JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP)














JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP) JILID 01



Sejak hari kemarin kota Sauwciu berbeda dengan biasanya. Banyak tamu dari luar kota membanjiri kota itu. Penginapan-penginapan besar kecil penuh, bahkan banyak tamu tak mendapat kamar dan terpaksa tidur di kelenteng, dan ada pula yang bermalam di rumah kenalan atau keluarganya.

Sebagian besar dari para tamu terdiri dari orang-orang kasar dan orang-orang dari kalangan persilatan, bahkan banyak yang datang dari rimba hijau dan jagoan-jagoan terkenal di kalangan kangouw. Di hotel Lim an saja orang melihat Boan Hong si Macan dari Simsee yang terkenal namanya di seluruh propinsi, apalagi di hotel-hotel besar seperti Ang hwa Likoan dan Bun toa Likoan.

Menurut kata orang-orang di kedua penginapan besar itu orang melihat Cin Ouw Bu Kauwsu, guru silat dari selatan yang terkenal dengan ilmu toyanya, juga Bin Lok Ong si Garuda Terbang, jagoan dari cabang Go-bi yang namanya menggemparkan kalangan kangouw karena pernah mengobrak-abrik sarang perampok di bukit Lun san seorang diri saja!.

Tak heran penduduk kota Sauwciu menjadi gempar karena datangnya tamu-tamu terkenal itu. Banyak orang, terutama yang gemar akan persilatan, berkeliling kota melihat-lihat kalau-kalau berjumpa dengan seorang jagoan, untuk belajar kenal atau untuk mencari guru.

Para ahli silat itu datang kekota Sauwciu dengan semacam makdud, yakni mengunjungi Pek thou houw Lim San si Harimau Kepala Putih. Lim San merayakan hari kelahirannya yang kelima puluh dan menurut berita angin, kabarnya pada kesempatan itu juga ia ingin memilih mantu. Sedangkan puterinya, Lim Giok Lan siocia sudah sangat terkenal kecantikannya dan kepandaian silatnya. Juga gadis itu terkenal pandai dalam hal ilmu kesusastraan.

Maka kesempatan ini tak dilewatkan begitu saja oleh para jagoan tua muda untuk datang mengunjungi Lim San. Yang tua mengingat karena persahabatannya dengan Lim San dan mengindahkan orang tua terkenal itu. Yang muda sekalian hendak mengadu untung. Siapa tahu kalau akan kejatuhan bintang berupa Lim Giok Lan siocia yang manis.

Pagi-pagi sekali, belum juga matahari memperlihatkan wajahnya, banyak orang berduyun-duyun menuju ke gedung Lim San. Para tamu untuk mulai kunjungan mereka, para penduduk kota untuk melihat keramaian. Di depan gedung dipasang tarub lebar dan di tengah-tengah pelataran depan telah dibangun sebuah panggung lui tai, yakni tempat orang mengadu silat yang tingginya kurang lebih dua atau tiga tombak.

Si Harimau Kepala Putih Lim San berdiri di depan pintu menyambut datangnya para tamu. Ia adalah seorang tua tinggi kurus yang rambut dan kumisnya telah putih seluruhnya. Kulit mukanya putih pula, maka pantas ia mendapat sebutan si Harimau Kepala Putih. Jubahnya dari sutera biru dan kelihatan gagah sekali. Lim Seng, kakak Lim siocia, atau putera satu-satunya dari Lim San, ikut pula menyambut tamu. Ia seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah, pantas menjadi putra si Harimau Kepala Putih.

Tuan rumah dan puteranya tersenyum-senyum gembira dan membongkokkan badan memberi hormat kepada mereka yang datang berkunjung. Karena banyaknya kenalan dan tamu, mereka tidak tahu lagi siapakah yang datang dengan undangan dan siapa yang tidak. Pokoknya bagi mereka, asal ada orang masuk, ia tentu tamu mereka.

Kaum cianpwe, yakni golongan jago-jago tua yang terkenal seperti Cin Ouw Bu kauwcu, Bin Lok Ong si Garuda Terbang, Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung, Hwat Lai jagoan dari cabang Siauw lim dan banyak yang lain mendapat tempat duduk terhormat. Mereka ini semua terdiri dari orang-orang tua yang namanya sudah terkenal.

Ketika pesta sedang berjalan meriah, tiba-tiba penjaga pintu melaporkan bahwa ada seorang tamu muda minta tuan rumah keluar menyambut. Orang-orang heran mendengar hal ini, karena setelah tuan rumah sibuk melayani para tamu, maka yang mewakilinya menyambut tamu ini begitu tak tahu dapat minta tuan rumah keluar sendiri menyambut?

Semua orang menengok dengan tak senang, tapi Lim San yang sabar dan peramah segera keluar dengan wajah berseri-seri. Sesampainya di pintu, ia lihat seorang pemuda yang berwajah cakap dengan mata agak kebiru-biruan berdiri dengan sikap sombong di luar pintu. Di pinggangnya tergantung pedang panjamg dan pakainannya berwarna merah berkembang, mewah sekali.

Lim San segera memberi hormat yang dibalas dengan sikap jumawa sekali oleh tamunya. "Selamat datang, selamat datang. Kukira siapa, tidak tahunya Sim hiante yang datang. Dan mana Sim lo enghiong, ayahmu? Mengapa tidak datang?" tanyanya dengan wajah manis.

"Ayah tidak ada waktu untuk datangdan minta aku datang mewakilinya. Bagaimana, Lim lopek banyak baik?" kata tamunya dengan kata-kata yang sebenarnya jauh dari pada pantas dan sopan. Tapi Lim San tetap bersenyum.

"Baik, baik, terima kasih. Mari silahkan masuk, Sim hiante..." Dengan hormat sekali ia pimpin tamunya yang muda itu ketempat yang tertinggi dimana para cianpwe duduk berkumpul. Semua mata menengok kearahnya, yang muda-muda iri dan panas hati, yang tua-tua heran dan ingin sekali tahu.

Bin Lok Ong si garuda Terbang yang duduk dekat Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung, berbisik kepada kawannya ini, "Suheng, tahukah kau siapa pemuda ini? ia adalah putera tunggal dari Sim Boan Lip pangcu yang bernama Sim Tek Hin. Kabarnya ilmu silatnya bahkan melebihi ayahnya, demikianpun kesombongannya dan kekejamannya. Kalau tidak salah, Kang Lam Sianghiap itu sepasang pendekat dari Kanglam telah mati di tangan anak muda ini dalam suatu pertempuran karena memperebutkan seorang bunga raja di kota Kunciauw."

Ang Cit Kwan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hm, kalau ayahnya sudah begitu lihai, tentu ia ini hebat sekali. Dan kalau ia lebih kejam dari ayahnya, waah, akan ramai hari ini. Kulihat ia membawa sikap yang agaknya akan menimbulkan onar"

Sementara itu, Sim Tek Hin duduk diatas sebuah kursi dengan sikap sombong dan melayangkan pandangan matanya kepada para cianpwe itu dengan tak ambil peduli, seakan-akan para jago tua itu hanyalah patung-patung tak berarti baginya. Tiba-tiba kedua matanya berhenti bergerak dan memandang kearah Cin Ouw Hu kauccu dan dari kedua matanya yang agak kebiru-biruan itu keluar cahaya marah. Cin kauwcu pun memandangnya sejenak, tapi segera buang muka untuk bicara dengan kawan duduknya.

Tuan rumah dengan hormat sekali melayani tamu baru ini dan pestapun berjalan lancer dan meriah sekali. Dari sana sini mulai trdengar orang-orang mengucapkan kata-kata selamat kepada tuan rumah yang disambut dengan hormat dan berterima kasih dari fihak tuan rumah.

Setelah arak hangat dan wangi diminum empat atau lima putaran LimSan bangun berdiri dan menjuru keempat penjuru kepada para tamunya.

"Cuwi sekalian yang terhormat. Kami sekeluarga menghaturkan trima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada kami dengan kunjungan cuwi yang berharga ini. Sekarang perkenankanlah saya umumkan sesuatu hal. Sebagaimana cuwi tentu telah mengetahui atau mendengar bahwa say a mempunyai seorang anak perempuan yang bodoh dan buruk. Tapi karena ia anak perempuan satu-satunya, maka adatnya menjadi manja. Banyak lamaran yang datang, tetapi ditolaknya, karena ia hanya mau menjadi istri seorang ahli silat yan kepandaiannya lebih tinggi darinya sendiri, bahkan lebih tinggi dari kakaknya dan ayahnya. Ah, saya orang tua ini sungguh menjadi pusing, tapi apa boleh buat. Kini cuwi sekalian telah berkumpul disini, maka saya memberanikan diri untuk mengundang cuwi yang ada minat untuk memasuki sayembara ini. Barangkali saja anakku yang bodoh dan manja ini akan mendapat jodoh disini, siapa tahu?"

Pidato ini disambut dengan tepukan tangan riuh rendah, lebih-lebih dari golongan pemuda. Mereka sudah gatal gatal tangan hendakikut memasuki sayembara. Penonton penonton di luarpun merasa gembira hingga ikut bertepuk tangan.

"Cuwi sekalian!" tuan rumah menyambung kata-katanya, "Sayembara ini tidak terbatas pada para tamu saja, bahkan orang luarpun berhak ikut serta!" Kali ini para penonton menyambutnya dengan sorakan gemuruh.

"Nah, sekarang sebagai permulaan, untuk membuka sayembara ini, puteraku yang bodoh mohon pengajaran dari cuwi sekalian"

Atas tanda dari ayahnya , Lim Seng meloncat keatas panggung dengan sambutan tepukan riuh. Ia merapikan dan mengencangkan ikat pinggangnya, lalu menggulung lengan bajunya menanti tanding.

"Lim lopek, maafkan siuwte!" terdengar seruan seorang pemuda dan ia melompat keatas lantai. Ternyata ia adalah Oei Sun, putera Oei wangwe di kota itu yan dulu lamarannya ditolak oleh Lim siocia.

"Lim Seng twako, mohon jangan berlaku keras kepadaku," katanya sambil menjuru memberi hormat kepada Lim Seng.

"Oei kongcu, jangan sungkan sungkan, silahkan memberi pengajaran," jawab Lim Seng tersenyum ramah.

"Maaf!" kata-kata ini disertai dengan sebuah pukulan tangan kanan dalam tipu Harimau menerkam kambing.

Lim Seng berlaku waspada. Ia geser kaki kirinya ke belakang hingga kepalan lawan lewat disamping iganya, lalu balas menyerang dengan tipu Burung Kepinis Balikkan Badan. Tapi ini digerakkan dengan membalikkan badan, menggeser kaki kanan ke belakang lalu dengan tiba-tiba berbalik memajukan kaki kanan itu sambil mengayun kepalan tangan kiri keatas, lalu loncat setindak ke depan memukul dengan tangan kanan.

Serangan ini cepat datangnya dan tak terduga. Tapi Oei Sun ternyata gesit juga. Ia cepat menangkis dengan tangan kiri. Celaka baginya ia kalah tenaga hingga ketika lengan kirinya terbentur dengan tangan lawan, ia terhuyung-huyung ke belakang. Sebelum ia sempat memulihkan kedudukannya, Lim Seng sudah memburu maju mengirim tendangan. Biarpun Oei Sun dapat memapaki tendangan ini dengan tangan kanannya, namun tenaga tendangan itu demikian kuat sehingga ia terdorong ke belakanga dan jatuh terjengkang.

Suara tepuk tangan terdengar dan Oei Sun dengan wajah merah karena malu bangun berdiri memberi hormat, lalu melompat turun. Semua orang memuji ketangkasan Lim Seng yang telah berhasil merobohkan lawan dengan hanya dua kali gebrakan saja.

Lawan yang melompat panggung berikutnya adalah Ong Tat, seorang pemuda yang meningkat tinggi namanya karena piauwkioknya (ekspedisi) yang terkenal. Ia seorang pemuda tinggi besar yang terkenal kuat dan ilmu silatnya mengandalkan gwa kang atau tenaga tubuh. Sesampainya diats panggung ia menggerak-gerakan tangannya sampai berbuni berkerotokan dan urat-urat lengan tangannya menggembung keluar.

"Perkenankanlah siauwte ikut main-main" katanya nyengir.

"Silakan," jawab Lim Seng.

Ong Tat segera menyerang dengan tendangan tantui yang dahsyat dan kejam. Lim Seng tak percuma mendapat didikan ayahnya dalam hal kegesitan tubuh. Karena dengan mudah saja ia dapat mengelak dari tendangan yang dilancarkan beruntun lima kali itu. Bahkan ia balas menyerang dengan tak kalah serunya.

Pertempuran kali ini agak seimbang hingga para penonton merasa gembira dan berdebat-debar. Ong Tat kuat dan serangan-serangannya keras, sebaliknya Lim Seng lincah dan gesit sekali. Telah beberapa kali Ong Tat terkena pulkul di bahunya dan pernah sekali pahanya tertendang, tapi semua itu tak menjerihkannya, bahkan ia makin buas dan mengamuk seperti kerbau gila.

Suatu saat ia menyerang denga kedua tangan dalam tipu Garuda Menyambar Kelinci. Serangan ini keras dan cepat dan hampir saja pundak Lim Seng menjadi korban. Baiknya pemuda ini gesit sekali, ia masih sempat membungkuk, lalu dari bawah kedua lengan lawan, ia mengirim pukulan yang tepat mengenai dada lawan.

Terdengar suara membuka dan tubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, lalu tak tertahan lagi ia terjengkang keluar panggung! Sekali lagi orang bersorak atas kemenangan fihak tuan rumah.

Berturut-turut Lim Seng menjatuhkan dua lawan lagi dan ketika lawan kelima naik ke panggung, tiba -tiba sebuah bayangan yang gesit dan ringan sekali melompat ke atas panggung. Ketika semua orang melihat dengan tegas, mereka bersorak riuh.

Ternyata yang melompat naik itu adalah seorang gadis berusia paling banyak delapan belas tahun, berwajah cantik jelita dengan kedua pipi kemerah-merahan dan bibirnya yang mungil tersenyum manis. Pakaiannya berwarna hijau dan ringkas sekali, rambutnya yang hitam gobyok dan panjang diikat keatas dengan tali sutera merah. Ia adalah Lim Giok Lan siocia sendiri yang menggantikan kakaknya.

"Twako turunlah mengaso, biar siauwmoi yang menggantikanmu!" kakaknya tersenyum dan melompat turun.

Lawan yang telah naik ke panggung tadi adalah pemuda hitam dengan cambang menyeramkan. Dengan lagak dibuat-buat ia menjuru sambil berbicara dengan mata melirik-lirik.

"Terima kasih bahwa siocia sudi bermain-main sebentar dengan aku..."

Lim siocia tidak menjawab, hanya langsung mengirim serangan dengan tipu Naga Sakti Keluar Goa. Pemuda hitam itu terkejut melihat cepatnya gerakan tangan gadis itu dan segera berkelit ke samping menghindarkan dadanya dari pukulan. Ia tidak berani sembarangan menerima pukulan itu karena sungguhpun kulit tangan itu halus bagaikan sutera, namun pukulannya membawa angina dingin menandakan besarnya tenaga dalam!

Namun gadis itu tidak memberi kesempatan padanya untuk main-main, karena setelah pukulannya gagal, kakinya segera melayang mengarah ulu hati lawan. Pemuda itu menjadi sibuk juga melayani kegesitan Lim siocia. Ia tidak diberi waktu sedikit juag untuk balas menyerang. Akhirnya ia tidak tahan dan kaki Lim siocia yang mungil mampir di pundaknya hingga ia terjengkang keluar dari panggung disambut sorakan riuh rendah dari para penonton.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu diatas panggung tampak laki-laki kira-kira berusia empat puluh tahun. Gerakannya melompat keatas panggung begitu cepat hingga tak terlihat orang. Lim Seng melihat orang ini menjadi terkejut dan Lim San loenghiong juga segera memberi tanda kepada puteranya untuk naik keatas panggung. Lim Seng segera melompat kesamping adiknya dan berkata,

"Moi-moi, lekas turun, biarkan aku menyambut tuan ini..." Adiknya menurut lalu turun.

"Ha ha ha, Lim Seng! Kenapa engkau begitu tidak tahu adapt? Seharusnya kau biarkan adikmu itu main-main sebentar dengan aku!" kata orang itu.

"Maaf, Hek Sam twako. Siauwte harap twako tidak berolok-olok dengan kami. Dengan maksud apakah twako naik ke sini? Maafkan jika kami lupa mengundang twako dan silakan turun minum arak wangi"

"Eeh, eh siapa sudi arak dinginmu? Aku datang bukan untuk mengemis arak. Bukankah ini sayembara terbuka dan siapa saja boleh ikut?"

"Oh! itukah maksudmu? Baiklah, silakan memberi pelajaran padaku!" tantang Lim Seng yang panas juga mendengar kesombongan orang.

"Baiklah, nah sambutlah!"

Hek Sam jagoan sungai telaga yang terkenal mata keranjang itu segera mulai menyerang. Pukulannya berat dan berisi tenaga dalam yang kuat. Namun Lim Seng perlihatkan kegesitannya dan dapat melayaninya dengan baik. Tapi setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, Lim Seng merasa bahwa kepandaiannya masih kalah jauh. Ia mulai sibuk dan terdesak.

Pada suatu saat Hek Sam melancarkan serangan dengan tipu Kerbau Gila Menanduk Pohon, dengan membungkukkan tubuh ia menyerang dada Lim Seng secepat kilat. Lim Seng yang sudah mulai lelah berkelit ke samping, tapi Hek Sam merubah pukulannya dan siku-siku kanannya memukul dari samping yang telah menghantam iga Lim Seng. Pemuda itu terpental beberapa kaki dan roboh pingsan.

"Bangsat kejam" terdengar teriakan halus dan Giok Lan sudah melompat keatas panggung.

Setelah ayahnya yang ikut meloncat juga menolong Lim Seng turun panggung, Giok Lan segera menyerang dengan marah. Hek Sam tertawa sombong dan melayani Giok Lan sambil tersenyum -senyum menggoda. Karena ternyata bahwa lawannya tidak balas menyerang, bahkan sengaja membiarkan lengan mereka beradu sambil tersenyum menjemukan, Giok Lan menjadi makin marah dan menyerang dengan lebih hebat! Keadaaan menjadi tegang dan para penonton melihat pertempuran itu dengan hati berdebar-debar.

Lim San melihat jalannya pertempuran dengan kwawatir sekali. Ia maklum bahwa puterinya, walaupun kepandaiannya lebih baik daripada Lim Seng, namun masih belum dapat menandingi Hek Sam. Segera ia buka baju luarnya dan menggenjot tubuhnya naik keatas panggung.

"Giok Lan, mundurlah. Biarkan aku orang tua menerima kehormatan yang diberikan oleh Hek Sam twako!"

Mendengar kata-kata ayahnya, Giok Lan lompat mundur, tapi karena itu Hek Sam telah mengulur tangannya, maka tak dapat dihindarkan lagi tangan Hek Sam yang kasar berkeringat itu dapat menjamah pipi kirinya. Giok Lan menjadi marah dan malu, hampir saja ia menangis.

Kini Lim San sendiri yang menghadapi Hek Sam. "Hek lauwte, pandanglah mukaku yang tua ini dan sudahi sajalah pertempuran ini. maafkan jika kami ada kesalahan terhadapmu"

Hek Sam tersenyum dan menjuru. "Lim lopek, mengapa begitu? Apa salahnya kalau siauwte juga ikut memasuki sayembara ini? tidak pantaskah aku menjadi mantumu?" kata-kata ini ditutup dengan suara ketawa keras. Lim San menjadi marah dan ia mulai menyesal mengapa ia mengadakan sayembara gila ini.

"Baiklah, nah, mari kita menguji ilmu," katanya tak banyak cakap lagi.

Pertempuran ini benar-benar ramai. Lim San yang sudah tua memang kalah tenaga, namun ia banyak pengalaman dalam hal perkelahian dan tenaga dalamnya menang setingkat. Harimau Kepala Puti ini terkenal dengan kemahiran dalam hal ilmu menotok jalan darah warisan dari Cin san pai. Namun Hek Sam berbadan kuat dan ia telah mempelajari ilmu kekebalan badan, hingga jika bukan di bagian yang sangat berbahaya, ia tidak takut akan totokan tiam hoat lawannya.

Mereka bertarung sengit sekali sampai tujuh puluh jurus lebih, tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Lim San mendapat kesempatan dan ia tidak lewatkan ketika bagus itu segera ulur jarinya menotok kearah jalan darah kiok ti hiat lawan. Hek Sam maklum akan bahaya totokan di bagian iga dan segera mebuang diri ke belakang, tapi celaka baginya, kaki kiri Lim San terayun maju menendang sambungan lututnya.

Tidak ampun lagi ia jatuh terguling dan tidak dapat bangun lagi, karena sambungan lututnya putus. Dari tengah-tengah penonton yang bersorak riuh rendah itu tiba-tiba melompat seorang kate keatas panggung dan segera memondong Hek Sam turun. Kemudian orang pendek itu loncat lagi keatas menghadapi Lim San dengan senyum di bibirnya yang tebal.

"Lim loenghiong sungguh gagah. Tak percuma julukan Pek thou houw yangtelah lama kudengar! Suteku yang bodoh telah menerima pengajaranmu, maka janganlah membikin aku penasaran dan tidak dapat bagian!"

Lim San tahu bahwa yang berdiri dihadapannya merupakan orang pendek yang nampaknya lemah ini bukan lain adalah Lui Thung si Setan Bumi yang menjadi suheng dari Hek Sam. Lui Thung terkenal dengan permainan senjata rantai baja yang membuatnya menjagoi diantara bajak air.

"Maaf, Lui enghiong. Sebetulnya ingin sekali aku tahu dengan maksud apakah k au naik ke panggung ini?"

"Ha ha ha, Lim loenghiong!" jawabnya dengan suara ketawa seperti bebek. "Apalagi kalau bukannya melamar puterimu? Aku biarpun sudah empat puluh tahun lebih namun masih hujang!"

"Hm, baiklah, silakan maju!"

"Nanti dulu, aku dengar bahwa kau terkenal dengan senjatamu Kim to (Golok Emas). Bolehkah aku mencobanya?"

"Lui enghiong! Pertempuran ini bersifat persahabatan, bukan maksudku mendirikan panggung ini untuk mengadu jiwa. Perlu apa kita harus bertempur menggunakan senjata tajam?" tegur Lim San.

"Eh, eh! Kau takut melihat darah ? atau takut kepada rantaiku yang karatan ini?" tantang Lui Thung sambil meloloskan rantainya dari pinggang.

"Takut? Tidak sekali-kali. Baiklah kalau kau memaksa, tapi jangan menyesal kalau goloku tak bermata"

Pada saat itu Lim Seng sejak tadi memperhatikan pembicaraan mereka, meloncat keatas membawa golok ayahnya. Golok itu bergagang emas dan merupakan golok kesayangan Lim San. Entah sudah berapa puluh lawan terpaksa harus mengakui keunggulan golok itu.

"Nah, silakan" berkata Lim San sambil memasang kuda-kuda dengan mengangkat kaki kanan sebatas lutut kiri, tangan kiri menunjuk keatas dengan jari telunjuk dan jari tengah lurus, tangan kanan memegang golok yang diputar di belakang sembunyi di punggung lengannya.

Lui Thung tertawa menghina, maju selangkah dan mengayun rantainya. Rantai itu bagaikan ular hidup meluncur kearah leher Lim San yang segera mengangkat goloknya menyabet untuk memutuskan rantai. Tapi Lui Thung membetot kembali rantainya dan mengayun senjata itu secara memutar kearah pinggang lawan. Kembali Lim San menangkis, kali ini dengan pinggir golok. Dua senjata beradu dengan berbunyi nyaring dan mengeluarkan api. Ternyata tenaga mereka seimbang. Lim San bakas menyerang dan mereka segera serang mnyerang dengan sengit mengarah jiwa lawan.

Tiga puluh jurus lebih telah lewat namun masih belum dapt dipastikan seiapa diantara mereka yang lebih unggul. Tiba-tiba dari tempat duduk para jago taua tampak seorang berdiri dari kursinya sambil tertawa nyaring. Suara ketawanya bagaikan sura ketawa wanita dan dengan sekali mengenjot tubuhnya, orang itu melewati kepala semua tamu, langsung loncat keatas panggung!

Gerakan ini sungguh indah dan hebat, hingga mau tak mau para penonton yang melihatnya mengeluarkan seruan tertahan karena kagum. Orang ini ternyata adalah pemuda sombong dan yang diberi tempat duduk diantara para cianpwe tadi. Sim Tek Hin, pemuda itu, mengeluarkan sapu tangannya yang panjang dan ketika rantai Lui Thung menyambar, ia kebut rantai itu dengan saputangannya hingga terlilit sambil berkata,

"Lim lopek, mundurlah, biar aku mewakilimu"

Melihat rantai lawan ditahan oleh saputangan pemuda itu, Lim San menarik kembali goloknya yang hendak dibacokkan, lalu mundur.

"Kenapa engkau ikut campur, Sim hiante? Biar aku menerima pengajaran tuan Lui ini," ia mencela.

"Ah, lopek sudah tua, tidak pantas melayani pertempuran dengan segala orang kasar. Biar aku yang bereskan dia!" bantah Sim Tek Hin.

Terpaksa Lim San meloncat turun dan melihat dari bawah panggung.

"Nah, Lui Thung, majulah kalau engkau berani!" tantang pemuda itu.

Lui Thung tadinya merasa marah sekali melihat ada orang menghalang-halanginya, tapi ketika ia melihat orang yang menantangnya ini, tiba-tiba ia menjadi pucat.

"Sim kongcu, benar-benarkah kongcu hendak membela tuan rumah?" tanyanya merendah.

"Bodoh, siapa membela siapa? Ketahuilah, kau tidak pantas menjadi suami Lim siocia, tahu?" bentaknya.

Tiba-tiba Lui Thung tertawa, kemudian tersenyum sambil mengejap-ngejapkan matanya serta mulutnya mengoceh.

"Siauwte tahu, siauwte maklum. Nah, semoga kongcu berhasil!" kemudian ia menjuru sekali, lalu meloncat turun dari panggung, lenyap diantara gerombolan penonton.

Semua tamu dan penonton heran melihat Lui Thung yang kosen itu ternyata takut melawan pemuda itu. Siapakah ia? Masih muda dan cakap, tapi sudah begitu besar pengaruhnya? Demikian bisikan-bisikan diantara penonton.

Sim Tek Hin dengan lagak jumawa sekali mengangkat tangan memberi hormat keempat penjuru, seakan-akan lakunya seorang jagoan tanpa tanding.

"Saudara-saudara sekalian. Perkenalkanlah aku adalah Siauw san coa Sim Tek Hin si Ular Gunung, ayahku adalah Sim pangcu dari San coa pai. Hari ini Lim loenghong mengadakan sayembara untuk memilih mantu. Maka aku mewakilinya untuk menyambut setiap orang yang hendak mengikuti sayembara ini. maka hayo majulah siapa yang ada kepandaian!"

Nama Sim pangcu dari San coa pai sangat terkenal dan ditakuti orang. Jarang orang yang tidak pernah dengar nama ini dan mereka tahu betapa lihainya keluarga Sim ini. maka beberapa orang yang tadinya ada hasrat hendak mencoba ikut dalam sayembara itu, dengan sendirinya mundur teratur karena segan dan takut.

Tapi, diantara mereka yang takut, terdapat seorang pemuda she Thio yang sangat rindu untuk dapat memiliki Lim siocia. Ia adalah seorang siucai (sastrawan) yang mendapat pelajaran silat dari pamannya. Jauh-jauh dari kota Patciu yang letaknya ratusan li dari situ, ia datang untuk ikut sayembara itu.

Maka ketika ia lihat Sim Tek Hin mewakili tuan rumah, walaupun ia sudah mendengar juga tentang kelihaian Sim kongcu ini, namun ia loncat juga naik ke panggung. Sim Tek Hin menyambutnya dengan senyum sindir.

"Ha, ternyata masih ada juga orang gagah diantara kalian," tegurnya.

Thio Bun, pemuda yang baru naik itu, menjura kepada penonton, lalu kepada Sim Tek Hin. Sim enghiong, jangan tertawakan aku yang bodoh ini ingin mencoba-coba pengertaianku yang masih rencah"

"Majulah sobat," Sim Tek Hin mengejek.

Mereka lalu bergebrak dengan seru. Ternyata Thio Bun memiliki kepandaian yang lumayan juga. Gerakan-gerakannya jelas ternyata bahwa ia mewarisi ilmu silat Kun lun pai. Kalau hanya mendapat lawan Lim Seng saja, tentu akan ramai sekali pertempuran mereka. Tapi kali ini ia berhadapan dengan Sim Tek Hin yang mewarisi kepandaian tinggi dan lihai, ditambah pula adatnya yang keras dan kejam.

Serangan-serangan pemuda she Sim itu selalu ditujukan kearah tempat berbahaya, merupakan serangan maut, maka Thi Bun menjadi sibuk dan terdesak sekali. Ketika Thio Bun menyerang dengan tendangan kaki kanan, tiba-tiba sambil berkelit Sim Tek Hin bergerak cepat kearah kiri lawan dan memukul dada kiri. Thio Bun turunkan kaki dan jongkok untuk berkelit, tapi ia kalah cepat, pundaknya terpukul keras hingga ia terhuyung-huyung lalu jatuh tersungkur. Sim Tek Hin dengan tertawa memburu sambil berkata,

"Pergilah kamu" kaki kanannya diayunkan untuk menendang tubuh orang kebawah panggung. Tendangan ini sebenarnya tendangan mematikan, karena yang diarah lambung orang!

Tapi ketika ujung sepatunya telah dekat dengan lambung Thio Bun, tiba-tiba ia tarik kembali kakinya dan giginya menggit bibir menahan sakit. Tanpa terliaht oleh orang lain, sebutir batu kecil telah disambitkan orang kearah akakinya, hingga sepatunya berlubang dan kakinya terluka sedikit. Sambitan ini menolong jiwa Thio Bun yang sudah sadar kembali dan segera loncat ke bawah dengan perasaan malu dan putus harapan.

Sim Tek Hin penasaran. Siapakah yang begitu kurang ajar berani menyambit kakinya! Ia sangka pasti seorang diantara cianpwe itu, karena siapa lagi yang mempunyai kepandaian tinggi? Maka ia segera menantang lagi, kini kearah para tamu dan pandangan matanya khusus ditujukan ke tempat duduk para jagi tua.

"Saudara-saudara. Siapa lagi yang ingin coba-coba? Majulah! Apakah diantara para tamu yang terhormat ini tidak ada yang ingin memperlihatkan kepunsuan? Hayo maju, kita ramaikan pesta ini dan menambah pengajaran!"

Tapi tak seorangpun menyambut, karena mereka segan melawan kongcu yang lihai dan berpengaruh ini. Sim Tek Hin kurang puas, lalu berkata pula, dibarengi gaya yang jumawa.

"Eh, eh! Kalau begini, siapakah yang pantas menjadi suami Lim siocia?"

Kembali tidak ada yang menyambut, hanya Lim San memandangnya dengan kwawatir dan marah. Hendak berbuat apa anak setan itu? Pikirnya. Sin Tek Hin lalu tujukan pandangan matanya kearah Cin Ouw Bu kauwsu dan ia berkata lagi.

"Kalau sudah tidak ada yang berani maju, bagaimana kalau kita minta para locianpwe yang berada disini memberi pengajaran barang sejurus? Hei, saudra-saudara yang menonton, setujukah kalau saya minta seorang jago tua untuk meperlihatkan keahliannya di atas panggung ini?"

Tentu saja semua penonton berteriak, "Setuju-setuju!"

Sim Tek Hin kembali memandang kearah Cin Ouw Bu. "Nah, para locianpwe mendengar sendiri. Masakan para locianpwe hendak berlaku begitu pelit untuk memperlihatkan sedikit kepandaian? Siauwte mohon kepada Cin Ouw Bu kauwcu, sukalah meramaikan pesta ini dan memberi sedikit pelajaran kepadaku. Kecuali kalau Cin loenghiong merasa takut kalau mndapat luka, biarlah lain loenghiong saja yang maju"

Sindiran ini hebat sekali. Cin Ouw Bu maklum bahwa anak muda itu ingin mencari perkara saja, karena diantara ia dan ayah pemuda itu, yakni Sim pangcu memang ada sedikit permusuhan. Ia segera berdiri dan setelah menjuru kepada tuan rumah, ia meloncat dengan tenang keatas panggung. Kehadirannya disambut tepukan tangan riuh rendah dari penonton.

Para tamu yang merasa akan sindiran pemuda itu, merasa berdebar, karena mereka maklum bahwa 'main-main' ini akan berbahaya sekali. Lebih lebih Lim San sebagai tuan rumah merasa kuatir dan cemas.

"Sim kongcu kau begini muda tadi sungguh gagah dan berani. Biarlah aku mencoba tulangku yang tua ini"

"Siauwte bersedia menerima pengajaran," jawab Sim Tek Hin menyindir.

"Mulailah," tantang Cin Ouw Bu.

"Tidak, kau yang lebih tua menyeranglah dulu" Jawab Tek Hin.

"Baik jagalah!"

Cin Ouw Bu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyerang dengan menggunakan pukulan-pukulan dari ilmu silat Pat kwa ciang. Sim Tek Hin menangkis dan balas menyerang dengan ilmu silat keluarganya, yakni ilmu silat San coa cianghoat. Mereka berputar-putar dengan cepat hingga kedua-duanya merupakan dua bayangan yang berkelebat kesana sini dan sukar dilihat dengan tegas. Seratus jurus telah lewat, tapi keadaan mereka masih berimbang. Tiba-tiba Sim Tek Hin berseru,

"Tahan!" lalu keduanya meloncat mundur.

"Apa kehendakmu?" Tanya Cin Ouw Bu penasaran, karena sampai demikian jauh ia yang sudah kawakan belum juga dapat menjatuhkan seorang pemuda yang masih hijau.

"Ilmu silat loenghiong hebat sekali. Tapi aku belum kalah. Bagaimana kalau kita coba -coba ilmu mainkan senjata?" Tanya Tek Hin.

"Boleh, boleh!" jawab orang tua itu dan segera ia meloncat kearah tempat duduknya dan minta pinjam sebatang toya dari tuan rumah.

"Saudara Cin, perlu apakah pertempuran ini dilanjutkan?" tegur Lim San. "Tak usah kau layani pemuda sombong itu"

Cin Ouw Bu menghela napas. "Ayah ular anaknyapun ular. Ayahnya dulu pernah kuhalang -halangi ketika hendak merampok seorang gadis kampong, dan hal ini rupanya menjadikan dendamnya hingga puteranya tahu akan permusuhan ayahnya dengan aku. Biarlah, sudah terlanjur, kalau aku mundur, maka akan hancurlah namaku karena mulutnya yang jahil itu," kemudian sambil membawa toya ia loncat pula keatas panggu ng dimana Sim Tek Hin telah berdiri menanti sambil memegang pedang.

Cin Ouw Bu adalah seorang ahli main toya, ilmu toyanya disegani semua ahli di kalangan kang ouw dan dikenal sebagai ilmu toya Gin liong pang hwat atau Ilmu Toya Naga Perak. Di lain pihak Sim Tek Hin mewarisi ilmu pedang ayahnya, ialah ilmu pedang tunggal San coa kiamhwat yang ganas gerakan-gerakannya.

Maka ketika mereka mulai bertempur, merupakan pemandangan hebat luar biasa membuat mata semua penontong berkunang-kunang. Pukulan-pukulan dan tusukan-tusukan dilakukan dengan gerakan-gerakan mematikan! Lengah sedikit saja maka akan putuslah nyawa lawan. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar hebat permainan pedangnya, karena selain mendapat warisan ilmu pedang ayahnya, ia pernah pula dididik oleh Cun Kong Hwesio mempelajari ilmu pedang Go bi yang lihai.

Setelah bertempur puluhan jurus, Cin Ouw Bu yang lebih tua mulai lemah dan terdesak. Ia kalah ulet dan kalah tenaga. Pada suatu saat ketika ia membabat dengan toyanya dari atas ke bawah kearah kepala lawan dengan tipu gunung Thaisan Menghantam Menara, Sim Tek Hin menyambut toya itu dengan pedangnya, kedua senjata itu menempel bagaikan besi dengan besi sembrani. Masing-masing mengerahkan tenaga dan lama kelamaan Cin Ouw Bu kalah tenaga hingga pedang lawan mendekati kepalanya.

Tiba-tiba Sim Tek Hin menarik kembali pedangnya sambil berkelit kesamping menghindari ayunan toya, berbareng ulurkan kepalan kiri kearah dada lawannya! Serangan ini tak dapat dihindarkan lagi dan dada kanan Cin Ouw Bu kauwsu kena erpukul hingga ia terlempar dan jatuh sambil memuntahkan darah segar.

Bin Lok Ong si Garuda Terbang dan Lim San buru-buru loncat keatas panggung untuk menolong orang tua itu dan membawanya turun panggung. Si Garuda Terbang sangat penasaran sekali dan ingin kembali keatas panggung, tapi dicekal oleh Lim San yang mendahuluinya loncat menghadapi Sim Tek Hin.

"Sim hiante, kenapa kau berlaku kejam? Sudahlah habiskan saja pertempuran-pertempuran ini. kau membikin aku malu."

"Lim lopek, apakah ini berarti bahwa siauwte dianggap pemenang dalam sayembara ini?" Tanya Sim Tek Hin dengan berani sambil tersenyum tapi kedua matanya yang kebiru-biruan bercahaya kejam.

Lim San terkejut. Hm, inikah maksudnya, pikirnya. "Sim hiante, bukankah kau hanya mewakili aku?"

"Tentu saja, karena kau calon mertuaku, harus kujaga jangan sampai celaka di tangan orang. Sekarang, ternyata tiada orang yang dapat menjatuhkan aku dalam sayembara ini dan berarti akulah yang memenuhi syarat"

"Hal ini tidak semudah yang kau kira. Hianate," kata Lim San menahan marah. "Harus kutanya dulu orang yang hendak menjalani..."

Tiba-tiba Lim Giok Lan siocia loncat naik ke atas panggung sambil bertolak pinggang menghadapi Sim Tek Hin. "Siapa sudi menjadi istri seorang kejam seperti orang ini? Ayah, aku tidak sudi!"

"Turun kau!" bentak ayahnya, dan Lim siocia meloncat turun dengan marah.

"Bagus, Lim lopek. Apakah dengan caramu ini kau tidak takut disebut orang tua yang tidak memegang janji? Sayembara ini kau adakan untuk memilih mantu, yaitu siapa yang berkepandaian paling tinggi akan dipilih. Nah, sekarang siapakah berani melawan aku dalam sayembara ini?"

"Aku berani!" terdengar bentakan keras dan Bin Lok Ong si Garuda Terbang melayang ke atas panggung.

"Hm, hm!" kau orang tua juga ingin memasuki sayembara? Ingin dipungut mantu oleh Lim lopek" Mengejek Sim Tek Hin.

"Tutup mulutnmu yang kotor! Siapa ingin memasuki sayembara? Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu ingin kulihat apakah kepandaianmu itu lebih jahat daripada mulutmu!" jawab si Garuda Terbang.

"Kau jangan membikin aku takut! Aku tidak ada waktu melayani kau! Nanti saja atau lain kali. Sekarang adalah pertandingan sayembara, siapa saja yang ingin merebut Lim siocia, dia boleh naik untuk menjatuhkan aku"

"Bangsat kecil!" memaki Bin Lok Ong, tapi ia segera dicegah oleh Lim San. Akhirnya setelah dibujuk -bujuk mau juga ia turun dari panggung setelah berkata kepada Sim Tek Hin. "Setan kecil, baiklah lain kali aku mengajar adat padamu..."

Lim San berkata kepada Sim Tek Hin, "Sim hiante, kalau kau memaksa, maka apa boleh buat, tapi ingat, kau belum memenuhi syarat..."

"Apa lagi syaratnya?"

"Kau belum menjatuhkan aku..."

"O, begitu? Nah, bersiaplah, tapi jangan menyesal. Aku tidak suka kalau kelak mertuaku benci padaku karena pernah kujatuhkan..."

"Majulah!" Lim San yang mulai marah menantang.

Sebelum mereka bertempur, tiba-tiba terdengar suara nyaring. "Tahan dulu" dan begitu suara itu lenyap, sudah tampak orangnya di atas panggung. Penonton yang tadinya diam karena tegang melihat perselisihan itu, kini berisik pula, karena suasana tambah ramai.

Orang yang baru datang itu ternyata seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Pakaiannya seperti pelajar tapi baju dan celanannya yang warna kuning itu sudah lapuk dan ada tambalan disana sini. Ikat pinggangnya dari sutera merah, panjang berkibar-kibar dan sepatunya warna hitam, sudah tua pula. Ikat kepalanya juga berwarna kuning.

Tubuhnya kurus tapi padat, gerakannya lemah lembut bagai seorang pelajar, wajahnya cakap dan kurus. Hanya kedua matanya yang seperti bintang pagi itulah yang menyatakan bahwa ia memiliki tanaga iweekang yang dalam. Ketika kakinya tiba di atas papan panggung, sedikitpun tak mengeluarkan suara, tapi Sim Tek Hind an Lim San merasa betapa papan itu tergetar. Pemuda i ni menjura kepada Lim San dengan sikap hormat sekali sambil berkata,

"Maafkan siauwte, loenghiong, jika siauwte mengganggu dan ikut campur dalam perkara ini. siauwte tidak ingin ikut memasuki sayembara, siauwte hanya ingin mewakili loenghiong menghadapi sobat baik ini. bolehkah?"


cerita silat online karya kho ping hoo


Sebelum Lim San dapat menjawab, Sim Tek Hin mendahului berkata kasar, "He, tidak tahu aturan sekali kau! Kalau kau hendak memasuki sayembara, aku bersedia,. Tapi kau ingin mewakili Lim lopek, aku tidak mau terima!"


"Sabar dulu, sobat. Tidak ingatkah kau bahwa berdirimu disini inipun tadinya karena mewakili Lim loenghiong ? kalau kau boleh menjadi wakil, mengapa aku tidak ? tadi kau mewakili, tapi kini menjadi musuh, maka akulah yang menggantikanmu menjadi wakil, karena tidak pantas turan rumah harus turun tangan sendiri mengusir anjing!"

Kemudian pemuda itu menghadapi semua penonton dan berkata lantang. "Bagaimana saudara-saudara, bolehkah aku mewakili Lim loenghiong untuk bermain-main sebentar dengan tuan ini?"

Serentak terdengar jawaban "Boleh! Boleh!"

Pemuda ini tersenyum dan menjuru kembali kepada Lim San. "Nah, loenghiong, silakan turun dan melihat dari bawah saja. Kalau siauwte kalah dalam pertempuran ini barulah loenghiong yang maju..." Terpaksa Lim San menyatakan terima kasihnya dan loncat turun.

"Pengemis hina" Sim Tek Hin memaki. "Beritahukan namamu, aku tidak biasa memukul orang tak bernama?"

Masih saja pemuda itu tersenyum, "Namaku? Namaku Bu Beng (Tiada Nama)"

"Apa ? jangan main-main! Kau tak bernama?"

Pemuda itu mengangguk, "Memang aku tak bernama. Tapi kalau kau paksa padaku agar aku bernama, maka namaku ialah Tak Bernama, sebut saja aku Bu Beng, habis perkara"

"Bu Beng Siauwcut (bangsat rendah tak bernama)! Biarlah kau mampus tanpa nama! Mari, majulah dan siapkan senjatamu!" Sim Tek Hin mencabut pedangnya dan menanti lawannya mengambil senjata. Tapi pemuda tak bernama itu hanya berdiri tersenyum.

"Mana senjatamu? Hayo keluarkan!" bentak Sim Tek Hin ganas.

"Inilah senjataku," katanya sambil perlihatkan kedua kepalan. "Dan ini!" berganti-ganti ia lonjorkan kakinya ke depan.

Semua penonton merasa lucu melihat gerakan pemuda itu hingga tak dapat menahan ketawa. Hanya para jago tua di ruangan itu merasa kwawatir melihat tingkah pemuda itu. Mereka anggap pemuda itu terlampau sembrono untuk menghadapi Sim Tek Hin dengan pedangnya yang lihai hanya dengan tangan kosong.

Sim Tek Hin merasa dihina dan menjadi marah sekali. "Kau sudah bosan hidup!" teriaknya dan tiba-tiba pedangnya menusuk kearah tenggorokan lawan.

Bu Beng dengan masih tersenyum tundukkan kepala sinar pedang meluncur hanya setengah dim diatas kepalanya. Kedua kakinya sedikitpun tidak digeser dan masih berdiri tegak. Bagi yang tidak mengerti ilmu silat menganggap gerakan ini tidak seperti gerakan orang bersilat dan nampak lucu dan canggung, tapi Bin Lok Ong si Garuda Terbang diam-diam terkejut karena samara-samar ia dapat menerka bahwa pemuda yang kelihatan lemah itu gerakannya lemas dan gesit sekali. Hampir menyerupai gerakan ilmu silat Kiu sian ciang hwat atau ilmu silat sembilan dewa.

Sim Tek Hin merasa penasaran, lalu mengayunkan pedangnya kearah pinggang lawan, tapi Bu Beng dengan terhuyung-huyung melangkah kesamping, hingga pedang itu mengenai tempat kosong.

"Meleset lagi, sayang" mulut pemuda yang selalu tersenyum itu mengejek. Berkali-kali Sim Tek Hin menyerang menusuk, menyabet, membacok, tapi berkali-kali Bu Beng berkelit seenaknya saja menghindari serangan pedang sambil berkali-kali mengejek,

"Tidak kena, sayang!? Dan... Meleset, kawan..."

Lebih dari dua puluh jurus Sim Tek Hin menyerang, tapi selalu tak berhasil. Penonton riuh rendah bersorak karena kagum melihat betapa pemuda itu meloncat, mendekam, terhuyung-huyung ke belakang, ke samping, bagaikan orang mabuk, tapi selalu tepat menghindari jalannya pedang.

Pemuda she Sim itu dengan menggigit bibir karena gemas segera memutar pedangnya dan menggunakan ilmu-ilmu berbahaya dari ilmu pedang San coa kiamhoat. Pedangnya merupakan gulungan sinar putih mengurung tubuh lawan, Bu Beng pun percepat gerakannya hingga bagaikan kupu-kupu terbang diantara sinar pedang.

Lambat laun Sim Tek Hin mengucurkan keringat dingin dari jidatnya dan bulu tengkuknya seakan akan berdiri! Ia merasa seram dan cemas. Belum pernah selama hidupnya ia berjumpa dengan orang yang ilmu silatnya seperti ini! Bahkan gurunya sendiri tak mungkin dengan menghindari serangan-serangannya dengan hanya berkelit saja sampai puluhan jurus! Ia percepat gerakan pedangnya tapi lawannya berputar lebih cepat lagi. Tiba-tiba Sim Tek Hin kehilangan musuhnya. Selagi ia kebingungan, ia merasa punggungnya disentuh orang dan ada suara berkata,

"Aku disini, hayo serang lagi jangan melamun!" ia kertak gigi dan mengayun pedangnya ke belakang. Tapi lawannya sudah tak nampak lagi! Tahu-tahu telinga kirinya dijiwir orang. Demikianlah Bu Beng mempermainkannya hingga ia menjadi gemas, malu dan pusing. Pandangan matanya kabur.

"Sudah cukupkah, kawan? Maka menjadi orang janganlah sombong, kaukira di dunia ini hanya kau sendiri yang terpandai? Sebenarnya orang macam kau ini harus dilenyapkan dari muka bumi, tapi mengingat usiamu yang masih sangat muda, biarlah kali ini kuampunkan kau! Tapi kau perlu diberi hajaran sedikit untuk kau ingat!" kata-kata ini diucapkan diantara kilatan dan loncatan menghindari serangan pedang.

Tiba-tiba Bu Beng memasang dadanya dan tidak berkelit ketika Sim Tek Hin menusuk dadanya. Sim Tek Hin menjadi girang sekali dan kerahkan seluruh tenganya, maksudnya hendak menusuk tembus dada lawan yang dibenci ini. tapi tiba-tiba Bu Beng miringkan tubuh dan tangan kirinya bergerak cepat. Dengan tiga jari tangan ia menjepit pedang dan tangan kanannya bergerak kearah pundak kanan Sim Tek Hin. Terdengar suara "krek" dan pemuda she Sim itu tersungkur. Tulang pundaknya patah dan pedangnyapun patah menjadi dua. Suara tadi ternyata adalah suara patahnya tulang dan pedang dengan berbareng.

Orang-orang bersorak riuh. Si Garuda Terbang berdiri terheran-heran sambil mulutnya mengeluarkan kata-kata, "Hebat! Ajaib!"

Lim San meloncat ke atas panggung dan menyatakan terima kasihnya. Ia memerintahkan anaknya Lim Seng, untuk menolong Sim Tek Hin. Kemudian kembali ia menjuru kepada Bu Beng menyatakan terima kasihnya. Bu Beng balas menjuru dan berkata,

"Loenghiong, tak perlu kiranya segala upacara ini. siauwte hanya ingin menghabiskan pertempuran tak berarti ini. menurut pandangan siauwte yang sempit, mantu yang loenghiong cari-cari itu sudah ada, ialah tak lain saudara Thio Bun yang tadi dijatuhkan oleh orang she Sim itu. Siauwte telah merawatnya dan kini ia berada dihotel Peng An. Ilmu silatnya tinggi dan ia seorang terpelajar, sopan santun dan berbudi. Maka, jika kiranya tidak ada keberatan dari pihak loenghiong siauwte pujikan saudara Thio Bun itu untuk dijodohkan kepada Lim siocia. Namun selanjutnya terserah, siauwte tak dapat lama di sini. Perkenankan siauwte mengundurkan diri..."

"Tunggu dulu, anak muda. Sebenarnya siapakah namamu?" Tanya Lim San.

"Siauwte tak bernama. Ini bukan kata-kata bohong, benar-benar siuawte tak bernama, maka orang hanya menyebut siauwte Bu Beng Kiam hiap..."

Lim San terheran-heran dan ketika itu digunakan oleh Bu Beng untuk meloncat melewati kepala para penonton dan lenyap dari pandangan Lim San. Orang tua itu hanya mengeleng-gelengkan kepala dan menghela napas. Para locianpwe yang memburu ke situ ketika diceritakan oleh Lim San , semua menyatakan keherannan mereka dan menyayangkan mengapa anak muda luar biasa itu tidak dapat menjumpai mereka untuk bicara.

"Sepanjang penglihatanku hanya Kim Kong Tianglo saja yang setinggi itu kepandaiannya," berkata Hwat Lai ahli silat cabang Siauw lim itu.

"Tapi gerakannya ketika menjepit pedang dengan tiga jarinya tadi adalah gerakan ilmu silat Hoa san pai," kata Ang Cit Kwan si Tongkat Buntung.

"Memang aneh, benar-benar aneh..." Si Garuda Terbang berkata, "Dulu suhu pernah berkata bahwa ilmu silat Kun sian ciang hoat adalah ilmu silat paling lihai di jaman ini. Gerakan anak muda tadi hampir menyerupai ilmu itu yang pernah kulihat. Tapi kelitan-kelitannya sambil terhuyung-huyung tada ada miripnya dengan gerakan dari Kim liong pai, yaitu ilmu silat Ular Merayap diantara Rumput. Sungguh aneh. Dan namanya tidak ada pula. Ah, tidak sangka kita yang sudah berkelana puluhan tahun di kalangan kang ouw baru sekarang menjumpai Bu Beng Kiam hiap yang berilmu setinggi itu. Sayang" sayang ia segera pergi..."

Demikianlah, hampir semua tamu dan penonton sehari itu dan sampai berhari-hari berikutnya membicarakan halnya Bu Beng yang aneh itu. Kira-kira lima li di luar kota Sauwciu ada sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang karena tempat itu merupakan hutan belukar dengan pohon-pohon liar dan banyak terdapat rawa-rawa yang berbahaya.


                 ***************

Malam hari itu keadaan di bukit itu sunyi senyap dan gelap gulita. Tapi pada kira-kira jam sepuluh malam, tampaklah bulan tua yang tinggal tiga perempat sehingga keadaan di hutan yang tadinya hitam itu kini berubah menjadi remeng-remeng menyeramkan. Pohon-pohon besar tampak bagaikan raksasa-raksasa siluman berdiri bertolak pinggang dengan kepala yang besar. Suara burung-burung malam makin menmbah seramnya hutan itu. Keadaan yang remeng-remang itu diramaikan oleh bunyi suara jangkrik dan belalang yang mendesir-desir saling sahut tiada hentinya.

Tiba-tiba dari tengah-tengah hutan yang berada di puncak bukit, terdengar suara tiupan suling. Suara suling itu melengking tinggi dan tergetar-getar seakan-akan membawa getaran kalbu yang sedih dari peniupnya. Menyedihkan, menyayat hati, tapi suara itu indah sekali menggema di seluruh permukaan bukit.

Ternyata yang meniup suling itu adalah seorang pemuda yang sedang duduk diatas akar kayu pohon siong tua. Di dekatnya berdiri sebuah pondok kecil terbuat dari pada bamboo dan beratap daun ilalang. Pemuda itu sedang asyik benar dengan permainan sulingnya hingga dunia ini baginya hanya penuh dengan suara sulingnya yang membawa semangatnya seakan-akan melayang-layang tak tentu arah tujuan.

Kalau saja disitu ada orang lain dan agak lebih terang, orang itu pasti akan melihat air mata mengalir turun perlahan-lahan dari kedua mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya. Tiupan suling makin endah dan akhirnya berhenti, berganti oleh suara belalang yang seakan-akan baru timbul setelah tenggelam dalam kenikmatan ayunan suara suling itu.

Bu Beng pemuda itu, menaruh sulingnya diatas tanah lalu menggunakan tangannya memeluk lutut. Kepalanya ditundukkan dan mukanya disembunyikan diantara kedua lututnya. Hatinya perih dan berkali -kali ia menghela napas. Teringat olehnya semua keadaannya sejak ia dapat mengingat sampai saat itu. Hidup penuh derita dan tekanan batin yang berat karena kesedihannya.

Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berangkali baru berusia lima atau enam tahun, ia telah dapatkan diri sendiri lari ketakutan keluar dari kampong yang terbakar musnah. Entah mengapa kampung dan rumahnya terbakar. Ia tak tahu. Yang ia masih ingat hanya bahwa ayah ibunya rebah mandi darah dan rumahnya menyala-nyala dimakan api. Ia tidak tahu apa-apa, hanya merasa takut sekali, lalu lari keluar dari kampong yang merupakan neraka itu!

Hampir patah kakinya karena terus lari semalam penuh. Akhirnya ia jatuh pingsan di sebuah hutan. Seorang kampung menemukannya dan semenjak itu ia bekerja di kampong menjadi penggembala ternak. Tapi induk semangnya, seorang kaya raya di kampong itu sangat kejam dan galak. Hampir tiap hari ia menerima makian dan pukulan. Namun ditahan-tahannya juga hingga setahun lebih ia bekerja kepada hartawan pelit itu hanya untuk dapat mengisi perut setiap hari.

Pada suatu hari ternaknya lenyap dua ekor. Entah dimakan binatang buas, entah dicuri orang. Induk semangnya marah dan ia dipukul setengah mati lalu disuruh pergi mencari dengan ancaman kalau tidak ketemu ia akan dibunuh. Dengan putus harapan dan takut bercampur sedih ia pergi mencari-cari, tapi sia-sia. Karena terus menerus berjalan semalam penuh dan perutnya belum diisi semenjak pagi, ia merasa amat lapar dan lemah.

Ketika sampai di tepi sebuah sungai, ia jatuh terduduk lalu menangis sedih. Dari mulutnya yang kecil menyebut-nyebut ayah ibunya. Kemudian kaarena bingungnya ia menjadi nekat dan loncat ke dalam sungai. Ia tidak ingat apa-apa, hanya ketika membuka mata ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar tanah dan berbaring diatas tempat tidur yangbersih. Ternyata seorang tua berjubah putih telah menolongnya.

"Kau sudah sadar, anak?" kata orang tua itu dengan suara manis, "Nah, ini makanlah..." Karena lemah ia tak dapat berkata-kata, hanya makan saja makanan itu dengan lahapnya. Setelah kenyang ia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.

"Kasihan kau, anak," orang tua itu membangunkannya, "Siapa namamu nak?"

Ia hendak menjawab tapi tahu-tahu ia merasa terkejut sekali karena entah bagaimana ia tidak ingat lagi namanya. "Namaku... namaku... ah, aku tak ingat lagi...!" ia menangis lagi.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa anak itu karena sedih, bingung dan menderita lalu terganggu ingatannya hingga lupa akan nama sendiri. "Tidak apa, kalau kau tak bernama, biarlah kuberi nama kau Bu Beng (tanpa nama). Dan mulai sekarang kau menjadi muridku, maukah?"

Bu Beng segera menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut 'Suhu'. Demikianlah hampir dua puluh tahun ia menjadi murid Hun San Tojin, bersama-sama dengan suhengnya yang sudah tua, yaitu Kim Kong Tianglo. Mereka bertiga, suhu dan dua murid, hidup terasing diatas Gunung Liong san. Hun San Tojin adalah sahabat baik ketua Hoa san pai yang sering berkunjung kesitu, karena Hoa san tidak jauh letaknya dari Liong san. Dan karena melihat bakat Bu Beng yang baik, ketua Hoa san pai itu berkenan memberi pelajaran beberapa pukulan yang paling lihai dari ilmu silatnya.

Hun San Tojin sebenarnya adalah ahli waris satu-satunya dari Kim liong pai maka Bu Beng menerima peajaran campuran, hingga ia mahir sekali dalam menggabung-gabungkan silat berbagai cabang. Suhunya memang ahli dalam cara menggabung ini dan pelajaran ini sebenarnya tiada batasnya, karena daya pikiran dan daya cipta seseorang itu tiada batasnya.

Maka setelah belajar teori dan praktek bertahun-tahun, Bu Beng sudah pandai merangkai gerakan-gerakan dari semua cabang silat yang dikenalnya. Bahkan sambil bersilat, ia dapat menggabungkan gerakan-gerakan yang sesuai. Dalam hal kecepatan menggabungkan ilmu silat ini, bahkan suhengnya sendiri Kim Kong Tianglo tidak sepandai ia.

Hidup diatas gunung dengan suhu dan suhengnya itu merupakan bagian hidup yang paling bahagia baginya. Dua orang itu merupakan orang-orang yang tercinta dan pengganti orang tuanya. Tapi pada suatu hari gurunya meninggal dunia dengan meninggalkan pesan agar ia suka berkelana memenuhi kewajiban hidup sebagai seorang hohan. Terpaksa ia berpisah dengan suhengnya dengan hati sedih.

Semenjak itu, ia hidup seorang diri, terlunta-lunta di dalam dunia yang penuh kepalsuan ini. Demikianlah Bu Beng malam hari itu termenung-menung setelah meniup sulingnya. Kepandaian meniup suling ini dipelajarinya dari suhengnya. Memang semenjak turun gunung, kerap kali ia bersedih jika terkenang akan nasibnya. Tak berayah tak beribu, dan tidak tahu siapa ayah ibunya dan bagaimana riwayat keluarganya itu. Jangankan orang tua, bahkan namanya iapun tidak punya!

Jika teringat akan semua itu, ditambah kenangan kepada gurunya yang tercinta yang kini telah wafat itu, tak terasa pula air matanya mengalir turun. Begitu hebat ia terbenam dalam gelombang kesedihan sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang melihatnya dari belakang gerombolan pohon kecil.

Orang yang mengintainya itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang akhirnya keluar juga dari tempat sembunyinya. Suara daun kering terinjak cukup mmbuat Bu Beng tersadar kembali dari lamunannya. Secepat kilat ia meloncat bangun dan memutar tubuhnya. Orang itu menjura dalam di hadapannya.

"Maafkan aku, Bu Beng taihiap!" katanya cepat-cepat karena takut kalau-kalau pendekar muda itu turun tangan. "Aku hanya seorang pesuruh. Lim San loenghiong menyuruh aku menjumpai taihiap dan menyampaikan undangannya untuk merundingkan sesuatu yang penting..."

Bu Beng memandang dengan curiga. "Bagaimana kau bisa dapatkan tempat ini?"

Orang itu kembali menjuru. "Biarlah aku bicara terus terang, taihiap. Di kota Sauwciu aku dikenal dengan sebutan Kim Kie si Kaki Tangan Seribu. Keadaan di seluruh kota aku tahu dan paham karena semua orang boleh dikata menjadi sahabatku. Maka Lim San loenghiong minta bantuanku untuk mencarimu, taihiap. Semenjak kau meninggalkan panggung, aku dan kawan-kawanku telah tersebar dan mengikuti jejakmu. Baiknya kau tidak lari cepat. Hanya setelah sampai di kaki bukit ini kau lenyap dari pandangan, karena begitu berkelebat kau tidak tampak lagi. Dugaanku tak lain kau pasti berada di at as bukit ini. maka aku pergi mencarimu dan betul kau berada disini, taihiap..."

Diam-diam Bu Beng kagum juga akan kecerdikan orang itu. "Ada keperluan apakah Lim San Loenghiong mengundangdaku?" tanyanya.

Kim Kie mengangkat pundak lalu mengerak-gerakkan alisnya. "Sebetulnya Lim loenghiong tidak menerangkan sesuatu padaku, tapi sukar bagi orang untuk menutup rahasia terhadap aku. Kalau tidak salah pendengaran dan penglihatan kawan-kawanku, Lim loenghiong kini sedang menghadapi urusan besar. Sim Tek Hin si Ular Gunung Muda yang kau kalahkan itu, setelah pulang lalu mengirim berita kepada Lim loenghiong, menantang adu silat dengan mantunya atau lebih tepat dengan Thio Bun kongcu bakal mantunya itu, karena ia masih penasaran, katanya. Nah, hal ini tentu saja sangat menyusahkan hati orang tua itu karena perkumpulan Ular Gunung itu telah terkenal keganasannya. Maka ia teringat kepadamu taihiap, dan mengharapkan petunjuk dan bantuanmu..."

"Hm, sungguh orang she Sim itu tak tahu diri. Baik, baik. Pulanglah dulu. tapi tunggu, bilakah orang she Sim itu akan datang membikin ribut?"

"Si Ular Gunung memberi tempo tiga hari, jika dalam waktu itu Thio Bun kongcu tidak datang ke San coa pang, maka ia dan pengikut-pengikutnya akan datang meluruk ke Sauwciu. Jadi dua hari lagi waktunya"

"Hm, kalau begitu, beritahu Lim San lo enghiong agar Thio Bun kongcu jangan pergi ke sarang musuh. Biarkan musuh datang, aku pasti akan membantu sedapatku"

Kim Kie menjuru berulang-ulang. "Terima kasih Bu Beng Taihiap!" Kemudian ia pergi meninggalkan pemuda itu berdiri melamun seorang diri.

Sepeninggal Kim Kie, Bu Beng kembali duduk melamun. Telah setahun lebih ia pergi merantau. Selama ini, banyak sudah ia membasmi orang-orang jahat. Hidupnya selalu dihadapi kenyataan-kenyataan bahwa di dunia ini lebih banyak orang jahat darpada orang baik. Yang baik-baik kebanyakan orang miskin dan lemah. Yang kuat dan kaya sebagian besar jahat -jahat. Heran ia memikirkan hal ini. teringatlah ia akan kata-kata mendiang gurunya.

"Hati-hatilah kau, muridku. Musuh yang bagaimana lihai dan jahatpun masih tak berarti jika dibandingkan dengan musuh tersembunyi yang berada dalam hatimu sendiri. Dan musuh itu paling berbahaya jika orang berada dalam puncak kekuasaan atau kekayaannya. Kekuasaan dan kekayaan membuat musuh dalam dirimu itu bangun dan menjatuhkan. Biasanya kalau orang dalam keadaan sengsara dan tertindas, ia akan ingat kepada Tuhan dan berlaku baik sebagaimana layaknya seorang manusia karena musuh dalam dirinya itu tak berdaya dan tinggal sembunyi. Tapi kalau orang itu sudah mempunyai kekuasaan dan menjadi kaya, maka bangunlah musuh tak terlihat itu dan membuat ia lupa segala, lalu menjadi jahat..."

Mengingat nasehat dan pesan gurunya itu, agak terbukalah pikiran Bu Beng dan terhiburlah kesedihannya. Ia merasa lebih beruntung daripada orang-orang yang telah disesatkan oleh musuh jahat yang bersembunyi di dalam hati itu. Kemudian ia memasuki gubuknya dan pergi tidur.


                  ***************


Dua hari kemudian, di rumah Lim San orang sibuk membuat persiapan-persiapan menghadapi datangnya Sim Tek Hind an kawan-kawannya. Biarpun Kim Kie sudah membawa warta menggembirakan bahwa Bu Beng Kiamhiap akan datang membantu, namun hati Lim San masih berdebar-debar cemas. Tapi sikap bakal mantunya, Thio Bun yang tampak tenang-tenang saja itu membuat ia girang. Sungguh benar kata-kata Bu Beng Kiamhiap bahwa pemuda itu cukup berharga untuk menjadi mantu suami puteri tunggalnya.

Kira-kira jam delapan pagi Sim Tek Hin datang sambil pantang dada. Ia diikuti oleh lima orang, ayahnya sendiri dan empat orang jagoan kawan ayahnya. Lim San menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan diam-diam hatinya tercekat melihat empat orang tua yang ikut datang itu. Tiga diantara mereka ia kenal karena mereka itu bukan lain ialah Hut Bong Hwesio, ketua kelenteng Lin hoan si, kedua adalah Pok Thian Beng jagoan dari timur yang dijuluki orang si Tangan Besi, dan yang ketiga adalah Lui Im ketua dari Cung lim pang.

Orang keempat yang belum dikenalnya adalah seorang kurus seperti cecak kering dan pakaiannya mewah sekali. Tangan kirinya memegang sebatang huncwe dan sebentar-sebentar ia sedot pipa tembakaunya itu sambil kebul-kebulkan asap dengan sikap angkuh sekali. Setelah diperkenalkan, ternyata orang keempat itu adalah Song Leng Ho yang dijuluki orang di Huncwe maut.

Setelah mempersilakan para tamunya duduk, Lim San menjuru dengan hormat dan berkata. "Sungguh satu kehormatan yang besar sekali bahwa hari ini siauwte menerima kunjungan para locianpwe yang mulia. Tidak tahu akan memberi petunjuk apakah?"

Tiba-tiba Sim Tek Hin berdiri. "Janganlah lopek berpura-pura lagi. Kurasa lopek sudah tahu akan maksud kedatanganku..."

Sim Boan Lip pangcu berdiri dan balas menjuru sambil tersenyum, "Lim twako diantara kita tak perlu menggunakan banyak peradatan lagi. Kami berlima orang-orang tua tak berguna ini tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengantar puteraku ini dan sekalian mengajukan lamaran kepada puterimu. Dengan memandang mukaku dan mengingat persahabatan kita, maka kukira sudah sepatutnya kalau kita menjadi besan, bukan?"

Lim San tersenyum pahit. "Saudara Sim, aturan ini tak mungkin dilaksanakan. Bukannya aku yang endah tidak menghargai penghormatan yang kauberikan ini, bahkan aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian Sim hiante kepada anakku yang bodoh. Tapi pa hendak dikata, anakku sekarang telah bertunangan dengan orang lain..."

"Tidak menurut aturan!" cela Sim Tek Hin. "Bukankah lopek telah menerapkan sendiri bahwa calon mantu harus pemenang sayembara? Nah biarkan aku melawan dan mencoba kepandaian Thio Bun itu, lihat siapa yang lebih unggul..."

"Hal ini menyesal sekali tak mungkin diadakan," bantah Lim San.

"Lim twako, kau sejak dulu ingin mempunyai mantu seorang yang lumayan ilmu silatnya. Masakan kini ingin mengambil mantu seorang yang terhadap anakku saja tidak berani melawan?"

"Biarlah siauwte melawannya!" tiba-tiba Thio Bun yang sejak tadi diam saja di sudut membuka suara dan berdiri.

"Tidak!" bantah Lim San yang tahu bahwa orang she Thio calon mantunya itu bukan tandingan Sim Tek Hin. "Kuakui bahwa calon mantuku itu biarpun semangatnya besar, namun kepandaiannya belum cukup untuk melawan Sim hiante. Biarlah kucarikan wakilnya..."

"Siapa wakilnya? si Bu Beng siauwcut?" tiba-tiba si Huncwe Maut Song Leng Ho berdiri dan mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya.

Lim San menengok kesana kemari, tapi ternyata penolong yang ditunggu-tunggu itu belum tampak mata hidungnya. Terpaksa ia berkata, "Aku sendirilah wakilnya, untuk menolong anak dan calon mantu..."

"Ho ho! Bagus kalau begitu. Akupun akan meniru contohmu, orang she Lim biarlah aku mewakili anakku..." Kata Sim Boan Lip sambil berdiri menantang.

Lim San merasa tidak ada jalan keluar lagi, maka ia segera berkata. "Terserah padamu, marilah kita pergi ke ruang silat..."

Beramai-ramai mereka menuju ke ruang main silat yang berada di samping rumah. Tiba-tiba tampak Lim Giok Lan muncul dengan pakaian ringkas membawa pedang.

"Ayah, biarkan anakmu bertempur mati-matian melawan pengacau-pengacau ini!" katanya penuh semangat.

Ayahnya kagum melihat keberanian puterinya, tapi ia memberi tanda supaya anaknya mendur. Juga Lim Seng yang kelihatan membawa-bawa pedang ia perintahkan berdiri di pinggiran saja.

Lim San meloncat ke tengah-tegah ruangan itu dan berkata, "Silakan memberi petunjuk kepadaku. Sim enghiong..."

Sim Boan Lip segera melepas baju luarnya dan meloncat menghadapi lawannya. "Mari, marilah, kita coba-coba tua sama tua..."

Dan ia membuka bhesinya dari ilmu silat San coa ciang yang lihai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang dan Bu Beng Kiamhiap tahu-tahu berdiri di antara kedua jago tua itu sambil tersenyum tenang.

"Lim San loenghiong, siauwte masih belum tinggalkan kota ini dan sampai sekarangpun siauwte masih menjadi wakilmu dalam permainan yang menggembirakan ini. Biarlah siauwte menambah pengertian dari para loenghiong ini."

Diam-diam hati Lim San yang tadinya tegang dan cemas menjadi gembira kembali karena ia percaya akan kepandaian anak muda itu yang sesungguhnya masih jauh diatas kepandaiannya sendiri. Maka sambil menjuru berterima kasih ia mundur kepinggiran.

"Inilah bangsat itu, ayah!" teriak Sim Tek Hin dari pinggir.

"Oo, kaukah biang keladinya?" Bu Beng menyindir sambil memandang pemuda she Sim itu dengan tajam.

"Dan kaukah Bu Beng Kiamhiap? Bagus, bagus! Aku sudah mendengar kehebatanmu dari puteraku. Memang kami datang ini sebenarnya ingin sekali merasakan kelihaianmu!"

"Loenghiong. Kita belum pernah bertemu muka, juga belum pernah bentrok dalam hal apa saja. Tapi mengapa loenghiong jauh-jauh datang mencari siauwte yang muda ini?" Tanya Bu Beng.

"Jangan berlagak bodoh! Bukanlah kau telah menghina anakku?"

"Sama sekali tidak, loenghiong. Sudah lazim jika di dalam pertandingan di panggung luitai kalau tidak menang tentu kalah."

Sim Boan Lip salah sangka. Ia kira anak muda itu takut padanya, maka ia menjadi besar hati. "Orang muda, jangan kwawatir. Aku hanya ingin lihat dari siapakah kau memperoleh ilmu silat dengan melihat gerakanmu sejurus dua jurus saja," katanya.

"Kalau begitu silakan loenghiong menyaksikannya," kata Bu Beng yang lalu memasang bhesi dengan berdiri di tumitnya lalu menggeser tubuhnya maju, tapi anhnya kedua lengannya tertempel di pinggang rapat-rapat, sama sekali tidak memukul seperti lakunya orang bersilat. Kemudian ia menggeser ke kiri dan ke dua lengannya dibuka seakan-akan terbang. Beberapa kali ia bergerak lalu kembali berdiri lempeng ditempat semula sambil tersenyum.

"Nah, loenghiong. Siauwte telah bergerak empat jurus. Tentu sekarang loenghiong telah tahu ilmu silat apakah yang pernah siauwte pelajari," katanya.

Wajah Sim Boan Lip menjadi merah. Ia merasa dipermainkan orang, karena seumur hidupnya belum pernah ia lihat gerakan tipu silat seperti itu. Bahkan empat orang kawannya sama sekali tidak tahu ilmu silat apakah yang tadi diperlihatkan oleh anak muda itu.

Dengan marah ditahan Sim Boan Lip berkata, "Bagus! Tapi dapatkah ilmu silat macam ini dapat bertempur?"

"Tentu dapat, loenghiong!"

"Nah, coba tangkis seranganku dengan ilmu silatmu itu," kata orang tua itu sambil maju menyerang dengan ilmu gerakan Ular Gunung Menyambar, semacam ilmu dari San coa ciang yang lihai. Tangan kanannya mengarah ulu hati lawan tapi sampai di tengah jalan tangan kanan itu ditarik kembali lalu disusul oleh tangan kiri memukul iga!

Bu Beng berseru "Aya...!" sambil dengan gerakan lincah tapi lucu berkelit menghindari pukulan itu. "Hebat sekali pukulanmu, Sim loenghiong!" katanya masih tersenyum.

Sim pangcu menjadi marah sekali. Kembali ia menyerang dengan sengit sampai empat jurus, tapi semuanya dapat dikelit oleh Bu Beng. "Balaslah menyerang!" teriaknya gemas.

"Sabarlah, loenghiong. Siauwte terdesak oleh seranganmu. Baiklah sekarang siauwte menyerang!" kata-kata ini ditutup oleh serangan tangan kiri kearah leher, bukan memukul tapi membabat dengan tangan miring.

Belum juga ditangkis lawan, tangan itu mengubah gerakan, kini menyodok kearah perut, dan sebelum ditangkis lalu berubah pula terkepal memukul dada! Aneh dan cepat gerakan ini, tapi biarpun kalah dulu, Sim pangcu ingin mencoba tenaga orang, maka ia kerahkan tenaga di lengan kanan dan menangkis pukulan itu

"Plaakkk!"

Dann Sim pangcu merasa tangan kanannya tergetar keras. Sedangkan lengan pemuda itu tidak apa-apa dan terus menghantam dadanya perlahan. Untung pemuda itu hanya menepuk saja, tapi cukup membuat ia merasa dadanya pedas sekali. Sim pangcu terkejut dan meloncat mundur dua tindak.

"Ilmu silatmu baik sekali, anak muda. Marilah kita coba-coba main senjata," tantangnya sambil menghunus pedang.

Sebetulnya Bu Beng merasa kuat untuk menghadapi lawan ini dengan bertangan kosong, tapi ia tidak mau menghina lawannya yang tua dan ternama itu, maka iapun ulurkan tangan di belakang leher, dan tahu-tahu sebilah pedang tipis sekali berada dalam tangannya! Pedang itu pendek dan tipis hingga ketika disembunyikan di punggung tidak kelihatan dari luar.

"Silakan loenghiong," katanya dengan masih tersenyum.

Melihat pedang lawan yang pendek itu, hati Sim Pangcu menjadi besar. Masakan ilmu pedangnya yang terkenal itu akan kalah oleh seorang pemuda berpedang pendek. Ia segera menyerang dengan hebat sekali, mengeluarkan tipu-tipu paling berbahaya dari ilmu pedang San coa kiam. Pedangnya berputar cepat menutupi seluruh tubuhnya sampai menimbulkan angin dingin bersiutan dan mata pedang merupakan bundaran putih berkeredepan.

Tapi Bu Beng berdiri saja tidak bergerak, seakan-akan menonton pertunjukan pedang yang hebat itu. Hanya kalau sewaktu-waktu sinar pedang lawan menyambar ke arahnya, ia gerakkan pedangnya sekali untuk menangkis!

Tapi, biarpun Bu Beng hanya menangkis dengan gerakan sembarangan saja, Sim pangcu kaget sekali, karena tiap kali pedangnya terbentur pedang pendek lawan, pedang itu terpental dan mengeluarkan bunyi nyaring serta titik-titik bunga api!

Melihat gerakan Bu Beng yang seakan-akan hanya main-main saja dan sedikitpun tidak pandang mata terhadap ilmu pedangnya, Sim Boan Lip marah sekali. Gerakan-gerakannya dirobah menjadi rangsekan hebat, tiap gerakan merupakan serangan-serangan maut. Kala tadi ia berlaku hati-hati dan tiap kali menyerang selalu disertai gerakan menjaga diri karena tahu akan kelihaian lawan, kini dia nekad dan pusatkan gerakannya kepada serangan belaka.

Bu Beng juga tak dapat tinggal diam menghadapi serangan-serangan hebat dan berbahaya itu. Ia mulai menggerakkan kaki dan tubuhnya berkelebat kes ana kemari untuk menangkis dan menghindarkan pedang lawan.

Pada suatu saat, setelah menyerang lebih dari tiga puluh jurus, Sim pangcu gerakan tipu Ular Luka Mengamuk. Ia menusukkan pedangnya kearah tenggorokan Bu Beng dan ketika Bu Beng berkelit, ujung pedangnya mengikuti gerakan pemuda itu dan terus mengejar dengan sabetan-sabetan panjang dari kiri ke kanan bolak balik dan dari atas menggeser makin ke bawah. Pendeknya, serangan nekad yang dilakukan beruntun dengan sabetan-sabetan mebabi buta!

Bagi orang lain jika menghadapi serangan ini tentu akan menjadi repot dan gugup, karena pedang itu seakan-akan menjadi berpuluh-puluh yang menyerang dengan keluarkan suara bersiutan. Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi dapat berlaku tenang. Untuk menghadapi serangan ini, jalan satu-satunya baginya ialah gunakan kecepatan yang melebihi kecepatan lawan.

Maka tiba-tiba pedang pendeknya berputar cepat sekali hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang. Sim pangcu kehilangan tubuh lawannya karena yang diserangnya seakan-akan sembunyi di balik ratusan pedang hingga tiap tusukan pedangnya seakan-akan ada tiga pedang pendek lawan yang menangkisnya.

Ia menjadi pening dan tiba -tiba saja lengannya yang memegang pedang kena tertendang oleh Bu Beng dan pedangnya terlempar keatas, kemudian ketika turun disampok oleh pedang pendek Bu Beng. Senjata itu kena tersampok gagangnya lalu berputar dan mencelat ke atas lagi. Demikian keras sampokan itu hingga pedang Sim pangcu melayang cepat dan menancap di kayu usuk yang melinang dibawah genteng.

Sim pangcu menjadi kaget sekali. Sedikitpun ia tak mengerti betapa cara Bu Beng menggunakan kakinya untuk menendang. Pedangnya tadi berputar cepat sekali, namun kaki pemuda itu dapat mendahului putaran pedang untuk menendang pergelangan lengannya. Ia loncat mundur dengan wajah pucat.

Bu Beng tahan gerakannya dan berdiri mengangkat kedua tangan dengan sikap merendah. "Loenghiong telah mengalah terhadapku," katanya.

Sebelum Sim pangcu dapat membuka mulut, tiba tiba Song Leng Ho si Huncwe Maut telah loncat dengan gerakan ringan sekali kehadapan Bu Beng. Ia isap huncwenya dan mengepulkan asap yang hitam kebiru-biruan kearah muka Bu Beng. Pemuda itu mencium bau yang harum dan amis, maka segera ia tutup jalan pernapasannya karena ia maklum bahwa asap itu bukanlah asap sembarangan, tapi asap yang mengandung racun melemahkan!.

"Ha ha, ha!" si Huncwe Maut bergelak tertawa, "Bu Beng Kiamhiap yang gagah perkasa ternyata takut asap huncweku!"

Bu Beng tersenyum manis, tapi sinar matanya tajam menatap orang jumawa itu. "Pernah kudengar tentang huncwe maut itu. Sungguh beruntung hari ini aku yang muda dapat berjumpa dan merasai kelihaiannya huncwe itu." Kata-kata ini biarpun halus tapi mengandung tantangan.

Song Leng Ho tiba-tiba menghentikan tawanya dan bekata kasar. "Anak muda, pantas saja kau berani kurang ajar. Ternyata kau mempunyai kepandaian berarti juga. Tapi, jangan kau kira bahwa kau sudah berdiri di puncak tertinggi hingga tiada orang yang lebih tinggi darimu. Sekarang, berhadapan dengan aku si orang tua pemadatan kau harus berani berlaku sembarangan. Hayo katakan siapa gurumu agar aku dapat memandang muka gurumu dan tidak menurunkan tangan jahat kepadamu..."

"Song loenghiong. Bukanlah aku yang muda berlaku kurang ajar kepada kau orang tua. Tapi sebaliknya, kaulah orang tua yang tidak mengalah terhadap yang muda. Telah berkali -kali kukatakan bahwa aku adalah seorang muda biasa, bahkan nama saja aku tak punya. Kini kau tanyakan guruku, siapakah guruku itu? Kalau toh ada guruku, nama beliau itu takkan kuobral dan kugunakan untuk mencari nama..."

"Hm, hm!" Song Leng Ho mengeluarkan suara dari hidung sambil keluarkan asap huncwe dari hidungnya merupakan dua gulungan bagaikan ular melingkar-lingkar ke atas. "Aku selamanya pandang muka orang-orang kang ouw. Tapi karena disini terdapat banyak hohan menjadi saksi, biarlah aku yang tua memberi ajar adap padamu. Hendaknya para lo enghiong menjadi saksi agar kelak guru anak muda ini tidak menyalahkan padaku, karena dia sendirilah yang tidak mau memberitahukan nama gurunya. Nah, Bu Beng siauwcut bersiaplah, lohan ingin sekali coba kepandaianmu."

"Silakan, aku ingin sekali merasai panasnya huncwe mu..." Jawab Bu Beng dengan berani.

Song Leng Ho si Huncwe Maut ini sebenarnya adalah seorang ahli cabang Bu tong san. Cabang Bu tong terkenal dengan ilmu pedangnya yang lihai, tapi orang she Song ini memilih senjata berupa huncwe itu. Walaupun huncwe itu kecil kurus hingga cocok sekali dengan tubuhnya yang kurus kering, namun untuk puluhan tahun lamanya senjata itu telah merobohkan entah berapa banyak jagoan di kalangan kang ouw dan jarang sekali menemukan tandingannya.

Huncwe yang terbuat dari logam hitam kehijau-hijauan dan menjadi mengkilap karena panas api dan sari tembakau itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah. Selain itu, tembakau yang dinyalakan di huncwe itu bukanlah tembakau sembarangan, tapi tembakau istimewa buatannya sendiri dari daun-daun disertai ramuan obat yang asapnya merupakan senjata luar biasa, karena asap yang hitam kehijau-hijauan itu ternyata adalah berbahaya sekali, mengeluarkan bau harum dan amis dan kalau tersedot lawan dapat melemahkan semangat dan tenaga!

Namun orang she Song itu sendiri tidak terganggu oleh asap beracun itu, karena ia telah lebih dulu makan obat penawarnya. Setelah mendengar jawaban Bu Beng, si Huncwe Maut segera pasang kuda-kuda, kedua kaki berdiri rapat, ujung kaki kiri berjongkok dan menindih ujung kaki kanan, tubuhnya agak membongkok, tangan kiri dengan jari-jari tegang ditaruh miring di depan dada, sedangkan tangan kanan memegang kepala huncwe yang masih tertancap di mulut.

Sementara itu, asap masih mengepul-ngepul dari ujung mulut dan lubang hidungnya. Sikap dan gerakannya aksi sekali hingga membuat mereka yang melihatnya menjadi kagum. Agaknya hal ini diketahui pula olehnya, karena ia menggerak-gerakkan kedua biji matanya yang kecil untuk melirik kesana kemari dan memandang ke arah Bu Beng dengan mulut mengandung ejekan...


JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP) JILID 02



Bu Beng mendongkol juga melihat lagak lawan, maka ia tidak sungkan-sungkan lagi. Setelah berkata, “Maafkan aku bergerak terlebih dahulu,” ia memajukan kaki menyerang dengan tangan kiri, sedangkan pedang pendek di tangan kanannya masih disembunyikan di belakang lengan.

Si Huncwe Maut mencabut huncwenya dan dengan berseru. “Haya!” ia berkelit ke samping sambil gerakkan kaki. Gerakannya memang lemas sekali, tubuhnya melengkok-lengkok bagaikan tubuh seorang perempuan.

Bu Beng maklum bahwa si kurus itu sengaja berlagak atau sengaja hendak memanaskan hatinya. Tiba-tiba ia ingat bahwa si Huncwe maut adalah seorang ahli totok, maka kalau ia sampai tak dapat menahan perasaannya dan menjadi marah karena diejek itu, berbahaya sekali menghadapi lawan tangguh ini. karena itu, tiba-tiba ia mundur dua langkah an berdiri biasa dengan tubuh tegak, sedangkan kedua matanya menatap lawan bagaikan orang yang sedang nonton sesuatu yang lucu.

“Hei, ayo serang, anakku!” lawannya mengejek, tapi Bu Beng tiba-tiba tertawa geli.

“Ah, aku lebih senang menonton seorang badut yang berlagak,” jawabnya. “Sungguh gerakanmu lucu dan menarik. Biarlah kalau sudah main nanti aku ikut memberi hadiah beberapa potong uang perak.”

Song Leng Ho marah sekali dan tidak dapat menerima hinaan ini. kulit mukanya menjadi merah dan ia hentikan gerakan-gerakannya yang lemah gemulai. “Baiklah kau sendiri yang cari mampus,” katanya, lalu ia menyerang maju dengan hebat. Huncwenya diayun cepat mengarah leher Bu Beng.

Kini Bu Beng-lah yang mempermainkannya. Anak muda itu berkelit ke kiri dan menyampok huncwe itu dengan pedang pendeknya. Ia mendapat kenyataan bahwa tenaganya masih tidak kalah oleh lawannya, karena dalam bentrokan itu ia dapat mengukur tenaga lawan.

Sebaliknya bentrokan itu membuat Song Leng Ho sadar bahwa lawannya yang masih muda itu, selain bertenaga kuat, juga memiliki senjata pusaka, karena tidak sembarangan senjata dapat menahan huncwenya yang terbuat dari baja hitam. Maka ia tidak berani pandang ringan lawannya dan berkelahi dengan hai-hati.

Tapi setelah bergebrak lima enam jurus tahulah Bu Beng bahwa si kurus ini hanya lagaknya saja yang hebat. Tentang kepandaian, hanya sedikit lebih tinggi dari Sim Pangcu, maka ia tidak merasa khawatir dan gunakan kelincahan gerakannya mempermainkan lawan itu sambil berkelit gesit kesana kemari.

Karena ternyata sekian banyak serangan serangannya hanya mengenai angin, Song Leng Ho merasa penasaran dan gemas sekali. Tiba-tiba ia menyerang dengan totokan kearah jalan darah di rusuk kanan Bu Beng dan satu serangan itu dibarengi dengan tendangan maut kearah tubuh lawan!

Dua gerakan dalam serangan maut ini masih ditambah lagi dengan semburan asap hitam penuh racun kearah muka Bu Beng. Ini sungguh merupakan serangan hebat dan nekat. Melihat serangan kejam dan yang semata-mata dilakukan oleh orang yang menghendaki jiwanya, Bu Beng menjadi marah. Ia berseru keras dan menggunakan tenaga dalamnya meniup kearah asap yang menyambar mukanya hingga asap itu buyar dan terbang kembali.

Terhadap serangan huncwe dan tendangan Bu Beng berlaku lebih keras lagi. Ia gunakan pedang pendeknya menyampok dengan sepenuh tenaga sehingga terdengar suara keras dan huncwe itu terlepas dari tangan si Huncwe Maut yang merasa tangannya pedas dan panas, terlempar jauh dan jatuh ke atas lantai mengeluarkan suara berkerontangan, dan Bu Beng miringkan tubuh menghindarkan tendangan, berbareng majukan tangan kiri menghantam dada lawan, Song Leng Ho berteriak ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang lalu jatuh berdebukan dengan mata terbalik dan dari mulut mengeluarkan darah!

Hut Bong Hwesio, Pok Thian Beng dan Lui Im yang sejak tadi melihat jalannya pertempuran dengan penuh rasa tegang, ketika melihat Song Lng Ho menggunakan tipu serangan maut tadi telah merasa menyesal dan terkejut sekali, tapi mereka tak sempat mencegah. Kini melihat betapa si Huncwe Maut itu terluka hebat, mereka cemas sekali.

Bu Beng juga merasa menyesal karena ia telah memberi pukulan demikian hebat. Segera ia meloncat mendekati tubuh Song Leng Ho yang terbujur di atas tanah. Ketika ia sedang membungkuk, tiba -tiba dari belakangnya menyambar angin dingin. Ia tahu bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang, tapi tanpa menoleh, ia angkat atangan kiri menyampok. Segera tangannya beradu dengan tangan Hut Bong Hwesio yang sebenarnya salah menyangka ia hendak mencelakakan Song Leng Ho dan turun tangan menceah.

Ketika kedua tangan beradu, Hut Bong Hwesio terhuyung ke belakang tiga tindak. Hwesio itu meramkan mata dan mengatur napas, dan mukanya menjadi merah karena malu ketika melihat betapa pemuda itu menggunakan jari telunjuknya menotok jalan darah hui hing ciat untuk meny embuhkan luka dalam Song Leng Ho yang terpukul olehnya tadi.

Setelah selesai menolong jiwa Song Leng Ho, Bu Beng berdiri memandang penyerangnya tadi. Hut Bong Hwesio rangkapkan kedua tangan lalu menghela napas.

“Ah, sungguh tak tersangka pemuda ini telah memiliki tenaga dan kepandaian sempurna. Pinceng mengaku kalah, harap Bu Beng Taihiap maafkan kesembronoan pinceng tadi.” Kemudian sambil menjuru kepada Sim pangcu, hwesio itu berkata,

“Sim pangcu, pinceng mohon diri, karena pinceng tak dapat membantu. Maafkanlah.”

Tanpa menanti jawab, hwesio itu segera tinggalkan tempat itu dengan tindakan cepat. Lim San yang melihat semua itu, segera maju dan menjuru kepada Sim Pangcu.

“Saudara Sim, aku mohon kau suka habiskan saja pertunjukan-pertunjukan ini. marilah masuk dan minum arak bersama agar hubungan kita baik kembali seperti sedia kala. Janganlah hendaknya soal salah paham kecil ini dijadikan dasar perkelahian yang membahayakan jiwa.”

Sim Boan Lip tersenyum lemah. “Kau benar, saudara Lim. Memang seharusnya kami mengalah karena kau mempunyai pelindung yang demikian gagahnya.” Ia berkata penuh sindiran tajam.

“Mengalah?” seru Sim Tek Hin sambil bertindak maju. “Tidak! Biar bagaimana juga orang tua she Lim harus pegang teguh janjinya. Kalau ayah dan para locianpwe tidak mau membelaku, sepantasnya aku menuntut balas atas penghinaan yang dijatuhkan kepada Song locianpwe! Song locianpwe adalah tamu kita, pembela dan kawan kita, kini setelah ia dihina oleh Bu Beng siauwcut itu, haruskah kalian tinggal peluk tangan belaka? Apakah ini boleh diartikan bahwa ayah dan jiwi cianpwe jerih dan takut padanya?”

Sambil berkata begitu Sim Tek Hin memandang tajam kepada ayahnya dan kepada Pok Thian Beng si Tangan Besi, lalu mengerling kepada Lui Im si Golok Setan.

Panas juga hati Pok Thian Beng mendengar sindiran Sim Tek Hin ini. Maka dengan langkah lebar ia menghampiri Bu Beng yang memandang semua itu dengan berdiri sambil berpeluk tangan.

“Anak muda, telah kulihat bahwa kau memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar. Berilah ketika padaku untuk mencobanya.”

Bu Beng menjuru dengan hormat. “Maaf, loenghiong. Bolehkah saya mengetahui nama dan gelaran loenghiong yang mulia?”

Melihat sikap dan kesopanan anak muda itu, hati Pok Thian Beng telah muali menyesal mengapa ia mudah saja dibakar oleh Sim Tek Hin. Tapi karena sudah terlanjur, ia menjawab juga.

“Aku adalah Pok Thian Beng.”

“Ah, jadi loenghiong adalah si Tangan Besi? Sungguh beruntung saya yang bodoh dapat berjumpa dengan loenghiong yang telah lama kukagumi.” Jawab Bu Beng.

Tapi Pok Thian Beng yang jujur tidak jadi sombong bahwa anak muda itu telah mendengar nama besarnya, bahkan ia khawatir kalau-kalau nama besar itu sebentar lagi akan hancur oleh anak muda yang agaknya baru saja muncul dalam kalangan kang ouw hingga namapun tidak punya!

“Anak muda, kita tak pernah bermusuhan maka marilah kita main-main sebentar, sekadar belajar kenal,” katanya demikian dan Sim Tek Hin yagn mendengar percakapan saling merendah ini menjadi tidak puas.

“Pok loenghiong. Apakah perlunya kita menonjolkan kepandaian? Saya sudah cukup percaya akan kelihaianmu dan haruskah perkenalan ini dikotori oleh adu tenaga? Bantah Bu Beng.

“Hm, hm, Bu Beng Kiamhiap. Agaknya kau jerih terhadap Pok cianpwe, ha ha ha!” Sim Tek Hin mengejeknya.

“Hayo, Bu Beng Taihiap, layanilah aku barang dua tiga jurus. Kalau tidak, maka tentu kau atau aku akan dianggap pengecut.”

Pok Thian Beng mendesak, hingga apa boleh buat Bu Beng siap melayaninya. Tapi karena ia maklum akan ketulusan Pok Thian Beng dan tahu bahwa orang itu hanya menjadi kurban kelicikan keluarga Sim, ia tidak hendak mencelakakan atau membikin malu kepadanya.

“Awas pukulan,” Pok Thian Beng berseru sambil maju menyerang dalam tipu Hong tan tiam cie atau burung Hong pentang sayap langsung memukul kearah iga Bu Beng.

Anak muda itu berkelit dengan gesit, tapi segera datang pula serangan dari si Tangan Besi dengan gerakan Hek houw to sim atau Macan hitam menyambar hati. Bu Beng adlah seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak akan puas hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya. Telah lama ia mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul kedepan dan memapaki datangnya pukulan lawan.

Si Tangan Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang masih muda ini. Ia tidak mau membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan, pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya. Tapi, karena untuk menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat mengurangi tanaganya dan hanya gunakan setengah saja. Dua kepalan tangan bertemu dan...

“Dukkk!”

Kedua-duanya merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-masing. Karena si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu Bu Beng sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga pukulannya, maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung mundur sampai lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak.

Pok Thian Beng memandang kagum dan penasaran. Ia si Tangan Besi yang terkenal dan jarang terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini ? ia menyesal mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya! Dan masih menganggap bahwa kekalahannya itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga. Maka ia merangsek kembali karena belum puas.

Bu Beng tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang dihormati itu, maka iapun balas menyerang. Ketika Bu Beng dengan pukulan Kim liong tam jiauw atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah giliran si Tangan Besi untuk mengukur tenaga lawan. Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.

Kembali dua telapak tangan beradu, kini lebih hebat karena Pok Thian Beng gunakan semua tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan tenaganya di lengan. Akibat tumbukan tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan kulit tangannya panas. Anak muda itu segera barengi meloncat mundur sambil berkata,

“Pok loenghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi. Siauwte mengaku kalah.” Katanya sambil memberi hormat.

Pok Thian Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu. Ia tertawa dengan gembira. “Ha ha. Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda seperti kau. Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk menjatuhkan aku. Kalau aku mempunyai tangan basi, maka kau mempunyai tangan baja, Bu Beng Kiamhiap!” kemudian kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjura.

“Terima kasih atas undangan jiwi. Tapi aku yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak dapat membantu apa-apa. Terserah kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik persolan kecil ini dihabiskan saja.”

“Ah, Pok cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri? Terang sekali Pok cianpwe berlaku mengalah terhadap pemuda sombong ini, tapi mengapa berkata demikian. Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata kepadanya,‟ berkata Sim Tek Hin.

Mendengar teguran ini, Pok Thian Beng memandang marah. “Hm, bagus, Sim hiante. Jadi undanganmu kepada kami dulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang lain? Jadi hanya untuk memperalat kami. Terimakasih dan sampai jumpa pula.” Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat ini. tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang lengannya.

“Eh, Pok twako, jangan pergi dulu. Tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng Kiamhiap.”

Si Tangan Besi memandang dan tersenyum lalu duduk di atas sebuah bangku dengan sikap tidak perduli kepada orang she Sim itu. Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu segera mendekati Bu Beng.

“Bu Beng Kiamhiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil. Kami semua datang kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yang belum. Maka janganlah bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran padaku.”

Bu Beng memberi hormat, “Mana aku yang muda berani memberi pengajaran? Sebaliknya, siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu.”

Lui Im cabut golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali. Melihat ini, Bu Beng terkejut.

“Bukankah loenghiong ini pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im loenghiong?” tanyanya.

Lui Im terkejut juga. Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenalnya? “Eh, darimana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?”

Bu Beng memberi hormat. “Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan siapa. Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku.”

“Siapa suhengmu itu?‟"

“Suhengku ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san.”

Lui Im menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah dan gagangnya bergerak-gerak menggetar.

“Kim Kong Tianglo? Kau… sutenya? Aneh. Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri termangu-mangu karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa pendeta tua itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda ini?

Bu Beng mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk menaklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian. Ia berkata,

“Maaf” dan secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertancap di tanah itu telah dicongkel dengan ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu diterima dengan tangan. Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata,

“Sebagai sahabat suhengku, tentu loenghiong kenal permainan ini,” lalu diputar-putarnya golok itu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim liong pai. Golok itu berubah menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu. Lui Im berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji.

“Bagus, bagus.”

Setelah Bu Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi, Lui Im menghampirinya dan menpuk-nepuk pundaknya dengan mesra.

“Tidak salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan golokmu lebih hebat dari padanya. Sungguh hebat. Sungguh beruntung kita belum bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka. Ha ha ha!”

Kemudian ia berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk. “Saudara Pok, matamu sungguh awas dan mengenal barang baik. Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri persoalan tetek bengek ini. Saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan habiskan saja pertempuran ini. mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita untuk pergi.”

Kedua jagoan tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata. “Sampai bertemu lagi,” lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu.

Melihat bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi satu dibikin takluk oleh Bu Beng. Sim pangcu menjadi malu sekali. Ia menjuru kearah Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh kekaguman, sambil berkata,

“Saudara Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah.”

Lim San balas menjuru. “Sim pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah urusan ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan. Biarlah kita menjadi sahabat baik.”

Sim pangcu menggoyang-goyang kepala. “Bagaimana juga aku sekawan telah dijatuhkan orang, dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini.”

Tiba-tiba Bu Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh ejekan. “Ha ha, Sim pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil. Kalau sikapmu seperti ini, mana pantas kau menjadi seorang pangcu? Ketahuilah, kau adalah seorang pengecut besar kalau urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San loenghiong. Kau hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar kau dapat paksakan nafsu jahatmu. Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan semua urusanmu dengan Lim San loenghiong. Jika dalam hatimu masih ada dendam maka dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku, karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian.”

“Bu Beng! Jangan kau sombong” teriak Sim pangcu sambil kertak giginya karena marah dan gemas. “Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim enghiong? Puteraku ditampik adalah soal kecil. Masih banyak gadis lain di dunia ini. Dendam hatiku memang ditujukan padamu. Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu dan menagih hutang!” sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil langkah lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.

Lim San maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang disengaja untuk memindahkan rasa dendam di hati pangcu itu dari Lim San kepada Bu Beng. Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemuda itu. Namun Bu Beng tak memberi kesempatan kepada orang untuk menyatakan terima kasih, karena setelah menjuru ia cepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi. Lim San sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala.


                ***************

Bu Beng secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan lamanya.

Disepanjang jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar, menolong yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-wenang. Tak heran nama Bu Beng Kiamhiap makin terkenal, ditakuti lawan diindahkan kawan.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam sebuah hutan di kaki bukit Lun ma san. Di kaki bukit Lun ma san terdapat beberapa kampong kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani. Tapi karena bukit itu mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur. Maka disamping bertani, penduduk disitu menambah penghasilan dengan menjual hasil hutan dan kapur yang memang banyak terdapat disitu. Di beberapa hutan terdapat kayu besi yang hitam membaja dan banyak disukai oleh orang-orang kota untuk membuat bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.

Ketika enak berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-tawa dengan riangnya. Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar dari lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun kedua kakinya berjalan maju. Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening itu merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali. Dengan cepat ia menuju kearah datangnya suara itu.

Ternyata olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun. Mereka sambil tertawa mengejar seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya. Tapi kedua anak itu lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini, hingga akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di tengah-tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan kedinginan. Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas dengan lucunya.

Bu Beng heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu. Jelas baginya bahwa kedua anak itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-murid seorang ahli silat yang pandai. Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan tangannya menyambat. Sambil tertawa girang ia melihat betapa kelinci itu bergerak-gerak hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang memegang kedua telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-akan orang main silat.

“Cin Lan, lepaskan ia, kasihan. Telinganya tentu sakit kau gantung demikian rupa,” tegur anak laki -laki itu.

“Mengapa kasihan? Tampaknya lucu!” jawab anak yang perempuan, “Biar kubawa pulang, kuberikan pada twaci agar dimasak. Hm, alangkah sedapnya nanti.”

“Jangan, Cin Lan. Kasihan dia. Aku tak suka daging kelinci. Lihat itu matanya seperti matamu. Sebentar lagi ia menangis.”

Digoda demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon kecil. Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang. Anak perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.

“Kau ini bisanya menggoda saja. Awas nanti kuberitahukan cici agar kau dijewer sampai merah biru telingamu.”

“Sudahlah jangan marah. Lebih baik kita berlatih karena kalau cici datang melihat kita belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai putus. Kau tahu, bagaimana halusnya tangan cici, kalau sudah menjewer telinga ampun sakitnya bukan main.”

“Baiklah, Han ko tapi kau jangan nakal lagi. Mari kita latih pelajaran kemarin. Gerakan jurus keempat masih terasa sukar bagiku.”

Semenjak tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira. Ia suka sekali kepada kedua anak kecil yang mungil itu. Yang laki-laki cakap berwajah tampan, daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan matanya memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan. Terang bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang mulia dan bijaksana.

Anak perempuan yang dipanggil Cin Lan itupun mungil sekali. Wajahnya cantik jelita dengan mata yang lebar, jika ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri mulutnya. Tapi menurut pandangan Bu Beng, pandangan mata anak perempuan itu ketika marah tampak kejam dan jahat, sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat itu dan terganti sifat yang halus menyenangkan.

Kini setelah melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng. Karena ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim liong pai! Murid siapakah kedua anak ini? Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran. Kalau murid dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian kacau? Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim liong pai, tapi harus diakui ada bedanya, atau beda dalam variasinya. Karena heran dan ingin sekali tahu, Bu Beng menghampiri mereka.

Dua anak itu berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga. Pakaian Bu Beng memang dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu sudah bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal hingga nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.

“Anak baik, siapakah guru kalian? Bagus sekali permainanmu,” Tanya Bu Beng ramah.

Tapi anak perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya. “Han ko, hati-hati, ini tentu sebangsa penjahat seperti yang diceritakan cici.”

Bu Beng tertawa geli mendengar ini. “Eh aku bukan penjahat. Aku suka sekali melihat permainan silatmu tadi. Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah. Tadi ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah duduknya, seharusnya agak ditarik serong ke kiri,” katanya kepada anak perempuan itu.

Kemudian ia berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam. “Dan kau, siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi, tangan kirimu yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan tipu Naga Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang kanan.”

“Eh, orang kuarang ajar!” tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, “Kau lancang sekali berani mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh cici!”

Bu Beng ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu. “Oh, jadi kalian diberi pelajaran oleh cici kalian sendiri?”

“Apa kau berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?” Tanya anak laki -laki itu penasaran.

“Memang salah. Kalau cicimu yang mengajar, maka ia juga salah.”

“Hm, sonbong benar kau! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu supek juga salah?” Tanya anak perempuan itu.

Bu Beng mengangguk sambil tersenyum. “kalau memang begini cara mengajarnya, supekmu itu juga salah!”

“Kurang ajar!” gadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan kepalannya yang kecil memukul perut Bu Beng.

Bu Beng tertawa geli dan timbul kegembiraannya. “Baik, baik mari berlatih agar dapat kemajuan.” Ia berkelit sambil berkata, “Nah, ini kelitan Naga Mas Putar tubuh.”

Anak laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan sebentar kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu. Bu Beng sambil berkelit dengan mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk. Ia sebutkan kesalahan-kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan nama gerakannya sendiri sambil mengelak atau menangkis perlahan.

Ternyata kedua anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih saja mendesak. Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari Bu Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata mereka dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring. “He, orang kasar darimana berani mengganggu kedua adikku?”

Mendengar seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang. Ia tertegun dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu beng bukanlah seorang pemuda yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang.

Wajah dan potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.

Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli.

Karena orang yang ditegurnya dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali melihat kekurang ajaran orang.

“He, bangsat! Ada apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku. Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka berkelahi? Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil.”

Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja. Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan memberi hormat.

“Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adab. Harap jangan salah sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya sedang main-main dan berlatih saja.”

Gadis itu memandang adik perempuannya. “Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!”

Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata. “Siapa yang main-main? Coba cici lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main? Keringatku sampai membasahi semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan! kalau cici tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!”

“Huh!” gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya itu.

“Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau tanya siauw ko ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?”

Anak laki-laki itu memandang cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata ragu-ragu. “Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami.”

“Membetulkan kesalahan gerakanmu?” cicinya bertanya heran.

“Ya, ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!” kata nona cilik yang nakal itu.

“Apa katamu?‟ gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.

“Ah, bukan begitu maksudku, nona…” membela Bu Beng.

“Jangan banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!”

Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat. Pukulannya selain cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam gerakan-gerakan pertama gadis itu gunakan ilmu silat Kim liong pai hingga ia makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar, juga membuat kesalahan - kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim liong pai telah tercampur aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya.

Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim liong pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu.

Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu. Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga.

Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan

“Pukul, ci! Robohkan ia! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, ci! Hayo pukul roboh!” maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu menyerang hebat!.

“Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi,” mencegah Bu Beng.

“Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya? Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu.”

Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak. “Aku tidak ingin berkelahi nona.”

“Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut.”

Bu Beng tersenyum. “Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut. Majulah!”

Gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong.

Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun, tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiamhiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan.

Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali. Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya.

Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah!.

Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan gadis itu pindah tangan!

“Bagus, bagus!” terdengan wanita tua itu memuji.

Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis dengan main mundur. Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angin keras dibarengi bentakan orang.

“Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!”

Mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus,

“Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali, nona.”

Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut.

“Ha, ha!” wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. “Cin Eng, orang telah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!”

Dan gadis itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu.

“Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dan coba kau tahan tongkatku yang lapuk ini.”

Bu Beng menjuru hormat. “Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan.”

“Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus. Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan berlaku kejam padamu.”


cerita silat online karya kho ping hoo


Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata,


“Maaf,” ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya. Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam yang jarang terdapat dan keras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa, jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.

“Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!” wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin.

Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya. Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget.

Karena ilmu pedang Bu Beng sangat membingungkannya. Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim liong pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa san pai hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja.

Pada suatu desakan, Bu Beng menggunakan pedang pendeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan!

Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan, yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.

Bu Beng rangkapkan kedua tangan. “Maaf, maaf.”

Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.

“Anak muda, kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku. Hi hi hi!”

Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.

“Dan ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Lan dan Cin Hai. Dan kau sendiri siapakah anak muda?”

“Saya bernama Bu Beng.”

Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.

“Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami,” katanya kemudian, “Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini. Dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati.”

Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampong tak jauh dari situ. Ketiak mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah.

“Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!” Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat.

“Suheng!” katanya heran dan gembira.

“Eh, eh, kau sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahu kaulah orangnya!”

“Bagaimana suheng dapat tahu?”

Kim Kong Tianglo tertawa lebar. “Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?”

Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata,

“Ha ha ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sute mu sendiri? Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya.”

Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthakan Cin Eng keluarkan arak, meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.

Setelah berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya. Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah. Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu.

Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda.

Diantaranya terdapat seorang pendekar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.

Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.

Dengan Gwat Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya. Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga.

Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam ia mendengar suara ribut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan terdapat Ngo houw atau lima hariamau dari Tiang san yang terkenal kosen.

Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menolong dan membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu.

Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat kepada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang pintu kematiannya.

Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua adiknya.

“Sute” berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, “Umur berapakah kau sekarang?” tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga.

“Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?”

Kim Kong Tianglo tertawa. “Tidakkah kau pikir usia sedemikian itu sudah cukup untuk menjadi seorang suami?”

Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.

“Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancang menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?”

Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. “Suheng, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang, bagiku di dunia ini setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku. Aku ini orang macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu? Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu? Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!”

Kim Kong Tianlo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya. “Jadi kau suka padanya? Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatakan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mendapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha ha ha!”

Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tam u sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang. Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.

“Selamat, sute. Kionghi, kionghi,” kata hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri. Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata,

“Eh, sute, tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbomu.”

Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.

“Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya.”

Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati.

“Kau... kau harus balaskan sakit hati ini…” katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu BEng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.

Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar keseluruh muka dan telinganya.

“Ada apa, ibu?” tanyanya.

“Eng, sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi arak wangi kepada… gurumu... eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu,” berkata demikian ini sambil menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.

Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang. Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah.

Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cicinya, karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik kerah cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.

“Ah, ah, cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!”

Semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta dan kagum kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar -benar sebatang kara di dunia ini.

Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabiskan mata perkabungannya atas kematian ayahnya.

Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa pesta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidur bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.

“Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di hutan.”

Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih.

Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih. “Aku tak dapat kawin, tak mungkin…” keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan itu, hanya angin malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu.

“Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ah, tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. Pula, aku belum tahu siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? tidak... tidak.”

Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya,

“Koko…”

Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mendengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.

“Kokoo…“ suara ini terdengar halus dibarengi isak.

Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Ia berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.

“Moi-moi…“ katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.

Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut 'adik' pada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu menyebutnya 'kanda', ia jadi berani merobah sebutan 'nona' menjadi 'dinda'.

“Adik Eng… mengapa kaupun berada disini?” tanyanya halus.

“Aku… aku… mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?”

Bu Beng menghela napas. “Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?”

“Tidak, koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul disini...”

“Duduklah adik Eng,” kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini.

“Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng,” katanya dan ia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan.

Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!

“Jadi itukah yang membuatmu sedih? Kukira…”

“Kau kira apa, adikku?”

“Kukira bahwa kau… tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini…”

Bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu bergemetar.

“Jangan sangka yang tidak-tidak, adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku… aku... suka sekali kepadamu…”

Cin Eng hanya tundukkan kepala.

“Dan kau bagaimana adikku? Sukakah kau akan pilihan ibumu ini?”

Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala sambil berkata lemah.

“Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala kehendak ibu, dan pilihan ibu… Tentu saja aku setuju sekali…”

“Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan menurut? Tanya Bu Beng.

Cin Eng gelengkan kepala keras-keras. “Tidak! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan kutentang.”

“Kalau begitu kau suka padaku? Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat.

Cin Eng hanya tunduk. “Entahlah…” kemudian ia berkata.

“Cin Eng adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku? Jawab saja dengan geleng atau angguk.”

Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk.

“Betul betul kau cinta padaku? Ingat, aku seorang miskin. Lihat saja bajuku, penuh tambalan. Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku, maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara.”

Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam. “Koko, jangan kau berkata begitu. Kau anggap aku ini gadis apa? Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku akan berbahagia!”

Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.

“Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa barusan aku merasa sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara? Kini hatiku puas. Aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang bagaimana hebatpun.”

Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul penuh kebahagiaan. Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra. Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak,

“Tidak...! tidak...! Tidak mungkin…!” kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan.

“Adik Eng… adik Eng…!‟ Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu telah berada dalam pelukannya.

“Adikku sayang… ada apa? Mengapa kau lari? Apa yang kau susahkan?”

Cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.

“Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersama-sama.”

Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih. Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya.

“Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya? Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga. Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki takkan gunakan kekerasan untuk memilikimu.”

Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih. “Tidak, koko, bukan demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri... karena… karena…”

Bu Beng pegang pundaknya. “Karena apa? Siapa yang melarang ? katakanlah... katakanlah!”

“Tidak ada yang melarang, koko… tapi… tapi... Kalau kita kawin, maka… itu berarti aku akan menjadi pembunuh…!”

Bu Beng terkejut dan tak mengerti. “Apa katamu? Pembunuh? Siapa yang akan kau bunuh?”

“Aku akan menjadi pembunuh… anakku…Anak kita…!”

Bu Beng makin heran. Ia mulai bersangsi. Gilakah gadis ini? “Cin Eng tenanglah. Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah dan bicaralah dengan tenang. Kau kan wanita gagah? Mengapa begini lemah?”

“Begini koko” kata Cin Eng setelah susut air matanya, “Sebenarnya aku… aku mempunyai semacam penyakit dalam tubuh… kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan. Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi…”

Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan rasa. “Tak dapatkah diobati?”

Cin Eng menahan isaknya. “Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar sekali dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!”

Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa. “Dimana… dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu…?”

Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka buru-buru ia menerangkan. “Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya. Maka, akhirnya kami putus asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan. Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu.

Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa ia tentu akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata. “Adikku, tenangkan hatimu. Aku pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu? Aku akan segera berangkat mencarinya.”

Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng, “Jangan, koko… Jangan…”

“Eh, mengapa jangan?” Tanya Bu Beng heran.

“Tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir… kau… kau…!”

“Khawatir aku menemui bahaya? Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular? Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani.”

Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng. “Koko, kau… Kau seorang mulia. Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini. Tapi… Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah… lalu aku bagaimana koko?” Air matanya menitik turun.

“Jangan khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?”

“Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang coat ho. Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata ibu. Tapi, lebih baik kita tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk yang lebih nyata lagi.”

Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke kampong. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya.

Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yang ternyata sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga bercakap-cakap. Bu Beng langsung ajukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang pulau Ang coat ho.

“Ah, kau sudah tahu? Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu, mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau tanyakan itu terletak di sebelah timur. Aku sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur. Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus hati-hati, air sungai itu setelah mendekati laut menjadi sangat besar dan berbahaya. Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja. Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang coat ho terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah, disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala-galanya terserah kepada pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri.”

Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Sute, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu. Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk pergi kesana?”

Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, “Suheng, kau sendiri yang mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan. Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup. Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini? pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun? Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut.”

Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya. “Bagus, bagus! Beginilah seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru kita yang bijaksana. Dan dengan kata -katamu ini terbayanglah betapa besarnya cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau tidak tentu aku akan turut dan membantumu.”

“Terima kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah pengetahuanku.”

“Bilakah! Kapan kau akan berangkat, anakku?” Tanya Hun toanio dengan suara halus dan ramah.

“Sekarang juga, jawab Bu Beng dengan suara tetap.

Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu. Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-merahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan.

Hun toanio berkata, “Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan selamat jalan!”

Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu.

“Apakah ini, adik Eng?” Tanya Bu Beng dengan terharu.

“Pakaian dan selimut penahan dingin,” jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan, “Hati-hatilah koko...“

Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-diam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-akan sudah tak asing lagi.


                 ***************


Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan.

Ketika ia melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih. Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor burung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa.

Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau rumah perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang. Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia meloncat turun dan menuju ke tempat itu.

Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu pondok itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban. Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tapi diatas meja tampak makanan didalam beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu. Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa orang laki-laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu.

Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im. Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri. Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika mengenalnya. Segera ia menjuru.

“Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak -gerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah ini tadi adalah kau sendiri. Syukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan diriku.”

Bu Beng balas menghormat, “Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan loenghiong disini. Bagaimanakah terjadinya maka loenghiong sampai dalam keadaan begini dan ini rumah siapa?”

Lui Im menghela napas. “Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama perkumpulanku,” kemudian ia bercerita...


JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP) JILID 03



Lui Im yang terkenal dengan sebutan Golok Setan karena memang permainan goloknya sangat ditakuti kaum persilatan, meminpin sebuah perkumpulan yang berpengaruh yaitu perkumpulan Cung lim pang. Telah lama perkumpulannya menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan Hong bu pang yang berada di kota itu juga.

Permusuhan itu sebenarnya dibangkitkan oleh soal yang kecil saja. Mula-mula terjadi perkelahian pribadi antara seorang anggota perkupulan Cung lim pang dan seorang anggota Hong bu pang. Tentu saja rasa setia kawan dari masing-masing pihak mudah saja terbakar oleh perkelahian ini dan rasa permusuhan menjalar begitu dalam hingga Lui Im sendiri dan ketua Hong bu pang yang bernama Tan tek Seng seorang jagoan cabang atas, ikut-ikut terseret.

Kedua jago tua ini sebenarnya memiliki kepandaian tinggi dan mempunyai kesabaran yang besar, tapi desakan api permusuhan yang dikobarkan oleh anak buah masing-masing demikian besar hingga pada suatu hari kedua jago-jago tua itu bertemu untuk mengadu tenaga!

Dalam perkelahian yang hebat itu Tan Tek Seng dapat dikalahkan oleh Lui Im. Tentu saja kekalahan ini tidak ditelan mentah-mentah oleh pangcu dari Hong bu pang itu. Ia menaruh dendam hati yang ditahan-tahan.

Beberapa bulan kemudian. Lui Im menerima surat tantangan dari Tan Tek Seng untuk mengadu tenaga di hutan Hek san lim di luar kota. Dalam surat itu disebutkan bahwa masing-masing tidak boleh membawa teman. Lui Im adalah seorang jagoan tua yang gagah berani. Menerima surat itu, walaupun dalam hatinya terbit curiga, namun ia merasa malu jika ia tidak berani datang ke hutan itu seorang diri. Demikianlah, pada hari itu ia pergi seorang diri ke hutan tersebut.

Di tengah hutan telah menanti Tan Tek Seng, tapi pangcu yang licik itu ternyata tidak datang seorang diri. Ia mempunyai seorang kawan yang disembunyikan. Maka, ketiaka mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba saja muncul seorang pendeta memelihara rambut panjang memisahkan mereka dan pura-pura menanya persoalan mereka.

Sebenarnya imam itu adalah orang bawaan Tan Tek Seng. Untuk membuktikan bahwa Tan Tek Seng datang seorang diri, maka imam itu diminta datang belakangan. Dalam keputusan dan pengadilan yang berat sebelah Lui Im menjadi marah dan akhirnya ia bertarung dengan imam itu yang mengaku bernama Ang Hwat Tojin. Ternyata imam itu hebat sekali hingga akhirnya Lui Im kena totok roboh dan tak berdaya.

Tahu-tahu ia telah dibawa oleh lawannya kedalam pondok itu, sedangkan kedua lawannya makan minum hidangan yang telah disediakan dalam pondok. Dalam keadaan tidak berdaya inilah Lui Im dapat menangkap pembicaraan mereka dan tahu bahwa Ang Hwat Tojin memang sengaja diundang oleh Tan Tek Seng untuk menjatuhkannya.

Sehabis bercerita. Lui Im menghela napas lagi. “Bu Beng hiante, mereka sangat menghinaku. Ketika hendak pergi, imam itu berkata bahwa jika aku hendak menuntut balas aku boleh datang ke rumah Tan Tek Seng pangcu karena ia akan berdiam disana selama satu bulan. Sungguh sakit sekali hatiku. Biarpun aku harus mengakui bahwa ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih baik mati daripada menerima hinaan ini. Sekarang juga aku harus pergi kesana mengadu tenaga!”

Sambil mengucapkan kata-kata ini, Lui Im berdiri dan dengan tangan mengepal ia kertakan gigi, kedua matanya bersinar menyala-nyala. Bu Beng juga merasa panas akan kecurangan Tan pangcu. Lebih-lebih jika diingat bahwa Lui Im adalah sahabat baik suhengnya, Kim Kong Tianglo. Sebelum ia berkata sesuatu, Lui Im berkata lagi dengan suara sedih.

“Ah sayang sekali, kalau saja sahabatku Kim Kong Tianglo berada disini, belum tentu aku yang tua ini sampai terhina demikian rupa!”

Bu Beng merasa akan sindiran ini, ia maklum bahwa bagaimanapun juga, Lui Im tidak percaya bahwa ia cukup kuat untuk membelanya. Maka dengan tenang ia berkata,

“Loenghiong, aku sebagai sute dari Kim Kong Tianglo, mana dapat berpeluk tangan melihat saja semua kejadian ini? maka jika kau sudi menerimanya, aku tawarkan tenagaku yang tak berati ini untuk mewakili suhengku membantumu dalam persoalan ini.”

Lui Im berdiri dengan wajah girang. “Terima kasih hiante, terima kasih. Kalau kau suka membantu, pasti sakit hatiku ini dapat dicuci bersih.”

“Jangan terlalu berbesar harap, loenghiong, tapi aku akan bekerja sekuat tenaga. Bilakah kita akan kesana?”

“Mari kita makan dulu, hiante. Bangsat-bangsat itu sengaja meninggalkan makanan diatas meja agar aku merasa sengsara dan menderita. Mari kita beristirahat dulu semalam ini. besok pagi-pagi kita berangkat.”

Keduanya lalu makan dan Bu Beng yang telah merasa lapar sekali makan dengan lahapnya. Kemudian mereka mengaso dalam kamar itu dimana terdapat sebuah tempat tidur batu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berangkat dan langsung manuju ke kampong Hong bu pang. Perkampungan itu terdiri dari beberapa petak rumah yang semuanya milik anggota-anggota perkumpulan itu. Kampong itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang dipasang besi-besi runcing diatasnya. Empat pintu besar di tiap penjuru dibuka lebar-lebar dan beberapa gerobak hilir mudik melaluinya. Pintu itu masing-masing dijaga oleh enam orang bersenjata tombak dan golok. Sikap mereka galak dan angkuh.

Lui Im dan Bu Beng menghampiri pintu selatan. Mereka dihentikan oleh penjaga-penjaga disitu dan ditanya keperluan mereka.

“Kami berdua hendak menjumpai Tan pangsu.”

Ketika penjaga-penjaga itu mendengar bahwa yang datang adalah pangcu dari Cung lim pang, berubahlah wajah mereka dan dua orang diantaranya segera lari masuk memberi laporan.

Tak lama kemudian, dari dalam perkampungan kecil itu keluar orang setengah tua yang bertubuh tegap dengan tindakan kaki tetap, menandakan bahwa ia adalah seorang ahli silat. Ketika melihat Lui Im, ia menjuru dengan hormat.

“Maafkan, Lui pangcu, pangcu kami kebetulan sedang keluar kampong. Tapi ia tadi memberi pesan padaku, bahwa jika ada orang datang mencarinya, diminta agar kembali lagi malam nanti.”

Lui Im kenal bahwa yang datang itu adalah seorang jagoan di Hong bu pang yang bernama A Liat si Angin Ribut. Maka ia balas menjuru dan berkata kecewa. “Ah, sayang sekali. Sebenarnya aku datang memenuhi undangan Ang Hwat Tojin.”

“Ang Hwat Tojin juga keluar bersama-sama pangcu. Sebaiknya Lui Im pangcu kembali saja malam nanti.”

Ketika berkata demikian A Liat mengerling kearah Bu Beng sambil mengamat-amati, seakan-akan sedang mengukur-ukur kekuatan orang itu. Ketika itu Lui Im duduk diatas sebuah bangku yang terdapat ditempat jaga itu dan melihat Bu Beng berdiri saja, si Angin Ribut segera menghampiri bangku batu di sudut dan dengan sekali congkel dengan kaki bangku itu melayang keatas dan diterima olehnya seakan-akan bangku batu yang beratnya ada seratus kati itu hanya merupakan bangku bambo saja. Kemudian ia membawa bangku itu kepada Bu Beng dan berkata,

“Silakan duduk, tuan muda,” ucapan 'tuan muda' ini mengandung sindiran, karena Bu Beng yang ketika itu belum mengganti pakaian kuning penuh tambalan sesungguhnya sebutan 'tuan muda' itu tidak pantas dan menggelikan.

Bu Beng maklum bahwa orang itu sedang menunjukkan kekuatan tenaganya. Maka ia pura-pura kaget dan termangu. “Ah, tenaga tuan sungguh mengkagumkan! Terima kasih!” kemudian ia duduk di bangku batu yang tebal itu, tapi diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya dan “krak!” kaki bangku itu patah menjadi empat.

“Sayang bangkumu lapuk sekali, tuan,” kata Bu Beng tersenyum dan berdiri tegak. Bukan main kaget A Liat melihat hal ini. diam-diam ia kagum sekali, maka ia menjuru dan berkata, “Maaf.”

“Nah, kalau begitu, biarlah kami kembali malam nanti pada kentungan sembilan kali. Katakanlah kepada pangcumu agar ia bersikap demikian pula kepada Ang Hwat Tojin,” kat a Lui Im yang segera mengajak Bu Beng pergi.

Mereka berdua lalu menuju ke kampong Lui Im. Semua anggota perkumpulan Cung Lim pang yang tadinya telah merasa cemas dan khawatir karena pangcu mereka semalam tidak pulang, kini menjadi girang melihat pangcu mereka kembali dalam keadaaan sehat. Istri Lui Im dan Kui hwa anak gadisnya menyambut kedatangan mereka dengan ramah tamah.

Lui Im membuat perjamuan untuk menghormati tamunya. Ketika mendengar bahwa anak muda yang berpakaian kuning penuh tambalan itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo yang mereka kenal baik, nyonya Lui Im makin manis sikapnya dan lebih-lebih Kui hwa. Lui Im merasa gembira sekali, karena ia yakin bahwa Bu Beng pasti dapat membersihkan namanya. Maka ia makan minum sepuas -puasnya sampai mabuk. Di tengah-tengah perjamuan ia berkata kepada tamunya.

“Bu Beng hiante, maafkan kalau aku berlaku lancang. Berapakah usia hiante tahun ini dan apakah sudah mempunyai hujin?”

Merah wajah Bu Beng mendengar pertanyaan ini. karena pertanyaan dari seorang yang mempunyai anak gadis yang diajukan seperti ini bukannya tak mengandung arti. Maka dengan malu-malu ia berkata,

“Siauwte berusia dua puluh enam tahun dan belum kawin, tapi….” Ia menyambung cepat, “siauwte sudah bertunangan.”

Biarpun ditahan-tahan, nampak juga kekecewaan menggores wajah Lui Im. “Siapakah nona tunanganmu itum hiante?”

“Ia adalah puteri dari mendiang Lui Pa San loenghiong.” Katanya dan tiba-tiba ia teringat akan penyakit yang diderita Cin Eng hingga tak terasa menghela napas.

Demikianlah, hari itu mereka lewati dengan makan minum dan bercakap-cakap. Lui Im suka sekali kepada pemuda yang bersikap sopan dan pandai membawa diri itu. Bu Beng mendapat sebuah kamar istimewa dan ketika ia dipersilakan mengaso, ia buka bungkusan pemberian Cin Eng. Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian warna kuning yang masih baru dan sehelai selimut.

Bu Beng kagum sekali betapa cepatnya gadis pujaannya itu mempersiapkan pakaian untuknya. Ah, tentu sepulangnya dari hutan itu, tunangannya terus menjahit hingga pagi! Ia lepaskan pakaiannya yang lapuk dan mengenakan pakaian baru itu. Ternyata pas benar! Ia makin kagum kepada kekasihnya. Kemudian ia berbaring dan tidur. Pada kira-kira pukul tujuh malam, ia jaga dari tidurnya dan terus duduk bersemedhi menentramkan semangat karena ia harus menghadapi kemungkinan bertempur melawan orang-orang lihai.

Beberapa jan kemudian terdengar panggilan Lui Im perlahan. Bu Beng yang sudah siap lalu membuka pintu. Orang tua itu telah berpakaian ringkas dan pinggangnya tergantung goloknya. Ia nampak gagah dan sigap.

“Sudah siap, hiante?” tanyanya perlahan.

“Sudah, marilah.”

Ternyata Lui Im tidak memberitahukan persoalannya kepada anak istrinya agar mereka jangan merasa khawatir. Maka diam-diam kedua orang itu meninggalkan kampung dan menuju kearah Hong bu pang. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang Hong bu pang, ternyata pintu itu tertutup rapat. Bu Beng mencoba mendorongnya, tapi pintu itu terbuat daripada besi tebal dan terkunci dari dalam, kuat sekali.

“Eh, kenapa mereka menutup pintu? Takutkah mereka?” Tanya Bu Beng.

“Tidak mungkin mereka demikian pengecut!” seru Lui Im keras-keras dengan sengaja agar dapat terdengar dari balik tembok.

Tiba-tiba Bu Beng memperingatkan. “Awas senjata gelap!”

Tapi Lui Im dapat mendengar juga suara angin menyambar kearah mereka. Ia meloncat dan tiga batang piauw menyambar lewat. Bu Beng mengulurkan kedua tangannya menangkap dua batang pelor yang menyambar kearahnya.

“Ha ha ha ! Lui Im! kau berani datang mencari mampus! Masuklah kalau kau dapat dan berani.” Terdengar suara Tan Tek Seng menertawakan mereka dari atas tembok.

“Orang she Tan pengecut! Biar kukejar sampai dimana juga!” teriak Lui Im dengan marah dan ia siap meloncat keatas, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Bu Beng. Lui Im merasakan pegangan itu kuat sekali hingga tak mungkin baginya untuk melepaskan diri dan meloncat.

“Sabar, Lui loenghiong biarlah siauwte yang naik dulu untuk melihat suasana. Aku khawatir mereka memasang jebakan diatas, sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan mengirim senjata gelap tadi.”

Sebelum Lui Im dapat menjawab, anak muda itu mengayunkan tubuhnya dan melayang keatas tembok. Bagi orang lain, biarpun ia mempunyai kepandaian tinggi, jika meloncat tembok itu tentu sesampainya diatas akan berpegangan kepada besi runcing. Tapi Bu Beng mempunyai ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang sempurna dan gerakannya gesit sekali.

Maka dengan sengaja ia perkeras loncatannya hingga tubuhnya melayang keatas besi-besi itu dan menginjakkan kedua kakinya diujung besi! Tubuhnya dengan tetap dan ringan bagaikan seekor burung berdiri diatas besi itu sambil memandang kebawah dengan tajam.

Benar saja, dari bawah menyambar beberapa belas piauw dan pelor besi kearahnya. Secepat kilat Bu Beng mencabut pedang pendek wee liong kiam dari punggungnya dan memutarnya untuk melindungi tubuh. Semua senjata rahasia itu terpental kembali dengan suara berderincingan. Maka pemuda yang tajam itu melihat beberapa bayangan tubuh di bawah tembok. Ia segera mengayunkan tangannya dan melepaskan dua buah pelor yang tadi disautnya ketika ia mula-mula mendapat serangan. Terdengar suara teriakan orang kesakitan dibawah tembok.

“Tan pangcu! Ang Hwat Tojin! Tidakkah sambutan ini sangat memalukan dan bukan perbuatan orang-orang gagah? Atau kalian takut kepada Lui pangcu?” seru Bu Beng dari atas.

“Orang gagah darimana yang datang ini. turunlah dan bawa orang she Lui itu masuk. Kami ingin memandang mukamu dan mempersilakan kamu masuk,” terdengar suara Tan Tek Seng.

Bu Beng segera memberi isyarat kepada Lui Im yang masih berdiri dibawah. Lui Im menggerakkan kakinya dan meloncat keatas. Ia tidak berani meniru perbuatan dan gerakan Bu Beng tadi, tapi menggunakan tangan kirinya memegang sebuah besi untuk menahan tubuhnya. Kemudian dengan Bu Beng mendahuluinya, mereka turun ke dalam.

Mereka disambut oleh tiga orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan. Di sekitarlapangan itu ditaruh obor yang membuat tempat itu terang sekali bagaikan siang. Di belakang obor-obor itu berdiri berpuluh orang dengan pakaian ringkas dan senjata di pinggang merupakan barisan. Keadaan mereka kelihatan perkasa sekali dan rupa-rupanya mereka telah melakukan persiapan sejak tadi. Tan Tek Seng yang bertubuh gemuk pendek melangkah maju, dan menjuru kepada Lui Im.

“Lui pangcu. Sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu kembali dengan kau dalam keadaan sehat.”

“Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau, Tan pangcu. Bukankah kau adalah pecundangku? Aku datang menagih janji dan memenuhi undangan Ang Hwat Tojin.” Ia melirik kearah orang pendeta kurus tinggi yang memegang kebutan putih berdiri tenang sambil memandang kearah tamu-tamu itu dengan acuh tak acuh.

“Siancai, siancai!” pendeta itu berkata dengan lagak seorang alim. “Rupanya Lui pangcu mendapat bantuan orang pandai hingga berani berlagak setelah pinto ampuni jiwanya.”

“Hm, pendeta jahat! Selama hidupku belum pernah bermusuhan dengan orang seperti kau. Tapi mengapa kau berani-berani mencampuri urusan kami tanpa mengetahui duduk perkaranya? Apakah ini pantas disebut perbuatan seorang yang mencucikan diri dan telah memakai jubah pendeta? Kau bilang aku membawa teman, memang betul, tapi siapakah yang melanggar perjanjian lebih dahulu? Aku datang seorang diri di hutan malam tadi, tapi ternyata Tan pangcu diam-diam mengundang kau. Sekarang aku datang membawa seorang kawanku, bukankah ini cukup adil?”

“Orang she Lui! Jangan kau lancang mulut menyebut-nyebut tentang kedudukanku. Kau sudah nyata bukan tandinganku, apakah kau mencari mampus? Tentang kawanmu, janganlah hanya seorang, biar kau bawa beberapa orang lagi, aku tidak ambil pusing. Jangan kira kami takaut padamu dan pada kawan-kawanmu,” jawab Ang Hwat Tojin sambil menuding-nudingkan kebutannya.

“Lui loenghiong,” kata Bu Beng dengan suara mengandung ejekan, “mereka bilang tidak takut kepada kita yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi lihatlah dia itu, bukankah dia itu agaknya orang yang siang tadi mereka cari untuk diminta bantuannya?”

Lui Im memandang kearah orang yang dituding pemuda itu dan melihat seorang kate yang berpakaian seperti penegmis sambil memegang tongkat. Orang itu duduk diatas tanah dengan tak acuh sama sekali tentang pembicaraan mereka, tapi hanya menggunakan tongkatnya menggaris-garis tanah. Bu Beng tertarik sekali oleh goresan tongkat itu karena biarpun hanya ditekan lemah tapi goresannya dalam sekali menunjukkan adanya tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ia jadi memperhatikan apa yang dituliskan oleh si kate itu. Teernyata dibaris pertama adalah ujar-ujar nabi Khong Hu Cu yang berbunyi,

“Su Hai Lwee Kai Heng Tee Ya” yang artinya, “Di empat penjuru lautan semua orang adalah saudara,” lalu dibawa kedua disambung uajar-ujar lain yang berbunyi. Janganlah kau lakukan kepada orang lain sesuatu yang kau sendiri tidak mau dilakukan oleh orang lain kepadamu.”

Orang kate itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya terdapat banyak uban dan awut-awutan tak terurus. Mukanya kotor penuh daki dan wajahnya menunjukkan watak sembarangan dan tidak pedulian, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam berpengaruh yang tertutup oleh pelupuk mata yang selalu tampak seperti orang mengantuk. Bu Beng diam-diam heran dan menduga-duga siapakah pengemis tua yang luar biasa ini.

Sementara itu, mendengar ejekan Bu Beng, Ang Hwat Tojin menjadi malu dan mukanya berubah merah. Ia kibas-kibaskan kebutannya dan berkata,

“Sudahlah jangan banyak mengobrol kata-kata busuk yang tak berharga. Sekarang kalian sebagai tamu yang sudah datang maka kami sebagai tuan rumah hendak bertanya apakah kehendak kalian? Apakah kau masih sakit hati dan hendak mengadu tenaga dengan pinto, orang she Lui?” ia menantang sikapnya sombong dan memandang rendah.

Bu Beng mewakili Lui Im menjawab, “Ang Hwat Tojin maafkan aku yang muda ikut bicara. Kalau dipikir dalam-dalam kau sebenarnya tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Lui Im. Maka, jika kiranya Tan pangcu masih belum puas, ia boleh ada tenaga dengan Lui pangcu. Tetapi sebenarnya menurut pikiranku yang bodoh, tak perlu permusuhan ini dilanjutkan berlarut-larut, mengingat bahwa kedua-duanya adalah ketua dari perkumpulan besar yang seharusnya dapat memberi teladan baik bagi semua anggotanya dan mejauhi pertikaian yang tiada guna. Adapun kau sendiri karena kau menjadi orang undangan Tan pangcu, jika kau hendak main-main, sudah terang bahwa Lui pangcu bukan tandinganmu. Bukannya aku yang muda mau berlaku sombong, tapi kasihan kalau Lui pangcu yan sudah tua itu harus menjadi korban totokanmu lagi, biarlah ia kuwakili denan tubuhku yang lebih muda.”

“Sudah kusangka, sudah kusangka. Lui Im takkan berani datang kesini kalau tidak ada orang yang diandal kan. Tentu kau mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada orang she Lui itu. Nah, majulah, majulah anak muda biar kita main-main sebentar.”

Bu Beng maju dua langkah dan setelah menjuru kepada lawannya, ia mencabut pedang pendeknya dari punggung. Ang Hwat Tojin melihat pedang itu menjadi kaget dan berseru,

“Tahan dulu! siapakah namamu?”

“Orang sebut aku Bu Beng.”

“Bu Beng Kiamhiap? Kaukah ini? ha ha ha! ini namanya ular dicari-cari kemana-mana tidak terdapat, tahu-tahu ular itu merayap kearah kaki! Hm, jadi kaukah yang telah membinasakan suteku dan merampas pedangnya? Hayo kembalikan Hwe hong kiam itu padaku!”

Bu Beng memutar-mutar pedang pendeknya dan tersenyum. “Gampang saja kau mau minta pedang ini. jadi kau ini suheng dari Kong Bouw? sungguh heran, seorang pendeta mempunyai sute kepala penjahat yang kejam dan ganas! Ketahuilah, Ang Hwat Tojin, sutemu biarpun mati di tanganku tapi sebenarnya ia mati karena kejahatan dan dosanya sendiri. Kalau ia tidak jahat dan penuh dosa, masakan dia dapat bertempur dengan aku? Dan kalau tidak bertempur dengan aku, masakan dia dapat tewas? Tenang Hwe hong kiam ini, aku dapatkan setelah bertempur mati-matian dikeroyok oleh Kong Bouw dan komplotannya. Maka sekarang, kalau kau hendak memilikinya, ambillah dari tanganku. Pedang ini tidak pantas dimiliki untuk melakukan kejahatan. Sudah cukup pedang ini menderita karena siraman darah orang-orang yang tidak berdosa, kini aku harus mencuci segala noda itu dengan darah orang-orang jahat yang layak menjadi korbannya.”

Bukan main marahnya Ang Hwat Tojin mendengar uraian itu. Ia menggerakkan tangan kanan mencabut pedang yang terselip di punggungnya. Kemudian sambil menggeram keras ia maju menyerang.

Bu Beng berlaku hati-hati karena dulu ia telah bertanding dengan Kong Bouw yang ternyata ilmu silatnya hebat juga. Kini berhadapan dengan suheng kepala penjahat itu, ia harus berhati-hati karena tentu saja suhengnya lebih hebat daripada sutenya. Serangan lawan itu ditangkisnya dan cepat ia balas menyerang dengan tipu berbahaya dari Kim liong kiam hoat. Pedang Hwe hong kiamnya berkilat seperti kilat menusuk dada lawan.

Ang Hwat Tojin terkejut melihat ini dan cepat cepat ia gunakan kebutannya yang dipegang tangan kiri untuk menyabet pedang itu dengan gerakan Ular Putih Melilit Dahan. Kebutan itu benar saja telah melilit pedang Bu Beng dengan kuatnya. Bu Beng kaget juga melihat kehebatan imam itu. Ia mencoba manarik pedangnya, tapi makin ditarik makin keras saja libatan itu. Mereka berdua mengerahkan tenaga, Bu Beng menarik dan lawannya menahan.

Tiba-tiba Ang Hwat Tojin menusukkan pedangnya ketenggorokan Bu Beng. Bukan main hebat dan berbahayanya serangan ini justru pada saat Bu Beng sedang mengerahkan tenaga kearah pedangnya yang terlibat! Anak muda itu memutar pergelangan tangannya untuk membalikkan mata pedang dengan maksud menggunakan mata pedang itu membabat kebutan itu sambil ia berkelit merendahkan tubuhnya menghindari tusukan lawan.

Ang Hwat Tojin merasakan lilitan kebutannya tiba-tiba mengendur dan ketika ia lihat, bukan main rasa panas dan marahnya karena ternyata kebutannya telah putus oleh tajamnya pedang hwe hong kiam. Dengan marah ia ayunkan gagang kebutan yang terbuat dari besi itu kearah Bu Beng. Bu Beng maklum akan kerasnya ayunan itu, maka ia tidak berani menerimanya, dan mengelakkannya.

Gagang kebutan itu terlempar kesisi dan menancap diatas tanah hingga tak kelihatan lagi. Demikian hebatnya tenaga imam itu, hingga kalau gagang kebutan itu mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa hebat akibatnya.

“Bangsat kecil lihat pedang!” Ang Hwat Tojin berseru marah. Ia memutar pedangnya demikian rupa sehingga sinarnya berkilauan karena cahaya api obor. Ia menggunakan ilmu pedangnya Halilintar Mengamuk menyerang dengan tiba-tiba dan mematikan.

Tapi Bu Beng menghadapinya dengan gagah. Pemuda ini memainkan Kim liong kiam hoat dicampur denagn tipu-tipu pedang dari Hoa san pai yang hebat hingga sinar pedangnya bergulung-gulung menindih sinar pedang imam itu, pertempuran berjalan ramai sekali, mereka merupakan sepasang naga yang sedang bercanda, mendatangkan angina dingin bersiutan karena gerakan mereka yang didorong oleh tenaga iweekang yang tinggi.

Semua orang melihat jalannya pertempuran dengan bengong dan kagum. Bahkan orang tua kate yang kini berdiri dengan tongkat terjepit dibawah lengan turut menonton. Berkali-kali terdengar bisikan di mulutnya yang kecil.

“Bagus, bagus…”

Pada satu saat, ketika Ang Hwat Tojin menusuk karah ulu hati Bu Beng, pemuda itu m enggerakkan pedangnya menangkis, tapi ia terus gunakan tenaga iweekangnya menempel pedang lawan, memutar lenganya dengan cepat hingga Ang Hwat Tojin terpaksa mengikuti gerak putaran itu dan sekali menyentakkan pedang pendeknya keatas, Ang Hwat Tojin berteriak kaget dan pedangnya terlepas dari tangannya terbang ke udara.

Ketika pedangnya mengikuti putaran tadi, Ang Hwat Tojin merasa telapak tangannya kesemutan dan pedangnya seakan-akan menempel ke pedang lawan, dan ketika ia sedang kebingungan untuk melepaskan pedangnya dari tempelan, tiba-tiba tenaga keras menarik pedangnya dan sentakan lawan membuat ia tak dapat menahan lagi hingga pedangnya terpelanting keatas.

Sebelum Ang Hwat Tojin hilang kagetnya, jari tangan Bu Beng secepat kilat menusuk dan menotok jalan darah di pundaknya. Pendeta itu jatuh terduduk dan tak dapat bangun kembali, karena totokan yang hebat itu membuatnya lumpuh dan mati setengah tubuhnya.

“Bangunlah, Ang Hwat ojin, bangunlah,” tiba-tiba pengemis kate itu berkata dan menggunakan tangannya memegang pundak Ang Hwat Tojin sambil membantunya bangun. Tapi diam-diam orang kate itu menggunakan tangannya menekan pundak dengan gerakan Capung Melayang Memukul Air untuk menyembuhkan totokan Bu Beng.

Ang Hwat Tojin segera dapat bangun berdiri dengan wajah merah dan sepasang matanya memandang lawan yang muda itu dengan melotot. Orang kate itu menghadapai Bu Beng dan bertindak maju sampai hanya tiga kaki terpisah dari Bu Beng. Ia masih mengempit tongkatnya dan menjuru sambil merangkapkan kedua tangan.

“Bu Beng Taihiap, kau sungguh hebat dan membuat aku sangat kagum.” Katanya dengan senyum.

Bu Beng merasa betapa dari kedua lengan itu menyambar tenaga besar hingga ia sangat terkejut. Buru-buru ia rangkapkan kedua tangan sambil mengerahkan iweekangnya dan balas menjuru.

“Losuhu terlalu memuji. Mohon keterangan siapakah losuhu ini?” si kate yang sedang mencoba kehebatan anak muda itu merasa tenaganya terpukul kembali hingga diam-diam ia makin mengagumi Bu Beng.

“Ha ha ha, sungguh hebat. Sungguh hebat. Masih semuda ini, tapi memiliki kepandaian yang tak tercela. Dengarlah anak muda, lohu disebut orang Pengemis Kecil tongkat Wasiat. Namaku Lo Sam dan pekerjaanku mengemis.”

Kembali Bu Beng terkejut. Tak heran bahwa pengemis kate ini demikian hebat, sebab ia adalah ketua perkumpulan pengemis dari daerah barat yang sangat terkenal namanya! Tapi, menurut Kim Kong Tianglo, suhengnya, Lo Sam adalah seorang yang sangat mengutamakan budi kebaikan, bahkan ia berlaku sangat bengis terhadap anggota-anggota perkumpulannya, karenanya ia sangat dipuji kaum persilatan. Tapi kini ia membantu orang semacam Ang Hwat Tojin dan Tan Tek Seng.

Bu Beng menjuru dengan hormat. “Tidak kusangka Lo enghiong yang kuhadapi. Maaf, maaf, kalau aku yang muda berlaku kurang hormat. Dengan adanya loenghiong disini, siauwte yakin bahwa urusan ini pasti dapat diselesaikan dengan damai dan sempurna, karena siauwte sudah mendengar tentang keadilan loenghiong.”

“Hm, hm, kau pandai membawa diri, anak muda. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu yang mulia?‟

“Kiranya akan cukup jika siauwte katakan bahwa siauwte adalah adik seperguruan dari Kim Kong tianglo.”

“Oo… begitukah? Tak heran kau begitu hebat! Tak kusangka kau adalah murid dari Hun San Tojin almarhum.”

Sementara itu Ang Hwat Tojin pun terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo, karena ia sendiri pernah jatuh dalam tangan hwesio yang lihai itu.

“Bu Beng Taihiap, karena kau masih muda, maka biarpun sifat-sifatmu baik, namun kau masih juga dikuasai oleh nafsu berkelahi. Ketahuilah kedatanganku ini walaupun memenuhi undangan Ang Hwat Tojin tapi bukan sekali-kali untuk mengadu kepandaian. Aku sengaja datang untuk mendamaikan urusan ini. Sebetulnya telah kuketahui bahwa Tan pangcu maupun Lui pangcu kedua-duanya adalah orang-orang baik dan jujur. Sayang mereka berdua kurang luas pandangannya dan mudah saja terbakar oleh murid-murid atau anggota-anggota mereka hingga terjadi bentrokan ini. Sebenarnya apakah untungnya untuk berkelahi antara kita sendiri? Kita di kurniai kepandaian bukanlah dimaksudkan untuk mencari permusuhan, tapi bahkan sebaliknya, membinasakan segala kejahatan, bukankah demikian? Kalau permusuhan didendamkan makin mendalam hingga terjadi balas membalas, siapakah yang rugi? Tak lain kita sendiri karena di dunia ini tidak ada orang terpandai!”

Bu Beng heran mendengar kata-kata yang lancer dan berisi itu, karena melihat orangnya yang kecil pendek itu tak tersangka dapat bicara demikian panjang lebar dan penuh isi. Dan terpaksa ia membenarkan uraian tadi dan berkata,

“Loenghiong benar sekali, siauwte juga akan merasa gembira sekali jika hal ini dapat dibereskan secara damai.”

Melihat perkembangan urusan ini hati Tan Tek Seng menjadi lemah. Sejak tadipun, setelah melihat betapa Ang Hwat Tojin yang ia andalkan dapat dijatuhkan oleh tangan kawan Lui Im, ia sudah merasa putus harapan untuk mempertahankan namanya. Harapan satu-satunya tinggal kepada Lo Sam yang ia tahu betul kehebatannya. Tapi kini mendengar kata-kata pengemis pendek kecil itu, lenyaplah harapan satu-satunya. Ia tahu diri maka segera ia maju dan menjuru kepada Lo Sam sambil berkata,

“Memang ucapan loenghiong tadi sangat tepat. Aku mengaku salah telah terlibat dalam pertempuran anggota-anggotaku yang tak berarti hingga terjadi bentrokan dengan Lui pangcu. Tapi karena kesalahan terletak dikedua pihak yang tidak mau mengalah hingga aku meminta bantuan Ang Hwat Tojin dan loenghiong sendiri sedangkan di pihak Lui pangcu juga minta bantuan Bu Beng Taihiap yang tinggi ilmu kepandaiannya ini, hatiku merasa sangat penasaran sebelum menyaksikan pihak manakah yang lebih hebat kawannya. Ang Hwat Tojin sudah terkalahkan tapi aku masih ada loenghiong yang datang kesini atas undanganku. Maka aku yang bodoh mohon dengan sangat untuk menambah pengetahuanku yang rendah, sudilah loenghiong melayani Bu Beng Tahiap bermain-main sebentar secara sahabat. Jika Bu Beng Tahiap yang masih muda tapi sangat hebat ini ternyata lebih unggul daripada loenghiong, maka dengan rela aku akan minta maaf lebih dulu kepada Lui pangcu. Sebaliknya jika Bu Beng Taihiap tak dapat mengalahkan kepandaian loenghiong, sudah sewajarnya kalau Lui pangcu yang minta maaf lebih dulu dan kami berdua selanjutnya menghabiskan permusuhan ini dan melanjutkan persahabatan semula. Bagaimana pendapatmu Lui pangcu?”

Lui Im yang sejak tadi sangat kagum melihat kehebatan Bu Beng, dan ia mengerti pula bahwa Lo Sam bukanlah orang sembarangan, maka iapun ingin sekali melihat kedua orang ini mengadu ilmu agar ia dapat menyaksikan untuk menambah pengalaman. Melihat sikap Tang Tek Seng yang tiba-tiba berubah manis, iapun bergembira dan sambil tersenyum ia berkata,

“Setuju, setuju! Tapi tentu saja saya tidak dapat dan tidak berani memaksa Bu Beng Taihiap saya hanya mengharapkan persetujuannya saja.”

Lo Sam tertawa tergelak-gelak. “Ah, ah memang kedua pangcu ini jahat dan usilan! Memaksa aku yang tua dan Bu Beng Taihiap yang hebat ini akan dijadikan jago aduan dan mereka berdua dengan enak bertaruhan? Ah, tak beres, tak beres!”

Bu Beng tersenyum dan sambil menggeleng-gelengkan kepala berkata, “Ah, mana berani siauwte berlawan tangan dengan Lo Sam loenghiong? Sudah lama siauwte mendengar kehebatannya, bagaimana siaute dapat menandinginya? Lui pangcu sebaiknya kau saja yang mengalah dan minta maaf lebih dulu untuk menjaga mukaku!”

“Ha ha ha kau sungguh tahu diri dan pandai merendahkan diri, sobat muda,” kata Lo Sam. “Belum tentu lohu dapat mengalahkanmu. Kulihat kepandaianmu lebih tinggi daripada Kim Kong Tianglo suhengmu itu. Mari, biarlah kita menjadi dua pelawak sebentar dan memenuhi kehendak kedua pangcu yang jahat ini.”

Bu Beng terpaksa maju menghampiri dan memasang bheksi pertahanan dengan sikap mem persilakan orang tua itu bergerak dulu. tapi Lo Sam sambil memperdengarkan suaranya yan nyaring menggoyang-goyangkan tongkatnya dan berkata,

“Anak muda, kiam hoat mu tadi kulihat hebat sekali, kalau tidak salah itu adalah Kim liong kiam hoat maka cabutlah pedangmu, biar kucoba dengan tongkat usangku ini.‟”

Bu Beng terpaksa mengeluarkan pokiamnya dan lagi-lagi memasang kuda-kuda pertahanan. Lo Sam tidak sungkan-sungkan lagi, dengan seruan 'awas' ia ayun tongkatnya menyerang, dengan cepat Bu Beng memperlihatkan kelincahannya, dan berkelit kesamping sambil menggunakan pedangnya mengait ujung tongkat dan pedang saling serang bagaikan menjadi satu bundaran hingga menyilaukan mereka yang menonton.

Tak percuma Lo Sam digelari orang Tongkat Wasiat, karena permainan tongkatnya betul-betul hebat. Dan Bu Beng harus mengeluarkan seluruh kegesitan dan keahliannya untuk dapat mengimbangi permainan pengemis kate ini. tapi sambaran tongkat mendatangkan angin tajam mengiris kulit.

Setelah bertempur lebih lima puluh jurus dengan tak tentu siapa yang lebih unggul Bu Beng segera merubah gerakannya dan kini mencampur ilmu pedangnya dengan pukulan-pukulan Hoa san pai. Dalam menyerang ia gunakan Kim liong pai dengan dengan campuran Hoa san pai, sedangkan ketika menangkis ia gunakan campuran Kim liong pai dan Go bi pai.

Lo Sam mengeluarkan seruan 'hebat' karena kagum dan heran. Ia kagum sekali melihat ilmu pedang campuran yang hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya itu dan heran bagaimana cara menggabungkan ilmu-ilmu itu demikian mahirnya. Tak ia sangka bahwa pemuda itu akan dapat bertahan demikian lamanya melawan ilmu tongkat tunggalnya yang telah menjagoi di seluruh daratan Tiongkok berpuluh-puluh tahun lamanya.

Lo Sam merasa penasaran juga, maka kalau tadinya ia hanya menggunakan ilmu tangkisan dengan gerakan Dinding Tebal Ribuan Laksa hingga tongkatnya berputar menutupi seluruh tubuhnya hingga tak memungkinkan pedang Bu Beng dapat melukainya, kini ia robah gerakannya bersilat dengan ilmu toya dan tongkat Pat kwa mui yang diandalkan. Gerakan-gerakannya tidak kalah hebatnya ddari gerakan Bu Beng, bahkan serangan-serangannya berubah-ubah dari delapan penjuru sambil menangkis serangan pemuda itu dari manapun.

Namun biarpun Bu Beng masih muda tapi sudah terlatih hebat dan ilmu silat Pat kwa mui itupun pernah ia pelajari jalan-jalannya dibawah petunjuk gurunya, hingga kini setelah menghadapi ilmu itu ia tak menjadi gentar dan dapat menduga gerakan-gerakan lawan. Hanya saja, belum pernah ia menemukan seorang lawan yang demikian mahir dalam ilmu ini dan gerakan-gerakannya banyak terdapat kembangan-kembangannya yang diciptakannya sendiri, maka tak heran kalau Bu Beng harus berlaku hati-hati agar jangan sampai tertipu. Makin lama pertempuran berjalan makin hebat hingga ratusan jurus.

Pada suatu saat, ketika pedangnya ditangkis oleh Lo Sam dengan gerakan Dewa Arak Keluar dari Pintu Selatan. Bu Beng teruskan ujung pedangnya yang tergempur kesamping itu untuk membabat pinggang lawan dengan sepenuh tenaga. Serangan ini hebat sekali karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya diiringi bentakan “lihat pokoam” untuk menambah tenaga semangatnya.

Melihat datangnya serangan hebat ini Lo Sam terkejut sekali karena saat itu tongkatnya sedang terdorong maju dalam melakukan gerakan tangkisan tadi, maka secepat kilat ia membalikkan tangannya hingga tongkatnya menyambar kesamping, terus ia gunakan tenaga sekuatnya untuk menangkis pergi pedang lawan. Dua buah senjata pusaka yang ampuh digerakkan oleh dua tangan raksasa yang mengandung tenaga iweekang tinggi beradu di tengah-tengah udara.

Terdengar suara keras sekali dan kedua lawan itu masing-masing merasakan telapak tangan mereka tergetar hebat hingga kedua-duanya tak dapat menahan pula, dan kedua senjata itu terlepas dari pegangan. Pada saat itu pula masing-masing meloncat mundur beberapa kaki dan berdiri diam untuk menarik napas.

Lo Sam masih berdiri diam sambil memejamkan mata ketika pemuda itu berjalan maju untuk memungut kedua senjata itu. Ketika pengemis kate itu membuka matanya, ia melihat pemuda lawannya telah brdiri di hadapananya sambil menyerahkan tongkatnya dengan sikap hormat sekali.

“Loenghiong sungguh gagah, siauwte tunduk sekali.”

Lo Sam menghela napas. “Memang gurunya naga muridnyapun naga. Seumur hidupku dalam perantauan beribu-ribu Li belum pernah aku menjumpai lawan semuda dan sehebat kau, anak muda. Kau betul-betul membuat lohu merasa seperti seekor katak melawan ular. Kiam hoatmu luar biasa sekali. Nah, kini berlakulah murah untuk melayaniku dalam ilmu silat tangan kosong beberapa jurus saja.”

Bu Beng menjuru “Siauwte bersedia melayanimu, loenghiong.”

Demikianlah, jago tua itu kembali bertanding dengan Bu Beng, dan hanya menggunakan kepalan dan tendangan. Tapi dalam ilmu silat tangan kosong, setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus dengan hebat, ternyata bagi Bu Beng bahwa Lo Sam tak berapa kuat dan gerakan-gerakannya tidak semahir ilmu tongkatnya. Hanya orang tua itu memiliki keuletan dan kematangan berlatih saja. Kalau ia mau, dengan mudah ia dapat melanjutkan serangan maut dan menjatuhkan pengemis kate itu, tapi Bu Beng tidak tega berlaku kejam terhadap orang tua itu. Maka, ia hanya melayani saja permainan Lo Sam sambil mengunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga lama-lama Lo Sam merasa lelah dan pening.


cerita silat online karya kho ping hoo


Dalam keadaan lelah Lo Sam menggunakan kedua telapak tangannya memukul dada Bu Beng dengan tipu Dewa Menyuguh Dua Buah Tho, ialah gerakan sederhana tapi mengandung tenaga dalam yang kuat sekali. Bu Beng yang melihat bahwa lawannya telah lelah, mengambil keputusan untuk mengakhiri pertandingan ini. Dan mereka lalu mengeluarkan kedua tangan mereka dengan kepalan terbuka dan berjabat. Empat tangan beradu tanpa mengeluarkan apa-apa, tapi karena gerakan itu mengandung tenaga dalam, Lo Sam terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Raja pengemis kate itu menjuru kearah Bu Beng dan berkata,


“Bu Beng Taihiap sungguh hebat, lohu mengaku kalah.”

Bu Beng segera membalas memberi hormat. “Loenghiong sengaja mengalah, siauwte yang sebenarnya kalah.”

Mendengar kata-kata kedua orang itu. Tan pangcu dan Lui Im saling pandang, karena mereka sesungguhnya tidak mengerti siapakah yang lebih unggul. Di waktu Lo Sam terhuyung lima langkah tadi, Bu Beng sengaja mundur juga sampai lima langkah! Maka kedua pangcu itu segera saling menjuru menyatakan maaf dan damailah kedua pihak.

“Ha ha ha! puas hatiku melihat hal ini dapat dibereskan secara damai! Lebih puas lagi karena aku telah menemukan seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Cuwi, contohlah Bu Beng Taihiap yang masih muda ini tapi yang patut dibuat teladan. Ia demikian hebat tapi selalu berlaku mengalah menjauhi permusuhan. Biarlah dengan jalan ini lohu mengundang cuwi sekalian untuk pada permulaan musim Cun tahun depan ini mengunjungi pondokku di Lok Leng Ceng, turut merayakan pesta kecil yang akan lohu adakan guna memperingati tahun ketiga belas dari pendirian perserikatan pengemis seluruh daratan timur. Waktu itu sungai Yang-Ce sedang tenang dan cuwi tentu akan menikmati pemandangan indah disana.”

Semua orang menjuru menyatakan terima kasih.

“Kini taihiap hendak pergi kemanakah?” tiba-tiba Lo Sam bertanya.

Dengan singkat Bu Beng menuturkan maksudnya hendak ke pulau Ang coat ho atau pulau ular merah. Lo Sam mengerutkan jidat dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Perjalanan berbahaya. Ah, betapapun juga lohu percaya bahwa kau pasti akan berhasil mendapatkan obat itu. Tahukah taihiap cara pengobatan dengan mustika ular itu?”

Mendapat pertanyaan itu Bu Beng menjadi bingung karena sesungguhnya ia belum tahu cara bagaimana menggunakan obat yang tengah dicari-carinya itu. “Baiknya lohu pernah mendengar tentang penggunaan obat mustika ular untuk menyembuhkan berbagai penyakit beracun. Baiklah lohu tuliskan resepnya untuk dicampur dengan obat itu.”

Tan pangcu segera mengambil kertas dan alat tulis dan Lo Sam segera menulis resep itu.

“Taihiap belilah obat menurut resep ini di took obat dan campurkan dengan mustika ular itu untuk dimakan oleh yang sakit.”

Bu Beng menerima resep sambil mengaturkan terima kasih. Kemudian Lo Sam meninggalkan tempat itu sungguhpun ditahan oleh pangcu dari Hong bu pang, Bu Beng juga bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya.

Karena menghadapi urusan Lui Im tadi, Bu Beng terlambat dan tertahan tiga hari. Maka kini ia percepat tindakan kakinya. Ia berjalan langsung kearah utara dan dua hari kemudian tibalah ia di kampung Po Teng dimana mengalir sungai Yang-ce-kiang yang lebar dan melintasi kampong itu bagaikan seekor naga raksasa. Airnya mengalir perlahan tapi jika musim hujan tiba, air itu akan berubah besar dan deras sekali, merupakan bencana yang dalam beratus-ratus tahun telah membinasakan entah berapa ratus ribu jiwa rakyat. Beberapa perahu tampak hilir mudik, karena di dalam air telah terkenal menjadi gudang ikan yang menjadi sumber penghasilan para nelayan.

Ketika mencari perahu, ternyata Bu Beng tak bisa mendapatkan seorangpun yang sanggup membawanya ke samudra.

“Ke laut? Ah, tuan muda siapa yang berani menempuh perjalanan demikian jauh? Jaman sekarang sedang kacau balau dan dimana-mana ada orang jahat. Perjalanan itu jauh sekali dan memakan waktu berminggu-minggu. Semua perahu disini hanya sanggup menyeberangkan ke tepi sana atau mengantarkan ke kampong yang berdekatan saja. Biar dibayar berapapun, saya rasa tiada seorangpun yang akan berani harus menempuh segala macam bahaya dan meninggalkan keluarga untuk berminggu-minggu,” demikian keterangan yang ia dapat dari seorang nelayan tua itu.

“Habis, apa yang harus kulakukan untuk dapat mencapai laut?” Tanya Bu Beng dengan suara sedih dan perlahan, seakan-akan tengah berbicara kepada diri sendriri.

Nelayan tua itu agaknya kasihan melihat Bu Beng. “Tuan muda, kalau saja kau bisa membujuk Hek Ho uw barangkali kau dapat melanjutkan niatmu. Kalau tidak jangan harap kau bisa berlayar ke samudra.”

“Hek Houw? Siapakah dia?” Tanya Bu Beng yang mendapat harapan baru.

“Hek Houw nelayan muda. Tapi adatnya sukar diladeni. Sekarang ia tentu sedang membuang-buang uangnya di kedai arak lagi,” kata orang tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Setelah mengetahui dimana letak kedai arak itu, Bu Beng segera menujukan langkahnya kesitu. Ketika tiba di luar kedai, ia mendengar suara seorang yang kasar dan parau tapi cukup nyaring tengah berteriak -teriak marah.

“Kalian ini semua orang apa! Tak lain dari orang-orang lemah penjilat, dan tak tahu arti hidup! Lihat aku, biar namaku Hek Houw, tapi hatiku tidak kalah tabahnya dengan seekor Hek houw (harimau hitam) tulen. Aku cari uang untuk minum arak, aku bekerja dengan tenaga tak mengandalkan kelicikan seperti kalian. Apakah kalau tidak mencampur arak dengan air kalian tidak bisa hidup kaya? Apakah kalau tidak kaya karena uang tipuan kalian tidak puas? Hayo jawab, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu seorang demi seorang!”

“Jangan marah, Hek twako,” terdengar suara lemah. “Kami tidak menipumu. Arak ini memang arak tulen yang kami beli dari Lo bee chung di barat sana. Entah kalau arak ini dicampur air oleh perbuatnya, karena bukan kami yang membikinnya.”

“Ah, alasan saja! Dulu pernah aku beli arak dari sana tapi semua arak tulen, tidak seperti ini. Arak palsu, apakah uangku ini juga palsu?”

Bu Beng bertindak masuk dan melihat seorang tinggi besar yang bermuka hitam tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke kanan kiri dengan mata melotot. Beberapa orang berdiri di sudut dengan takut-takut. Si muka hitam itu masih muda, paling banyak berusia dua puluh tahun.

“Sekarang begini saja. Ganti arakku ini dan keluarkan arak yang tulen, kalau tidak, kalian enam orang ini harus keluar dengan aku dan berkelahi mengeroyokku agar dapat kupersen pukulan satu-satu.”

“Kami tidak punya arak tulen selain ini Hek twako.”

“Bohong!” dan kepalan tangan di hitam itu memukul meja hingga meja kayu itu menjadi pecah.

“Sabar, saudara, tidak sepatutnya orang beli dengan main paksa?”

Hek Houw berpaling cepat dan memandang penegurnya dengan mata melotot. Bu Beng kini dapat melihat wajah orang hitam itu dengan jelas. Wajah yang jujur tapi bodoh, pikiranya.

“Apa? Siapa kau berani menegurku?”

Bu Beng tidak menyahut, tapi menghampiri tempat arak dan menggunakan telunjuknya untuk mencoba rasanya. “Hm, benar-benar bercampur air,” katanya sambil memandang kepada tukang warung. “Tidak adakah yang lebih baik?”

Tukang warung yang setengah tua berkata perlahan. “Ada sih ada, tapi Hek Houw hanya mempunyai uang dua chi sedangkan hutangnya yang kemarinpun belum dibayar. Bagaimana ia dapat kami beri arak tulen yang mahal harganya?”

Bu Beng tersenyum. “Keluarkan arak tulen satu guci biar aku yang bayar. Ini uangnya.” Dilemparnya potongan uang perak diatas meja.

Dengan tindakan lebar Hek Houw menghampiri Bu Beng. “Eh, orang sombong! Kau juga orang kaya yang jumawa ya? Kau kira aku sudi minum arakmu? Kau mau andalkan uangmu untuk bertingkah?” tinjunya yang segede buah kelepa diayun-ayunkan di depan hidung Bu Beng.

“Siapa yang menyombong? Aku sengaja datang kesini untuk mejumpaimu dan mengajak minum arak. Apakah itu sombong namanya?”

“Sabar, Hek twako,” kata tukang kedai, “tuan ini rupanya mengajak bersahabat denganmu. Bukankah itu baik sekali?”

“Hm, hm,” Hek Houw mengeluarkan suara ejekan dari hidung. “apa maksudmu mencari aku? Ingin membeli ikan? Menyewa perahu?”

Bu Beng mengangguk. “Aku hendak menyewa perahumu.”

“Tidak bisa!”

Bu Beng heran mendengar jawaban tegas dan singkat ini. Benar-benar seorang yang aneh adatnya, ia pikir. “Mengapa tidak bisa?”

“Tidak bisa, habis perkara. Jangan banyak cakap seperti perempuan!”

Tiba-tiba Bu Beng tertawa. Hek houw memandang mukanya dengan tercengang.

“Mengapa kau tertawa?”

“Karena melihat kekhawatiranmu. Kau khawatir aku tak dapat membayar sewanya? Jangan takut, kawan, berapa saja uang sewanya akan kubayar.”

“Hm, aku tak butuh uang!”

Bu Beng makin heran tapi ia tertawa lagi, kini lebih keras.

Hek Houw maju setindak. “Hati-hati, kawan, kalau sekali lagi kau ketawa, alamat hancur kepalamu kutinju. Mengapa kau tertawa lagi?”

“Karena ternyata kau penakut. Kau takut bertemu bajak sungai.”

“Kenapa begitu?”

“Karena aku hendak menyewa perahumu menuju ke laut.”

Hek Houw terkejut. “ke laut?? kau…??” Ia maju lagi selangkah, kini tepat di depan Bu Beng. “Jangan main-main kawan, aku Hek Houw tidak takut siappun juga. Aku tidak takut bajak sungai atau bajak laut yang manapun juga. Tapi... kau sendiri, orang kurus kering dan lemah ini, berani mengatakan aku takut, apakah kau sendiri berani menghadapi bajak sungai?”

Bu Beng angkat dada. “Mengapa aku tidak berani?”

“Ha, agaknya kau mengerti ilmu silat maka berani menghadapi bajak sungai!”

“Sedikit-sedikit aku mengerti,” jawab Bu Beng dengan hati geli.

Tiba-tiba Hek Houw menepuk-nepuk pundaknya. “Bagus, bagus! Nah, mari kita adakan perjanjian. Kau yang kurus kering ini mengadu tenaga dengan aku, kalau kau kalah, maka bawalah kesombonganmu itu ke lain tempat dengan segera.”

“Kalau kau yang kalah?”

“Aku? kalah olehmu? Ha ha ha kalau aku kalah, baiklah kuantar kau. Jangankan ke laut, ke neraka jahanampun akan kuantar. Dan semua itu tanpa ongkos satu chi pun!”

“Baik, mari kita keluar,” tantang Bu Beng.

Mereka keluar kedai itu, dibuntuti oleh enam orang tadi yang memandang Bu Beng dengan keheranan. Apakah orang itu mencari mampus? Pikir mereka.

Bu Beng berdiri sambil bertolak pinggang. “Bagaimana kita harus mengadu tenaga? Berkelahi?”

“Tidak. Kalau berkelahi kau akan mampus. Begini saja kita saling pukul tiga kali. Kau pukul dulu padaku tiga kali dan kemudian aku akan memukulmu tiga kali. Siapa yang jatuh ia kalah.”

Bu Beng maju dan menggunakan tangan kanannya meraba-raba dada Hek Houw yang bulat dan keras. “ah, dadamu begini lunak. Lebih baik kau saja yang memukul aku dulu. kalau aku memukul dulu, maka kau tentu takkan kuat membalas lagi.”

Hek Houw terheran-heran, demikian juga enam orang itu yang memperdengarkan suara ketawa. Hek Houw menengok kearah mereka. “Ada apa kau tertawa? Orang ini berhati tabah, tidak seperti kamu!” lalu ia menghadapi Bu Beng lagi. “jangan kau sungkan begitu kawan. Lebih baik kau yang memukul dulu.”

“Tidak , kalau kau tidak mau memukul dulu, tidak jadi saja dan kuanggap kau takut.”

“Apa katamu? Baik, kalau kau mencari mampus sendiri. Mari bersiaplah!”

Bu Beng memasang kuda-kuda dan pasang dadanya. “Nah, pukullah yag keras.”

Hek Houw mengayunkan pukulan kanannya kearah dada Bu Beng. Ia hanya menggunakan sebagian tenaganya karena khawatir kalau-kalau orang itu terpukul mampus. “Duk!” dan Hek Houw heran sekali karena ia rasakan bagaikan memukul karet hingga kepalanya terpental kembali.

“Ah, pukulanmu seperti bakpauw saja. Empuk dan lunak,” Bu Beng mengejek.

Enam orang itu tertawa ditahan. Muka Hek Houw merah dan ia kepalkan tangannya makin keras. “Awas, terimalah pukulan kedua.”

Hek Houw memukul lagi, kini sepenuh tenaga. “Bluk!” dan orang muka hitam ini makin heran karena dada yang terpukul itu bagaikan kapas hingga pukulannya tak berbekas! Ia memandang heran dan menyangka orang itu menggunakan ilmu sihir. Tapi ia masih penasaran dan berkata, “Hm, coba rasakan pukulan ketiga ini!”

Kini ia mengerahkan seluruh tenaga tubuhnya dan memukul sekuatnya. “Duk!” dan heran sekali, pemuda muka hitam itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi tangan kananya karena ia melihat seakan-akan memukul besi! Ketika ia melihat tangannya ternyata tangan itu menjadi merah biru!.

“Sudah puas?” Tanya Bu Beng. “Nah, kini tiba giliranku memukul, tidak tiga kali, cukup sekali saja.” Mendengar kata-kata sombong ini Hek Houw menjadi marah.

“Boleh, boleh!” kata Hek Houw menahan sakit tangannya. “Pukullah, pukullah dadaku dengan kepalan tahumu! Jangan tiga kali, boleh kau pukul enam kali.”

Hek Houw membuka kancing bajunya memperlihatkan dada yang bidang dan berotot, nampak kuat sekali. Sambil tersenyum Bu Beng maju selangkah dan menggunakan tangan kanannya memukul kearah dada kanan pemuda muka hitam itu perlahan.

Semua orang yang kini pada datang menonton pada heran karena seketika itu juga Hek Houw menjerit kesakitan dan jatuh terguling. Kedua tangannya memegang dadanya dan ia mengerang-erang kesakitan.

“Aduh... aduh…” kemudian sambil menahan sakitnya, Hek Houw merangkak dan berlutut di depan Bu Beng.

“Suhu... ampunkan aku yang tak mengenal orang pandai. Suhu akan kuantar kemana saja, biarlah aku korbankan jiwa kalau perlu, asal suhu suka memberi pelajaran padaku tentang cara memukul tadi!”

Bu Beng tertawa geli dan merasa kasihan, ia menggunakan telapak tangannya menepuk pundak kanan pemuda hitam itu yang segera membuat sembuh sakit dadanya. Kemudian Bu Beng mengurut tangan yang bengkak matang biru itu hingga perlahan-lahan         tangan itu sembuh kembali.

“Nah, jadi orang janganlah sombong. Hayo kita minum dulu sepuasnya, baru berangkat menuju ke laut.”

Hek Houw tak berani membantah lagi. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baik suhu.”

Ia mengikuti Bu Beng masuk ke dalam kedai lalu makan minum sepuasnya. Ternyata Hek Houw adalah seorang yatim piatu tak bersanak dan hidup sebatang kara. Ia memiliki sebuah perahu yang sederhana tapi kuat. Maka setelah makan minum berangkatlah mereka berdua diikuti pandang mata kagum oleh para nelayan di kampong itu.

Air sungai Yang ce kiang pada waktu itu tenang. Perahu terbawa aliran air ditambah dengan tenaga pendayung yang kuat dari Hek Houw, maka perahu yang berujung runcing itu meluncur cepat sekali. Lima hari lima malam mereka berlayar dengan cepat, hanya berhenti untuk membeli makanan dan bermalam di kampong- kampong sepanjang sungai.

Pada hari kelima mereka tiba di kampong Cin hu chung! Kampong itu besar juga, terlihat dari banyaknya perahu-perahu besar yang berlabuh di tepi sungai.

Ketika perahu mereka sampai di situ. Bu Beng tertarik melihat keadaan disitu seakan-akan orang tengah berpesta. Rumah-rumah di tepi sungai dihias dan orang-orang nampak gembira. Bu Beng menyuruh Hek Houw berhenti.

“Kalau suhu sering berhenti, kapankah kita bisa sampai ke laut?” Hek Houw mengomel panjang pendek, tapi Bu Beng tersenyum saja.

Mereka mendarat dan Hek Houw menambatkan perahunya pada sebuah tonggak. Bu Beng lalu bertanya kepada seorang nelayan yang sedang menggulung jala apakah yang sedang dirayakan di kampong itu.

“Kongcu tidak tahu, kami sedang bergembira ria menyambut kedatangan seorang pendekar wanita yang telah berhasil membunuh harimau besar yang sering mengganggu penduduk kampong Cin hu chung. Bahkan chungcu sendiri mengeluarkan semua biaya keramaian ini. lihat panggung itu, sebentar lagi nona pendekar kita akan diarak kesitu menerima penghormatan.”

Bu Beng makin tertarik dan ingin sekali melihat wajah lihiap yang gagah perkasa itu. “Siapakah lihiap itu? Darimana datangnya? Tanyanya.

“Namanya kami tidak tahu, karena ia hanya seorang yang sedang lewat disini. Tapi tentang kehebatannya.” Nelayan itu memperlihatkan ibu jarinya. “Ia membunuh harimau ganas itu hanya dengan dua buah uang tembaga dan beberapa pukulan dan tendangan saja. Ketika lihiap lewat di hutan sebelah barat kampong ini, tiba-tiba terdengar deruman hebat dan harimau itu menerkam tanpa permisi.”

Nelayan itu meniru gerakan harimau dan dengan kedua tangan merupakan cakar ia hendak menubruk kearah Hek Houw yang mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut dan mengurungkan gerakannya.

“Tapi lihiap waspada, ia berkelit kesamping. Harimau yang terkenal jahat dan berkulit keras dapat menahan senjata tajam itu, kemudian menubruk lagi secepat kilat hingga lihiap sibuk juga meloncat kesana kemari menghindari terkaman harimau. Kemudian lihiap menjadi marah dan meloncat pergi beberapa tombak jauhnya dan ketika harimau menubruk kembali, lihiap telah siap dengan dua butir uang tembaga di tangan. Dua kali tangannya terayun dan butalah harimau itu. Kedua matanya ditembusi peluru uang. Nah, setelah buta, harimau itu dengan buas menerkam kekanan kekiri secara serampangan. Saat itu digunakan oleh lihiap untuk memperlihatkan tenaganya. Dua kali tendangan and dua kali pukulan cukup membikin harimau itu roboh tak bergerak dan mampus! Bukan main hebatnya!”

Ketika Bu Beng akan mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba terdengar tambur riuh berbunyi dan dari arah barat datang serombongan orang mengarak seorang gadis, berbaju putih. Kalau yang mengarak rata-rata berwajah gembira dan tertawa-tawa riang, adalah gadis yang diarak itu berwajah muram dan tampak berduka.

“Eng moi!” Bu Beng tiba-tiba berseru keras dan lari ke rombongan itu.

“Ko ko!” gadis itu yang ternyata tidak lain adalah Cin Eng sendiri, lari pula kearah pemuda itu dan mereka saling pegang tangan dengan penuh perasaan haru.

“Eng moi, mengapa kau sampai datang kesini?”

Tiba-tiba Cin Eng menangis dengan sedih. Orang-orang kampong yang tadinya mengarak gadis itu menjadi terheran-heran dan mereka merasa tidak senang kepada pemuda baju kuning itu. Lebih-lebih melihat gadis itu kini menangis, mereka menyangka tentu pemuda itu telah mengganggu pahlawan wanita mereka. Maka dengan muka mengancam mereka menghampiri Bu Beng yang masih memegangi tangan kekasihnya.

Hek Houw yang memburu juga kesitu dengan heran, melihat sikap orang-orang kampong itu, lalu menghadang mereka sambil mendelikkan kedua matanya, kedua tangan terkepal dan dadanya diangkat bagai lakunya jagoan yang hendak bertanding.

“Kalian mau apa?” tanyanya mengancam.

Melihat sikap hebat dari pemuda tinggi besar muka hitam ini yang mengingatkan mereka kepada Thio Hwie pahlawan di jaman Sam Kok, semua orang menahan langkah mereka dengan ragu-ragu. Seorang diantaranya yakni kepala kampong sendiri, bertanya kepada Cin Eng,

“Lihiap siapakan orang ini? Apakah mereka mengganggu lihiap?”

Cin Eng mengusap air matanya dan memaksa diri tersenyum. “Tidak, tidak. Orang ini adalah keluargaku sendiri.”

Semua orang gembira kembali, bahkan beberapa orang segera menjuru memberi hormat kepada Bu Beng dan Hek Houw. Melihat sikap mereka yang sungguh dan jujur ini. Bu Beng segera berbisik kepada Cin Eng untuk menerima saja kehendak mereka agar jangan sampai mereka menjadi kecewa. Cin Eng menurut dan naik keatas panggung dimana ia menerima penghormatan dari mereka. Kemudian Bu Beng mengajak kekasihnya ke perahu dan mereka bercakap-cakap.

“Eng moi, kini kau harus menceritakan padaku bagaimana kau sampai berada disini?”

Cin Eng menghela napas dan menahan air matanya yang mau keluar saja. “Koko, aku sengaja menyusul kau. Di kampong Po teng aku mendengar bahwa kau telah menyewa perahu sehari yang lalu. Maka untuk dapat mengejarmu, aku sengaja membeli kuda yang baik dan memacunya siang malam melalui jalan darat yang lebih dekat. Ternyata aku sampai di kampong ini kemarin dan kau belum lewat. Kebetulan aku bertemu dengan harimau pengganggu kampong dan berhasil membinasakannya. Orang-orang kampong memaksaku untuk menerima pernyataan terima kasih hingga aku tak tega untuk menolaknya.”

“Tapi mengapa kau susul aku, Eng moi?” Tanya Bu Beng yang sama sekali tidak ambil peduli tentang Cin Engrita harimau itu.

Ditanya demikian, tiba-tiba Cin Eng menundukkan muka dan menangis sedih.

“Kenapa, adikku? Kenapa kau menangis?”

“Koko... bencana besar menimpa rumahku...! ibu... bu telah mati terbunuh…”

Bu Beng meloncat bangun. “Siapa yang membunuhnya?”

“Yang membunuhnya adalah tiga saudara dari kelima macan dari Tiang-an yang membunuh ayah dulu. mereka sengaja datng mencari jejak ayah, kalau-kalau ayah masih hidup ketiak ditolong oleh Kim Kong Tianglo dulu, tapi ketika mendapat tahu bahwa ayah telah meninggal, mereka bermaksud membasmi seisi rumah…”

“Cin Han… Cin Lan... bagaimana mereka? Dan suheng bagaimana?” Tanya Bu Beng dengan hati penuh kekhawatiran.

“Kedua adikku itu diselamatkan oleh Kim Kong suheng dan dibawa pergi, sedangkan aku sendiri lari karena kami tidak kuat menaham amukan mereka. Karena putus asa maka aku menjadi nekat dan bermaksud menyusulmu. Ibu dan dua pelayan mati terbunuh.” Sehabis bercerita, Cin Eng menangis l agi.

Bu Beng terharu. Alangkah malangnya nasib kekasihnya ini. menderita penyakit hebat, baru saja ditinggal mati ayah, kini ibu tiri yang sudah menjadi ibu sendiripun terbunuh musuh.

“Adikku, sudahlah jangan bersedih. Soal sakit hatimu ini di belakang hari saja kita balas bersama. Sekarang yang paling perlu mencari obat untukmu. Jika sudah sembuh maka kurasa takkan sukar mencari kelima musuh yang kejam itu.”

Kemudian Bu Beng memperkenalkan Hek Houw kepada Cin Eng. Setelah tahu bahwa nona itu adalah tunangan suhunya. Hek Houw berkata dengan wajah bingung.

“Suhu, haruskah aku menyebut nona ini subo (ibu guru)?”

Muka Cin Eng merah dan Hek Houw buru-buru berkata lagi. “Biarlah sebelum kawin dengan suhu, aku sebut saja kouwnio, nanti setelah kawin baru kusebut subo.”

Bu Beng hanya tersenyum dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan perahu. Berkat kejenakan Hek Houw dan hiburan-hiburan Bu Beng, Cin Eng tak lama kemudian terhibur juga dan dapat melupakan kesedihannya. Bepergian degan perahu di sepanjang sungai yang indah pemandangan alam di kanan kirinya itu memang sangat menarik hati. Mereka seakan-akan tak merasa lelah dan dimana terdapat kampong yang besar, mereka singgah sebentar untuk membeli ini itu.

Beberapa hari kemudian, perahu mereka memasuki daerah hutan yang lebat. Pohon-pohon besar menutup arus sungai hingga air sungai tampak hitam dan keadaan agak gelap. Setelah memasuki hutan itu beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba di satu tikungan tampak lima buah perahu berbaris mencegat mereka.

“Wah, bajak sungai!” kata Hek Houw, tapi dia tidak takut, bahkan berkata dengan sombong. “Suhu, biarlah kuperlihatkan bahwa aku tidak takut kepada segala cecunguk sungai ini.” dan dia terus mendayung perahunya dengan tabah.

“He, tamu yang lewat berhenti dulu! kalian harus bayar uang jalan di daerah kami ini, kalau tidak, jangan harap bisa terus dan jangan harap bisa kembali hidup-hidup.” Kata kepala bajak yang masih muda dan berwajah cakap serta berkulit putih.

“Apa katamu?” jawab Hek Houw dengan suara keras. “Jangan kurang ajar, minggir kamu, kalau tidak, dayungku ini akan menghancurkan kepalamu!”

Bajak-bajak yang terdiri dari dua puluh orang lebih diatas lima perahu itu tertawa mengejek. “Lihat itu tingkahnya orang hutan hitam,” seorang diantara mereka menghina.

Hek Houw menjadi marah dan dengan berseru keras ia meloncat ke perahu yang terdekat dan mengamuk dengan dayungnya. Sebentar saja ia dikeroyok oleh bajak-bajak yang bersenjatakan golok.

Kepala bajak melihat bahwa perahu yang dirampok itu hanya diduduki oleh seorang pemuda yang kelihatan lemah dan seorang nona muda, ia memandang remeh sekali dan dengan satu loncatan cepat ia sudah berada di perahu Bu Beng.

“Anak muda, serahkan semua barang-barangmu dan kau akan dapat lewat dengan selamat.”

“Eh, mudah amat, kawan. Kau mempunyai kepandaian apa maka berani menjadi kepala perampok?” tiba-tiba Cin Eng yang beradat lebih galak dari Bu Beng segera menegur dan mencabut siang kiamnya.

“Ha ha ha“ kepala bajak muda itu tertawa geli. “Kiranya kau juga dapat main-main dengan pedang?” ia menyerang dengan goloknya dan ditangkis oleh Cin Eng.

Sebentar saja mereka bertarung dengan sengit. Beberapa orang bajak meloncat pula ke perahu itu hingga perahu menjadi goncang. Bu Beng menggerakkan kaki tangannya dan beberapa orang penjahat terpental masuk kedalam air. Tapi lain penjahat mendatangi hingga mereka terkepung.

Cin Eng tak dapat bersilat dengan baik diatas perahu yang bergoyang-goyang itu maka permainannya kalut. Baiknya Bu Beng dengan gesit bergerak kesana sini, dimana kepalan tangannya menyambar atau kakinya terangkat, terdengar suara mengaduh dan tubuh seorang bajak jatuh tercebur ke air. Dengan sekali loncatan Bu Beng berada di depan kepala bajak itu.

Melihat pemuda itu dengan mudah dapat menjatuhkan orang-orangnya dengan tangan kosong saja, kepala bajak menjadi marah dan berbalik menyerang Bu Beng. Bu Beng berkelit hingga golok lewat disampingnya, kemudian dia mengangkat kaki kirinya dan menendang. Dengan mudah penjahat cakap itu terpental dan masuk ke dalam air.

Bu Beng melihat Hek Houw terkepung dan berteriak-teriak. “Tolong, suhu tolong!” segera meloncat ke perahu itu dan dengan beberapa kali gerak tangan, semua bajak berjatuhan dan ada yang sebelum terpukul segera meloncat ke dalam air.

Bu Beng lalu mengajak Hek Houw kembali ke perahu mereka sendiri. Tapi ketika menginjakkan kaki di perahu itu, tiba-tiba menjadi miring dan air masuk kedalamnya.

“Celaka mereka menggulingkan perahu dari bawah!” Teriak Hek Houw yang segera menyambar dayung dan menggunakannya untuk memukul sebuah kepala seorang bajak yang tampak muncul di pinggir perahu.

Orang itu berteriak kesakitan dan tenggelam. Perahu makin bergoyang-goncang dan sebentar lagi tentu terbalik, Bu Beng memegang tangan Cin Eng dan mengajak gadis itu meloncat ke salah sebuah perahu yang terdekat dan kosong. Hek Houw ikut meloncat tapi kurang jauh hingga ia tercebur ke dalam air. Untung ia pandai berenang dan segera naik ke perahu di mana Bu Beng dan Cin Eng telah berada dengan selamat. Tapi usaha mereka ini tak banyak menolong, karena kawanan bajak bagaikan kura-kura berenang di bawah permukaan aira dan kini mencoba menggulingkan perahu itu.

“Loncat ke sana Eng moi!" kata Bu Beng dengan gugup karena perahu itu telah miring. Dengan cepat Cin Eng meloncat ke perahu terdekat, tapi malang baginya, kakinya menginjak pinggiran perahu yang basah dan licin hingga ia terpeleset dan jauh ke air. Hek Houw meloncat mengejar dan berenang hendak menolong, ia dihalang-halangi oleh seorang bajak hingga sebentar kemudian mereka berdua bergulat dalam air.

Kepala penjahat yang muda itu segera menolong Cin Eng dan membawanya berenang. Bu Beng menjadi bingung sekali, karena kalau ia menggunakan senjata rahasia menyambit kearah kepala bajak itu sampai mati, bagaimana nanti nasib Cin Eng? Ia sendiri tak pandai berenang. Maka ia hanya dapat melihat dengan hati bingung dan khawatir lalau meloncat ke perahu sendiri yang telah ditinggalkan bajak.

Hek Houw yang dihalang-halangi oleh seorang bajak bertubuh besar, menjadi marah sekali. Lebih-lebih ketika dilihatnya betapa Cin Eng dibawa berenang oleh kepala bajak, ia makin marah. Ia gunakan seluruh kepandaiannya di air dan mencekik leher bajak itu. Tapi ternyata lawannya seorang yang kuat dan kedua tangannya menjambak rambut Hek Houw dengan keras. Karena saling cekik dan saling jambak, keduanya tak dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk berenang, dan kedua-duannya lalu tenggelam. Mereka saling meronta-ronta hendak melepaskan pegangan lawan, tapi tak dapat. Maka sudah beberapa kali mereka terpaksa membuka mulut untuk bernapas hingga banyak air sungai memasuki perut.

Hek Houw sudah merasa lemas. Ia lalu mencari akal. Ketika merasa bergulat menjadi seru dan mukanya berada dekat dengan perut lawan, ia gunakan mulutnya menggigit kulit perut yang gendut itu. Karuan saja bajak itu merasa kesakitan sekali dan melepaskan pegangannya untuk menolong perutnya. Saat itu digunakan oleh Hek Houw untuk muncul ke permukaan air dan mengambil napas dengan terengah-engah.

Ketika bajak itupun muncul juga di dekatnya, ia segera memukul kepalanya hingga bajak itu kembali tenggelam. Tiap sekali muncul, Hek Houw mengetuk kepalanya hingga lama-lama bajak itu menjadi lemas karena tak dapat bernapas. Akhirnya ia tenggelam lagi untuk tidak timbul kembali. Dengan lemas Hek Houw berenang ke perahunya dan naik keatasnya. Bu Beng telah berdiri disitu dengan termenung. Pada waktu itu tak nampak lagi seorang bajakpun di air.

“Bagaimana kouwnio suhu?”

Bu Beng hanya mengeleng-gelengkan kepada dan mereka lalu mendayung perahu ke seberang kanan sungai atas kehendak Bu Beng. Karena keadaan agak gelap dengan tenggelamnya matahari, Bu Beng tak berdaya mengejar larinya penjahat. Namun ia dapat melihat bahwa semua bajak lari kearah pantai kanan. Kemudian ia memesan kepada Hek Houw agar menjaga perahu dan menanti disitu karena ia hendak menyusul dan mencari jejak para bajak sungai yang membawa lari Cin Eng.

Sedang keadaan Cin Eng sendiri sangat menyedihkan. Karena tak pandai berenang, ia menjadi lemas dan pingsan dalam pondongan Kwee Ciang, kepala penjahat yang masih muda itu. Kwee Ciang mengumpulkan anak buahnya dan beramai-ramai mereka lari kearah sarang mereka yang berada di tengah-tengah hutan.

Ketika sadar, Cin Eng mendapatkan dirinya terbaring diatas tempat tidur kayu dengan tangan dan kaki terikat. Kwee Ciang dan seorang pemuda lain yang berpakaian menterang duduk tak jauh dari tempatnya. Melihat Cin Eng sudah sadar. Kwee Ciang berkata dengan senyum.

“Maaf nona kami terpaksa mengikat kau, karena kau ternyata pandai silat hingga berbahaya kalau tak diikat. Jangan kau khawatir kami takkan mengganggumu. Kau hanya kami tahan untuk menanti datangnya kawanmu itu yang harus menebusmu dengan barang-barang berharga. Ketahuilah kami telah kehilangan banyak anggota, maka kau harus ditebus dengan mahal.”

“Hm, kalau dia datang, kamu semua tentu terbunuh mampus,” Cin Eng berkata gemas.

“Ha ha ha sudah cantik, kalau marah bertambah manis,” kata pemuda berbaju menterang itu sambil menyeringai.

“Kwee Liang! Jangan bicara sembrono!” tegur Kwee Ciang. “Nona jangan marah. Adikku hanya berkelakar saja. Ketahuilah, aku adalah Kwee Ciang yang memimpin bajak di sini dan ini adalah Kwee Liang misanku.”

Tapi Cin Eng tak pedulikan perkataan itu dan memalingkan mukanya. Tiba-tiba seorang bajak berlari masuk.

“Tai ong orang tadi telah datang dan mengamuk!”

Kwee Ciang mencabut goloknya dan berkata kepada Kwee Liang. “Kau menjaga disini jangan sampai nona ini terlepas. Biar kubereskan orang itu dan minta uang tebusan.”

Kepala bajak yang muda dan cakap itu segera lari keluar membawa goloknya, diikuti oleh bajak yang melaporkan tadi. Kwee Ciang lari keluar dan melihat perkelahian yang hebat dan membuat hatinya berdbar penuh kekhawatiran. Ia melihat betapa Bu Beng dengan tangan kosong dikeroyok bajak empat puluh orang lebih, tapi pemuda itu bagaikan seekor naga terlepas dari kurungan, mengamuk hebat sekali.

Dengan kedua tangan kosong ia menyambar kesana sini dan dimana tubuhnya berkelebat, tentu rebah seorang bajak dengan tak berkutik karena telah tertotok jalan darahnya! Tubuh para bajak bergelimpangan bertumpuk-tumpuk dan teriakan ngeri terdengar disana-sini!

Kwee Ciang kaget sekali karena ia mnyangka kawan-kawannya yang roboh itu terbinasa, maka ia segera mengumpulkan kawan-kawannya yang pandai menggunakan senjata rahasia dan beramai-ramai menyambit pemuda itu dengan pisau, pelor besi dan anak panah!

Tapi dengan berseru keras Bu Beng mencabut Hwee hong kiam dari punggung dan memutarnya hingga tampak sinarnya berkilau kilauan seperti perak. Semua senjata rahasia dapat dipukul jatuh dan berserakan kesana kemari. Kemudian tubuh Bu Beng berkelebat kembali ia menggunakan tangan kirinya menotok tiap penjahat yang dapat terpukul olehnya.

Bu Beng benar-benar mengamuk hebat, tapi ia masih ingat akan perikemanusianan dan tak mau menjatuhkan tangan maut. Hanya membuat bajak-bajak itu tak berdaya dan lumpuh dengan totokannya yang diwarisinya dari Hoa san pai yang hebat.

Melihat kejadian hebat ini, Kwee Ciang putus asa dan tak berani melawan. Ia segera kembali ke pondoknya untuk membawa lari Cin Eng. Alangkah terkejutnya ketika ia mendengar jeritan seram dari arah pondoknya itu. Buru-buru ia menolak daun pintu, tapi pintu terkunci dari dalam, ia gunakan kakinya menendang pintu, pintu terbuka dan pemandangan di dalam pondok membuat wajahnya menjadi merah karena marah.

Ternyata ketika ditinggalkan seorang diri untuk menjaga Cin Eng, Kwee Liang yang memang berwatak cabul dan jahat tertarik sekali akan kecantikan Cin Eng dan timbullah maksud buruk hendak mengganggunya. Didekatinya nona itu dan ia mengulurkan tangan.

Cin Eng menjerit tapi Kwee Liang segera menekap mulut nona itu dan menyumbatnya. Cin Eng meronta-ronta, tali ikatan kaki tangannya sangat kuat. Nona itu takut sekali, air matanya mengalir dan ia bertekat lebih baik mati daripada terganggu oleh binatang berwajah manusia ini.

Dengan beringas Kwee Liang memegang baju Cin Eng dan merenggutkannya dengan sekali sentakan. Baju nona itu robek dan tampaklah pundaknya yang berkulit putih halus Cin Eng makin marah dan memberontak keras, dan Kwee Liang makin gila nampaknya. Pemuda bermoral bejat itu segera menuju ke pintu dan menguncinya.

“Nona jangan takut, aku takkan berlaku kasar padamu,” katanya menyeringai.

Kemudian ia maju menghampiri. Tapi, belum ia bertindak lebih jauh yang melanggar batas-batas perikesopanan dan kesusilaan tiba-tiba pintu ditendang dari luar dan Kwee Ciang berdiri di ambang pintu dengan golok di tangan dan wajah merah sekali.

Kwee Liang tersenyum. “Twako, jangan ganggu aku. Berlakukah baik kali ini dan biarlah aku mendapatkan nona itu. Aku cinta padanya, twako.”

“Bangsat rendah! Kau membikin malu aku, membikin malu abu leluhur kita! Biarpun menjadi bajak, tak pernah nenek moyangku menjalankan perbuatan terkutuk itu. Hayo keluar.”

Kwee Liang menjadi marah. “Twako, bagus bener sikapmu ini! Kau selalu hendak menang sendiri dan aku selalu harus tunduk kepadamu. Tapi kali ini tidak! pendeknya aku harus mendapatkan nona ini, tak peduli kau melarangnya atau tidak. Aku mau keluar kalau tubuhku sudah terbaring diatas lantai ini.”

“Binatang kau!”

“Habis, kau mau apa?” kata Kwee Liang dan mencabut pedangnya yang ditaruh diatas meja.

Kwee Ciang menjadi marah dan meloncat menyerang. Kwee Liang menangkis dan mereka berkelahi dengan sengit. Sebenarnya dalam hal kepandaian, Kwee Ciang menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kwee Liang. Lebih-lebih karena Kwee Liang jarang melatih diri. Maka setelah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, tiba-tiba Kwee Ciang melayangkan tendangannya dan tepat mengenai dada Kwee Liang yang segera roboh dan pingsan!.....



JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP) JILID 04




Kwee Ciang masih ada rasa kasihan kepada adik misannya maka ia tidak mau membunuhnya. Dan karena perbuatan biadab dari Kwee Liang ini maka Kwee Ciang mengurungkan niatnya hendak membawa lari Cin Eng untuk minta uang tebusan kelak, bahkan ia merasa malu sekali. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan goloknya memutuskan tali pengikat kaki dan tangan Cin Eng, lalu melemparkan sehelai baju luar kearah Cin Eng untuk dipakai menutupi sebagian tubuh atasnya yang robek.

Sebagai seorang laki-laki, Kwee Ciang berdiri membelakangi Cin eng untuk memberi kesempatan kepada gadis itu memakai pakaian yang diberikannya itu. Tapi sungguh tidak nyana, setelah mengenakan baju luar Cin Eng melompat ke depan, menyambar pedang Kwee Liang dan menggunakannya untuk menyabet leher Kwee Liang. Dan kepala penjahat cabul itu menjadi terpisah dari lehernya.

Kwee Ciang kaget sekali dan mukanya menjadi pucat. “Ah, kau keterlaluan nona.”

Cin Eng menuding kearah mayat Kwee Liang. “Keterlaluan? Sudah sepatutnya binatang macam ini dibinasakan. Kalau kau merasa sakit hati, belalah adikmu itu aku tidak takut.”

Kwee Ciang tak menjawab, tapi dengan bercucuran air mata ia berjongkok dan menyelimuti mayat adik misannya sambil berkata lemah, “Ah Kwee Liang, Kwee Liang... mengapa kau tidak mau menurut nasehatku! Ah, sekarang kau terbunuh mati, aku malu kalau kelak berjumpa dengan paman di alam baka…”

Cin Eng melihat keadaan pemuda itu menjadi kesima dan juga terharu. Tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan orang dan Bu Beng berdiri disitu dengan Hwee hong kiam di tangan. Sikapnya galak dan gagah sekali. Mukanya pucat tanda khawatir dan matanya menyinarkan cahaya menakutkan! Wajah yang pucat menjadi merah dan terdengar ia bernapas lega ketika melihat nona kekasihnya berdiri disitu dengan pedang berlumuran darah di tangan! Tapi ia heran melihat baju luar yang dipakai gadis itu. Kemudian ia melihat Kwee Ciang yang sedang berjongkok.

“Bangsat tak tahu malu! Kau harus mampus!” seru Bu Beng dengan marah.

Kwee Ciang meloncat berdiri dan ketika Bu Beng menyerangnya, ia menangkis. Tapi goloknya terlepas putus oleh Hwee hong kian! kwee Ciang menjadi pucat dan ia hanya memejamkan mata ketika Hwee hong kiam meluncur kearah lehernya. Tiba-tiba Cin Eng meloncat dan menangkis Hwee hong kiam dengan kerasnya! Pedangnya menjadi putus. Bu Beng kaget dan meloncat mundur sambil memandang kepada kekasihnya dengan heran.

“Sabar, koko,” kata Cin Eng. “Kau salah sangka. Kwee Ciang bukanlah seorang jahat. Bahkan ia telah menolong jiwaku.” Kemudian dengan singkat ia menceritakan tentang kekurangajaran Kwee Liang dan betapa Kwee Ciang menolongnya hingga ia dibebaskan dan dapat membunuh Kwee Liang.

Bu Beng menjuru dan berkata. “Maaf, Tai-ong. Tak kusangka seorang kepala bajak seperti kau ini masih mempunyai sifat satria dan gagah.”

Kwee Ciang membalas hormat dan air matanya turun kembali membasahi pipinya. “Taihiap, sungguh aku merasa malu. Aku dengan saudara misanku telah tersesat menjadi kepala bajak, walaupun kami tak pernah berlaku sewenang-wenang, tapi betapapun juga, bajak tetap penjahat dan dikutuk orang. Aku telah berlaku salah terhadap taihiap maka tak lain mohon maaf dan semoga taihiap juga sudi menyembuhkan semua kawan-kawanku yang menjadi korban karena aku. Kalau taihiap hendak menghukum, hukumlah aku yang menjadi kepala mereka, boleh aku kau bunuh atau kau serahkan kepada pembesar negeri, tapi sembuhkan kawan-kawanku.”

Mendengar ucapan dan melihat sifat setia kawan dari kepala bajak itu, Bu Beng merasa terharu dan juga girang karena dari sikapnya itu Kwee Ciang menunjukkan kejantanannya dan bahwa hatinya belum rusak. Maka Bu Beng segera menghampiri para bajak yang rebah tak bergerak karena totokan ketika mengamuk tadi dan sebentar saja tiga puluh orang lebih anak buah bajak telah dibebaskan dari pengaruh totokan.

“Saudara, Kwee Ciang,” katanya kemudian kepada Kwee Ciang, “Tadi kau sanggup memikul semua tanggung jawab. Nah, kuharap kau suka sadar akan kesesatan ini. Kau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Buat apa menjadi bajak hingga membusukkan nama sendiri! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati harus bisa meninggalkan nama baik! Selagi hidup mengapa kau tak gunakan kepandaianmu menolong sesama hidup dan melakukan kebajikan hingga hidupmu tidak kosong dan sia-sia? Kau bukan orang jahat, juga kau adalah seorang cerdik, kurasa kata-kataku ini sudah cukup kau mengerti. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, terserah kepada kebijaksanaanmu sendiri.”

Kwee Ciang merasa terharu dan menghaturkan terima kasih sambil berlinang air mata. Kemudian Bu Beng mengajak Cin Eng ke tepi sungai dimana Hek Houw menanti dengan tidak sabat. Tapi ketika melihat bahwa Cin Eng telah tertolong dan selamat, ia menjadi girang. Meraka lalu berlayar lagi dengan cepat. Kwee Ciang yang merasa berterima kasih dan kagum kepada Bu Beng, mengirim orang-orang berkuda dan mendahului Bu Beng untuk memberi kabar kepada kawan-kawan bajak agar mereka jangan mengganggu Bu Beng Kiamhiap.

Demikianlah, dua minggu kemudian, setelah menikmati pelayaran di sepanjang sungai yang mempunyai tamasya, alam indah permai itu, mereka telah mendekati laut. Air sungai menjadi liar dan buas. Sungai menjadi lebar dan dalam dan alirannya cepat sekali hingga Cin Eng merasa ngeri. Tapi karena Bu Beng bertenaga besar dibantu oleh Hek Houw yang setia, mereka dapat meluncurkan perahu mereka dengan selamat memasuki lautan.

Berbeda dengan air sungai, air laut tenang seakan-akan tak bergerak sama sekali. Bu Beng dan Hek Houw yang tadinya tidak menggunakan tenaga sama sekali untuk mendayungperahu karena perahu telah laju terbawa aliran sungai hingga mereka hanya mengerahkan tenaga untuk menjaga keseimbangan dan tujuan perahu, kini merasa seakan-akan badan perahu berat sekali karena harus menempuh air diam.

Sebetulnya air laut tidak diam sama sekali bahkan dibawah permukaan air terdapat alunan gelombang, tapi permukaan laut karena luasnya tak tampak bergoyang. Pula karena mata mereka yang diatas perahu tadinya menyaksikan air sungai yang berlomba dan dengan buasnya menyerbu kearah laut, kini melihat air laut biru luas itu menjadi berkunang-kunang.

Bu Beng dan Cin Eng menggunakan tangan melindungi mata karena matahari bersinar panas berkilauan, dan mencari-cari dimana letak pulau yang dicari itu. Tiba-tiba Cin Eng menunjuk kearah timur laut.

“Koko, lihat itu!” cepat Bu Beng memandang dan nampaklah olehnya sebuah pulau panjang kecil yang berwarna hitam kehijauan.

“Tidak salah lagi, itulah Ang coat ho.” Kata Bu Beng gembira ketika samar-samar ia melihat puncak sebuah bukit menjulang tinggi di pulau itu.

Tapi tiba-tiba air laut yang tadinya diam bergelombang hebat. Anehnya yang bergelombang hanya air di depan mereka saja, seakan-akan air itu digerakkan dari bawah dan seperti ada apa-apa yang sengaja mencegat mereka! Bu Beng dan Cin Eng bersiap dengan pedang di tangan. Gelombang makin membesar dan alangkah terkejut mereka ketika tiba-tiba dari permukaan air tersembul keluar sebuah kepala ular air yang berwarna hitam!

Tapi kalau ular air di sungai paling besar hanya sepaha orang, ular air yang muncul ini sedikitnya tiga kali lebih besar dari yang biasa. Ular air itu menyemburkan air dari mulutnya dan dengn lidah terjulur panjang, ia naik sampai sebatas leher sambil memandang kearah perahu dengan mata berkilat. Kemudian ular itu menyelam kembali, tapi kini ekornya tampak makin mendekati perahu, tanda bahwa ia sedang berenang kearah perahu!

Tiba-tiba ular itu membentur perahu hingga terputar-putar, kemudian ia mengeluarkan kepala yang mengerikan itu di samping perahu, siap untuk menelan penumpangnya. Hek Houw mengangkat dayungnya dan dengan sekuat tenaga ia memukul kepala ular itu, tapi kulit ular itu licin dan keras sekali hingga dengan diiringi suara keras dayungnya patah bahkan gagangnya terlepas dari tangan karena ia merasakan telapak tangannya pedih dan panas.

Hek Houw adalah seorang pemuda berangasan dan tak kenal takut. Kejadian ini tak membikin ia kapok bahkan ia mengulurkan tangan mengambil dayung yang tadi digunakan Bu Beng dan siap hendak memukul lagi, tapi Bu Beng yang teringat bahwa dayung itu adalah dayung terakhir yang akan membawa mereka ke pulau segera merebut dayung itu.

“Jangan pukul, kau mau menghancurkan dayung ini lagi? Bentaknya.

Sementara itu, ular laut yang menerima pukulan dayung tadi seakan-akan tak merasa apa-apa, bahkan kini meletakkan kepada dan lehernya di pinggiran perahu hingga perahu menjadi miring! Binatang itu lalu bergerak hendak masuk ke dalam perahu. Cin Eng berseru keras, lalu dengan cepat ia menyambar dan mengayunkan pedangnya membacok.

Tapi pedangnyapun terpental kembali, karena leher ular itu tertutup oleh sisik yang keras bertumpuk-tumpuk lagi sangat licin hingga mata pedangnya tidak dapat melukainya. Tapi tenaga Cin Eng cukup membuat ular itu kaget dan bergerak cepat dengan mulut terbuka kearah Cin Eng, Bu Beng secepat kilat menyerang sambil berkata kepada Cin Eng.

“Jangan bacok, tusuk saja!” dan ia gunakan pokiamnya menusuk leher kanan ular itu dengan gerakan Panah Wasiat Menembus Baja.

Sementara itu Cin Eng yang tadinya hendak membacok pula, setelah mendengar nasehat Bu Beng segera merobah gerakannya dan menusuk dari kiri kearah leher ular itu. Benar saja dugaan Bu Beng, ujung pedang yang tajam walaupun tak dapat menembus sisik yang sangat licin dan keras itu, tapi dapat menerobos diantara sisik dan menancap di kulit ular itu!

Merasa betapa lehernya tertusuk dari kanan kiri hingga mengeluarkan darah dan sakit sekali, ular itu berontak dan menyentak-nyentakkan kepalanya ke kanan kiri. Tenaganya besar sekali hingga dengan kaget Cin Eng terpaksa melepaskan pedangnya yang masih menancap di leher ular. Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi cepat menggunakan kegesitan dan tenaganya mencabut pedang yang merah karena darah ular.

Ular itu mendesis dan dari lubang hidungnya keluar asap hitam menyambar. Untung Cin Eng dan Bu Beng dapat berkelit jauh ke belakang. Kemudian ular itu menggerak-gerakkan kepada dan matanya melirik kearah pedang Cin Eng yang masih menancap di lehernya dan ronce pedang warna merah itu melambai-lambai tertiup angin. Ular itu menjadi marah sekali dan menggigit-gigit kearah gagang peadang di leher.

Tapi mulutnya tak dapat mencapainya. Ia menjadi bagaikan gila dan mencebur ke dalam air terus berenang kesana kemari setelah menimbulkan gelombang besar dan kacau yang membuat perahu itu terayun-ayun, ia menyelam kedalam air dan lenyap dari pemandangan, hanya meninggalkan darah merah diatas perahu dan gelombang -gelombang kecil, akibat dari amukannya tadi.

Bu Beng menghela napas lega dan Hek Houw menelan ludah. “Sungguh hebat dan berbahaya!” kata Hek Houw sambil menjulurkan lidah. Tapi akhirnya pedang kouwnio tentu dapat membunuhnya.”

“Mengapa begitu?” Tanya Cin Eng yang masih berdebar-debar karena kaget tadi.

“Ular itu kebingungan tak dapat melepaskan pedang yang menancap di lehernya hingga ia akan sibuk menggigit-gigit kearah pedang dan lupa makan lupa tidur dan akhirnya ia tentu mati kelaparan!”

Bu Beng dan Cin Eng tertawa mendengar obrolan ini.

“Untung kau tadi tidak menggunakan dayung ini untuk memukul lagi,” kata Bu Beng, “Kalau dayung ini patah bagaimana kita bisa sampai ke pulau itu?”

Kemudian Bu Beng menggunakan dayung itu untuk mendayung sekuat tenaga agar mereka dapat sampai ke pulau yang dituju secepat mungkin. Biarpun pulau itu dari situ tampak dekat saja, tapi setelah mendayung setengah hari baru mereka sampai di pantai pulau sebelah selatan.

Mereka segera mendarat dan Hek Houw menarik perahunya ke darat. Mau tak mau Bu Beng merasa ngeri juga ketika memandang keatas pulau yang merupakan bukit dengan puncak yang meruncing keatas karena pulau itu ternyata penuh dengan hutan yang agaknya belum pernah didatangi orang dan masih sangat liar. Karena pada waktu itu matahari telah bersembunyi di balik puncak dan cuaca telah mulai gelap, Bu Beng mengajak Cin Eng dan Hek Houw beristirahat di bawah pohon-pohon Siong yang besar. Tapi Cin Eng berkata,

“Dulu ayah menceritakan padaku bahwa ia ketika datang ke pulau itu telah membuat sebuah pondok kecil dari bambu di tepi pantai sebelah selatan. Mari kita cari pondok itu agar dapat mengaso dengan tenang.”

Maka mulailah mereka bertiga mencari pondok itu. Dan benar saja, di tempat yang agak tinggi terdapat sebuah pondok dengan kaki bambu panjang di empat sudut. Dengan ringan Bu Beng dan Cin Eng dapat meloncat keatas, memasuki pondok diatas yang terbentang lebar. Tapi Hek Houw yang belum tinggi kepandaiannya telah mencoba beberapa kali belum juga dapat berhasil mencapai pintu karena kaki pondok itu tingginya tak kurang dari dua tombak. Terpaksa sambil tertawa Bu Beng mengulurkan tangannya dan ketika Hek Houw meloncat lagi, ia tangkap lengan Hek Houw dan menariknya keatas.

Malam itu mereka sukar untuk dapat tidur nyenyak karena setelah hari menjadi gelap, banyak sekali binatang-binatang buas turun dari bukit dan keluar dari hutan menuju ke pantai. Binatang-binatang itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan beberapa ekor diantara mereka bahkan jalan hilir mudik di bawah pondok. Tapi setelah fajar menyingsing, semua binatang buas itu kembali keatas bukit memasuki hutan.

“Kita harus berhati-hati nanti kalau naik bukit, tentu banyak pengganggu akan kita hadapi,” kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk tunangannya.

Mereka bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek Houw membawa sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon kecil yang merintangi jalan. Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor harimau besar menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh mati oleh Bu Beng.

Yang kedua kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka. Tapi kembali binatang ini dapat ditewaskan. Hampir saja mereka melawan mati-matian ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih datang menyerbu membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba Hek Houw mendapat akal. Ia membuat api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras sehinggga orang-orang hutan itu lari bercerai berai ketakutan.

Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat akhirnya mereka sampai juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah goa yang mereka cari-cari. Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan seram juga ketika ia berdiri di depan goa itu.

Bu Beng memandang dengan penuh perhatian. Goa itu lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya bundar dan gelap. Dinidng luar goa merupakan kepala ular besar dan lubang itu menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang berbentuk kepala ular besar itu mungkin terjadi karena alam, tapi bentuknya demikian sempurna seakan-akan ukiran seorang pemahat pandai atau seolah-olah memang tadinya seekor ular tulen yang telah berubah menjadi batu karena lamanya.

Ketika Bu Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia mencium bau amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur kembali dan memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya kuat-kuat ke dalam. Terdengar batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak terdengar suara lain. Bu Beng lalu menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering dan membakarnya di mulut goa. Ia kipas-kipas asapyang bergulung-gulung hingga masuk ke dalam goa.

Usahanya ini ternyata berhasil baik. Karena terserang asap yang memedihkan mata dan menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru yang segar. Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara mendesir-desir keras dan bau amis makin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat menyuruh Cin Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan pedang di tangan menanti di luar goa.

Tiba-tiba terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke dalam goa, tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini bergulung-gulung ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan keluar goa. Kulit ular itu indah sekali, berwarna merah dan merupakan kembang-kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam. Panjangnya tak kurang dari dua puluh kaki. Kepalanya agak kecil tapi di tengah-tengah kepala itu tersembul sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak.

Melihat Bu Beng berdiri disitu dengan sikap menantang ular yang sedang marah mencari pengganggunya itu, memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang hitam sebentar-sebentar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut menjadi pendek dan dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur dari busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng!

Hebat sekali serangan itu karena sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan taring-taring tajam dan dari dalam mlut keluar uap hitam yang berbau amis menimbulkan rasa muak. Maka Bu Beng cepat berkelit dan meloncat kesamping. Heran sekali, tubuh ular yang begitu besar ketika turun keatas tanah dapat diatur sedemikian rupa hingga seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali.

Bu Beng tidak mau menyia-nyiakan waktu. Sebelum ular dapat membalik, ia maju dan menyabetkan pedangnya. Tapi ular aneh itu tanpa berpaling mengangkat ekornya dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar sekali hingga hampir saja pedang Bu Beng terlepas dari pegangannya! Bu Beng terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam mengakui bahwa tenaganya yang terlatih kalah jauh oleh ular merah ini!

Maka ia berlaku hati-hati sekali. Manusia dan binatang itu saling serang mati-matian. Tubuh Bu Beng berkelit kesana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat menyambar. Tapi ular merah tak kalah cepat. Ia gunakan ekornya yang kuat untuk menangkis pedang dan serangan-serangannya selalu mematikan ditambah dengan taring beracun dan uap berbahaya yang selalu mengancam tubuh dan pernapasan Bu Beng!

Cin Eng yang merasa khawatir melihat tunangannya belum juga dapat membinasakan ular itu, tak peduli akan segala bahaya segera memburu dan ikut mengeroyok. Bu Beng berkali-kali menyuruh ia menjauhkan diri, tapi Cin Eng tak mau menurut. Ia tak mungkin dapat berdiri berpeluk tangan dengan hati aman melihat Bu Beng berkelahi mati-matian. Bu Beng menjadi bingung melihat gadis itu tak menurut. Kini ia harus memecah tenaganya untuk melindungi gadis itu lagi!

Dengan gemas Cin Eng menggunakan pedangnya menusuk leher ular itu dengan gerakan Tiang khing king thian atau pelangi panjang melengkung di langit. Ular itu agaknya tak melihat serangan ini karena sedang sibuk menghindari bacokan Bu Beng. Tapi ketika pedang Cin Eng sudah dekat dengan kulit lehernya, tiba-tiba ekornya menyambar kearah tangan Cin Eng yang memegang pedang!

Merasa betapa sambaran ekor itu membawa angin dingin kearah tangannya, gadis itu terkejut dan menarik tangannya tapi pedangnya tetap terpukul oleh ekor dan ia merasa telapak tanganya menjadi perih dan sakit. Terpaksa ia melepaskan pedangnya dan meloncat mundur jauh-jauh! Ia merasa belum puas. Sepasang pedangnya yang biasanya dapat menghadapi beberapa belas orang jahat bersenjata dengan tak terkalahkan, kini kedua pedang itu telah dipaksa lawan terlepas dari tangannya.

Pedang pertama lenyap menancap di leher ular laut, sedangkan pedang kedua terlempar ke jurang oleh sabetan ekor ular itu. Hampir-hampir ia menangis karena marah dan jengkel, juga karena khawatir melihat Bu Beng agaknya terdesak oleh ular itu. Hek Houw juga merasa penasaran karena tak dapat membantu. Ia menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia memungut kayu yang dibakarnya untuk mengasapi goa itu, lalu dengan keras ia melontarkan kayu yang masih terbakar dan menyala itu kearah tubuh ular.

Tubuh ular bagian perut itu seakan-akan bermata karena ia tiba-tiba dapat menghindari lontaran itu, tapi api yang bernyala di kayu masih sempat menjilat kulit perutnya. Ular itu tiba-tiba bergerak bagaikan gila. Tubuhnya berkelojotan kesana kemari dan ia menjadi garang sekali.mulutnya berdesis-desis hebat dan ia menubruk Bu Beng dengan membabi buta. Pemuda ini melihat perubahan gerak lawannya, segera berteriak.

“Hek Houw! Cin Eng! lekas membikin api sebanyak-banyaknya! serang ia dengan api!”

Hek Houw girang sekali bahwa perbuatannya yang tak disengaja itu membuka rahasia kelemahan ular merah, maka cepat ia membuat api dan mengumpulkan kayu yang dibakar ujungnya dan dilontarkan kearah ular. Benar saja, tiap kali kulitnya terjilat api ular itu meloncat-loncat bagaikan gila dan gerakan-gerakannya tak karuan lagi. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan menyerang kearah Cin Eng dan Hek Houw dengan satu lompatan jauh!

Pada saat itu, Cin Eng dan Hek Houw tak bersenjata apa-apa selain dua batang kayu yang menyala ujungnya. Melihat serangan hebat ini, mereka menggunakan kayu itu untuk melawan. Melihat api yang bernyala di ujung kayu, ular itu tak jadi menyambar dan turun kearah tanah, kemudian dengan merayap perlahan ia menghampiri Cin Eng dan Hek Houw yang berdiri menghadapinya dengan takut-takut.

Ular itu tampak marah sekali, tapi agaknya ia bukan marah kepada kedua orang itu, tapi marah kepada empat api merah yang menyala di ujung empat batang kayu itu. Tiba-tiba ia maju dengan mulut ternganga lebar. Ia serang ujung kayu di tangan kanan Hek Houw. Mulutnya bertemu dengan api dan ular itu bagaikan disambar petir. Ia mundur digores-goreskan bibirnya keatas tanah dan untuk menghilangkan rasa sakit di bibirnya.

Sementara itu api di ujung kayu itu menjadi padam. Kini ular itu menyerang kembali, meluncur kearah api di ujung kayu di tangan kiri Hek Houw. Karena serangannya keras, maka kali ini ia tidak hanya terjilat api, bahkan ujung kayu yang merah terbakar itu tepat bertemu dengan matanya. Hebat sekali akibatnya. Ular itu menggunakan ekornya menyabet-nyabet kesekelilingnya. Ia mebanting-banting kepalanya keatas tanah dan menggunakan ujung ekor menyabet-nyabet kepalanya yang terasa panas dan sakit.

Sementara itu Hek Houw berdiri pucat bagaikan mayat. Ia begitu takut dan bingung hingga ia hanya bisa berdiri diam sambil memandang dua batang kayu yang telah padam di kedua tangannya. Bu Beng girang sekali melihat hasil ini meloncat dan manarik lengan Hek Houw dari situ. Tepat sekali apa yang ia lakukan ini karena tiba-tiba ular itu menyerang kalang kabut kearah tempat Hek Houw tadi.

Kalau si hitam itu masih berada disitu, pasti ia takkan dapat melepaskan diri dari bencana hebat ini. Bu Beng segera minta dua batang kayu masih menyala dan dipegang oleh Cin Eng, lalu ia sendiri maju menghadapi ular itu dengan senjata istimewa ini. Karena ia dapat bertindak cepat dan gesit sekali, maka berkali-kali ujung kayu yang menyala itu bertemu dengan mata, muka, leher dan ekor ular itu, sehingga si ular makin lama makin tak berdaya. Hanya ekornya saja masih bergerak perlahan dan lemah. Bu Beng segera mencabut pedangnya dan dengan sepenuh tenaga membacok leher ular itu.

"Sraatt!" Dan putuslah leher ular merah yang dahsyat itu.

Setelah berhasil membunuh mati ular itu, Bu Beng menjatuhkan diri bersila diatas rumput dan memgumpulkan semangatnya untuk memulihkan tenaganya yang telah dikerahkan habis-habisan itu. Demikian juga Cin Eng memandang tubuh ular yang kini tak bergerak lagi itu. Setelah merasa tenaganya puluh kembali, Bu Beng dan Cin Eng mendekati kepala ular. Ternyata ular itu memang luar biasa. Sisik di kepalanya berwarna merah kekuning-kuningan bagaikan emas.

“Biarlah kita berdoa mudah-mudahan di kepala inilah adanya mustika penyembuh sakitmu itu,” kata Bu Beng yang lalu menggunakan pedangnya membelah kepala ular itu. Ternyata di dalam kepala itu terdapat benda bulat yang lembek tapi yang putih berkilauan bagaikan air perak.

“Inilah dia! Cin Eng berbisik suaranya gemetar. “Ayah dulu pernah menceritakan padaku bagaimana macamnya mustika ular itu. Inilah dia! Kalau sudah kering benda ini akan mengeras bagaikan mutiara. Lekas ambil jantungnya koko!”

Bu Beng segera membelah perut ular dan mengambil jantungnya yang merah dan kecil. Dengan bantuan Hek Houw mereka menyalakan api dan mencari air, lalu memasak jantung itu dengan campuran obat yang telah disediakan olehe Bu Beng menurut resep dari Lo Sam. Kemudian tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia memberikan obat itu kepada Cin Eng yang terus meminumnya sambil memejamkan matanya. Sebenarnya gadis ini merasa muak sekali, tapi karena terpaksa dan ingin sembuh, ia paksa menelan juga obat berbau amis itu.

Tapi alangkah kaget Bu Beng dan Hek Houw melihat keadaan Cin Eng setelah obat itu memasuki perutnya. Gadis itu memegang-megang kepalanya seakan-akan merasa peningsekali dan kedua matanya tetap dipejamkan. Lalu gadis itu berdiri dan sambil memegang kepala terhuyung-huyung hendak jatuh. Bu Beng memburu cepat dan memeluk tunangannya. Ia makin terkejut dan khawatir sekali ketika tangannya merasa betapa tubuh Cin Eng menjadi panas sekali seakan-akan terbakar.

“Eng-moi... moi-moi... kau kenapa?? tapi Cin Eng tak dapat menjawab, bahkan tubuhnya menjadi lemas dan ia jatuh pingsan dipelukan Bu Beng.

“Eng moi... Engmoi… ah Hek Houw bagaimana ini? Bu Beng kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa.

Hek Houw juga bingung, tapi ia tidak kehilangan akal. Ia lihat bahwa selain goa ular itu, masih ada lagi dua buah goa kecil dan dekat situ. Maka ia lalu menasehati Bu Beng supaya membawa Cin Eng yang masih pingsan ke dalam sebuah goa kecil, Bu Beng telah kehilangan akal, mendukung tubuh Cin Eng ke dalam goa itu dan meletakkan tubuh gadis itu diatas rumput kering yang disusun Hek Houw di dalam goa.

Bu Beng memegang nadi tangan Cin Eng dan hatinya agak lega ketika merasa bahwa denyut nadi gadis itu masih tetap dan biasa. Tapi hawa panas yang memancar dari tubuh gadis itu membuat ia khawatir sekali. Tapi apa daya? Ia hanya dapat menjaga dengan cemas di dekat tunangannya yang terlentang bagaikan sedang tidur nyenyak itu. Hek Houw meninggalkan Bu Beng dan duduk mengaso di dalam goa kecil disebelahnya.

Sampai semalam suntuk, Cin Eng belum juga siuman Bu Beng menjaga di sampingnya dengan tak bergerak-gerak. Mereka berdua merupakan dua buah patung hidup, seorang telentang dan yang seorang pula duduk bersila, Hek Houw menyalakan api di luar kedua goa kecil untuk menolak gangguan binatang hutan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika Bu Beng mulai merasa sedih dan putus harapan, tiba-tiba Cin Eng bergerak dan mengeluh.

“Aduh... perutku sakit sekali...” gadis itu mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya.

Bu Beng menjadi girang melihat tunangannya siuman tapi serentak juga merasa bingung melihat betapa gadis itu merintih-rintih. Tiba-tiba Cin Eng muntah-muntah dan dari perutnya keluar gumpalan-gumpalan hitam.

“Koko, keluarlah, pergilah dari sini!” Cin Eng berteriak kemalu-maluan mengusir Bu Beng.

Tapi Bu Beng menggeleng-gelengkan kepala dan bahkan menggunakan ujung baju mengusap mulut Cin Eng yang telah berhenti muntah.

“Koko, keluarlah!” Cin Eng berkata marah karena ia merasa malu sekali. “Dan tinggalkan baju luarmu!”

Terpaksa Bu Beng keluar mendengar ucapan yang mengandung paksaan ini. Tapi ia girang sekali melihat wajah Cin Eng yang kemerah-merahan dan biarpun berpura-pura marah tapi gadis itu masih tak dapat menyembunyikan senyum bibirnya. Ia menanti di luar gua dan segera memberitahu kepada Hek Houw yang masih mendengkur di gua sebelah.

“Hek Houw, Cin Eng sudah siuman dan sembuh.”

Hek Houw tersenyum girang. “Sukurlah. Ah, obat itu benar-benar terlalu manjur dan keras kerjanya hingga mengagetkan orang saja.”

Pada saat itu Cin Eng dengan memakai pakaian luar Bu Beng, lari keluar menuju ke sebuah anak sungai. Bu Beng mengejar, tapi ia tersenyum dan kembali lagi ketika melihat bahwa gadis itu pergi ke sungai hanya untuk mencuci pakaiannya yang kotor. Setelah yakin benar bahwa Cin Eng sudah sembuh, Bu Beng membuat obor dan sambil memegang obor menyala ia memasuki gua ular itu. Cin Eng mencegah, tapi Bu Beng mengatakan ia hanya ingin melihat apakah isi gua itu. Maka akhirnya Cin Eng menyetujui juga. Sedang Hek Houw yang hendak ikut ditolaknya.

Dengan tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang Hwee hong kiam, ia memasuki gua itu dengan membongkok. Ternyata bahwa gua itu membelok ke kiri dan dalam sekali. Bu Beng terus maju dan setelah membelok tiga kali ke kiri dan tiga kali ke kanan, tiba-tiba ada angin meniup dan obornya padam! Bu Beng kaget sekali. Ia siap menjaga dengan pedangnya, tapi tidak ada apa-apa, hanya terdengar suara angin meniup dari depan tiada hentinya.

Dengan heran Bu Beng bertindak maju, ia dapat berjalan sambil berdiri lempang karena tempat itu makin melebar. Kemudian setelah membelok sekali lagi ke kiri, ia lihat di depannya ada cahaya terang menyinari dari atas memasuki gua, diiringi dengan masuknya angin yang bertiup keras dan membuat obornya padam tadi. Kini mengertilah ia bahwa gua itu merupakan sebuah sumur. Dan tepat dimana sinar itu masuk, ia melihat sebuah pintu.

Ketika daun pintu ditolaknya, ternyata tidak terkunci. Dengan hati hati Bu Beng memasuki kamar itu. Pandangan pertama-tama yang menyambutnya membuat ia kaget dan hamper berteriak. Sebuah kerangka ular yang besar sekali melingkar di situ dengan kepala menghadap ke pintu dengan mulut terbuka lebar seakan-akan hendak menggigitnya!

Di dekat kerangka ular besar itu rebah sebuah kerangka manusia. Dan sebuah pedang yang aneh bentuknya tersangkut diantara tulang-tulang di leher ular itu. Agaknya manusia yang kini sudah tinggal kerangkanya saja itu dulu telah membunuh ular ini dengan menggunakan pedang yang kini tersangkut di tulang leher ular. Bu Beng mengambil pedang itu dan membolak-balikkannya.

Gagang dan pedangnya menjadi satu, gagang merupakan kepala ular dan ujungnya yang runcing merupakan ekornya. Di bagian leher pedang itu agak berlekuk-lekuk tapi dari batas perut sampai ke ekor lurus dan tajam kanan kiri. Yang paling aneh, pedang itu berwarna merah. Di bagian kepala, yaitu gagangnya ada ukiran kecil tiga huruf yang berbunyi 'Ang coa kiam' atau Pedang Ular Merah.

Ketika ia memandang kearah rangka manusia itu, ia dapatkan sebuah sarung pedang tergantung dengan tali di tulang pinggangnya. Ia ambil sarung itu yang ternyata adalah sarung pedang istimewa untuk Ang coa kiam. Girang sekali hati Bu Beng mendapat pedang pusaka ini, lalu digantungkannya pedang itu di pinggang dan ia terus memeriksa keadaan kamar itu.

Di sudut kamar terdapat dua peti kecil. Hatinya berdebar. Barang pusaka apa lagi yang berada disitu? Ia maju menghampiri dan membuka peti pertama. Isinya hanya sebuah buku. Ketika ia membolak balik lembaran kitab tua itu, ternyata bahwa yang dipegangnya adalah Ang coa kiamsut Pit kip yakni Kitab Rahasia Ilmu Pedang Ang coa kiam! Di dalam buku terdapat pelajaran ilmu pedang yang sangat aneh berikut lukisan tentang gerakan-gerakan yang harus dibuat.

Peti kedua ketika dibuka membuat mata Bu Beng menjadi silau. Di dalamnya penuh dengan permata dan batu-batu giok yang indah dan tak ternilai harganya. Ketika ia memeriksa, maka barang-barang itu merupakan perhiasan-perhiasan kuno yang pantasnya hanya dimiliki oleh seorang permaisuri atau keluarga raja.

Bu Beng membawa dua peti itu dan hendak keluar gua. Tapi ketika ia memandang kearah rangka manusia itu, timbul rasa iba dalam hatinya. Bukankah manusia yang kini tinggal rangkanya itu mungkin pemilik semua barang berharga yang terjatuh ke dalam tangannya? Sudah sepatutnya ia membalas budi demikian besar itu. Maka ditaruhnya dua peti itu kembali, lalu ia mengumpulkan tulang-tulang rangka, diikat dengan saputangan.

Setelah semua tulang terkumpul lengkap, baru ia bawa semua barang itu keluar dari gua. Untuk jalan keluar biarpun ia tidak menggunakan obor dan keadaan sangat gelap hingga tangan sendiri pun tak dapat terlihat, namun karena tidak ada keragu-raguan dan kekhawatiran lagi, ia dapat merayap dan meraba-raba menuju keluar.

Cin Eng girang sekali melihat Bu Beng keluar dengan selamat. Ia tadinya sudah sangat khawatir dan kalau bukan Hek Houw yang menghidburnya dan melarangnya dengan alasan-alasan kuat, pasti ia tadi telah menyusul masuk! Alangkah senangnya mendengar tentang pusaka yang didapatkan Bu Beng. Kemudian dengan khidmat dan hati-hati mengubur rangka manusia itu di luar gua. Ketika Bu Beng memeriksa lagi kitab ilmu pedang itu, di bagian belakang terdapat tulisan yang indah sekali.

Ilmu pedang ini hanya boleh dipelajari di atas pulau Ang coat ho sesudah dipelajari harus segera dijadikan abu!

Bu Beng yang sangat tertarik akan isi kitab dan ia telah yakin bahwa ilmu pedang itu betul-betul hebat dan luar biasa sekali, segera mengajak Cin Eng turun bukit. Tapi ketika ia menengok, Hek Houw telah lenyap dari situ! Berkali-kali Bu Beng memanggil-manggil, tapi Hek Houw tidak ada. Bu Beng menjadi jengkel, dan terpaksa menunda maksudnya turun bukit.

Tadinya ia bermaksud tinggal di pondok dekat pantai itu dan mempelajari kita ilmu pedang itu di atas pulau, tapi tak sampai hatinya untuk meninggalkan Hek Houw turun gunung. Maka bersama Cin Eng mereka lalu masuk ke dalam gua kecil sebelah kiri. Bu Beng mulai membaca dan mempelajari Ang coa kiamsut, sedangkan Cin Eng pergi mencari buah-buahan sambil menikmati pemandangan indah pulau itu, sekalian mencari Hek Houw.

Setelah menanti setengah hari lebih dan hari sudah menjadi sore, ternyata Hek Houw belum juga kembali Bu Beng mulai khawatir kalau-kalau si dogol itu mendapat bencana. Ia berkata kepada Cin Eng bahwa mereka terpaksa harus menanti sampai besok. Cin Eng yang juga sayang kepada Hek Houw yang jujur dan setia, menyatakan persetujuannya.

Tapi tiba-tiba pada saat itu terdengar suara gemuruh dan mereka merasakan tanah bergoyang hebat! Setelah tanah seakan-akan berayun-ayun beberapa lama hingga Cin Eng menjadi takut dan memeganggi lengan Bu Beng dengan tubuh menggigil, maka goncangan menjadi reda dan tanah kini hanya tergetar saja. Tapi suara gemuruh masih saja terdengar.

“Mungkin gunung ini hendak meletus,” kata Bu Beng. Ia bawa dua peti kecil itu dan menarik lengan Cin Eng. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Berbahaya!”

Dan sambil berlari-lari di atas tanah yang bergetar-getar mereka berdua turun bukit., dikejar oleh suara gemuruh di belakang mereka. Biarpun melalui tempat yang sudah mulai gelap, tapi karena dikejar rasa takut mereka tak mempedulikannya sehingga akhirnya mereka dapat juga keluar dari hutan dan akhirnya sampai juga mereka di tepi laut dengan napas terengah-engah. Mereka merasa ngeri. Suara bergemuruh itu masih saja terdengar dari situ, tapi getaran tanah hanya terasa sedikit. Mereka lalu menuju pondok buatan ayah Cin Eng dan naik, lalu beristirahat.

Demikianlah, hampir tiga bulan lamanya Bu Beng mempelajari ilmu pedang Ular Merah itu dengan tekun dan rajin. Selama itu, Cin Eng tak mau mengganggunya, karena gadis inipun maklum betapa calon suaminya sedang mempelajari sebuah ilmu pedang yang ampuh. Ia sendiripun ingin sekali mempelajarinya, tapi ia pikir bahwa kalau iapun ikut belajar, maka tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Mengapa terburu-buru? Masih banyak waktu baginya kelak untuk belajar dari Bu Beng!

Maka dengan pikiran itu, Cin Eng hanya melatih kepandaian sendiri dan tiap hari mencari buah-buahan untuk makan mereka. Yang mengganggu pikiran mereka ialah Hek Houw. Pemuda hitam itu sampai sekarang belum kembali! Mereka merasa pasti bahwa Hek Houw tentu sudah tewas. Diam-diam Bu Beng merasa sedih mengingat nasib muridnya itu.

Kasihan pemuda itu yang telah mengangkat guru padanya dan telah membela dan mengantarnya sampai ke pulau Ular Merah sehingga berhasil yang diusahakannya. Sedangkan sebagai balas budi, belum pernah ia mengajar silat kepada muridnya itu. Setelah hafal betul semua pelajaran ilmu pedang di dalam kitab itu dan dapat menangkap dasar-dasarnya dengan sempurna, Bu Beng lalu membakar kitab itu. Kemudia ia berkata kepada Cin Eng.

“Eng moi, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pulang.”

Cin Eng mengangguk tapi wajahnya tampak sedih. Bu Beng maklum apa yang mengganggu pikiran tunangannya.

“Apa boleh buat, Eng moi. Hek Houw agaknya memang sudah ditakdirkan harus meninggal dunia di pulau ini. Sudah cukup lama kita menanti disini.”

Cin Eng menghela napas. “Yang kuherankan , koko, setelah kita kubur rangka di depan gua itu, tiba-tiba saja Hek Houw lenyap. Kemanakah gerangan ia pergi?”

Bu Beng mengangkat pundak. “Bagaimana kalau aku pergi keatas mencarinya?”

“Kurasa tiada gunanya dicari, kalau ia masih hidup tentu sudah lama ia datang kesini. Tapi kurasa tiada salahnya kalau sebelum meninggalkan pulau ini, kita naik sekali lagi dan mencoba mencari jejaknya,” kata Cin Eng.

Tapi pada saat itu tiba-tiba Bu Beng memagang lengan Cin Eng dan berkata kaget, “Eng moi, lihat!” Cin Eng menengok dan ia pegang lengan Bu Beng dengan hati bedebar-debar.

Dari atas bukit tampak seorang tinggi besar berlari secepat kilat. Gerakan orang itu ringan dan cepat sekali hingga sebentar saja ia sudah berada di depat mereka dengan muka tertawa senang.

“Hek Houw, kau??” teriak Bu Beng girang sekali sambil memegang pundak orang itu. Tapi lagi-lagi ia terkejut ketika terasa olehnya betapa pundak Hek Houw terasa keras bagaikan besi dan mengandung tenaga tersembunyi yang kuat! “Eh, kau kemana saja selama ini, Hek Houw?”

“Suhu... aku, eh... aku... hem…? Hek Houw berkata gugup dan tak karuan.

“Hek twako, tenangkanlah dirimu. Kami menanti sampai berbulan-bulan tapi mengapa kau tidak datang? Kemana sajakah kau, twako? Tanya Cin Eng yang juga merasa gembira sekali dengan kembalinya Hek Houw.

“Kouwnio, aku girang sekali kalian selamat. Aku... telah...” kembali ia berhenti dengan bingung.

“Sudahlah, Hek Houw kalau kau tidak suka menceritakan, kamipun takkan memaksamu,” kata Bu Beng dengan suara menghibur.

Mendengar kata-kata gurunya ini, wajah Hek Houw makin merah dan bingung. Kemudian ia mengangkat dada dan berkata dengan tetap. “Suhu sebetulnya teecu selama ini berada di dalam sebuah gua siluman.”

“Gua siluman??”

Hek Houw mengangguk, “Letak gua itu tak jauh dari gua ular. Ketika teecu melihat suhu mendapatkan pusaka dari dalam gua, saya lalu nekat memasuki gua yang seram itu. Dan di dalamnya. Selain setan-setan yang berkeliaran tanpa wujud, teecu dapatkan sejilid kitab pelajaran silat yang telah teecu pelajari sampai habis!”

“lmu silat apakah Hek Houw? Tanya Bu Beng dengan girang dan ingin tahu.

Kembali Hek Houw ragu-ragu tapi sekali lagi pemuda hitam itu mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Ilmu silat Ang coa koat kunhwat yang mempunyai tiga belas kali gerakan!”

Sehabis berkata demikian Hek Houw menggerakkan tubuh dan dengan cepat sekali ia bersilat. Gerakan-gerakannya aneh membingungkan, tapi tiap pukulannya mendatangkan suatu angin. Sungguh ilmu silat yang jarang ada di dunia ini. Bu Beng dan Cin Eng kagum sekali. Dalam waktu tiga bulan saja pemuda hitam yang kasar dan bodoh ini telah dapat memiliki ilmu silat yang dalam keadaan biasa tak mungkin dapat ia pelajari selama sepuluh tahun.

Seperti ketika mulai, Hek Houw menghentikan permainan silatnya dengan tiba-tiba lalu ia tertawa gelak-gelak. Seram sekali suara tawa ini hingga Bu Beng terpaksa memandang wajah muridnya dengan pandangan ganjil. Juga Cin Eng tiba-tiba merasa takut melihat Hek Houw.

“Sudahlah, Hek Houw. Aku ikut girang sekali melihat peruntunganmu. Kurasa kini kepandaian silatmu tak kalah denganku. Hayo kita berlayar dan pulang ke daratan Tiongkok.”

“Benar, Hek Houw. Mari kita mengambil perahumu dan berlayar pulang,” kata Cin Eng.

“Pulang? Perahuku? Ha ha ha! kalian mau pakai perahuku? Ha ha ha! perahuku bukan untuk orang lain. Perahuku untukku sendiri. Ha ha ha.”


cerita silat online karya kho ping hoo


Bu Beng dan Cin Eng saling pandang dan gadis itu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bu Beng memandang wajah Hek Houw dengan tajam dan ia merasa betapa sepasang mata Hek Houw telah berubah sinarnya, tidak seperti tadi lagi. Mata itu kini terputar-putar dan melirik ke kanan kiri dan sinarnya ganjil sekali. Juga bibir pemuda itu tertarik seakan-akan menyeringai dan mengejek.


“Hek Houw!” katanya tajam, tapi Hek Houw sudah mendahuluinya meloncat dan lari ke tempat dimana ia menambatkan perahunya. Bu Beng dan Cin Eng mengejar. Hek Houw yang sudah tiba disitu lebih dulu, menggunakan tangan kiri mengangkat perahunya. Bu Beng kagum sekali melihat tenaga Hek Houw yang sudah maju sedemikian hebat. Hek Houw dengan menyeringai menanti kedatangan mereka dan kembali berkata,

“Perahuku untuk aku sendiri. Orang lain tak boleh naik.”

“Hek Houw, tapi aku gurumu!” kata Bu Beng.

“Guru? Ha ha ha! Guruku ia iblis pulau Ang coat ho! Kalian jangan ganggu aku, pergi!"

Sambil berkata demikian ia gunakan tangan kanannya mendorong Bu Beng. Bu Beng segera menggunakan tangannya menangkis dorongan itu karena dari anginya ia tahu betapa kuat tenaga dorongan Hek Houw. Dan ketika kedua tangan mereka beradu. Bu Beng kena terdorong mundur beberapa tindak! Tapi Hek Houw sendiri terhuyung dan melepaskan perahunya yang jatuh bedebuk di atas pasir pantai.

“Hek Houw, ingatlah! Kenapakah kau ini?”

“Kau orang jahat, orang jahat! Kau mau ganggu aku, murid raja siluman Ang coat ho?” dan menyeranglah ia dengan hebat.

Bu Beng mengelak cepat dan mereka segera bertempur dengan hebat. Bu Beng harus berlaku hati-hati sekali, ternyata ilmu silat Hek Houw benar-benar aneh dan liar hingga beberapa kali hampir saja ia kena terpukul. Kalau lawannya bukan Hek Houw dan kalau ia tidak sudah tahu bahwa ada terjadi sesuatu dengan pikiran dan bathin pemuda hitam itu, tentu Bu Beng sudah menggunakan pedangnya. Ia tidak tega untuk menggunakan pedangnya terhadap Hek Houw, tapi dengan tangan kosong saja, rasanya tak mungkin ia bisa menjatuhkannya!

Gerakan-gerakan Hek Houw terlampau licin, sukar sekali dipukul, jangan kata hendak ditangkap! Tapi tiba-tiba Hek Houw meloncat ke belakang sambil berkata,

“Kau orang jahat, kau terlampau kuat. Aku tiada waktu lagi, mau pulang. Pulang ke kampong.”

Maka secepat kilat Hek Houw membungkuk dan sebelum tahu apa yang hendak dilakukan pemuda itu, Bu Beng tiba-tiba melihat pasir menyambar dari tangan Hek Houw menyerang mukanya. Ternyata pemuda hitam itu menggunakan pasir sebagai senjata rahasia. Biarpun hanya pasir, tapi karena dilepas dengan cara yang istimewa dan mengandung tenaga besar, pasir itu bukan tak berbahaya, lebih-lebih jika dapat mengenai mata! Bu Beng cepat mengelak dan ketika ia memandang lagi ke depan, ternyata Hek Houw sudah mengangkat perahunya dan lari ke laut.

“Kejar, koko!” teriak Cin Eng.

Tapi Bu Beng hanya menggelengkan kepala dan memungut sehelai kertas yang tadi melayang keluar dari saku baju Hek Houw ketika pemuda hitam itu membungkuk untuk mengangkat perahunya. Ia bolak balikkan kertas itu dan tiba-tiba berkata,

“Eng moi, lihatlah ini!” suaranya gemetar.

Cin Eng lari menghampiri dan ternyata kertas itu adalah sobekan kulit sebuah kitab yang ada tulisannya demikian 'Ang coa koai kunhwat ini diturunkan kepada dia yang menemukannya. Dia boleh mempelajarinya dan menjagoi di seluruh daratan, tapi jika dia ceritakan hal ilmu silat ini kepada orang lain, dia terkutuk menjadi gila'

Seperti juga bunyinya yang ngeri, tulisan itupun seperti cakar ayam dan kelihatan jelek sekali, tapi harus diakui bahwa yang menulisnya memiliki tenaga yang garang dan hebat. Ketika Cin Eng memandang wajah tunangannya yang sedih dan kecewa, ia maklum bahwa Bu Beng menyesali diri sendiri mengapa telah mendesak Hek Houw untuk mengaku hingga mengakibatkan pemuda itu menjadi gila, terkena kutukan sumpah iblis pengarang dan pencipta ilmu silat siluman ini!

Ia memegang lengan Bu Beng dengan halus dan berkata, “Koko, sudahlah jangan sedih. Kita lakukan itu tidak dengan sengaja, siapa tahu bahwa Hek Houw telah mempelajari ilmu yang memakai syarat demikian gila?”

Karena perahu satu-satunya telah dibawa minggat oleh Hek Houw terpaksa Bu Beng menebang sebatang pohon siong besar dan dari batang itu ia membuat sebuah perahu sederhana. Tapi karena ia tidak mempunyai kapak dan hanya bekerja dengan menggunakan pedang, maka setelah memakan waktu lima hari barulah perahu buruk dan sederhana itu selesai.

Maka berlayarlah Bu Beng dan Cin Eng, kembali ke daratan Tiongkok. Peti berisi harta pusaka itu dibungkus dan ditaruhnya dalam pauwhok (ransel) yang tergantung di punggungnya. Setelah mencapai daratan Bu Beng membeli dua ekor kuda dan mereka meneruskan perjalanan pulang dengan jalan darat. Bu Beng memberikan pedang Hwee hong kiamnya kepada Cin Eng dan ia sendiri menggantungkan Ang Coa kiam di pinggangnya.

Kebetulan sekali perjalanan mereka melalui kampong Lok leng chung dimana Lo Sam di Pengemis Kecil Tongkat Wasiat tinggal. Ketika itu musim Chun telah menjelang datang, maka teringatlah Bu Beng akan undangan Lo Sam untuk singgah di kapungnya dan ikut menghadiri pesta ulang tahun ketiga belas dari perserikatan pengemis.

Ketika tiba di kampong itu, mudah saja baginya mencari alamat Lo Sam karena Pengemis Kecil ini terkenal sekali. Berbeda dengan sebutannya dan pakaiannya yang selalu penuh tambalan, tempat pusat perkumpulan itu merupakan rumah besar sekali, biarpun tak dapat disebut mewah. Lo Sam menyambut Bu Beng dan Cin Eng dengan girang.

“Selamat datang, selamat datang!” si kate itu berulang-ulang berkata dengan wajah berseri-seri.

Disitu telah datang puluhan tamu yang terdiri dari orang-orang kang ouw ternama, karena nama Lo Sam cukup berpengaruh dan dihormati. Melihat para tamu itu memberi barang-barang sumbangan atau tanda hormat yang diletakkan berjajar-jajar di atas meja, Bu Beng diam-diam mengeluarkan sebuah perhiasan rambut permata dari kotaknya dan menaruhnya diatas meja sambil berkata kepada Lo Sam.

“Lo enghiong, kami tak dapat memberi apa-apa, harap barang kecil tak berarti ini dianggap sebagai tanda hormat.”

Tapi Lo Sam dan beberapa orang tamu yang berada di dekat situ memandang perhiasan dengan mata terbelalak. Permata-permata itu mengeluarkan cahaya gemerlapan yang warnanya macam-macam dan indah sekali, sungguh sebuah barang mustika yang jarang terlihat orang!

“Tapi... tapi... Bu Tahiap, barang           ini        tak ternilai harganya,        aku pengemis          hina dan tua tak berani menerimanya,” kata Lo Sam gugup.

Bu Beng tersenyum. “Apakah barang ini terlampau kecil dan tak berharga hingga tak dapat diterima?”

“Oh, tidak, tidak! Ah... serba susah, biarlah, kuterima Bu tahiap, terima kasih,”

Akhirnya Lo Sam berkata sambil memegang dan memutar-mutar barang itu di tangannya dan berkali-kali menghela napas. Ia dapat menaksir bahwa barang itu sedikitnya berharga sepuluh ribu tail.

Makin lama makin banyaklah tamu-tamu yang datang. Diantaranya tampak Kim Kong Tianglo yang segera memeluk sutenya dan mengobrol dengan gembira. Bu Beng menceritakan pengalamannya dengan singkat kepada suhengnya tercinta itu. Juga hadir disitu Sim Boan Lin dan Sim Tek Hin, Lui Im dan Ang Hwat Tojin! Sim Boan Lip dan puteranya memberi hormat kepada Bu Beng, agaknya mereka sudah mengubah adap hingga diam-diam Bu Beng merasa girang.

Lui Im merasa gembira sekali dapat bertemu kembali dengan Bu Beng. Sedangkan Ang Hwat Tojin yang datang bersama susioknya yang usianya hampir sebaya dengan ia sendiri agaknya tak suka memandang kepada Bu Beng. Ia rupa-rupanya merasa sombong karena ditemani susioknya yang terkenal bernama Pauw Hun Lin dengan julukan Naga Ekor Sepuluh!

Pauw Hun Lin adalah seorang saudagar kaya raya dan karena ilmu silatnya tinggi, maka ia terkenal di kalangan kang ouw hingga menerima undangan dari Lo Sam pula. Kini Pauw Kauwsu ini datang membawa sumbangan berupa arca Budha dari batu giok yagn indah dan mahal. Dulu sebelum menjadi guru silat, hingga orang-orang memanggil dia Pauw Kauwsu.

Pauw Kauwsu duduk semeja dengan Ang Hwat Tojin, Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin. Sedangkan Bu Beng dan Cin Eng ditemani Kim Kong Tianglo dan Lui Im. Lo Sam sendiri sebagai tuan rumah melayani para tamu kesana kemari, mengisi arak dan menawarkan hidangan, kadang-kadang keluar menyambut datangnya tamu-tamu baru. Para pelayan semua terdiri dari pemuda-pemuda tegap berbaju baru. Tapi baju mereka ini semua penuh tambalan! Karena hidangan yang dikeluarkan serba mewah dan nikmat, maka keadaan disitu agak ganjil, yakni jembel dan mewah bercampur aduk.

Tiba-tiba datang tamu baru terdiri dari lima orang. Banyak tamu yang melihat mereka masuk segera berdiri dan memberi hormat, Lo Sam sendiri menyambut mereka dengan hormat sekali, bahkan semua orang-orang di meja Ang Hwat Tojin bangun berdiri dan Pauw Hun Lin segera menghampiri tamu baru itu dan memberi hormat yang dibalas oleh kelima orang itu dengan hormat pula.

Melihat banyak orang menyambut kedatangan mereka, kelima orang itu mengangkat dada dengan sikap jumawa sekali, kemudian yang tertua diantara mereka mengeluarkan beberapa potong emas dan memberikannya kepada Lo Sam sebagai sumbangan.

Bu Beng sejak tadi memperhatikan mereka dengan hati tertarik dan menduga-duga siapakah kelima orang yang berpengaruh itu. Tiba-tiba Cin Eng memegang lengan kirinya dengan keras dari bawah meja. Pun Kim Kong Tianglo tampak terkejut dan segera berbisik padanya.

“Merekalah Ngo Houw dari Tiang san.”

Sementara Cin Eng berbisik. “Koko, mereka inilah pembunuh-pembunuh ayah ibuku!” suara Cin Eng bercampur isak dan kedua matanya mengeluarkan sinar marah. Gadis itu tak dapat menahan hatinya dan hendak mencabut Hwee hong kiamnya. Tapi baru saja ia meraba gagang pedangnya, Bu Beng memegang tangannya dan berkata.

“Eng moi, sabarlah. Kita harus menghormati Lo Sam lo enghiong dan jangan membikin kacau pestanya yang berarti menghinanya. Masih banyak waktu membalas dendam di luar tempat ini.”

Mendengar alasan kekasihnya yang penuh cengli ini terpaksa Cin Eng duduk kembali dan menahan perasaan marahnya. Ia hanya memandang kearah Lima Harimau dari Tiang an itu dengan mata menyala. Kim Kong Tianglo membenarkan pandangan Bu Beng dan ikut membujuk agar gadis itu bersabar.

Sementara itu, karena ajakan Pauw Hun Lin, Lima Hariamau dari Tiang-an itu duduk semeja dengan mereka. Sebentar saja di meja mereka terdengar suara tertawa gembira dan mereka makan minum penuh kegembiraan.

Ngo houw dari Tiang an berusia rata-rata diantara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka bukanlah kakak beradik tapi saudara seperguruan yang membuka sebuah piauw kiok atau kantor ekspedisi pengantar barang. Mereka terkenal sekali dengan ilmu golok cabang Gobi karena sebenarnya Ngo houw ini adalah murid-murid dari Hok seng Hwesio seorang tokoh cabang Gobi, sayang sekali lima saudara ini beradat sombong dan takabur.

Mereka menganggap diri mereka hiapkek atau pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan mereka membasmi semua penjahat tanpa pilih bulu. Maka semua perampok dan bajak sangat takut kepada jago-jago dari Tiang-an ini. Dan Liu Pa San, ayah Cin Eng, biarpun ia seorang maling budiman, tapi ketika bertemu dengan mereka ini, tidak diberi ampun lagi.

Tiba-tiba Bu Ong, jago tertua dari Tiang-an itu setelah menghirup habis secawan arak, berkata sambil tertawa kepada Lo Sam yang berada di meja mereka untuk melayani.

“Lo enghiong, pesta ini cukup menyenangkan. Tapi sayang sekali ada beberapa orang dari golongan rendah ikut menyelundup masuk mengotorkan pesta ini.”

Lo Sam terkejut mendengar omongan ini. “Eh, kau main-main, sicu. Semua yang hadir disini adalah kenalan-kenalanku. Orang-orang kang ouw yang terhormat.”

Bu Houw, jago kedua, mengeluarkan suara ejekan dari hidung. “Hm, lo enghiong hendak menyamakan kaum maling dan anak maling itu termasuk orang-orang terhormat?”

“Maling? Anak maling? Siapa yang sicu maksudkan?” Tanya Lo Sam dengan heran.

“Ha ha ha! ada maling di depan mata masih belum tahu!” Bu Ong tertawa dan menggunakan sebatang sumpit menusuk sepotong paha ayam dan sekali menggerakkan jarinya, paha ayam itu terlepas dari ujung sumpit bagaikan anak panah dan menyambar kearah wajah Cin Eng!

Nona ini marah sekali dan hendak menusuk daging itu dengan sumpitnya, tapi Bu Beng mendahuluinya dan menggerakkan tangan, daging itu terbang kembali kearah muka Bu Ong dengan kecepatan dua kali lipat daripada datangnya tadi!

Bu Ong terkejut dan terpaksa menangkis daging yang hendak menghantam mukanya ini dengan tangan, tapi malang sekali bagi Bu Liong jago keempat yang duduk disebelahnya dan masih tertawa karena lagak suhengnya tadi hingga daging itu dengan tak tersangka-sangka menyambar cepat dan tepat memasuki mulutnya yang masih terbuka. Tentu saja ia menjadi gelagap.

Terdengar suara ketawa di meja Bu Beng, karena Lui Im , Kim Kong Tianglo dan Cin Eng tak dapat menahan geli hatinya dan tertawa gembira. Kelima saudara Bu itu marah sekali dan Bu Ong meloncat berdiri sambil memaki.

“Maling dan anak maling, sayang tempo hari kami tak sempat membasmi kalian. Kebetulan sekali hari ini kalian berani memperlihatkan muka, pasti taiyamu tak dapat memberi ampun padamu.”

“Bangsat kurang ajar! Memang kami sengaja mencari-carimu untuk membalas dendam ayah ibuku? Sekarang kita sudah ketemu jangan harap kau akan hidup lebih lama lagi!”

Lo Sam berdiri kebingungan melihat ini. Bu Beng segera menarik tangan Cin Eng dan berkata kepada Bu Ong dan kawan-kawannya. “Kalian disebut Ngo Houw dari Tiang-an yang sudah tersohor sebagai orang-orang gagah. Tapi mengapa kalian tidak kenal perikesopanan? Kita harus menghormati Lo Sam enghiong dan jangan membikin ribut di pesta ini. Kalau kalian memang laki-laki, mari kita keluar!”

“Eh, eh, setan kecil, siapa kau berani ikut campur?”

“Dia... dia adalah Bu Beng Kiamhiap, mari kuperkenalkan,” Lo Sam mencoba mendamaikan mereka karena ia sebenarnya tak tahu sebab musabab permusuhan mereka ini.

“Hm, pantas sombong sekali, kiranya Bu Beng siauwcut! Kau kira kami takut padamu?”

“Jangan banyak mulut! Kalau memang berani, hayo keluar!” teriak Cin Eng marah.

“Ha ha ha, galak benar si manis ini, berikan saja padaku Twa suheng,” kata Bu Kiat, jago yang termuda dan yang terkenal mata keranjang. Bu Ong hanya tertawa.

Bu Beng, Cin Eng, dan Kim Kong Tianglo sudah tak sabar lagi, mereka meloncat keluar dari pekarangan itu dan menanti di luar setelah menjuru kepada Lo Sam. Kelima Macan dari Tiang-an ikut keluar. Tentu saja menghadapi pertempuran yang pasti ramai dan menarik hati, semua tamu ikut keluar dengan makdud menonton, karena mereka semua terdiri dari para ahli silat. Maka kosonglah tempat pesta itu. Bu Beng memberi pesan kepada kawan-kawannya untuk tinggal diam karena ia hendak melawan sendiri kelima jago itu. Ia berdiri menanti dengan pedang Ang coa kiam di tangan dengan sikap tenang sekali,

Tapi, baru saja kelima harimau Tiang-an itu tiba disitu, tiba-tiba dari tempat yang gelap keluar seorang tinggi besar yang langsung menubruk dan menyerang mereka! Tentu saja hal ini sangat mengherankan orang. Gerakan-gerakan penyerang itu gesit dan aneh sekali, sedangkan tenaganya besar. Ketika orang memperhatikan dia ternyata ia adalah seorang muda yang berpakaian compang-camping dan rambutnya terurai kesana kemari tak terurus sama sekali! Ia kelihatan seram sekali hingga kelima saudara Bu terkejut dan marah. Melihat orang itu bertangan kosong, maka Bu Ong mencabut goloknya dan menyerang.

“Hek Houw! jangan ikut campur!” teriak Bu Beng yang segera mengenal pemuda itu. Demikian juga Cin Eng berseru. “Hek twako, jangan!” Tapi Hek Houw tak memperdulikan mereka. Lalu dengan tertawa haha hihi ia balas menyerang dengan buas! Segera kelima saudara itu mengeroyok Hek Houw karena mereka segera mengetahui bahwa pemuda gila itu hebat sekali. Tubuhnya bergerak-gerak aneh dan meloncat kesana kemari diantara sambaran lima batang golok yang dimainkan hebat tapi yang sama sekali tak berdaya seakan mengeluarkan sambaran angin menolak datangnya bacokan golok, bahkan pemuda itu mengeluarkan serangan-serangan berbahaya diiringi suara ketawa ha ha hi hi yang menyeramkan.

Keadaan genting dan seram hingga semua orang memandang dengan hati tegang berdebar-debar. Bahkan Cin Eng sendiri merasa tegang dan memegang lengan Bu Beng dengan keras. Tiba-tiba, Hek Houw tertawa keras dan berkata,

“Kudengar tadi kalian Harimau Tiang-an? kalau begitu biarlah aku mewakili suhu dan kouwnio membunuh kalian!”

Lalu ia mempercepat gerakannya dan tiba-tiba Bu Kiat menjerit ngeri. Orang-orang hanya mendengar suara “pletak!” dan melihat Bu Kiat terlempar jatuh tak berkutik, kepalanya pecah! Terdengar Hek Houw tertawa seram, lalu ia bergerak lagi, kini Bu Bouw mendapat giliran terlempar dan jatuh tak berkutik. Tiap kali merobohkan seorang lawan, Hek Houw tertawa terbahak-bahak dan sebentar saja lima Harimau Tiang-an itu menggeletak diatas tanah tak berkutik!

“Hek Houw,” Bu Beng memanggil lagi.

"Ha ha ha! suhuku dan kouwnio akan puas kali ini!” rupanya pemuda gila itu tidak mengenal lagi kepada Bu Beng.

“Hek Houw twako!” Cin Eng maju memanggil tapi Hek Houw memandangnya aneh, lalu pemuda itu meloncat ke tempat gelap dan menghilang hanya suara ketawanya masih terdengar sayup-sayup menyeramkan hati!

Ketika semua orang memeriksa, ternyata lima harimau Tiang-an itu telah mati semuanya. Tiga orang pecah kepala dan yang dua tulang iganya patah-patah. Diam-diam Bu Beng kagum dan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu silat Hek Houw.

Lo Sam dengan suara bentakan keras memerintahkan anak buahnya merawat lima mayat itu dan ia persilakan semua tamunya kembali duduk dan minum arak. Diam-diam Lo Sam mendekati Bu Beng dan bertanya,

“Bu Beng taihiap siapakah pemuda hebat yang kau sebut Hek Houw tadi?”

“Ia... adalah...”

“Muridnya!” menyambut Cin Eng dengan bangga. Gadis itu merasa bangga dan gembira sekali karena musuh ayah-ibunya telah terbunuh semua dengan cara yang memuaskan.

Mendengar keterangan ini, Lo Sam memandang Bu Beng, dengan heran sekali, demikian juga Kim KongTianglo.

“Kau mempunyai murid sehebat itu, sute? Tanya Kim Kong Tianglo.

Bu Beng hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala sehingga Kim Kong Tianglo maklum bahwa pemuda itu tak hendak memberi keterangan di depan orang banyak, maka ia diam saja.

Tiba-tiba seorang anak buah perkumpulan pengemis itu berlari-lari mendatangi dan berkata kepada Lo Sam. “Celaka suhu, celaka Arca Giok pemberian Pauw Hun Lin tadi lenyap dicuri orang!”

Semua orang tercengan mendengar ini, lebih lebih Pauw Hun Lin si Naga Ekor Sepuluh. Ia berdiri dan berkata keras. “Siapa yang begitu kurang ajar dan berani main-main dengan aku? Matanya yang bundar dan lebar melirik-lirik ke kanan kiri dan alis matanya yang tebal seakan-akan berdiri.

Tiba-tiba Sim Boan Lip berdiri dan mendekat Pauw Hun Lin. Lalu berbisik perlahan. Pauw Kauwsu segera tujukan pandangan matanya kepada Bu Beng dan ia berkata kepada Lo Sam,

“Lo enghiong, kuharap suka periksa bungkusan Bu Beng Kiamhiap, karena ada yang melihat bahwa dia dan kawannya yang mencuri arca Giok itu.”

Tidak hanya Lo Sam yang sangat terkejut mendengar ini, bahkan Bu Beng sendiri merasa seakan disambar petir. Ia marah dan mendongkol sekali.

“Pauw lo enghiong jangan sembarangan menuduh orang!”

Cin Eng yang juga merasa sangat marah mendengar betapa kekasihnya dihina, segera mengambil bungkusan Bu Beng yang tadi ketika terjadi pertempuran, diletakkan di atas meja. Ia buka ikatan buntalan itu sambil berkata, “Ini, saksikan sendiri, siapa yang sudi mengambil barang macam...!”

Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandang ke dalam bungkusan. Ternyata arca budha itu benar-benar berada dalam bungkusan Bu Beng!

Melihat hal ini Bu Beng merasa heran sekali dan Pauw Hun Lin tertawa menyindir, “Hm, dasar maling. Kalau begitu benar juga ucapan lima saudara dari Tiang an tadi bahwa kalian ini tak lain hanya maling-maling rendah saja!”

Dengan sekali ayun tubuh Bu Beng meloncat beberapa buah meja dan berdiri di depan Pauw Hun Lin. “Orang tua, jangan kau menghina sekali! Kau sendiri tadi melihat aku pergi keluar menghadapi lima pengacau itu. Bagaimana aku bias mengambil barangmu? Tentu ada orang yang memfitnah!” dan ia pandang wajah Sim Boan Lip dengan tajam.

“Alasan belaka! Akal maling rendah! Kau benar keluar, tapi siapa tahu ketika semua orang ikut keluar, kesempatan itu digunakan oleh kawan-kawanmu maling yang lain?”

“Pauw kauwsu! Sampai dimanakah tingginya kepandaianmu maka kau begitu sombong?” kata-kata ini mengandung tantangan.

Maka tentu saja Pauw Hun Lin merasa marah. “Ha, memang sudah kudengar dari Ang Hwat Tojin bahwa kau mempunyai sedikit kepandaian dan menjadi sombong karenanya. Mari kita boleh coba-coba sebentar!”

Pauw Hun Lin lalu meloncat ke ruangan yang agak lebar. Bu Beng yang merasa marah sekali segera mengejar. Mereka saling berhadapan dan memasang kuda-kuda ketika Lo Sam berseru,

“Tahan!” Dengan sekali loncatan pengemis pendek itu sudah berada di antara kedua jago yang hendak mengukur tenaga masing-masing itu. “Pauw enghiong,” kata Lo Sam, “Janganlah mendesak Bu Beng taihiap. Karena aku sendiri berani menanggung bahwa bukan Bu Beng taihiap yang mengambil barang itu.”

“Hm, begitu? Tapi mengapa arca itu bias masuk ke dalam bungkusannya?” Tanya Pauw Hun Lin.

“Dalam hal ini pasti ada tukang fitnahnya!” jawab Lo Sam.

“Hm, kau sebagai tuan rumah ternyata berat sebelah. Lo Enghiong! Biarlah, aku memang hendak mencoba kepandaian anak muda ini dan kalau bisa mengajar adap padanya.”

“Aku melarangnya. Pauw kauwsu. Aku tuan rumah dan aku tak suka orang merusak pestaku ini!”

“Kalau aku tetap hendak menghajarnya, kau mau apa?”

Lo Sam agak marah mendengar ini. “Pauw kauwsu! Kau adalah tamu undanganku, dan aku tuan rumah tempat ini mengerti? Sebagai tamu kau harus tunduk kepada peraturanku. Pendeknya jangan berkelahi atau kalau tidak lebih baik kau keluar saja dan bawalah lagi pemberianmu itu!” Lo Sam benar-benar marah karena merasa dihina dan tak dihargai oleh kauwsu itu.

“Ha ha ha agaknya kau sudah sekongkol dengan maling-maling itu. Kau sendiri memerlukan hajaran pengemis rendah!”

Mendengar ini, Lo Sam berseru marah dan ia segera menyerang! Maka bertempurlah kedua orang tua itu, Bu Beng tahu akan kepandaian Lo Sam, tapi ia terkejut sekali ketika melihat bahwa sebentar saja Lo Sam terdesak mundur oleh pukulan-pukulan Pauw kauwsu yang benar-benar hebat!

Tiba-tiba Lo Sam meloncat jauh ke sudut ruangan dan tahu-tahu ia sudah mengambil tongkatnya. “Untuk memukul anjing aku harus menggunakan tongkatku!” katanya.

“Ha ha ha! Bagus memang aku ingin sekali mencoba tongkat wasiatmu!” kata Pauw kauwsu dengan sombong sambil mencabut pedang.

Bu Beng pernah bertempur melawan Lo Sam dan tahu bahwa ilmu permainan tongkat dari pengemis ini benar-benar hebat dan boleh dikatakan setingkat dengan permainan pedang yang ia pelajari dari Hun San Tojin, gurunya. Maka ia berpikir kali ini Lo Sam pasti menang. Tapi di luar dugaannya, orang she Pauw itu benar-benar hebat hingga pedangnya dapat melayani ilmu tongkat Lo Sam dengan baik sekali, bahkan agaknya lebih unggul!

Lo Sam mengeluarkan ilmu tongkatnya Pat kwa mui yang gerakan-gerakannya sangat hebat serta berubah-ubah jurusannya dari delapan penjuru. Tapi ilmu pedang Pauw kauwsu tidak kalah hebatnya dan dapat mengatasi ilmu tongkat lawan. Lama-lama Bu Beng tahu bahwa biarpun dalam permainan senjata Lo Sam tidak kalah banyak, namun pengemis kate ini kalah tenaga, maka menjadi terdesak mundur.

Bu Beng mencabut pedang dan menggerakkan pedang ular merah diantara kedua orang yang sedang bertempur itu. Mereka melihat sebuah sinar merah panjang berkilat menyilaukan mata, maka masing-masing menarik senjata dan meloncat mundur.

Bu Beng menjuru kepada Lo Sam. “Lo enghiong, biarlah siauwte melawan orang sombong ini, karena sebenarnya siauw telah yang ia kehendaki. Siauwte tidak suka membiarkan lo enghiong mewakili siauwte yang muda.”

“Bagus Bu Beng siauwcut, majulah!” Pauw kauwsu menantang dan tanpa banyak kata lagi ia mengayunkan pedangnya menyerang!

Bu Beng yang merasa marah sekali kepada orang she Pauw yang kasar itu, segera memutar Ang coa kiamnya dan melakukan serangan bertubi-tubi dengan menggunakan ilmu pedangnya yang baru dan luar biasa yaitu Ang coa kiamsut. Pedang Ang coa kiam adalah pedang mustika yang hebat sekali ketajamannya dan merupakan senjata ampuh, apalagi dimainkan dalam tangan Bu Beng yang memiliki kepandaian tinggi.

Untunglah Pauw kauwsu juga menggunakan sebuah pedang pusaka, yaitu How kiam. Tapi menghadapi permainan pedang Ang coa kiamsut yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, bahkan belum pernah didengarnya, ia menjadi bingung sekali. Pedang Bu Beng yang membentuk ular merah itu berkilat-kilat merupakan sinar merah menyambar-nyambar hingga menyilaukan mata. Gerakan-gerakannya demikian aneh dan mempunyai tenaga mukzijat.

Sebenarnya Ang coa kiamsut memang luar biasa. Ilmu pedang ini mempunyai empat macam gerakan, memutar, menempel, mengait dan membabat. Jika Bu Beng menggunakan gerakan dan tenaga memutar, maka pedangnya dapat terputar dan ujungnya seakan-akan merupakan ekor ular yang melilit pedang lawan hingga lawan merasakan tangannya tergetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan.

Jika menempel, maka pedang ular merah itu seakan-akan besi sambrani yang menempel pedang lawan hingga lawan sukar menggerakkan atau menarik pedangnya. Demikian juga pedang itu dapat digunakan untuk mengait atau mencongkel pedang lawan, karena dengan membalikkan telapak tangan dengan tiba-tiba, ujung Ang coa kiam dapat mengarah nadi orang dan menarik pedang lawan. Sebaliknya digunakan untuk membabat, maka gerakan ini bukanlah asal membacok saja, tapi dapat diubah membacok terus menerus, membacok lagi dan selalu berubah-ubah tak terduga.

Pauw Hun Lin yang selama hidupnya belum pernah menghadapi permainan pedang macam ini, baru belasan jurus saja menjadi bingung dan pening. Ia hanya dapat memutar-mutar pedangnya menutupi tubuh agar jangan sampai temakan oleh pedang ular merah itu, tapi sedikitpun ia tidak kuasa menyerang!

Bu Beng yang tak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Pauw kauwsu tidak ingin melukainya, hanya ingin mempermainkan dan mengajar adap saja. Tapi pemuda inipun merasa terkejut dan gembira sekali melihat betapa ilmu pedang baru yang dimilikinya itu bisa begitu hebat. Sama sekali di luar dugaannya. Semua tamu yang melihat kehebatan Bu Beng, diam-diam meuji dan kagum. Juga Lo Sam sangat heran melihat permainan Bu Beng yang asing dan aneh.

“Ah, sungguh hebat anak muda ini, baru beberapa lama berpisah, telah memiliki kepandaian yang demikian hebat dan demikian pesat pula kemajuan yang dicapainya!” pikirnya.

Pada saat itu, Cin Eng yang sejak tadi heran melihat Kim Kong Tianglo tidak berada disitu lagi, tiba-tiba melihat suhengnya itu datang dari depan berlari-lari dan segera menghampiri mereka yang sedang bertempur.

“Sute, tahan pedangmu!”

Mendengar suara suhengnya. Bu Beng menahan serangannya dan meloncat mundur. Pauw kauwsu juga menghentikan putaran pedangnya dan memandang Kim Kong Tianglo dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi jidat.

“Sute aku sudah tahu orang yang melakukan fitnah ini. Pauw kauwsu kau memang terburu napsu. Orang telah berlaku curang dan sengaja mengadu kau dengan suteku,” Kim Kong Tianglo lalu menarik tangan seorang anggota perkumpulan pengemis yang tadi ia ajak berlari kesitu. “Coba ceritakan apa yang kau lihat tadi!”

Dengan mata memandang kepalanya, anak buah itu berkata. “Ketika semua orang keluar tadi untuk menonton pertempuran maka siauwte lihat kedua tuan ini mengambil arca dari atas meja. Siauwte kaget sekali dan makin merasa heran ketika mereka memasukkan arca itu ke dalam bungkusan Bu Beng Kiamhiap!” sambil berkata demikian ia menunjuk kearah Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin yang berdiri dengan wajah pucat.

“Kau? Eh, mengapa... bagaimana pula ini?“ kata Pauw kauwsu sambil memandang wajah Sim Pangcu dan puteranya itu.

“Tak usah heran, Pauw kauwwsu,” kata Bu Beng tersenyum, “Mereka ini pernah melakukan kejahatan tapi berhasil saya halag-halangi, dan mungkin kini hendak membalas dendam. Ternyata mereka pengecut sekali dan tak berani membalas sendiri maka lalu menggunakan tanganmu hendak mencelakakan aku!”

“Betulkah ini? Kalian yang melakukan perbuatan terkutuk ini?” bentak Pauw kauwsu kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin.

Sim Pangcu diam saja tunduk, tapi Sim Tek Hin segera mengangkat dada dan berkata keras. “Betul, memang kami ingin melihat Bu Beng yang sombong ini terjatuh dalam tangan Pauw kauwsu. Tapi kami keliru memilih jago!” kata-kata ini dianggap lucu dan terdengar suara tawa ditahan dari sana sini.

Pauw Hun Lin merasa marah sekali dan pedangnya segera berkilat menyerang ayah anak itu! Serangan ini tak terduga sama sekali, hingga Sim Boan Lip kena terbacok lehernya dan sekali berteriak ngeri orang tua itu jatuh mandi darah dan mati disaat itu juga!

Sim Tek Hin berseru keras dan menggunakan pedangnya menyerang Pauw kauwsu. Tapi sekali bergerak Pauw kauwsu dapat menendang pemuda itu hingga terlempar jauh dan Pauw kauwsu yang sudah gemas dan marah itu meloncat mengejar dan mengayunkan pedangnya. Tapi tiba-tiba pedangnya tertahan oleh pedang lain yang bersinar merah. Ternyata Bu Beng yang mencegahnya.

“Pauw kauwsu tak perlu ditambah dengan pembunuhan kedua! Ampuni saja Sim Tek Hin ini. Ia masih muda masih banyak waktu baginya untuk mengubah wataknya yang buruk!”

Pauw kauwsu memandang kepada Tek Hin yagn sudah berdiri dengan meringis kesakitan, dan Pauw kauwsu membentaknya dengan keras. “Tidak minggat dari sini mau tunggu apa lagi?”

Sim Tek Hin dengan air mata mengucur mengangkat mayat ayahnya dan pergi dari situ dengan kepala tunduk. Dengan cegahannya ini ternyata Bu Beng seperti juga mencegah orang membasmi seekor binatang buas dan ia mendatangkan bencana kepada diri sendiri, karena Sim Tek Hin ini merupakan bencana besar di hari kemudian bagi rumah tangganya.

Pauw Hun Lin segera menyatakan maafnya kepada Bu Beng dan memuji pemuda itu dengan kagum sekali. Bu Beng merendahkan diri dan mereka lalu bicara dengan gembira sekali. Semua tamu makan minum pula dengan gembira sampai jauh malam. Tapi Pauw Hun Lin yang merasa malu karena sikap dan tindakannya yang tak menyenangkan tadi, segera menyatakan maaf kepada Lo Sam dan mengajak Ang Hwat Tojin meninggalkan tempat itu karena ia merasa betapa semua mata memandangnya dengan penuh penyesalan.

Kemudian Bu Beng dan Cin Eng diajak oleh Kim Kong Tianglo pergi ke Liong San. Kim KongTianglo memberi nasehat kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan disitu. Mereka setuju dan perkawinan dirayakan dengan sederhana diatas gunung itu, dengan dikunjungi oleh para penduduk kampong yang dekat dengan tempat itu. Sepasang pengantin yang saling mencina itu hidup dengan penuh kebahagiaan di atas bukit, tiap hari menikmati tamasya alam dan menghirup hawa pengunungan yang bersih dan segar.

Kim Kong Tianglo membujuk agar Bu Beng dan istrinya suka tinggal saja di Liong San dan menggantikan kedudukan suhu mereka, karena Kim liong pai sekarang tidak ada bengcunya lagi. Suheng ini mengharap agar Bu Beng dapat menghidupkan cabang perguruan silat mereka kembali untuk menjunjung nama Kim Liong pai sebagai pembalas jasa terhadap Hun San Tojin, guru mereka yang tercinta.

Kemudian Kim Kong Tianglo pergi untuk mengambil kedua muridnya, yaitu adik dari Cin Eng, putera puteri dari Hun Gwat Go, Liu Cin Han dan Liu Cin Lan. Kedua saudara ini tadinya dititipkan dalam sebuah kelenteng dimana seorang kawan Kim Kong Tianglo menjadi ketuanya. Sudah tentu Cin Han dan Cin Lan girang sekali bertemu kembali dengan cici mereka, Cin Eng, hingga mereka bertiga bepelukan sambil menangis karena terharu dan girang.

Kedua anak ini seterusnya tinggal bersama dengan cici dan cihu mereka, dan mereka berdua belajar silat dengan rajinnya di bawah pimpinan Cin Eng dan Bu Beng. Cin Eng sendiri mempelajari Ang coa kiamsut dari suaminya hingga tak lama kemudian ia juga paham sekali ilmu pedang yang luar biasa ini.


                  ***************

Dua tahun kemudian, Cin Eng melahirkan sepasang anak kembar laki perempuan yang diberi nama Kim Lian dan Kim San.

Demikianlah, Bu Beng anak yatim piatu yang di waktu kecilnya hidup sengsara dan penuh penderitaan itu, kini hidup beruntung dengan istrinya yang mencinta, kedua anaknya yang lucu dan mungil, serta kedua adik yang cerdik dan menurut semua petunjuknya.

Karena memenuhi pesan suhengnya yang pergi merantau. Bu Beng menerima beberapa orang murid dan hidup sebagai petani diatas gunung Liong San dengan aman dan damai...!


                 T A M A T


Serial Selanjutnya : Kisah Sepasang Naga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH SEPASANG NAGA

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH