hoat Taisu menjadi heran.

"Aku kenal baik padanya," jawabnya. Tiba-tiba saja desakan si gila mengendur.

"Kalau begitu, aku tidak jadi membunuhmu! Kau kawan baik Bu Beng! Ah... Murid, kau tunggu sajalah. Pasti tiba saatnya pembunuh ini menemui maut, dan aku juga tentu akan menyusulmu kelak... Ha, ha, ha!" Setelah berkata demikian, jembel gila itu meniup keras ke arah muka lawannya. Tiupan ini demikian hebat dan bertenaga hingga cepat sekali Beng Hoat Taisu berkelit, namun masih saja jenggot dan rambutnya yang panjang putih berkibar-kibar bagaikan tertiup angin besar! Ia menjadi kaget sekali, tapi pada saat itu si jembel gila telah meloncat mendekati Sin Wan dan Giok Ciu.

Pada saat si jembel tadi bertempur dengan hebatnya melawan Beng Hoat Taisu, kedua orang muda itu mengamuk dan biarpun dikeroyok oleh belasan orang pengawal-pengawal Kaisar yang berkepandaian tinggi, namun Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam menyambar-nyambar demikian hebatnya hingga sebentar saja beberapa orang telah menjadi kurban dan sisa pengeroyok mereka menjadi jerih. Pada saat mereka masih mainkan pedang, tiba-tiba Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa lengan tangan mereka di betot orang dan mereka tahu bahwa si jembel itu mengajak mereka pergi. Mereka meloncat pula ke atas dan mengikuti si jembel yang telah lari lebih dulu sambil memondong tubuh Suma Li Lian yang telah menjadi mayat. Kakek jembel itu berhenti di sebuah hutan, lalu ia meletakkan muridnya di atas tanah sambil beberapa kali mengeluh,

"Muridku, kau sungguh kejam telah meninggalkan aku lebih dulu..." dan menitik keluarlah air mata dari kedua mata si kakek jembel. Sementara itu, malam telah berganti fajar dan ayam mulai berkeruyuk, tapi masih saja kakek jembel itu berlutut di dekat jenazah muridnya, sedangkan Sin Wan dan Giok Ciu berdiri memandang keadaan kakek aneh itu dengan terharu. Tiba-tiba kakek itu tertawa lagi, dan suara ketawanya terdengar seperti biasa, terlepas dan gembira.

"Aah, lebih baik begini, muridku. Lebih baik begini. Bukankah sekarang kau telah terlepas dari semua kedukaan? Bukankah sekarang tiada orang lagi bisa mengganggumu? Aah, benar lebih baik begini biarlah aku yang melanjutkan penderitaanmu. Kau harus dikubur, ya, kau harus dikubur!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk tanah dengan maksud menggali lubang! Sin Wan dan Giok Ciu merasa terharu sekali mendengar kata-kata itu.

Biarpun kakek itu sangat mencinta muridnya, namun ia rela muridnya itu mati agar terlepas dari segala kesengsaraan. Ah, inilah cinta! Inilah cinta suci, cinta yang tidak mengharapkan sesuatu untuk kesenangan diri. Cinta yang semata-mata didasarkan atas keinginan melihat orang yang dicintainya bahagia dan tidak menderita, biarpun harus mengurbankan perasaan sendiri! Memikir sampai di situ, Sin Wan dan terutama Giok Ciu, merasa tersinggung dan tersindir, maka mereka menundukkan muka dengan wajah merah. Sementara itu, kedua mata Giok Ciu mengalir air mata. Sin Wan dan Giok Ciu, tanpa diminta lalu menggunakan pedang mereka mereka untuk membantu menggali lubang untuk menguburkan Suma Li Lian. Setelah jenazah gadis yang bernasib malang itu dikubur baik-baik, jembel gila itu lalu berkata kepada Sin Wan dan Giok Ciu.

"Kalian anak-anak baik. Nah, aku pergi hendak mencari Bu Beng." Melihat betapa pikiran kakek itu agaknya mulai ingat, Sin Wan cepat berkata,

"Lo-Cianpwe, teecu berdua adalah murid-murid Bu Beng Lojin!" Kakek itu memandang tajam kepada mereka.

"Bagus, dimana sekarang adanya Bu Beng?" Sin Wan tak dapat menjawab, dan Giok Ciu yang menjawab,

"Teecu tidak tahu di mana Suhu berada, karena Suhu telah meninggalkan Kam-Hong-San dan berjanji hendak bertemu dengan teecu berdua sepuluh tahun kemudian."

"Ha, ha! Bu Beng memang gila!" kata kakek itu dan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ! Sin Wan dan Giok Ciu yang ditinggal di situ saling pandang. Giok Ciu lalu berlutut di depan makam Suma Li Lian dan berkata dalam bisikan,

"Li Lian... Li Lian... Aku telah banyak menyakiti hatimu. Kau orang baik dan setia, tidak seperti... ah, Li Lian, kau tentu dapat mengampunkan aku, sungguhpun aku sendiri tidak akan sanggup mengampunkan diri sendiri." Sin Wan lalu berkata kepada Giok Ciu,

"Sumoi, marilah di depan makam Li Lian kita mengadakan pembicaraan sungguh-sungguh dan dari hati ke hati." Kedua anak muda itu di pagi hari yang cerah itu duduk di depan makam yang masih baru, saling berhadapan. Sikap mereka tenang dan sungguh-sungguh.

"Giok Ciu," kata Sin Wan sambil memandang wajah yang menunduk di depannya itu,

"Bagaimanakah pikiranmu setelah sekarang semua menjadi terang dan kau tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya?" Giok Ciu mengangkat mukanya dan menahan air matanya yang hendak menitik turun.

"Suheng, untuk apa kita bicarakan hal ini? Kau tahu, aku merasa menyesal dan malu sekali."

"Bukan begitu, Sumoi, hal itu tak perlu lagi dimalukan atau disesalkan. Semua telah lewat dan habis, seperti halnya Li Lian yang telah menjadi gundukan tanah ini. Tak perlu lagi dipersoalkan. Yang penting adalah persoalan kita, yang akan datang, Sumoi. Kesalahpahaman diantara kita telah lenyap. Bagaimanakah sekarang pendirianmu mengenai.... perjodohan kita?" Gadis itu sekali lagi mengangkat muka dan memandang wajah Sin Wan dengan terharu,

"Kau sendiri bagaimana, Suheng? Bagaimana pendirianmu?" Sin Wan merasa tak enak mendengar sebutan gadis itu kepadanya kini telah berubah. Dulu menyebut koko atau kanda, sekarang menyebut Suheng atau kakak seperguruan. Ia lalu mengangkat tangan ke arah leher dan mengeluarkan sepatu kecil yang tergantung di lehernya.

"Kau lihatlah sendiri, barang ini selalu masih menempel di dadaku! Masih kurang jelaskah ini?" Giok Ciu merasa terpukul dan teringatlah ia akan suling tanda perjodohan yang dulu ia hancurkan, maka tiba-tiba ia menangis perlahan.

"Giok Ciu terus terang saja kukatakan bahwa betapapun juga dan apapun yang terjadi, cintaku kepadamu tetap tak berubah. Mungkin terjadi perubahan sedikit, yakni tentang sifat cintaku itu. Kalau dulu cintaku disertai kandungan harapan untuk menjadikan kau sebagai isteriku sekarang sifat cintaku itu berubah setelah mendengar kata-kata Li Lian. Cintaku bukan berdasarkan hendak mengawinimu saja, tapi hendak melihat kau bahagia, Giok Ciu." Giok Ciu makin terharu dan tak dapat menjawab, maka Sin Wan lalu melanjutkan kata-katanya.

"Sumoi, jangan kau terlalu bersedih, Yang lalu biarlah lalu, sekarang marilah kita hadapi kenyataan. Aku hendak berterus terang saja kepadamu agar jangan sampai terulang lagi kesalahpahaman di antara kita. Aku masih tetap cinta kepadamu, tetapi aku sekali-kali tidak akan menggunakan hakku dan memaksamu menjadi isteriku. Terserah kepadamu, Sumoi, apakah kau hendak melanjutkan perjodohan kita atau tidak. Tapi yang pasti, selain dengan engkau, selama hidup takkan ada wanita lain yang dapat menjadi isteriku!" Giok Ciu tunduk untuk beberapa lama, akhirnya ia dapat juga menjawab,

"Suheng, kau memang seorng pemuda yang mulia. Hal ini seharusnya telah kuketahui sejak dulu dan seharusnya memperkuat kepercayaanku. Tapi memang aku gadis bodoh. Bodoh, lemah, dan tolol, tepat seperti dikatakan oleh Li Lian dulu! Setelah segala kebodohan yang kulakukan, termasuk penghancuran tanda perjodohan yang kuterima darimu, rasanya tak mungkin aku ada muka untuk menjadi isterimu, Suheng! Tentang cinta dan perasaan hatiku kepadamu... Entahlah! Aku menjadi ragu-ragu sekali untuk memikirkan tentang ini setelah mendengar ucapan-ucapan Li Lian dulu itu. Aku menjadi ragu-ragu apakah benar-benar ada cinta suci di dunia ini! Kalau kusesuaikan dengan ajaran Suhu kepada kita tentang pemiliharaan tenaga rohani, aku menjadi ragu-ragu. Aku... Aku tidak berani berkata secara membuta membuat pengakuan bahwa aku" aku cinta padamu, Suheng. Maafkan aku yang bodoh..." Sin Wan tersenyum pahit dan memegang lengan Sumoinya.

"Bagus, Sumoi, memang seharusnya demikianlah sikap kita sebagai orang-orang yang telah mendapat latihan Suhu. Kita harus beani menghadapi kenyataan, betapa pahit dan tidak enaknya kenyataan itu." Giok Ciu memandang Sin Wan dengan kasihan.

"Maafkan kalau aku menyakiti hatimu, Suheng. Aku juga tidak berani berkata bahwa aku tidak cinta kepadamu, karena percayalah bahwa selain dengan engkau, akupun tak mungkin kawin dengan seorang pemuda lain. Aku hanya malu dan ragu-ragu mengaku akan cintaku padamu, karena kalau benar-benar cinta, mengapa sikap dan tindakanku yang sudah-sudah demikian macamnya terhadapmu? Sekarang, biarlah kita berpisah dan meluaskan pengalaman masing-masing, sementara itu, berilah waktu padaku, Suheng." Sin Wan menghela napas panjang dan dengan jari-jari tangan gemetar ia melepaskan tali pengikat sepatu kecil itu, lalu diberikannya kepada Giok Ciu.

"Terimalah ini, Sumoi. Aku tak berhak menyimpannya." Giok Ciu menganggap bahwa hal itu sepantasnya, maka sambil mengeraskan hatinya yang sangat terharu, iapun menerima barang itu dengan tangan gemetar pula.

"Sebelum kita berpisah, beritahukanlah di mana kau titipkan anak Li Lian dulu itu Suheng?" Karena tidak menduga sesuatu, Sin Wan lalu menceritakan betapa Li Lian meninggalkan anaknya demikian saja hingga ia menjadi bingung dan akhirnya menitipkan anak Li Lian itu kepada seorang janda she Thio di kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu. Kemudian mereka lalu berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Biarpun kini di dalam lubuk hati kedua anak muda itu terdapat sesuatu yang mengganjal dan membuat mereka merasa sunyi dan kosong, namun tidak ada pula segala kejengkelan, kekecewaan dan kemarahan mengganggu mereka. Sin Wan merantau ke daratan sebelah Timur dan ia melakukan perjalanan menjelajah sepanjang pantai timur. Pada waktu itu, daratan timur di Tiongkok seringkali terganggu oleh bajak-bajak laut yang ganas.

Bajak-bajak laut itu menggunakan perahu-perahu layar yang cepat gerakannya dan mereka terkenal mempunyai anggauta-anggauta yang rata-rata berilmu silat tinggi. Tubuh mereka pendek dengan tangan yang panjang-panjang, sedangkan mereka biasa bersenjata pedang panjang yang mereka mainkan dengan secara cepat dan ganas. Banyaklah sudah dusun-dusun di pinggir pantai yang menjadi kurban keganasan para bajak laut ini, dan para penduduk dusun itu tidak tahu dari manakah datangnya bajak-bajak itu. Bahasa yang digunakan oleh para bajak laut itu walaupun tidak mereka mengerti, namun ada persamaan dengan Bahasa dusun pantai timur. Pemerintah setempat telah pula mendengar tentang gangguan bajak laut ini, tapi karena pemerintah pada waktu itu sangat lemah dan sama sekali kurang menaruh perhatian akan nasib rakyat, maka hal itupun tidak diperdulikan.

Pendirian pemerintah Tiongkok di kala itu, asalkan kedudukan para bangsawan dan Kaisar tidak terancam dan tidak terganggu, maka amanlah! Rakyat dirampok? Rakyat diganggu bajak laut? Rakyat kelaparan? Aah, itu soal kecil dan soal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang menduduki pangkat. Asal saja gangguan-gangguan itu tidak merugikan mereka! Karena keadaan pemerintah yang lalim dan alat-alat pemerintah yang buruk sekali ini, maka para bajak laut itu makin ganas dan kurang ajar. Mereka bahkan berani menculik wanita-wanita dan membawanya ke pulau tempat tinggal mereka. Bahkan tiga buah dusun kecil di dekat pantai yang tadinya merupakan dusun nelayan yang ramai dan makmur, kini boleh dibilang menjadi dusun para bajak laut itu!

Tiga dusun itu dijadikan seksi pendaratan mereka, bahkan yang memerintah disitu sekarang orang-orang anggauta bajak laut itu! Bukan tidak ada orang-orang gagah dan hohan-hohan yang mencoba untuk memberantas keganjilan ini, tapi karena jumlah bajak laut sangat banyak dan semua memiliki kepandaian berkelahi yang baik sekali sedangkan fihak orang-orang gagah hanya ada beberapa orang saja sedangkan alat pemerintah tidak ada yang membantu, beberapa kali mereka ini tidak berhasil, bahkan mengalami kekalahan yang pahit! Ketika di dalam perantauannya mendengar tentang hal ini, Sin Wan merasa marah dan penasaran sekali. Ia lalu langsung menuju ke dusun Tin-Siang, sebuah daripada tiga dusun yang menjadi sarang bajak laut di timur itu. Tapi alangkah herannya ketika ia memasuki dusun itu, karena keadaan dusun bukanlah seperti yang disangkanya semula.

Tadinya ia menduga akan melihat sebuah dusun yang sengsara di mana penduduknya hidup tertindas dan serba kekurangan. Sebaliknya, dusun itu ramai sekali dan penghidupan penduduk dusun Tin-Siang tampak seperti biasa, juga wajah orang-orang disitu tidak kelihatan sedih! Ini sungguh aneh sekali, pikir Sin Wan. Lalu ia berjalan-jalan ke pantai laut melihat kapal-kapal layar yang berlabuh disitu. Ternyata kapal-kapal dari pedalaman, juga mengangkut kayu-kayu dari hutan, yakni kayu untuk pembangunan yang disebut kayu besi yang sukar dicari dan mahal harganya. Semua pekerjaan dilakukan oleh penduduk dusun itu dan yang mengepalai mereka adalah beberapa orang pendek yang tampaknya ramah tamah. Maka otak yang cerdik dari pemuda itu lalu dapat menduga.

Ia pikir bahwa bajak-bajak laut itu tentu menggunakan siasat halus untuk membujuk para penduduk dusun itu hingga tenaga mereka digunakan. Bajak-bajak itu tentu tidak mengganggu mereka, tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari mereka, karena hasilnya tak seberapa besar. Sebaliknya, mereka melakukan perampokan di dalam hutan-hutan dan mengangkut pergi hasil-hasil bumi Tiongkok yang kaya, dan yang mengerjakan semua itu adalah tenaga-tenaga penduduk dusun itu, mungkin dengan diberi sedikit upah! Sin Wan melanjutkan penyelidikannya. Ia memasuki sebuah rumah makan dan memesan arak serta makanan. Karena ada beberapa orang yang sedang duduk di dalam rumah makan itu dan tampaknya seperti orang-orang pedagang dari lain tempat, sengaja Sin Wan mendekati mereka, lalu secara iseng-iseng ia berkata,

"Dusun ini tampaknya ramai dan penduduknya hidup senang." Seorang di antara mereka yang menengok dan mendengar kata-katanya itu, lalu menghampiri. Agaknya orang ini telah minum arak agak terlampau banyak, maka lidahnya terlepas,

"Mengapa tidak, kawan? Kau tentu bukan orang sini maka agaknya heran melihat keadaan kami! Sudah banyak orang-orang seperti engkau yang datang ke sini. Tentu kau tadinya menyangka bahwa kita tentu hidup sengsara, bukan? Ha, ha! Tidak, kita tidak merasa terganggu. Mereka itu mengangkut hasil-hasil hutan dan tanah bukan milik kami. Mereka menguasai kami tapi tidak membuat kami sengsara. Tahukah kau bahwa dulu sebelum mereka datang, kepala dusun ini, seorang bangsa kita sendiri, bahkan merupakkan lintah darah yang menghisap habis darah kami? Aah, kami lebih senang mempunyai kepala dusun bangsa lain daripada kepala dusun bangsa sendiri yang menindas kami!" Mendengar kata-kata ini Sin Wan merasa muak sekali.

Celaka dua belas! Beginilah kalau pemerintah sendiri tidak becus memerintah dan buruk keadaannya! Rakyat menjadi penasaran dan sakit hati, hingga bahkan mereka lebih suka diperintah oleh pemerintah asing daripada oleh pemerintah bangsa sendiri, karena mereka itu hanya menghendaki hidup senang! Celaka sekali! Tentu saja bagi orang-orang beriman dan mempunyai jiwa gagah perkasa seperti Sin Wan, diperintah oleh orang-orang asing itu merupakan hinaan yang besar sekali. Apalagi ketika melihat betapa kekayaan tanah air dibawa dan diangkut pergi oleh orang-orang kate itu, Sin Wan merasa mendongkol sekali. Pada saat itu, tiba-tiba orang yang doyan mengobrol itu diam bagaikan orong-orong terpijak, karena dari luar masuklah seorang kate yang agak gemuk. Orang kate itu memandang Sin Wan dengan curiga dan ia lalu menunding ke arah Sin wan sambil bertanya kepada pengobrol tadi,

"Siapakah orang ini? Dan dari mana datang?" Sebelum ada yang menjawab, Sin Wan menghampiri orang itu dan bertanya,

"Kau perduli apakah? Kau siapa dan apa hakmu maka bertanya demikian?" Orang itu tersenyum menghina.

"Kau mencari susah sendiri!" Dan ia membalikkan tubuh hendak pergi, tetapi Sin Wan telah menangkap lengan tangan orang itu.

"Tahan dulu, bukankah kau ini anggauta bajak-bajak asing yang mengganggu pantai Tiongkok?" orang itu memandang dengan ancaman di matanya.

"Habis kau mau apa?" Sehabis berkata demikian, dengan sekali renggut terlepaslah tangannya dari pegangan Sin Wan sehingga pemuda itu diam-diam terkejut sekali karena tidak disangkanya bahwa si pendek ini memiliki tenaga besar.

Kemudian si pendek itu menyerang dengan pukulan yang mempunyai gerakan aneh. Datangnya serangan ini cepat sekali dan kedua tangannya digunakan bagaikan cengkeraman garuda. Inilah semacam ilmu Eng-Jiauw-Kang atau Cengkeraman Garuda, dan ilmu ini mengandalkan tenaga dan kecepatan mencengkeram tubuh atau tangan musuh. Tapi Sin Wan dengan mudahnya dapat berkelit dan balas menyerang. Setelah bergerak tiga jurus saja, Sin Wan berhasil mendorong tubuh yang kate itu sehingga bergulingan menabrak meja. Orang kate itu bersuit keras dan dari arah pantai berlari-larilah beberapa orang kate lain, yakni anggauta-anggauta dan anak buah bajak laut yang bertugas di situ. Bahkan ada beberapa penduduk aseli, yakni orang-orang kampung di situ ikut pula datang dengan wajah mengancam seakan-akan mereka juga hendak mengeroyok Sin Wan!

Sin Wan mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok banyak orang yang bersenjata pedang panjang dan yang kesemuanya memiliki ilmu pedang yang cukup baik. Tapi menghadapi Pek Liong Kiam-sut, mereka ini tidak berdaya. Yang mengherankan Sin Wan ialah betapa pedang-pedang mereka ini kesemuanya terbuat daripada bahan yang baik dan keras hingga tidak mudah terbabat putus oleh pokiamnya! Ini sungguh mengagumkan! Kemudian, penduduk kampung ikut pula mengeroyok dengan segala macam senjata yang dapat mereka pakai, karena mereka menganggap bahwa pemuda itu hanya membuat kacau saja di kampung mereka. Melihat hal ini, Sin Wan lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga empat orang kate roboh dengan mandi darah, kemudian Sin Wan berseru keras,

"Hai, saudara-saudara! Tidak tahukah kalian bahwa bajak-bajak kate ini menguras kekayaan di negeri kita? Mereka ini tidak saja membajak bangsa kita, tapi juga merampok hasil bumi kita! Hayo kita usir mereka ini!" Tapi orang-orang kampung init tak seorangpun mau mendengarkan kata-katanya, bahkan ada seorang yang berteriak keras,

"Aah, obrolan apa yang kau jual ke sini? Kau rupanya bukan hendak menolong, tetapi bahkan hendak mengacau dan mencelakakan kami!" Tiba-tiba Sin Wan ingat bahwa kalau ia mengusir bajak-bajak ini, tentu para banyak yang banyak sekali jumlahnya itu akan sakit hati sekali kepada orang-orang kampung dan akhirnya penduduk dusun itulah yang akan menerima balasan dan tertimpa bencana besar. Mengingat demikian, Sin Wan lalu meloncat pergi dan lari keluar dari dusun itu dengan cepat.

Ia merasa bingung dan tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengusir para bajak laut itu. Malam itu ia bermalam di dalam sebuah dusun yang terdapat di hutan yang memanjang di tepi laut. Berbeda dengan keadaan dusun yang dikuasai para bajak itu, di dusun ini orang-orang hidup sederhana sekali dan keadaan mereka sungguh-sungguh miskin! Tapi mereka sangat ramah tamah dan seorang keluarga yang terdiri dari seorang kakek dan seorang puteranya yang sudah duda, menerima Sin Wan dan memberi tempat kepadanya untuk bermalam. Karena lelahnya Sin Wan tidur nyenyak sekali. Tapi menjelang fajar, ia dikejutkan oleh suara gemuruh dari kaki kuda dan sepatu-sepatu dari ratusan pasang kaki orang yang mendatangi ke arah dusun itu! Ia segera bangun dan terdengar pekik dan jerit tangis penduduk dusun di situ.

"Ada apakah?" Sin Wan meloncat keluar dan bertanya kepada seorang yang lari ketakutan.

"Bajak-bajak itu mengganas lagi!" katanya, Sin Wan menjadi gemas sekali. Jadi kalau di sekitar pantai bajak-bajak itu berlaku baik terhadap penduduk di situ untuk memikat hati mereka, di pedalaman mereka merampok dengan kejam. Dalam marahnya, Sin Wan mencabut pedangnya dan lari memapaki kedatangan para bajak itu. Dan apa yang dilihatnya membuat dia kaget sekali! Yang datang itu, bukanlah bajak-bajak biasa, karena pakaian yang dipakai oleh orang-orang kate itu adalah seragam hingga mereka lebih tepat disebut tentara yang berdisplin dan teratur!

Pergerakan mereka teratur sekali dan disana-sini terdengar aba-aba yang dikeluarkan dengan suara keras dari atas kuda! Tentara yang bergerak ini jumlahnya cukup besar, ditaksir tidak kurang dari lima puluh orang. Hendak menyerbu kemanakah rombongan bajak yang merupakan barisan teratur ini, pikir Sin Wan. Tapi pada saat itu telah terlihat oleh seorang anggauta barisan itu dan atas aba-aba seorang pemimpin, beberapa belas orang dengan pedang dan tombak lari menyerbu. Sin Wan menerima kedatangan mereka dengan pedang di tangan dan ia lalu mengamuk hebat! Tapi segera ia mendapat kenyataan bahwa para pengeroyoknya ini benar-benar orang berilmu silat lumayan juga dan jika dibandingkan dengan kepandaian para pengawal Kaisar, maka agaknya tidak boleh disebut lebih lemah! Terutama ilmu pedang mereka yang mempunyai gerakan aneh, sungguh sukar dilawan.

Baiknya ia memiliki ilmu pedang yang cepat dan hebat gerakannya, maka sebentar saja ia dapat merobohkan beberapa orang hingga tempat itu menjadi ramai dengan pekikan-pekikan mereka dan rumput-rumput di situ menjadi basah oleh darah! Tapi keberanian dan kenekatan orang-orang itu sungguh membuat Sin Wan merasa bingung dan gugup. Jatuh seorang datang dua dan jatuh dua datang empat! Ia sampai merasa kewalahan dan kini dirinya terkurung rapat! Ia telah merobohkan sepuluh orang lebih, tapi tenaganya mulai lemah karena ternyata musuh-musuhnya makin banyak saja. Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan kepungan Sin Wan menjadi buyar dan keadaan menjadi kacau balau! Ketika Sin Wan merasa kepungan yang mengurung dirinya mengendur, ia lalu meloncat keluar dari kepungan untuk melihat apa yang telah terjadi di luar kepungannya.

Ternyata terdapat dua bayangan putih dengan jubah lebar berkibar-kibar sedang mengamuk hebat! Dua bayangan itu menyambar-nyambar ke sana kemari dan dimana saja mereka tiba, tentu terdengar pekik ngeri dan tampak tubuh seorang pengeroyok roboh! Sin Wan terkejut sekali melihat kehebatan sepak terjang dua orang itu, karena mengingatkan ia akan kakek jembel gila. Tiba-tiba dua orang itu menghentikan gerakan mereka dan mereka berdiri di atas sebuah batu besar sambil bertolak pinggang. Ternyata bahwa mereka adalah dua orang kakek yang berwajah angker dan gagah sekali. Pakaian mereka seperti dua orang petani dan jubah mereka longgar, di punggung mereka tampak gagang pedang. Rambut mereka yang putih dan panjang digelung ke atas dan kini ujung rambut itu berkibar-kibar tertiup angin. Mereka sungguh gagah perkasa!

"He, kamu sekalain bajak laut, dengarlah! Kamu telah melihat sepak terjang kami berdua dan ternyata baru kami dua orang tanpa memegang senjata saja kalian sudah tak dapat melawan. Apalagi kalau bangsa kami bangkit serentak melawan kalian, pasti kalian akan dilempar semua ke laut! Kembalilah ke negarimu sendiri dan jangan mengganggu rakyat kami! Kalau dalam tiga hari kami masih melihat kamu, maka jangan harap akan mendapat ampun lagi!" Kedua kakek itu berbicara perlahan, lalu seorang diantara mereka berkata lagi dengan suara keras,

"Ketahuilah, kami berdua adalah Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin. Dan jangan kira bahwa di negeri kami hanya ada kami dua orang saja yang memiliki kepandaian! Masih ribuan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami. Kalian lihatlah pohon siong disana itu dan lihat apakah diantara kalian ada yang sanggup menahan serangan pedang kami seperti yang hendak kami lakukan kepada pohon itu!" Setelah berkata demikian dua orang kakek itu lalu mencabut pedang dari punggung, lalu berbareng mereka enjot tubuh mereka.

Dua bayangan putih berkelebat ke arah puncak pohon itu dan tiba-tiba daun-daun dan ranting-ranting kecil jatuh berhamburan ketika dua orang kakek itu gerakkan pedang mereka membabat! Sebentar saja keduanya telah melayang turun di atas batu yang tadi dan ketika semua orang melihat ke arah pohon, mereka leletkan lidah karena daun-daun pohon itu telah dicukur sedemikian rupa hingga pinggirnya rata dan potongannya bundar! Setelah menyaksikan demonstrasi ini, terdengar aba-aba keras di fihak bajak laut dan mereka lalu lari mundur dengan cepat! Kedua kakek itu tertawa bergelak-gelak menyaksikan mereka. Kemudian mereka memandang ke arah Sin Wan dan memberi tanda kepada pemuda itu supaya datang mendekat. Sin Wan lalu memberi hormat sambil berlutut.

"He, anak muda yang gagah perkasa. Bukankah kau mendapat pelajaran dari Bu Beng?" tegur Nam-Hai Sianjin.

"Benar, Lo-Cianpwe. Teecu adalah murid dari Bu Beng Lojin dan mendengar nama jiwi Lo-Cianpwe yang besar serta menyaksikan kehebatan ilmu pedang jiwi Lo-Cianpwe, sungguh teecu merasa beruntung sekali sudah dapat bertemu dengan jiwi Lo-Cianpwe!" Terdengar Pai-San Sianjin menghela napas,

"Sayang sekali orang-orang seperti kita kebanyakan berlaku sesat dan tidak melihat akan penderitaan rakyat. Kau mendengar tadi betapa kami membohong agar mereka jangan berani datang lagi. Nah, sampaikan salam kami kepada Suhumu?" Dan kedua tokoh persilatan yang terkenal itu berkelebat menghilang dari pandangan Sin Wan. Setelah kenyang merantau, lima tahun kemudian, Sin Wan kembali ke Kam-Hong-San. Maksudnya hendak mulai mendidik anak perempuan Li Lian yang dulu dititipkan kepada janda Thio. Tapi alangkah herannya ketika mendapat keterangan bahwa anak itu telah dibawa oleh Giok Ciu. Sin Wan lalu mengejar dan menjumpai Giok Ciu di bekas tempat tinggal Ayahnya, yakni di sebelah timur bukit Kam-Hong-San.

"Sumoi," katanya ketika bertemu dan melihat betapa benar-benar anak itu berada disitu. "Kau berikanlah anak ini kepadaku untuk kudidik menjadi muridku."

"Tidak Suheng. Akulah orangnya yang mempunyai dosa terhadap Li Lian, maka biarlah aku menebus dosa itu dengan memberi didikan kepada anaknya ini," jawab Giok Ciu. Mereka berdua mempertahankan pendirian mereka sendiri-sendiri, karena Sin Wan juga suka sekali melihat anak perempuan yang mungil itu dan yang wajahnya mirip sekali dengan Li Lian. Akhirnya sambil tersenyum Giok Ciu mencabut ouw Liong Pokiam dan berkata tenang,

"Suheng, kalau begitu, biarlah pedang kita yang memutuskan."

"Apa maksudmu?" tanya Sin Wan terkejut.

"Marilah kita mengukur kepandaian masing-masing, yang lebih tinggi berhak menjadi guru anak itu!" Sin Wan tersenyum dan heran, karena biarpun sikap dan bicara gadis itu telah berubah dan tenang tapi sebenarnya watak keras masih ada di dalam hatinya. Iapun lalu mencabut Pek Liong Pokiam dan menghadapi Sumoinya. Mereka lalu menggerakkan kedua pedangnya itu dan sebentar kemudian pertemuan mereka ini dirayakan dengan adu pedang!

Mereka dalam hal memberi pelajaran kepada kedua muridnya, Bu Beng Lojin tidak berlaku berat sebelah, maka kepandaian mereka berimbang. Sin Wan dapat merobohkan Sumoinya yang keras hati ini, tapi ia tidak tega dan pula agaknya ia takkan dapat merobohkan kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Karena inilah maka mereka bertempur sampai ratusan jurus bagaikan dua ekor naga sakti berebut mustika. Anak perempuan yang baru berusia kurang lebih lima tahun itu bertepuk-tepuk tangan gembira dan suka sekali melihat pertempuran itu, seakan-akan ia melihat pertunjukan yang bagus sekali. Tiba-tiba terdengar suara lemah lembut dan suara tertawa menyeramkan. Sin Wan dan Giok Ciu kenal suara ini maka mereka segera meloncat mundur dan menjatuhkan diri berlutut. Bu Beng Lojin dan kakek jembel gila yang lihai itu telah berada di depan mereka.

"Sin Wan dan Giok Ciu! Bagaimana keputusanmu yang terkahir? Perlukah kedua pokiam itu kau kembalikan kepadaku? Biarlah aku yang menyimpannya!" Sin Wan memberi hormat dan berkata,

"Suhu, hal ini murid hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Giok Ciu!" Giok Ciu menundukkan muka dan kulit mukanya berubah merah. Ia pandang Ouw Liong Pokiam di tangannya dan agaknya ia tak mungkin dapat berpisah dari pedang ini. Pula, niatnya untuk berumah tangga, biar dengan Sin Wan sekalipun, telah lenyap dari sanubarinya.

"Maaf, Suhu. Teecu telah bersumpah hendak hidup menyendiri dengan pokiam ini." Bu Beng Lojin tertawa bergelak-gelak, diiringi oleh suara tertawa oleh kakek jembel gila itu.

"Kalau begitu, kau bertapalah disini, dan Sin Wan boleh tinggal di gua naga. Ketahuilah murid-muridku, memang kalianlah yang berjodoh untuk mengembangkan Sin-Liong Kiam-Sut dan kelak kalian pulalah yang akan menurunkan kepandaian dan kedua pokiam ini kepada orang-orang atau murid-murid yang berbakat. Dengan demikian, takkan sia-sialah hidupmu di dunia ini. Kalian telah memilih jalan benar, karena sekarang aku mau membuka rahasia, yakni menurut penglihatanku, kalian mempunyai watak yang bertentangan dan jika tertangkap menjadi suami isteri, maka akan lebih banyak pahitnya daripada manisnya kalian rasakan!"

"Suhu, mohon petunjuk Suhu tentang anak ini," kata Sin Wan, juga Giok Ciu mendesak gurunya. Tiba-tiba si kakek jembel gila berkata dengan suaranya yang parau.

"Hanya akulah seorang yang berhak menjadi Suhunya!" Giok Ciu dan Sin Wan terkejut, tapi Bu Beng mengangguk-angguk,

"Kalian masih terlampau muda untuk menerima murid. Matangkanlah dulu kepandaianmu, dan kalian taruhlah kasihan kepada kawan baikku ini. Anak ini akan menjadi obat penawar baginya." Akhirnya Sin Wan dan Giok Ciu menurut dan mengalah.

Semenjak saat itu, Bun Sin Wan bertapa di puncak gunung Kam-Hong-San sedangkan Kwie Giok Ciu bertapa di bekas tempat tinggal Ayahnya. Keduanya telah dapat menahan segala nafsu keduniaan dan tekun memperdalam ilmu mereka. Tapi adat yang terbawa ketika lahir tak dapat dirobah dengan mudah, karena dalam beberapa tahun sekali, tentu Giok Ciu mengunjungi Sin Wan untuk diajak bertanding mengukur kepandaian! Sering pula Sin Wan atau Giok Ciu turun gunung untuk melakukan tugas sebagai pendekar-pendekar gagah pembela keadilan, hingga nama Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam makin terkenal di kalangan persilatan sebagai dua pedang naga sakti yang hebat dan sebagai penggempur kejahatan! Kelak, berpuluh puluh tahun kemudian, setelah mereka menjadi orang-orang tua, Bun Sin Wan akan menggunakan nama Kam Hong Siansu, sedangkan Kwie Giok Ciu tak mengubah nama hingga disebut orang Kwie Giok Ciu Suthai.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP)

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH