PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



PADA suatu pagi, ketika fajar tengah menyingsing dan dari sana sini terdengar ayam hutan berkokok nyaring, di halaman depan sebuah pondok bambu di puncak bukit Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan putih berkelebat kesana kemari di antara bayang-bayang pohon yang gelap. Ia adalah seorang pemuda baju putih yang sedang berlatih silat.

Gerakan tubuhnya demikian cepat hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia bersilat ilmu pukulan Ouw-wan-cianghoat (Silat Monyet Hitam). Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daun-daun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis. Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia tak menginjak tanah!

Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas, kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke bawah.

Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah, ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat tangannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil, kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.

“Ah, engkau kurus benar,” katanya kepada ayam yang menggelepar-gelepar di tangannya itu. “Bibi tentu akan mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk boleh kutangkap lagi!” ia melepaskan ayam itu, yang segera terbang dengan terkeok-keok.

Pemuda itu berusia lebih kurang lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam yang panjang. Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang).

Tadi ia telah melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi.

Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok. Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijau-hijauan berputar-putar kesana kemari.

Setelah ia bersilat beberapa puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian, “Bagus!!” dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar menerjangnya! “Lihat pedangku!” bentak bayangan itu sambil menyerang dengan tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci).

Ia agak terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu, namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga) Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih dipegangnya untuk menangkis.

“Prakkk!” terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang.

Pemuda itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh dahannya itu terpental juga.

“Hai, mengapa kau menyerangku? Aku Si Han Liong belum pernah punya musuh!” Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan hebat!

Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera dia balas menyerang.

Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh) kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut, karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian mahirnya!

Tak terasa ia berseru, “tahan!”

Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat melayaninya dengan baik. Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang dengan ilmu-ilmu berbahaya.

Tapi Han Liong tidak mau melakukan serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang.

Ketika lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.

“Suhu (guru)!” teriaknya.

Lawannya berdiri, melempar pedangnya, dan sambil tertawa ia membuka kedoknya, “Ha ha ha! Anak baik, muridku yang baik!”

Bie Kong Hosiang tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baik-baik.

“Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju! Bagus sekali, muridku.”

“Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang mencoba kebisaanku!” jawab Han Liong.

“Aku hanya ingin tahu kemajuanmu.” berkata Kim-too Bie Cong Hosiang si Golok Emas.

“He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!” tiba-tiba terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya tampak melayang ke bawah.

Han Liong segera berlutut dan berseru dengan girang “Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!”

Bie Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi hormat dan berkata, “Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat bertemu, selamat datang!”

Hee Ban Kiat membalas hormatnya dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri, “Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh, bersiaplah.”

“Teecu tak berani melawan suhu.”

“Apa katamu? Siapa bilang melawan? Ini hanya latihan, anak bodoh!” Kemudian secepat kilat ia menyerang.

Han Liong sangat kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya. Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan harus melawan bersilat dengan gurunya ini? Segera ia melompat mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.

“Jangan terlalu seeji (segan-segan)!” tegur gurunya yang segera menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku). Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada muridnya.

Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselang-seling.

Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja. Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari pada gurunya itu!

Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa gembira, karena gurunya menghentikan serangannya, “Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh, bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!” tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal sebuah itu bercahaya girang dan bangga.

“Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh).” menjawab Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang.

Han Liong tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang datang belakangan itu.

“Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong,” kata Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, “Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu.”

Tubuh Han Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua titik kecil yang makin jauh. Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu melayang-layang mendekat.

Sebuah bayangan kuning gurunya, Si Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong.

Demikianlah gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya. Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.

“Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku.”

Tapi diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat. Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul lemparannya itu.

Han Liong mengerti maksudnya. Segera dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun, terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.

“Eh, aku jangan ditinggalkan!” seru Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. “Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini.”

Han Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing memegang kedua ujungnya.

“Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak mengangkatmu!” Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam, memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.

“Naik!” Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim!

Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu! Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun kembali.

Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur bhesi gurunya!

Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan...

“Brakkk!” bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar.

“Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku. Berlatihlah terus, muridku.”

Kemudian ia minta muridnya memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit dahan seperti seekor ular besar!

Keempat gurunya bukan main girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.

“O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat? Kami ingin sekali tahu,” kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng In.

“Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah kata dan beberapa buah huruf saja, suhu,” jawab Han Liong malu.

“Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong,” sela bibinya, Yo Leng In.

“Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah, tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu. Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas.” Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak.

Dengan terpaksa Han Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata sambil tertawa.

“Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong itu Yo Toanio!”

Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya. Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian:

Kecil lemah tak berdaya
Yatim piatu menderita sengsara
Hidup terancam bahaya gelap gulita
Untung datang lima bintang bercahaya
Aku orang sengsara tiada guna ini
Sampai mati tak mungkin membalas budi
Hanya berjanji mengorbankan nyawa
Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!

Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair demikian,

Sebatang kara, yatim piatu. Siapa ayah, siapa ibu??

Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya yang membaca sajaknya itu mengalir air mata!

Pauw Kim Kong menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata. “Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok, dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal Itu.”

Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya dan tentang dirinya seperti berikut.


                  ***************

Si Han Liong adalah putera tunggal dari Si enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam Kwie yang ternama itu.

Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng. Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha itu seakan-akan 'mengusir serigala dan mendatangkan harimau'.

Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau, ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun, setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok, orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw.

Si Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan bakti kepada negara dengan membunuh diri.

Tapi, ketika ia menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri, tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai kepinggang semuanya putih melepak!

Ia merasa seakan-akan bermimpi, tapi sebagai seorang yang waspada ia segera maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang suci. Tanpa perdulikan, pangkat dan kedudukan, ia segera berlutut.

Orang tua itu mengaku bernama Kam Hong Siansu, seorang suci setengah dewa yang mengasingkan diri di bukit Kam-hong-san. Kam Hong Siansu menyatakan bahwa Si Kim Pau berbakat untuk menjadi seorang pertapa, lalu dengan samar-samar ia meramalkan bahwa untuk sementara ini pemerintah Ceng Tiauw tak dapat dirobohkan, karena sudah takdirnya demikian.

Dengan pertolongan Kam Hong Siansu yang menggunakan ilmunya, sekaligus Si Kim Pau, isterinya, dan Si Cin Hai, puteranya yang berusia sembilan belas tahun, dibawa ke puncak Gunung Kam hong-san. Atas petunjuk Kam Hong Siansu, Si Kim Pau bertapa di situ sambil mendidik puteranya dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan dan kesusasteraan.

Namun darah patriot yang mengalir dalam tubuh Si Cin Hai membuat ia tak betah tinggal di atas gunung dan tanpa dapat dicegah ia pergi turun gunung. Ibunya sangat sedih karena hal ini lalu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Kim Pau yang ditinggal seorang diri di puncak gunung melanjutkan pertapaannya tanpa memperdulikan urusan dunia. Kadang-kadang, Kam Hong Siansu, entah dari mana datangnya, datang mengunjunginya dan memberi wejangan-wejangan ilmu batin.

Si Cin Hai turun dari Kam hong san dan membuat hubungan dengan enghiong (orang gagah) berjiwa patriot dari seluruh tempat untuk berusaha merobohkan pemerintoh Ceng Tiauw dan mengusir orang-orang Boan, penjajah angkara itu dari permukaan bumi Tiongkok. Iapun berhubungan pula dengan Gouw Sam Kwie yang bergerak dari Propinsi Hun Lam.

Karena ternyata Si Cin Hai seorang terpelajar yang cerdik pandai dan seorang patriot sejati, walaupun ia masih muda dan tak pandai ilmu silat, ia diangkat menjadi bengcu oleh semua enghiong dan disebut Si-enghiong. Sementara itu, ia kawin dengan Yo Lu Hwa, puteri dari Yo Beng Kiat seorang piauwsu (tukang pengantar barang ekspedisi) ternama di kota Liok-cu. Yo Lu Hwa lalu ikut aktip dalam perjuangan suaminya.

Pada permulaan tahun Kong Hie ke empat belas, ketika Raja kedua dari pemerintah Ceng Tiauw mulai bertahta, Si Cin Hai bersamaan dengan Gouw Sam Kwie dari daerah lain, mulai bergerak untuk menggulingkan pemerintah musuh. Tapi sayang, karena Gouw Sam Kwie kurang berhati-hati, maka rahasia pergerakan itu bocor, dan mereka dipukul oleh Pemerintah Ceng Tiauw sebelum mereka sempat bergerak, sehingga banyak kawan-kawan seperjuangannya yang tewas.

Ternyata pemerintah penjajah mempunyai banyak panglima jagoan, diantaranya ialah Coan Eng, Ta Hai dan Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Di antara para patriot vang gugur, termasuk juga Si Cin Hai dan Ong Kee Lin suami Yo Leng In. Yo Leng In ini adalah adik kandung Yo Lu Hwa. Yo Lu Hwa sendiri tertawan oleh Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi!

Sebetulnya Yo Lu Hwa ingin mengamuk sampai titik darah penghabisan setelah melihat suaminya gugur, tapi apa daya, ia terpaksa menyerah untuk melindungi puteranya dari bahaya maut!

Demikianlah, ia dan Han Liong, puteranya yang baru berusia lima bulan itu ditawan musuh. Masih bergema di telinganya pesan suaminya yang terakhir. “Peliharalah Han Liong baik-baik dan teruskanlah perjuangan kita!” Pesan pertama untuk memelihara Han Liong telah dilaksanakan dengan pengorbanan menyerah kepada musuh, tetapi pesan kedua takkan mungkin dapat ia lakukan.

Tiat-kak-liong Lie Ban yang baru setahun kematian isterinya, sangat tertarik melihat kecantikan dan kegagahan Yo Lu Hwa, maka ia sengaja menawannya dengan anaknya. Kemudian, ia membujuk-bujuk agar nyonya muda itu suka menjadi isterinya. Tentu saja Yo Lu Hwa tidak sudi dan memaki-makinya sebagai seorang tak tahu malu dan rendah budi. Tapi setelah Lie Ban mengancam akan membunuh Han Liong jika ia tidak mau menjadi isterinya, dengan hati hancur luluh nyonya muda itu terpaksa menurut. Ia mau berkorban apa saja asal anaknya terluput dari bahaya maut.

Hal ini sangat menyakitkan hati kawan-kawan di kalangan kang ouw dan liok-lim. Mereka anggap bahwa penyerahan Yo Lu Hwa itu sangat memalukan dan merendahkan nama para patriot, terutama nama Si-enghiong yang mereka hormati. Teristimewa Yo Leng In yang telah menjadi janda pula, ia merasa sangat malu dan telah berkali-kali dicobanya memasuki gedang Lie Ban untuk menculik Han Liong dan kalau mungkin membunuh Lie Ban serta encinya!

Tapi Tiat kak-liong Lie Ban bukan anak kemarin sore. Ia tahu betul bahwa Yo Lu Hwa mau menjadi isterinya karena menjaga keselamatan Han Liong. Kalau Han Liong sampai terculik hilang, tentu isterinya yang baru itu takkan sudi lagi mendekatinya, bahkan mungkin akan menimbulkan keributan!

Maka, ia menjaga Han Liong dengan sangat hati-hati, bahkan sengaja ia mendatangkan beberapa orang kawan-kawannya yang juga ahli-ahli silat kelas satu untuk menjaga gedungnya. Karena itu, segala daya upaya Yo Leng In menjadi gagal sama sekali, bahkan beberapa orang kawannya mendapat luka berat di dalam percobaan menculik Han Liong itu.

Demikianlah tujuh bulan telah lampau. Peristiwa tewasnya Si-enghiong dan dirampasnya Yo Lu Hwa oleh Lie Ban telah terdengar oleh semua kawan-kawan di kalangan kang-ouw dan menggerakkan hati para hohan (kesatria) di seluruh pelosok. Di antara mereka yang tergerak hatinya adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan.

Ia meninggalkan guanya di Gunung Kwan lim-san dan memberi kabar kepada beberapa orang sahabatnya untuk mengadakan pertemuan di Kam hong-san pada permulaan musim Chun (musim semi)! la sendiri langsung menggunakan ilmunya berlari cepat menuju ke gedung Tiat-kak-liong Lie Ban yang dijaga kuat itu.

Malam itu, tidak seperti biasanya, di rumah Lie Ban agak sunyi. Biasanya Tiat-kak-liong Lie Ban dengan ditemani oleh tiga orang kawannya, ialah Oei-kak-liong Lie Kong si Naga Tanduk Kuning adiknya sendiri, dan berdua saudara Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw yang dijuluki orang Sankang Jie-pa-cu (Dua Macan Tutul dari Sankang), minum arak atau main maciok sampai tengah malam. Tapi malam itu Lie Kong dan kedua saudara Beng telah masuk ke kamar masing-masing, sedangkan Tiat-kak-Liong Lie Ban berada di kamar isterinya.

Di antara bayang.bayang daun pohon yang ditimpa sinar bulan, berkelebat sesosok bayangan tubuh manusia di atas genteng gedung itu. Gerakannya demikian enteng dan gesit sehingga gerakan seekor kucingpun kalah olehnya. Dengan ilmu meringankan tubuh Keng-kong-tee-sut-hoat ia berlari-lari ke sana ke mari di atas genteng mencari-cari. Tiba-tiba ia berhenti di atas kamar Lie Ban dan kakinya bergerak dalam tipu Ouw liong coan-tah (Naga Hitam Menembus Menara) ia melompat turun ke bawah tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dengan langkah ringan sekali ia menghampiri jendela dan memasang telinga.

“Isteriku, janganlah engkau terlampau makan hati. Kurang apakah engkau jadi isteriku? Aku cinta padamu, hormat padamu, dan menjaga Han Liong seperti anakku sendiri. Bergembiralah isteriku, dan ingat akan kandunganmu,” terdengar suara seorang laki-laki halus membujuk. Lalu terdengar helaan nafas seorang perempuan, “Memang nasibku yang buruk.... nasibku yang sial... ahh...” terdengar isak perlahan.

“Sudahlah, bukankah engkau cinta kepada Han Liong? Dan bukankah aku berlaku baik padamu? Jangan bersedih, supaya lekas sembuh.”

“Memang engkau baik padaku dan Han Liong... dan sekarang aku mengandung pula... mengandung anakmu…”

“Bukankah itu baik sekali?” tiba-tiba suaranya terdiam dan dengan gerakan Ouw-liong-chut-tong (Naga Hitam Keluar Gua) ia meloncat keluar pintu dan masih sempat melihat sekelebat bayangan hitam melayang ke atas genteng.

“Bangsat, jangan lari!” la berseru dan mengayun tubuhnya ke atas genteng, mengejar.

TAPI ketika kakinya menginjak wuwungan rumahnya dan matanya mencari-cari ke sana ke mari, ia tak melihat sesuatu kecuali bayangan daun-daun pohon yang bermain di atas genteng. Heran, pikirnya, apakah aku tadi melihat kucing? Ia langsung menuju ke kamar adiknya dan kedua saudara Beng. Ternyata mereka sudah tidur, maka segera ia kembali ke kamar isterinya. Alangkah kagetnya ketika ia mendengar Yo Lu Hwa menjerit-jerit.

“Jangan... jangan ambil anakku...!”

Cepat ia meloncat masuk melalui pintu dan melihat seorang laki-laki tua yang mukanya bagian bawah tertutup jambang dan jenggot putih, berpakaian kuning tua. Orang tua itu telah memondong Han Liong, Sedangkan isterinya berusaha merebutnya. Tapi gerakan orang tua itu cepat benar dan isterinya yang sedang sakit tak dapat berbuat apa-apa. Lie Ban amat marah.

“Bangsat tua! Kau berani bermain-main di depan tuanmu! Lepaskan anak itu!”

“Ha ha ha! Lie Ban orang rendah! Anak ini bukan anakmu, ada hak apakah kau melarang aku membawanya pergi?”

“Kurang ajar!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Tiat-kak liong Lie Ban menyerbu dengan gerakan Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) dan mencengkeram ke arah dada orang tua itu.

Ketika cengkeramannya ditangkis lawan, Lie Ban merubah serangannya dengan Kim-liong-tam-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar), kedua tangannya maju serentak, yang kanan memukul ke arah muka lawan dan yang kiri mencengkeram hendak merampas Han Liong. Tapi ternyata lawannya lebih tinggi kepandaiannya.

Ia meloncat ke sana ke mari sambil ketawa mengejek. Orang tua itu adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, menggunakan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-toan (Tindakan Mengitar Berputar-putaran), berkelit kian ke mari dan sekali lompat saja ke arah pintu, ia terus menghilang ke atas genteng!

Anak yang didukungnya berteriak-teriak menangis hingga membangunkan Lie Kong dan kedua Macan Tutul dari Sankang. Dengan susul-menyusul mereka bertiga memburu ke atas genteng. Si Iblis Daratan yang sedang meloncat dengan tipu Tiang-hong-koan-jit (Bianglala Melintang Langit), tiba-tiba merasa sambaran angin keras ke arah kakinya. Ia tak heran lagi, dan terus menahan kakinya yang hendak turun, lalu berpoksai (jungkir balik) di udara dengan gerak tipu Koai-bong-hoan-sin (Siluman Ular Berputar Balik) ia meloncat secepat kilat ke belakang. Ternyata serangan itu adalah sebuah toya yang menyambar kakinya.

“Penculik hina jangan lari!” teriak penyerangnya yang bukan lain adalah Oei-kak-liong Lie Kong.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Kemudian dengan tipu Hok houw-kun hoat atau Ilmu Toya Penakluk Harimau, Lie Kong menyerang dengan buasnya, tak peduli lagi bahwa pukulan-pukulannya bisa mencelakakan Han Liong yang berada dalam dukungan orang tua itu. Namun dengan masih tertawa-tawa kecil orang tua yang bertubuh ringan lincah itu yang sangat mahir dalam berkelit, berpusing-pusing ke sana ke mari di antara sambaran toya.


Lie Ban yang tadinya menolong isterinya yang sedang jatuh pingsan, kini tiba-tiba mengejar dan menyerang dengan goloknya. Serangannya ini sangat hebatnya, karena dilakukannya dalam keadaan marah yang sangat memuncak. Lie Ban menyerang dengan ilmunya yang paling diandalkan, ialah Ilmu golok Ngo-houw-bun to atau Lima Harimau Mencegat Pintu.

Goloknya yang berat berkeredepan di bawah sinar bulan dan menyerang ke arah tenggorokan lawannya dengan mengeluarkan angin dingin yang berciutan. Karena di dalam hatinya terasa takkan baik jadinya jika menghadapi Kedua bersaudara yang tak boleh diabaikan itu, ia segera meng gunakan ilmunya berlari cepat sambil berkata,

“Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!”

Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!

“Berhenti, bangsat tua bangka!”

Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat (Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya seorang dengan empat tangan dan empat pedang!

Belum pernah selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan, mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya. Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata,

“Bagus benar permainan pedang kalian!”

Kedua saudara Lie Ban dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan. Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi.

Baru saja angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi, karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang hebat!

Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuh-musuhnya!

Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang mengepalai barisan pejuang. Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap penuh hutan liar.

Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum. Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun usianya.

Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali. Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya!

Dari dalam hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas, yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai mangsanya!

Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutan-hutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan terbang melayang-layang di atas rumput-rumput hijau.

Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga seakan-akan melayang. Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sin-sut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah kepandaiannya meringankan tubuh.

Rumput-rumput yang terinjak oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh 'Co-siang-hui' dari orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya.

Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun. Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak yang berkilauan laksana benang perak. 

Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari. Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun.

Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya disambut oleh tiga orang kakek lain.

“Ha ha ha, Hong Losuhu, bagus benar! 

Kulihat engkau telah berhasil,” kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan kagum.

Siapakah mereka itu? Anak itu adalah Han Liong dan pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan musim Chun.

Yang bermata sebelah adalah Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati, tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar dan kaku, kacau balau tak teratur.

Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan.

Orang keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih.

Keempat orang tua itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil berkali-kali menyebut, “Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci,” 
dan lain pujian lagi.

“Hong Losuhu,” kata Hee Ban Kiat si mata satu, “sebagai orang tua kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan dapat mati tenteram!”

“Eh, Hee-koaijin!” bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa menyebut si mata satu 'koaijin' (orang aneh). “Engkau mau enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi tukang tadah. Ini tak mungkin!”

“Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. 

Pinceng si tua bangka belum pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini. Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut keturunan Si-enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang ada pada pincang,” menyambung Bie Kong Hosiang dengan senyum memohon.

“Hm, saudara-saudara, jangan berebut,” 
sela Pauw Kim Kong yang mempunyai suara halus seperti wanita. “Baiknya diatur begini. Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan sayembara. 

Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi, dialah yang berhak menjadi guru anak ini!”

“Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita semua ?” tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan cahaya kilat.

Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan kanannya yang terbungkus baju putih panjang, “Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang.”

Semua setuju mendengar usul ini.

“Nah, Pauw Toheng, karena kau yang mengusulkan, sudah sepantasnya kalau engkau pula yang membuka pertunjukan sayembara ini dengan mengeluarkan kepandaianmu untuk menambah pengertian kita.”

Pauw Kim Kong tidak ragu-ragu lagi. Ia menuju ke lapangan rumput di depan pondok itu dan semua orang mengikutinya. Kemudian, dengan sekali lompat, ia melayang dengan menggunakan gerakan Hui-niauw-coan-in (Burung Terbang Menerjang Mega), dengan gesit dan ringan kakinya turun dan berdiri di tengah-tengah lapangan. Kemudian sambil menghadapi kawan-kawannya, ia mengangkat kedua kepalan tangan di atas dada memberi hormat, dan berkata,

“Aku si tua bangka yang tak tahu diri mohon maaf. Karena tulang-tulangku yang tua sudah lemah, dagingku sudah loyo, maka aku tak mempunyai apa-apa yang patut disajikan. Sekarang aku sudah tak berani menghadapi musuh dan menjadi orang penakut. Paling-paling aku hanya berani melawan pohon yang tak bisa membalas memukul. Maka, cu-wi (saudara-saudara sekalian) maafkanlah, aku mau main-main dengan pohon sion g tua ini.”

Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih lalu menghampiri sebatang pohon siong sebesar pelukan lengan. Ia berdiri sejauh dua langkah dari pohon itu, memasang bhesi dengan kaki terpentang merupakan segi tiga, kedua tangan terjulur ke depan, kepala tunduk. Ternyata ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan memusatkannya ke dalam lengan.

Kini kedua lengan bajunya tampak tergetar-getar dan ia menegakkan kepalanya, lurus memandang sebatang pohon. Kedua lengannya bergerak-gerak bagaikan mendorong, dan... segera datang hujan daun pohon itu yang rontok berhamburan melayang-layang ke bawah, pada hal pohonnya tak bergerak sedikitpun.

“Bagus!” memuji tiga orang kawannya dengan kagum melihat tenaga dalam yang istimewa itu.

Pauw Kim Kong segera memberi hormat dan merendah, “Seperti tadi telah kukatakan, aku sekarang takut berkelahi, maka aku mengandalkan ilmuku melarikan diri! Janganlah cuwi menertawakanku, tapi kalau untuk meloloskan diri dari musuh saja, aku setua ini masih sanggup. Persilakan cuwi menyaksikan aku yang penakut kalau lari dari musuh.”

Ia berdongak memandang ke atas, dan di antara cabang pohon siong yang sekarang telah menjadi setengah gundul itu, terdapat banyak cabang-cabang besar. 

Renggang di antara cabang-cabang itu kira-kira hanya setengah kaki lebih, dan terhalang oleh cabang-cabang yang bersimpang siur itu. Si Malaikat Rambut Putih lalu membuka baju luarnya yang lebar dan panjang itu, dan kini hanya memakai baju dalam yang pendek ringkas. Lalu ia menjejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya segera melayang ke atas, tak dinyana telah berdiri di kedua cabang terendah.

Kemudian, setelah sekali lagi bersoja ke arah kawan-kawannya, ia segera meluncur menerobos renggangan-renggangan di antara cabang-cabang itu. Gerakannya demikian bagus, tubuhnya demikian licin den lemas pula, sehingga seakan-akan merupakan seekor ular yang berbelit-belit, meluncur di antara cabang-cabang pohon. Dengan menggunakan ilmu Sin-kut-hoat (Melepas Tulang), ia berhasil membuat tubuhnya seakan-akan tak bertulang dan berhasil lolos dari renggangan-renggangan yang kecil dan sempit itu!

Sekali lagi kawan-kawannya memuji. Setelah menyatakan kebodohannya sendiri dengan ucapan-ucapan merendah, Pauw Kim Kong lalu mempersilakan yang lain memperlihatkan kepandaiannya.

Bie Kong Hosiang segera maju ke depan. Ia merangkapkan kedua tangan di dada dan berkata kepada Pauw Kim Kong, “Omitohud! Kepandaian seperti Toheng ini sungguh jarang tolok bandingannya. Pinceng benar-benar menyerah dan memang pantas kalau anak ini kau bawa ke Gunung Beng-san untuk kau didik. Tapi pinceng akan memperlihatkan juga sedikit pertunjukan golok yang tak berarti, kiranya boleh juga diwariskan kepada anak ini. Maafkan pincang.”

Hwesio itu dengan sigap lalu loncat ke lapangan sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah punggung. Ia melompat dengan gerakan Ang-liong-coan-lah (Naga Merah Menembus Menara). Gerakannya tak kalah lincah dari pada si Malaikat, dan tahu-tahu tangan kanannya telah memegang sebatang golok bergagang emas yang berkilauan hijau karena tajamnya.

Ternyata golok itu sangat tipis dan diselipkan di bawah baju belakang, sehingga tersembunyi. Dengan sekali putar, jari-jarinya menyembunyikan golok itu dibelakang lengan dan setelah memberi hormat kepada kawan-kawannya ia segera mulai bersilat. Ia membuka pertunjukannya dengan Ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Memegat Pintu). Gerakannya mula-mula perlahan, kakinya berkisar ke sana ke mari, kuda-kudanya sangat teguh dan tubuhnya yang tinggi besar itu sangat lemas gerakannya.

Goloknya menari-nari dan berputar makin cepat dan akhirnya ketika ia bersilat dengan gerak tipu Ui-liong-coan sin (Naga Kuning Memutar Tubuh), maka bayangan goloknya merupakan bundaran putih yang melindungi tubuhnya! Bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata, hanya bundaran putih terdiri dari ribuan ujung golok berputar-putar dan orang hanya dapat tahu bahwa di dalam lingkaran mata golok itu terdapat orang yang memainkannya karena kadang-kadang kelihatan sepatu hitam hwesio itu menginjak tanah!

Setelah Bie Kong Hosiang berhenti bersilat. Dengan tenang tanpa kelihatan lelah sedikitpun menghampiri kawan-kawannya dan memberi hormat, semua orang memuji.

“Waah, Losuhu terlalu merendahkan diri,” memuji Pauw Kim Kong. “Silat golok seperti yang baru saja kulihat, aku orang she Pauw tak dapat menandinginya!”

Ketika Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu diberi giliran. Ia segera ayunkan tubuhnya dengan gerakan Yan-cu sip pat-sian-hoan (Burung Walet Terbang Jungkir Balik), dengan indah, tubuhnya berpoksai atau berputar-putar beberapa kali di udara dan turun di tengah-tengah lapangan.

“Cuwi, selama berpuluh tahun berkeliaran di dunia, aku hanya mengharapkan kekuatan kedua tanganku yang tua ini. Karena kepandaianku yang lain tidak ada, terpaksa juga aku mempertunjukkan sedikit kebisaan lenganku yang kurus kering ini untuk diwariskan kepada putera Si enghiong.”

Setelah memberi hormat, ia segera bersilat dengan tangan kosong yang menjadi jaminan hidupnya selama ini di kalangan kang-ouw. Pertama-tama ia bersilat Ouw-wan-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang mempunyai tiga puluh enam jalan, tiap gerakan mempunyai tiga jurus hingga seluruhnya berjumlah seratus delapan jurus, tetapi ia hanya mengeluarkan sepertiganya saja, kemudian mengganti gerakannya dengan tipu-tipu Pat-kwa-mui yang tak kalah hebatnya!

Bagi orang biasa, gerakan-gerakannya biasa saja, bahkan agak lambat tak bertenaga, tapi bagi ketiga orang yang melihatnya ketika itu, mau tidak mau mereka harus memuji karena maklum akan luar biasanya kedua lengan tangan itu. Di dalam tiap-tiap tipu dan gerakan berganti-ganti menggunakan tenaga nui-kang dan nge-kang hingga dapat mengimbangi musuh yang bagaimanapun.

Bahkan belakangan, si mata satu itu mengeluarkan kepandaiannya menotok dengan jari menurut gerakan Su-sat-chiu yang terkenal kesaktiannya. Jika mempunyai ilmu ini sampai mahir, maka biarpun bertangan kosong, tidak khawatir rasanya menghadapi lawan yang bersenjata! Tentu saja setelah ia akhiri pertunjukannya, semua kawannya memujinya.

Kini tiba giliran Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Seperti ketiga orang kawannya, iapun merendah dan kemudian mengeluarkan kepandaiannya yang mengagumkan. Si Iblis Daratan memang terkenal dengan ilmunya meringankan tubuh dan kepandaian melempar dengan kim-chie-piao (senjata rahasia uang logam). Pertama-tama ia keluarkan ilmunya meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou sehingga tubuhnya bagaikan melayang-layang ketika ia melompat-lompat di antara puncak-puncak pohon.

Dari bawah ia kelihatan seperti seekor burung garuda yang bermain-main dengan puncak pohon, membuat setiap ujung daun pohon bagian atas bergerak-gerak, sebentar di pohon ini, sebentar di pohon itu dengan gerakan secepat kilat. Ia menggunakan gerakan Kim-hong-hi-lui (Tawon Gula Bermain di Tangkai Bunga). Kemudian ia mendemonstrasikan ketangkasannya melempar dengan kim-chie-piao.

Kedua tangannya masing-masing memegang sepuluh buah uang logam. Ia melemparkan kim-chie-piao itu ke arah batang pohon dengan gerakan bermacam-macam. Langsung, miring, dari bawah lengan, dengan membelakangi, bahkan dengan mendekam di tanah. Gerakan tangannya terus menerus tiada hentinya sampai semua kim-chie itu menyambar ke arah batang pohon. Ketika mereka semua menghampiri batang pohon siong itu, maka terlihat dua puluh buah uang logam itu semua telah memasuki tubuh pohon itu dengan berjajar-jajar rapi bagaikan diatur! Semua uang itu masuk miring dan dalam sekali.

“Dalam hal mengentengkan tubuh dan melempar piao, engkau pasti paling unggul, Hong Losu!” memuji si mata satu.

“Nah, sekarang bagaimana?” kata Hong In, “Ternyata melihat jalannya sayembara, kita masing-masing mempunyai kemampuan tersendiri hingga sukar untuk menentukan siapa di antara kita yang tertinggi ilmunya. Bagaimanakah baiknya ini?”

Sedang empat orang tua itu bingung dan saling pandang, tiba-tiba di atas udara terdengar suara tertawa yang merdu dan halus, suara tertawa itu dari perlahan lalu makin nyaring dan susul-menyusul hingga bergema di seluruh hutan seakan-akan di semua penjuru ada orang yang sedang tertawa!

Keempat orang kakek itu maklum bahwa ada seorang wanita yang sedang menunjukkan iweekangnya. Suara ketawa itu digerakkan oleh sebuah tenaga yang keluar dari Tan-tian sehingga dapat dikirim ke tempat jauh dan bergema dengan nyaringnya. Dari suara ini saja seorang ahli dapat mengukur ketinggian ilmu orang.

Diantara keempat kakek itu, Pauw Kim Kong yang tertinggi ilmu tenaga dalamnya, maka segera ia dapat menduga di mana adanya orang yang tertawa tadi. Ia menghampiri sebuah pohon besar di samping pondok, dan memberi hormat ke arah daun-daun pohon sambil berkata,

“Li enghiong, silakan turun. Kami merasa terhormat sekali mendapat kunjunganmu yang mulia.”

Dari dalam pohon itu segera melayang turun sesosok bayangan hitam dan seorang wanita muda yang cantik tapi berwajah duka dan berpakaian serba hitam berdiri di hadapan mereka sambil mengangkat tangan memberi hormat berulang-ulang.

“Maaf sebanyak-banyaknya. Saya yang tidak tahu diri dan rendah telah mengganggu losuhu sekalian. Sebenarnya telah sejak tadi saya datang, tapi tak berani turun karena khawatir mengganggu permainan losuhu sekalian. Kemudian karena mendengar tentang hasil sayembara itu, dengan lancang saya telah melepaskan tertawa, mohon Losuhu sekalian sudi memaafkan. Sebetulnya kedatangan saya Ini tak lain juga berhubungan pula dengan puterà almarhum Si-enghiong dan ingin sekali mendidiknya sekadar membaktikan sedikit tenagaku untuk negara.”

Mendengar kata-kata yang bersifat patriotik ini, Hong In bertanya dengan hormat, “Maaf, Toanio, bolehkah kiranya kami mengetahui namamu yang terhormat?”

“Saya yang rendah adalah Yo Long In, dan Si-enghiong almarhum adalah cihuku (kakak Ipar), dan anak ini adalah keponakanku sendiri,” jawab nyonya muda itu. “Saya datang terlambat dan mendengar bahwa keponakanku telah dibawa kemari, maka saya segera menyusulnya.”

Keempat kakek itu kini tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan janda almarhum Ong Kee In, kawan seperjuangan Si-enghiong yang gugur pula dalam usaha mereka meruntuhkan kekuasaan Boan. Maka segera mereka menunjukkan hormat kepada wanita patriot itu.

“Losuhu sekalian,” berkata Yo Leng ln pula, “saya tadi telah mendengar akan kecintaan hati Losuhu untuk mendidik Han Liong. Saya merasa terharu dan berterima kasih. Tak perlu kiranya Losuhu sekalian berebut. Karena pondok di Kam-hong-san ini memang kosong dan tadinya hanya dipakai sebagai tempat pertemuan rahasia dari Si-enghiong dan kawan-kawan lain, apakah salahnya kalau Losuhu dengan bergiliran datang ke sini untuk mendidik Han Liong? Saya sendiri akan merawatnya di sini, karena anak ini harus dididik ilmu surat pula, agar kelak setelah dewasa dapat melanjutkan cita-cita kita semua, menjadi orang Bun-bu-enghiong (ksatrya gagah dan pandai), mewakili kita orang-orang tua menggerakkan sekalian orang gagah membela negara dan bangsa. Bagaimana, Losuhu, dapatkah usulku ini diterima!”

Empat orang kakek itu saling pandang dengan tertawa ditahan, kemudian mereka serentak menyatakan setuju sambil menyatakan kebodohan mereka sendiri-sendiri yang sudah berebut dengan kacau balau tak keruan!

Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu tertawa terbahak-bahak. “Yo toanio, maafkanlah kami berempat orang, orang kasar yang tolol ini! Baiknya toanio segera datang dengan cepat, kalau tidak, mungkin kami akan tersesat makin jauh. Usulmu baik sekali. Aku yang bodoh setuju sepenuhnya! He, bagaimana pendapat kalian?” tegurnya kepada kawan-kawannya.

“Hee koanjin bicara betul. Kami setuju. Memang usul Toanio itu wajar sekali,” kata Hong In si Iblis Daratan.

“Nah, marilah kita rayakan hari gemilang ini. Tadi sambil menantikan kembalinya Hong Losuhu, kami bertiga sudah menyediakan arak tua dan makanan. Pinceng sudah merasa lapar sekali!” kata Bie Kong Hosiang si Golok Emas dengan senyum lebar.

Bersama-sama mereka melangkah memasuki pondok, didahului oleh Yo Leng In yang mendukung Han Liong. Di tengah-tengah pondok terdapat sebuah meja kayu bundar besar dan dua losin bangku yang mengelilingi meja itu. Memang tempat ini biasanya digunakan untuk rapat para Hohan (orang gagah) dari kalangan kang-ouw dan liok-lim yang berjiwa patriot dari segala pelosok, yang dipimpin oleh Si-enghiong.

Tentang halnya bekas menteri Si Kim Pau, ayah mendiang Si-enghiong, tak seorangpun tahu di mana tempat tinggalnya kini, bahkan sebelum Si enghiong gugur, iapun tak pernah berjumpa dengan ayahnya. Agaknya Si Kim Pau telah pergi mengikuti Kam-hong Siansu, Entahlah! Gua bekas tempat ia bertapapun telah lama sekali kosong.

Karena di dalam pondok itu telah tersedia lilin, maka Yo Leng In segera mengatur meja sembahyang, dan kemudian dengan disaksikan oleh keempat Losuhu, ia mengajak Han Liong bersembahyang minta izin roh ayah anak itu, Si-enghiong, untuk berguru kepada keempat Losuhu yang pandai-pandai itu. Setelah itu, Yo Toanio dengan memangku Han Liong, mengajak anak itu bersama-sama berlutut kepada mereka bergiliran.

Keempat orang kakek itu sangat gembira. Lebih-lebih setelah Han Liong diberi makan oleh bibinya, tampak kemungilannya. Ia tertawa-tawa dengan girang sekali, pipinya kemerah-merahan, sepasang matanya yang jeli memandang kepada guru-gurunya dengan bersinar-sinar. Tak sedikitpun tampak takut.

“Anak baik!” memuji guru-gurunya dengan rasa kasih sayang.


                 ***************


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



SEMENJAK terculik oleh Liok-tee Sin-mo Hong In dibawa ke puncak Gunung Kam-hong-san dan dapat pula kata sepakat antara keempat orang kakek yang kini menjadi gurunya, Han Liong lalu diserahkan dalam asuhan Yo Leng In. Bibinya ini selain tangkas dalam ilmu silat, iapun ahli pula dalam kesusasteraan, pandai menulis sajak-sajak dan pernah membaca habis kitab-kitab kuno.

Yo Toanio yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan penuh kasih sayang, mengajar anak itu bercakap-cakap. Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu, memukulinya dari perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan obat buatan Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula dalam ilmu pengobatan.

Dengan rawatan luar biasa ini, kulit dan daging anak itu tumbuh dengan baik dan mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus karena tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan bedak batu kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san.

Ketika Han Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima pelajaran-pelajaran pokok dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio mengajar dengan cara halus dan sewajarnya, tidak dengan paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang sekali mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakan-gerakan kaki bibinya dengan gembira. Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena dalam beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam gerakan-gerakan bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan kuda-kuda yang sulit dengan sempurna!

Setahun kemudian, dalam usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak ke sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk 'pou' gerakan perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal dan faham benar akan segala cara menggunakan tangan dan jari dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw Ciu (gerakan jari telunjuk dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam Ciat Ciu dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui dan lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan sebagainya, dan ia mengerti pula cara yang bermacam-macam dari kepalan tangan (koan).

Sampai sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio membimbingnya dalam pokok dasar ilmu silat dan kini mulai mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam mata pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia dapat menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali menghapal, seperti huruf-huruf itu sudah tercetak dalam ingatannya hingga tak bisa lupa lagi!

Setelah Han Liong paham benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna, maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong In, karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng In sendiri, seperti yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.

Si Iblis Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan napas (khikang) sampai kepada ilmu meringankan tubuh dan lari cepat. Dasar ia memang berbakat pendekar, dalam setahun saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar-dasar kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun kemudian, kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kim-chie-piao telah ia pahami pula. Tentu saja baru dasar-dasarnya dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan praktek.

Karena masih ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa bahwa Han Liong sudah mewarisi seluruh pokok dasar kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke dalam asuhan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih.

Beng-san Tojin Pouw Kim Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan tulang. Ia mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan mengajarnya ilmu le Kin Keng dan cara bagaimana untuk Siulian (semadhi) memperkuat ketabahan batin.

Kemudian, selang setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat tangan kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouw-wan cianghoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah seratus delapan jurus, Thai Kek Touw dan seratus dua puluh jurus Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari Siauw-lim dan Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik.

Gurunya yang terakhir ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang tiada taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu mengajarnya pula ilmu ciptaannya sendiri, ialah gabungan permainan golok dan pedang. Ilmu ini dapat digunakan baik dengan golok maupun dengan pedang dan gerakan-gerakannya sulit sekali.

Sementara itu, Han Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat menyurat dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti sediakala. Keempat orang gurunya masih terus memberi petunjuk-petunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu mewaiisi kepandaian silat campuran yang sangat hebat.

Demikianlah penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh Han Liong dengan bercucuran air mata. Lebih-lebih ketika ia mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib ibunya. Ia menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya guru-gurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia bersumpah untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan sakit hati orang tuanya.

"Han Liong," berkata Pauw Kim Kong, "Biarpun kini engkau sudah memiliki kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali engkau takabur dan menganggap dirimu sendiri yang terpandai di dunia Ini. Di dalam dunia masih banyak terdapat orang-orang pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka engkau akan terjeblos!"

"Lagi, jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk menindas kaum yang lemah, Liong. Ingatlah selalu bahwa kami memberi pelajaran padamu ialah untuk digunakan menolong sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan kepandaianmu untuk keuntungan sendiri, maka kau tak akan selamat," sambung Siauw lo-ong Hee Ban Kiat.

"Pesanku padamu ialah, jangan terlampau mudah membunuh orang, muridku. Jauhkanlah golok dan pedangmu sedapat mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat terpaksa, janganlah membunuh orang secara serampangan," ujar Bie Kong Hosiang.

"Dan berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus selalu merendahkan diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat, Liong, sepanjang pengalamanku, yang tidak boleh dipandang ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah, misalnya kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orang-orang lain yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang sangat berbahaya itu adalah mereka yang kelihatan lemah itu, tapi di dalamnya tersembunyi kekuatan dan kepandaian tinggi. Karena tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali memandang sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang lemah itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya," kata Hong In si Iblis Daratan.

Han Liong menghaturkan terima kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji akan memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara,

"Han Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk menyuruh engkau turun gunung hari ini juga. Kau perlu mencari pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari ibumu. Tentang sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak terjangmu dilakukan atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau sudah tahu ke mana harus mencari ibumu. Tapi, sekali lagi kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau jangan mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari ternyata berobah menjadi anak durhaka dan murid yang mencemarkan nama baik guru-gurumu, maka kami berlima tentu akan mencarimu!"

Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur keras menggelegar dan satu tenaga besar menggetarkan bumi yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung. Semua orang heran karena hari itu langit bersih dan tiada tanda-tanda kemungkinan ada guntur. Kemudian terdengar ledakan keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu bukan sekali-kali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir gunung.

Suara 'krek-krek' terdengar dan keenam orang itu segera berlompatan keluar pondok. Ternyata pondok itu menjadi miring dan belum lama mereka berada di luar, pondok itu roboh dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum apa yang telah terjadi.

Ketika tanah yang mereka injak tadi tergetar membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali, kenyataan sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok mereka juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah dan batu-batu gunung yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh ke dalam jurang. Debunya masih tampak hebat! Tanpa mufakat lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari menuju ke kiri di mana nampak debu mengepul tinggi.

"Hati-hati!" Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai di sebuah tikungan, dari atas turun menimpa beberapa buah batu besar yang rupanya terlepas dari sandarannya di atas puncak dan berguling-guling ke bawah.

Untungnya mereka telah waspada dan segera meloncat ke belakang menjauhi tempat bencana itu. Betapapun tinggi kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka!

Han Liong yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali melihat sesuatu yang masih asing baginya, tak terasa maju mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh. Tiba-tiba ia melihat sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak diantara tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat.

Tiba-tiba benda panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan serangan benda itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula dikelit olehnya. Maka terpaksa ia mengibaskan tangan kirinya untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda itu tidak terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.

"Aduh!" hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh pingsan. Guru-gurunya dan bibinya dengan terkejut lari memburu. Bukan main khawatir mereka melihat keadaan anak muda itu. Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak digosok menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh anak muda itu. Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau. Mulutnya terkancing, matanya tertutup dan nafasnya sengal-sengal, tinggal satu-satu!

Yo Toanio tak dapat menahan getaran hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil menjerit-jerit! Guru-guru Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong yang agak tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat ular yang masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih sedih daripada yang lain-lain.

"Bagaimana, Pauw-suhu?' tanya Bie Kong Hosian ketika melihat Pauw Kim Kong berdiri putus asa dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas.

"Ular berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat racun ular demikian luar biasa!"

Sambil menangis keras Yo Toanio mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok ular itu putus kepalanya dan Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya tubuh ular itu berkali-kali hingga hancur menjadi berpotong-potong. Kemudian, setelah menubruk dan menangisi keponakannya sekali lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke lehernya sendiri!

Untunglah Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan cepat memegang pergelangan Yo Toanio yang memegang pedang hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!

"Sabar, Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati," kata Hee Ban Kiat menghibur.

"Belum mati? Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua. Siapa bisa memberi obat? Kan, bertahun-tahun kita didik ia, dari anak-anak sampai dewasa. Pengharapan kita semua digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia harus mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia berangkat mati... Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)?"

Tiba-tiba, bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu, terdengar desis keras di dekat mereka. Mereka terkejut dan menengok ke arah suara itu. Alangkah terperanjat dan marahnya mereka ketika melihat seekor ular lain menggeleser-geleser mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya. Kelihatannya ganas benar dan beracun pula!

"Kau... binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga??"

Yo Leng In dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah diletakkan di tanah oleh Hee Ban Kiat, lalu melompat ke arah ular hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan menanti serangan Yo Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular senduk, tapi lebih tinggi lagi!

Kedua matanya mencorong dan lidahnya yang merah menjilat-jilat. Yo Leng ln mengayunkan pedangnya memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular itu bukan main gesitnya dan dapat mengelak, Yo Leng In makin marah dan dengan nafas sesak ia memancung berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak mengenai sasaran.

Bie Kong Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya ia membantu Yo Toanio untuk membinasakan ular itu, sungguh aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak mudah dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh ular itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan Hee Ban Kiat terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu!

Karena dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah dapat dipastikan nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi ia tentu akan hancur menjadi berpotong-potong, kalau tidak, hancur sama sekali. Tapi, tiba-tiba terdengar deruan angin dan disusul suara yang angker,

"Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!"

Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari di antara hujan senjata tadi!

Suara yang berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu."

Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke arah ular hitam tadi.

Yo Toanio dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong. Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata.

Sikapnya jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi.

Tiba-tiba orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.

Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu.

Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi.

Yo Toanio yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan hatinya,

"Siluman tua, apa yang kau lakukan?"

Dengan penuh kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya. Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya!

Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular!

Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular-ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.

"Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya. "Maafkan pinto, kim ouw-coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, ouw-coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!"

Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu!

Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur!

Segera mereka berebut menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.

"Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini."

Kata-kata ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat.

"Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara, "Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?"

"Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama? Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengan Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im, maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua ular ini."

Tak perlu dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.

"Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali." Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong.

Yo Toanio penasaran. "Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram."

"Ha ha ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu. Nah, selamat tinggal!"

Sebelum mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.

"Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?"

Yo Toanio mulai sadar, "Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si enghiong. Ya Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!"

Semua menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata. "Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini."

"Jangan gegabah, Hee koanjin," tegur Hong In. "Orang tua itu sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi itu."

Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat masing-masing.


                   ***************


Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya!

Tiba-tiba kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik, "Pegang dahan pohon di bawah itu!"

Han Liong waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya. Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan cepatnya. Bagaikan bersayap, kakeknya dapat menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon.

Orang tua itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya!

Keringat dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.

"Lompat ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri.

Ketika Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat.

Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan menerangi gua itu. Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela. Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela!

Tamasya alam yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa segar dan sedap.

"Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu," kata kakeknya tiba-tiba.

Han Liong terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi delapan)

Wajah yang agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak bearti. Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh hormat,

"Teccu menghaturkan hormat..."

Kam Hong Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak. "Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah pengetahuanmu."

Han Liong memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi, di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu!

Demikianlah, tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak terduga.

Petunjuk-petunjuk yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat. Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu.

Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya. Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat tinggi.

Pada suatu hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,

“Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu.”

Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah. “Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maksud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!”

Kam Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu. “Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi muridku.”

Han Liong segera berlutut dan menyebut. “Suhu!”

“Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya.”

“Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?” tanya Han Liong.

“Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat menandingi!”

Mengenai riwayat Pek-Liong-pokiam dan Ouw-liong pokiam silahkan baca Kisah Sepasang Naga

Han Liong yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.


“Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw liong-Pokiam.”

“Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa aneh itu?”

Kakeknya tertawa. “Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu.”

Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat.

Ternyata keempat suhunya dan ie-ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang itu.

Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong menghela napas.

“Tidak percuma Si Kim Pauw lo enghiong menjadi menteri setia dan Si-enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa. Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami.”

“Betul kata Pauw suhu, Liong,” menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang. “Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya.”

Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana kemari dengan cepatnya. Tidak sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung!

Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan cara demikian sulit. Serta merta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata,

“Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie-ie. Teccu tak tahu bagaimana harus membalasnya!”

“Anak baik,” kata Yo Toanio, “asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami.”

Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-lain guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong.

Setelah menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati terharu.


                  ***************


Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh besarnya tinggal. Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu.

Karena memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien-ho.

Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk menyeberang sungai yang lebar itu.

“Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu,” kata seorang nelayan tua sambil menawarkan perahunya. “Tuan hendak pesiar ke mana?”

Han Liong tersenyum. “Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?”

“Ke kota Hong-lung cian?” Nelayan tua itu geleng-geleng kepala. “Ah, lebih baik jangan tuan.”

“He, apa maksudmu? Kenapa?” tanya Han Liong.

“Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh, tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani.”

“Mengapa? Ada apakah di Hong-lung cian?” tanya Han Liong.

"Di Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!” jawab kakek itu, “tapi perjalanan dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan rimba raya. Sungai Lien-ho ini di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh Oei-coa-tai-ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-coa-tai-ong si Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau masih ingin hidup.”

Mendengar keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau bahaya rakyat ini, pikirnya. “Lopek yang baik,” katanya tertawa, “kiranya daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?”

“Tentu saja bisa.”

“Dan berapa biayanya?”

“Hm, paling sedikit tujuh tail perak.”

Han Liong merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak. “Nah, ambilah uang ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah satu tail lagi.” sambung Han Liong.

“Eh, eh, lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san…”

“Aku sudah tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!”

Kakek nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari tangannya menyodok batu itu.

“Nah lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?”

Lo Sam tak mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan jari anak muda itu. Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.

“Kau rupanya seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak.”

“Jangan khawatir, Lopek yang baik.”

Akhirnya Lo Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnya pun baru saja diganti hingga jika turun hujan tidak bocor.

Betul sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawanya pun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa kesepian.

Setelah perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.

“Hati-hatilah, kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san...”

Belum habis Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas kepala mereka!

“Celaka, kongcu!!” Lo Sam mengeluh.

Tapi Han Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang di atas kepala mereka, kini lebih rendah.

“Bagaimana baiknya, kongcu?” Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.

“Kayuhlah perahu ke tengah,” berkata Han Liong yang masih tenang.

Perahu didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.

“Masuklah saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu,” kata Han Liong.

Tawaran ini ditolak keras oleh Lo Sam, “Apa kongcu kira aku ini orang yang serendah-rendahnya? Biar usiaku sudah tua, biar tenagaku sudah lenyap, biarpun telah kukatakan terus terang bahwa aku sangat ketakutan, tani aku tidak sudi meninggalkan kewajibanku!” Dan ia terus mendayung, kini ia mulai berani, agaknya diperkuat oleh pernyataannya yang bersemangat itu.

Kemudian dari arah pantai tampak tiga buah perahu dangan sangat cepat mengejar mereka. Ketiga perahu itu bercat hitam dan bergambar ular dan kepala perahunya pun merupakan kepala ular yang sedang membuka lebar mulutnya. Dengan cepatnya perahu itu dapat mengejar perahu Lo Sam, dan sekarang terlihat bahwa di tiap perahu duduk tiga orang tinggi besar memegang golok. Perahu pertama berada paling dekat dan di situ berdiri seorang berpakaian hijau membolak-balikkan goloknya.

“He, perahu di depan, ayoh berhenti dan kepinggir! Tinggalkan dulu barang-barangmu,” teriak bajak itu.

“Yang ada hanya barangku sendiri, kenapa harus ditinggalkan? Kami kan tidak punya hutang padamu.” jawab Han Liong.

“Jangan banyak mulut kau, anjing kecil,” bajak itu mengancam.

“Mulutku hanya satu, anjing besar.” Han Liong mempermainkan bajak itu, hingga ia menjadi marah.

Karena perahu mereka kini hanya terpisah paling jauh satu tombak, bajak itu mengayun kakinya meloncat ke arah perahu Han Liong sambil mengangkat goloknya!

Han Liong tekankan tangan kirinya pada kepala perahunya yang segera meluncur ke samping seakan-akan terdorong dari sisi oleh tenaga yang kuat sekali. Tidak heran bahwa ketika kaki bajak yang melompat itu turun, ia mencebur ke dalam air karena perahu itu seakan-akan berkelit!

Kawan-kawan bajak itu merasa heran, bahkan ada beberapa orang diantara mereka melihat pemimpin mereka begitu bodoh hingga melompat ke perahu begitu dekatpun tidak becus! Sama sekali mereka tidak sangka bahwa bukan pemimpin mereka yang tak dapat melompat, tapi adalah tenaga Han Liong yang kuat telah membuat perahu seakan-akan menyingkir.

“Ayoh serbu!” teriak seorang bajak lain yang segera meloncat pula ke arah perahu Han Liong. Tapi kembali ia menginjak tempat kosong dan mencebur juga ke dalam air.

Sementara itu Lo Sam terheran-heran dan berkaki-kali berteriak, “eh, eh, eh!!” dikala perahunya kelihatan seperti berjiwa dan dapat bergerak ke sana ke mari berkelit menghindarkan kaki para bajak yang melompat. Akhirnya semua bajak yang berjumlah sembilan orang itu masuk ke dalam air.

“Teruskan dayung, Lo Sam.” kata Han Liong.

Tapi di saat itu pemimpin bajak sambil menggigit goloknya telah berenang mendekat dan hendak menggunakan tangannya memegang pinggiran perahu. Lo Sam melihat ini segera mengangkat dayungnya dan memukul tangan yang memegang pinggiran perahunya itu, hingga si bajak menjerit kesakitan karena jari-jari tangannya dipukul keras!

“Bagus, Lo Sam, kau sungguh gagah,” Han Liong memuji dan Lo Sam dengan wajah bangga segera mendayung perahunya laju ke depan, meninggalkan para bajak itu berenang kembali ke arah perahu mereka dan segera mengejar kembali dengan secepat mungkin.

“Cepat, Lo Sam, gunakan seluruh tenagamu. Mereka datang mengejar!” kata Han Liong yang lalu mengambil dayung cadangan yang kecil dari dalam perahu dan mulai membantu dengan perlahan.

“Ayoh bantu, jangan perlahan begitu, kuat-kuat!” teriak Lo Sam yang sibuk juga melihat bajak-bajak dengan pakaian basah kuyup itu membalapkan perahu mereka mengejar.

“Aku tidak biasa, kaulah yang harus mendayung kuat-kuat,” jawab Han Liong, tapi sementara itu ia mengerahkan tenaganya.

Lo Sam juga menggunakan seluruh kepandaian dan tenaganya yang sudah tua untuk membuat perahu mereka meluncur cepat. Sebentar saja perahu mereka dengan laju dan cepat maju ke muka, dan meninggalkan para bajak itu berteriak-teriak.

“Kau kuat sekali, Lo Sam,” Han Liong memuji dan kendurkan tenaganya. Perahu menjadi perlahan majunya dan Lo Sam mengaso dengan napas terengah-engah.

“Kalau cuma bajak-bajak kecil itu saja mana bisa mengejarku,” katanya sombong.

“He, Lo Sam, mengapa bajak-bajak itu berhenti mengejar?” tiba-tiba Han Liong bertanya.

Lo Sam menengok ke belakang, tapi matanya yang tua hanya melihat titik-titik hitam jauh di belakang. “Kau tidak tahu, kongcu, sekarang kita sudah memasuki daerah yang dikuasai Oei-coa-tai-ong, maka kita harus hati-hati. Bajak-bajak yang tadi adalah anak buah Hek Sam Ong.”

Betul saja, ketika perahu mereka sampai di sebuah tikungan, ternyata di depan telah menghadang sepuluh buah perahu besar yang memenuhi sungai. Tiap perahu memuat lebih kurang dua kelas orang berpakaian kuning yang semuanya memegang senjata tajam. Yang terdepan adalah sebuah perahu besar warna kuning pula, di mana berdiri seorang pendek gemuk yang berwajah seperti kanak-kanak. Di pinggang orang ini tergantung pedang.

“Awas, itu dia Oei-tai-ong sendiri mencegat kita,” Lo Sam berbisik dengan suara gemetar.

Han Liong melihat bahwa perahunya tak mungkin lewat, bangun berdiri lalu menjura kepada kepala bajak itu. “Maafkan kami tai-ong, apakah sebabnya maka tai-ong, mencegat kami?”

Kepala bajak itu tersenyum dan balas menjura, “Hohan, kami sudah mendengar akan sepak terjangmu ketika diganggu oleh anak buah Hek sute tadi. Maka kini siauwte sendiri mengundangmu untuk singgah sebentar belajar kenal.”

Han Liong heran akan keluar biasaan orang ini. Demikian cepat ia telah tahu akan peristiwa tadi dan dapat menduga bahwa ia adalah seorang yang berkepandaian. Maka tak ragu-ragu lagi ia menjura sambil menjawab,

“Baiklah, tai-ong, dan terima kasih atas budimu ini.”

Dengan ketakutan, tapi bercampur terheran-heranan. Lo Sam menurut saja ketika perahunya ditarik ke pinggir. Dengan tenang Han Liong melangkah turun lalu bersama-sama Oei-coa-tai-ong Si Ular Kuning, berjalan menuju ke tengah rimba. Di sepanjang jalan menuju ke kemah raja sungai itu nampak barisan bajak berdiri rapi berjajar sambil memegang golok atau tombak, merupakan barisan kehormatan.

Ternyata Hek Sam Ong sendiri juga berada di situ. Ia adalah seorang tinggi besar, berkulit hitam dan cambang bauknya lebat menakutkan. Dialah yang mendahului datang ke situ dengan anak buahnya untuk ikut mencegat anak muda yang istimewa itu.

Di dalam ruangan kemah telah tersedia meja penuh hidangan. Oei-coa-tai-ong duduk di kursi tuan rumah, di kanannya duduk Hek Sam Ong dan di kirinya disediakan kursi untuk Han Liong. Masih ada dua orang lagi duduk di meja itu, ialah Kong Tat dan Kong Ta yang dijuluki orang Sepasang Garuda Sungai Lien-ho dan menjadi pembantu kedua bajak sungai itu.

Hek Sam Ong mengambil sepasang sumpit lalu menghampiri Han Liong. Ia tancapkan sumpit itu di depan Han Liong sambil berkata, “Terimalah sumpit untukmu, tuan yang gagah.” Sepasang sumpit itu menancap di meja sampai satu dim lebih.

Han Liong tersenyum melihat demonstrasi tenaga dalam ini dan ia menepuk-nepuk meja sambil berseru, “Bagus! Bagus!”

Sungguh ajaib, biarpun ia hanya menepuk perlahan saja, namun sepasang sumpit gading yang tertancap di atas meja itu berlompatan ke atas dan jatuh kembali tepat di atas lobang yang tadi hingga tetap berdiri di atas meja.

Hek Sam Ong menjura dan mundur, lalu duduk kembali ke atas kursinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa Oei-coa-tai-ong yang bangun berdiri, sambil menjura ke arah Han Liong.

“Saudara masih muda tapi berilmu tinggi, bolehkah kiranya saya mengetahui namamu?”

“Siauwte yang rendah bernama Han Liong she Si, harap tai-ong tidak tertawakan kebodohan siauwte,” jawab Han Liong.

“Ah, ah, sudah pandai, sopan santun pula. Jarang menjumpai seorang muda seperti kau, Si enghiong. Aku yang kasar sudah sepatutnya memberi hormat dengan secawan arak.”

Ia menutup kata-katanya ini dengan menuangkan arak dari guci secawan penuh. Arak di cawan itu penuh sekali hingga hampir melimpah, tapi aneh benar, seakan-akan ada tenaga yang menahan arak itu hingga tak sampai tumpah, si pendek gemuk itu lalu maju selangkah ke arah Han Liong,

“Terimalah hormatku melalui secawan arak ini, Si enghiong.” Ia berikan cawan arak itu kepada Han Liong, tapi diam-diam ia mengerahkan tenaga Iweekangnya menekan ke bawah.

Ketika Han Liong menerima cawan itu, ia merasa suatu tenaga besar menekan ke bawah. Ia tersenyum dan ingin unjuk kepandaiannya, karena kalau sampai tangannya tertekan dan arak yang hampir melimpah itu tumpah, ia akan mendapat malu. Dengan tenang ia terima cawan itu dan pada saat itu juga Oei-coa-tai-ong diam-diam merasa terkejut sekali, karena ia merasa cawannya itu seakan-akan menyentuh kapas, namun demikian seakan-akan dasar cawan lekat pada tangan pemuda itu!

Oei-coa-tai-ong kerahkan tenaganya makin keras, tapi kali ini ia merasa tangannya sakit sekali karena tenaganya sendiri membalik hingga terasa sampai ke tulang-tulangnya! Terpaksa ia lepaskan cawan itu. Han Liong dengan senyum di bibir mengangkat cawan arak itu ke arah mulutnya lalu memiringkan cawan itu untuk menuangkan arak itu ke mulutnya.

“Ah, arakmu terlalu kental, tai ong,” kata Han Liong.

Semua orang heran melihat arak itu melimpah ke sisi cawan, tapi tidak juga jatuh atau tumpah. Han Liong tanpa minum araknya meletakkan kembali cawan itu ke atas meja. Ketika ia melepaskan tangannya, maka arak itu tumpah dan membasahi meja.

Oei-coa-tai-ong tersenyum menyindir, “Rupanya kau pandai ilmu iweekang, anak muda. Entah bagaimana pula ilmu silatmu!”

“Siauwte hanya bisa satu dua jurus ilmu pukulan yang tidak berarti saja,” jawab Han Liong tetap merendah.

“Jangan banyak tingkah. Marilah kau coba ilmu silatmu dengan kami dua saudara Garuda Sungai Lien-ho,” tiba-tiba Kong Tat menantang.

“Satu sama satu juga aku tidak mungkin menang, apa lagi dikeroyok dua.” kata Han Liong, tapi ia bangun juga berdiri dengan sabar. Tiba-tiba di sudut dilihatnya Lo Sam duduk dengan beberapa orang pemimpin laskar bajak yang sedang menggodanya dan melolohnya dengan arak.

“He, Lo Sam, kesinilah kau!” teriak Han Liong.

Tapi ketika Lo Sam hendak berdiri, beberapa orang bajak memegang lengannya dan memaksanya duduk kembali. Han Liong segera bertindak menghampiri dan memegang lengan Lo Sam untuk diajaknya pindah duduk. Tapi lengan Lo Sam yang sebelah lagi masih dipegang oleh dua orang berandal.

Han Liong menyambar sumpit Lo Sam dan menggunakan sumpit itu untuk mengetok dengan perlahan tangan orang-orang yang memegangi Lo Sam. Terdengar jeritan-jeritan ngeri dan dua orang itu berjingkrak-jingkrak kesakitan sambil memegang lengannya yang terketok sumpit itu. Mulut mereka tiada hentinya mengeluh.

“Aduh, aduh!” Tiga orang bajak lain merasa penasaran dan dengan golok mereka menyerang Han Liong. Han Liong menggunakan sumpit kayu itu menangkis dengan sekali kebut.

“Traang!!” Tiga buah golok itu terpental jauh, bahkan sebuah diantaranya meluncur cepat melukai kaki seorang bajak lain!

Melihat kelihaian pemuda ini para bajak sungai itu menjadi takut dan tak berani bergerak. Dengan tenang Han Liong menggandeng tangan Lo Sam dan kembali ke tempatnya. Kemudian ia menghadapi Sepasang Garuda Sungai Lien-ho yang menantangnya tadi sambil tersenyum.

“Bagaimanakah, jiwi, apakah jiwi ingin maju satu-satu atau terpaksa mengeroyok!”

“Kalau kau takut melawan kami sepasang, kami akan maju satu-satu!” kata Kong Tat dengan kesal.

“Bagaimana, Lo Sam? Beranikah kiranya aku sekali tempur melayani kedua enghiong ini?”

Lo Sam kini percaya penuh akan kegagahan Han Liong. Hatinya telah menjadi tetap dan timbul sifat sombongnya. “Jangankan baru mereka berdua, biar semua maju sekali serentak, kurasa kongcu masih sanggup melayaninya.” Demikian ia membual agar jangan 'kalah muka' dengan para bajak yang dibencinya itu.

“Mari maju kemari!” Kong Tat menjadi marah mendengar ini, ia menantang Han Liong sambil menuju ke tempat yang lapang dengan Kong Ta, lalu berdiri memasang kuda-kuda dengan berjejer, di tangan masing-masing memegang sepasang golok besar.

Han Liong bertindak tenang menghampiri kedua orang itu dengan tangan kosong. Lo Sam melihat jagonya maju tak bersenjata, segera ingat betapa tangkasnya Han Liong tadi memainkan sumpit melayani tiga orang bajak bersenjata golok. Ia meloncat ke arah meja dan memilih sepasang sumpit gading. Diambilnya sumpit itu lalu ia lari ke arah Han Liong.

“Kongcu, kau tak bersenjata, ini senjatamu!” Ia sangka bahwa Han Liong memang biasa bersenjata sumpit!

Han Liong tersenyum dan menerima sumpit itu sambil berkata, “Terima kasih, Lo Sam.”

Sepasang Garuda Sungai Lien-ho sangat kesal dan marah melihat betapa lawan mereka itu sangat memandang rendah kepada mereka.

“Kau hanya bersenjata sepasang sumpit? Jangan menyesal kalau nyawamu melayang karena keangkuhanmu ini, anak muda!” kata Kong Ta dengan mata merah.

“Silakan maju menyerang, jiwi enghiong.” tantang Han Liong...


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



Dengan mengeluarkan bentakan keras, Kong Tat mengayun golok di tangan kanan menyerang dengan sabetan Garuda Menerkam Ular. Kong Tat menimpali serangan kakaknya dengan menusukkan goloknya ke arah pinggang lawan dalam tipu Garuda Menyambar Kelinci.

Han Liong dengan tenang mengangkat kedua sumpitnya, sumpit kiri menyampok golok yang akan mengenai leher dan sumpit kanan menolak tusukan golok ke pinggangnya. Kedua saudara Kong merasa telapak tangan mereka sakit ketika golok mereka terpental oleh tangkisan anak muda itu. Mereka menjadi hati-hati dan mengurung Han Liong dari kiri kanan.

Serangan-serangan mereka diatur bertubi-tubi dan berpasangan. Kalau dari kiri menyerang bagian atas, dari kanan menyerang bagian bawah, kalau yang kiri menyerang bagian kanan, yang kanan menyerang bagian kiri, hingga Han Liong seakan-akan terkurung oleh empat buah golok di semua bagian!

Tak percuma kedua saudara Kong itu mendapat julukan Sepasang Garuda Sungai Lien-ho, karena gerakan-gerakan mereka yang cepat dan bertenaga serta ganas itu memang seakan-akan merupakan dua ekor garuda yang menyambar-nyambar dan mencakar-cakar dengan empat caka mereka!

Tapi sekali ini mereka malang sekali berjumpa dengan Han Liong, seorang muda yang tubuhnya terlatih semenjak kanak-kanak dan dikuatkan oleh darah Ouw-pek coa, kemudian menerima pelajaran dari empat orang guru-guru yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus, lalu dimatangkan pula oleh bimbingan Kam Hong Siansu, seorang pertapa berilmu paling tinggi yang jarang ada taranya di masa itu.

Empat buah golok mereka tak berdaya sama sekali terhadap Han Liong. Gerakan anak muda itu terlampau cepat bagi mereka, ditambah dengan gerakan-gerakan ilmu silat yang aneh dan tak terduga pecahannya. Suara trang-treng-trong beradunya golok dengan sumpit makin sering terdengar dan mata kedua saudara Kong itu menjadi silau melihat bayangan Han Liong berkelebat ke sana ke mari diantara sambaran golok mereka.

Han Liong melayani mereka dengan gunakan Ouw-wan-ciang-hoat warisan gurunya Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu. Sebenarnya ilmu ini adalah ilmu pukulan tangan kosong, tapi karena Han Liong sudah mendapat bimbingan Kam Hong Siansu, maka ia dapat mainkan itu dengan menggunakan sumpit. Bahkan sumpitnya balas menyerang dengan selalu tertuju ke arah jalan darah musuh dengan gerakan Su-sat-chiu.

Baru saja pertempuran berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, kedua saudara Kong itu sudah menjadi sangat sibuk menangkis serangan balasan Han Liong, karena mereka merasa yang menyerang mereka seakan-akan bukan dua batang sumpit, tapi lebih dari enam sumpit!

Tiba-tiba, ketika Kong Tat dari kanan menyambar kaki Han Liong dengan golok kanan, pemuda itu tidak mengelak atau menangkis, tapi bahkan memapaki golok itu dengan kakinya! Gerakannya demikian cepat dan sebelum Kong Tat tahu bagaimana cara Han Liong melakukan itu, tiba-tiba saja jari tangan kanannya yang memegang golok telah tertendang hingga terpaksa ia melepaskan goloknya dan terlempar jauh!

Kemudian menyusul sebuah sumpit menotok tulang pundak kirinya dan ia berteriak keras, golok di tangan kirinya terlepas dan sebelah lengan kirinya menjadi lumpuh! Kong Ta menolong saudaranya dengan memutar goloknya seperti baling-baling menyerang lawannya, tapi tiba-tiba Han Liong membalikkan tubuhnya dengan ilmu Oei-liong-coan-sin atau Naga Kuning Memutar Tubuh, satu gerakan dari warisan gurunya Bie Kong Hosiang.

Gerakan inipun seharusnya dilakukan dengan menggunakan golok atau pedang, tapi pada saat itu, kekuatan sepasang sumpit Han Liong sudah cukup untuk menggantikan dua macam senjata panjang itu. Terdengar suara benda beradu keras sekali dan tanpa terduga sepasang golok Kong Ta terlempar ke atas, lalu terdengar teriakan Kong Ta karena Han Liong secepat kilat menotok iganya hingga ia terjungkal untuk tak dapat bangun kembali!

Kawanan bajak yang dipimpin oleh Oei-coa-tai-ong berteriak-teriak marah dan mengurung anak muda itu, lalu atas isyarat kepalanya, mereka menyerbu dengan senjata golok, tombak dan toya! Lo Sam menjadi ketakutan dan bersembunyi di tempat aman.

"He, Oei-tai-ong, mengapa tindakanmu rusuh begini?" tegur Han Liong sambil menangkis puluhan tombak dan golok itu.

Tapi musuhnya tak menjawab, bahkan segera ikut menyerang dengan pedangnya. Juga Hek Sam Ong memutar toya besinya yang menerbitkan angin menderu-deru karena tenaganya yang besar. Han Liong melayani mereka dengan tenang sebentar saja lima orang bajak tertendang olehnya sampai jatuh bangun.

Tiba-tiba di luar kepungan itu terjadi keributan dan beberapa orang bajak menjerit-jerit kesakitan. Ketika Han Liong melirik, ternyata di sana terdapat seorang gadis muda yang berpakaian cara laki-laki tengah mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) yang gerakannya sangat gesit dan lincah. Kemudian gadis itu memburu ke arah Han Liong yang sedang dikeroyok dan berteriak nyaring.

"Hei, bangsat Oei-coa dan Hek Sam! Kembali kamu memperlihatkan sifat pengecut!"

Kedua kepala bajak itu heran dan segera membentak semua orangnya agar berhenti. Han Liong yang dilepaskan dari kepungan juga memandang gadis itu dengan berdiri tenang. Lo Sam keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Han Liong.

"Eh, eh. Gadis kecil dari manakah berani datang mengacau?" Oei-coa-tai-ong menegur.

"Ketahuilah olehmu kepala bajak jahat. Beberapa hari yang lalu ketika pegawai ayahku lewat di sini, kamu telah membajaknya dan barang-barangku juga terbawa dalam rampasanmu. Kamu tidak tahu siapa ayahku dan tidak tahu pula kelihaianku, ya? Nah, hari ini aku datang untuk menghukummu!"

"Hm, anjing betina tak tahu malu!" Hek Sam Ong memaki karena perasaan tak puas melihat lagak gadis itu. "Kau kira kami takut padamu?"

Han Liong memandang gadis itu dengan kagum akan keberaniannya, tapi ia berbareng tak senang melihat kelancangan gadis semuda itu berani datang mengantarkan diri memancing bahaya di gua harimau.

Mendengar makian keji itu mata gadis yang bening dan bagus seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar marah dan seperti hendak mengeluarkan api.

"Kurang'ajar!" hanya demikian ia berseru lalu kedua kakinya bergerak. Kegesitannya hebat juga karena tahu-tahu ia telah melompat ke depan Hek Sam Ong dan menyerangnya dengan tusukan maut!

Hek Sam Ong adalah seorang yang telah banyak pengalaman dalam bertempur, dan toyanya adalah toya besi besar dan berat, ditambah pula dengan tenaganya yang sekuat kerbau, maka ia merupakan lawan yang bukan ringan. Segera ia menangkis dengan toyanya dengan sepenuh tenaga.

Tapi gadis itu ternyata lihai benar, karena dari sambaran toya ia telah maklum akan kekuatan tenaga lawan, maka ia menarik kembali pedangnya agar jangan sampai beradu dengan toya, lalu pedang kiri menyabet leher dan pedang kanan yang ditarik mundur sudah bergerak maju pula menusuk lambung!

"Bagus!" diam-diam Han Liong memuji karena gerakan pedang Taufan Mengamuk di Lautan ini dimainkan dengan gaya indah sekali, Hek Sam Ong tundukkan kepala dan loncat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya itu dan si nona mendesak maju.

Dua orang bajak yang tak senang melihat gadis itu dan berbareng kagum melihat kecantikannya, menggunakan gagang tombak mereka untuk memukul dari belakang ke arah dua lengan tangan gadis itu. Tapi tiba-tiba si gadis melompat ke atas dan turun kembali sambil kedua pedangnya berkelebat ke kanan dan ke kiri, tahu-tahu kedua bajak itu menjerit sambil roboh karena leher mereka tertusuk pedang sampai tembus!

"Serbu! Tangkap!!" Demikian terdengar teriakan-teriakan dan semua bajak yang tadinya mengeroyok Han Liong, kini berbalik mengepung nona itu dengan teriakan-teriakan riuh rendah.

Oei-coa-tai-ong menghampiri Han Liong sambil menjura, "Sobat muda, sekarang lebih baik kau pergi saja, karena urusanmu sudah beres dan kami sedang sibuk dengan kuda betina liar ini!" katanya.

Diam-diam Han Liong merasa geli karena ia tahu akan kelicinan kepala bajak ini. Setelah tahu bahwa Han Liong bukan makanan lunak dan tidak membawa harta, maka kepala yang pintar itu mengambil kesempatan ketika semua orang tidak melihat, sehingga ia tidak akan hilang muka, minta Han Liong pergi saja dari tempat itu! Tapi Han Liong bukannya pergi malahan mengambil sebuah kursi dan duduk dengan enak.

"Aku mau nonton dulu," katanya. "Gampang saja pergi kalau tontonan bagus ini sudah selesai."

Oei-coa-tai-ong tidak perdulikan ia lebih jauh karena ia harus membantu Hek Sam Ong yang nampak payah, sedangkan beberapa orangnya telah rebah mandi darah menjadi korban sepasang pedang yang ganas dari nona itu.

Karena banyaknya korban, maka akhirnya para bajak hina itu tidak berani lagi mendekati nona yang sedang mengamuk seperti singa betina itu, takut kepada sepasang pedangnya yang berbahaya dan tajam. Mereka hanya melihat dari tempat aman bagaimana kedua tai-ong mereka dengan dibantu tiga orang pemimpin yang agak tinggi ilmu silatnya, mengeroyok gadis itu.

Hek Sam Ong memainkan toyanya dengan ilmu toya dari cabang Siauw-lim yang sudah berobah, tapi masih cukup berbahaya, sedangkan Oei-coa-tai-ong memainkan pedangnya dengan ilmu silat pedang campuran antara ilmu pedang dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan kiam-hoat dari Gobi.

Permainan silat kedua tai ong ini memang bagus sekali, ditambah dengan tiga pemimpin lain yang lumayan juga permainan goloknya, maka perlahan-lahan si nona terdesak juga dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Tapi gadis itu meskipun usianya masih sangat muda tapi semangat dan keberaniannya besar sekali. Ia kertakkan gigi dan memutar siang-kiamnya bagaikan kitiran.

Pada saat itu dengan gerakan Burung Kepinis Bermain di Angkasa ia melompat ke atas menghindari sapuan toya dan tikaman pedang kedua tai-ong itu, lalu dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi, ia melayang secepat kilat sambil menikamkan pedangnya ke arah leher seorang daripada tiga pemimpin yang mengeroyoknya.

Hek Sam Ong menggerakkan toyanya untuk menangkis dan menolong kawannya, tapi tiba-tiba ia merasakan toyanya seakan-akan terbentur sesuatu dan terpental balik, hingga serangan nona itu tidak ada yang menghalangi. Terdengar teriakan ngeri dibarengi dengan tersungkurnya kepala bajak tadi karena lehernya hampir putus oleh pedang si nona!

Sisa pengeroyoknya yang tinggal empat orang itu menjadi hilang akal juga melihat kehebatan gadis itu, terutama Hek Sam Ong merasa heran karena tidak mengerti apakah yang telah membentur toyanya tadi. Karena merasa kebingungan ini, permainan toyanya menjadi kacau dan kesempatan baik itu digunakan oleh si gadis untuk menyerang dengan hebat dalam gerakan tipu Siauw-liong-tiam-jiauw atau Naga Kecil Ulur Cakarnya. Sepasang pedangnya bersamaan menyerang ke arah dada dan leher lawan.

Namun ternyata gadis itu sangat terburu nafsu, mungkin karena kelelahan dan ingin segera menghabiskan musuh-musuhnya secepat mungkin hingga ia kurang berlaku hati-hati. Tipu silat yang ia jalankan itu sungguhpun sangat berbahaya bagi seorang lawan, namun demikian berbahaya pula bagi dirinya sendiri karena ia sedang menghadapi keroyokan.

Ia tidak ingat bahwa tipu itu hanya boleh dimainkan jika menghadapi lawan seorang saja. Dengan menyerang dengan kedua pedangnya, ia memberi kesempatan terbuka bagi lain pengeroyoknya. Dan Oei-coa-tai-ong melihat pula hal ini. Dengan sangat girang, ia menubruk maju sambil menusukkan pedangnya dari belakang nona itu.

Pada saat yang sangat berbahaya bagi nona itu kembali Han Liong mempergunakan batu-batu koral kecil yang sejak tadi ia main-mainkan di tangan. Tadi ia telah gunakan sebutir koral untuk menahan toya Hek Sam Ong, kini terlihat ia menggerakkan tangan kiri dan kanannya dua kali.

Batu pertama tepat mengenai jidat Hek Sam Ong hingga si tinggi besar ini tidak berdaya sama sekali ketika pedang nona itu mengarah dadanya. Ia berteriak ngeri dan roboh, dari dadanya mengalir darah segar. Batu kedua tepat menyerang betis kaki Oei-coa-tai-ong, hingga biarpun ia memakai kaos kaki duri kulit, namun masih saja betisnya merasa sangat perih dan sakit hingga ia terpaksa berhenti mengejar nona itu dan memegang-megang kakinya dengan rasa takjub.

Ketika itu, si nona sudah membalikkan tubuh dan ia makin bersemangat karena musuhnya kini tinggal tiga lagi. Betapapun juga, ia sudah amat lelah dan mandi keringat, sedangkan di antara semua lawannya. Oei-coa-tai-ong adalah yang paling tangguh. Han Liong melihat gerakannya mulai lemah merasa kasihan juga dan kembali ia mengayun tangannya arah lengan tai-ong yang pendek itu. Oei-coa-tai-ong berseru kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan!

Saat itu pedang kiri si nona membabat pundaknya hingga tanpa ampun lagi ia terguling dengan pundak hampir terbelah dua! Nona muda itu makin ganas dan mendesak dua kepala bajak dengan keras. Tentu saja kedua orang itu bukan tandingannya, maka sebentar saja mereka terdesak sekali.

Tiba-tiba seorang di antara mereka melempar goloknya dan berlutut tanda takluk. Kawan-kawannyapun buru-buru turut perbuatan kawannya. Gadis itu agaknya tak hendak ambil perduli, bahkan mengangkat kedua pedangnya untuk membacok.

"Nona, tahan!" Han Liong berteriak.

Gadis itu menangguhkan bacokannya dan menengok dengan wajah membenci. "Bagus! Aku datang menolongmu, sebaliknya kini kau mau membela dua jahanam ini. Ini namanya air susu dibalas dengan air tuba!"

"Bukan begitu, nona," Han Liong membantah. "Aku merasa berterima kasih sekali mendapat pertolonganmu, karena kalau kau tidak segera datang, tentu aku telah menjadi bangkai! Tapi lihatlah, mereka semua telah menyerah, apakah kau sampai hati dan begitu kejam untuk membunuh orang demikian banyak itu?" Han Liong menunjuk ke sekitar tempat itu.

Gadis itu menengok dan melihat betapa berpuluh-puluh anak buah bajak itu mencontoh pula perbuatan dua pemimpin mereka dan berlutut sambil melepaskan senjata masing-masing.

"Kau hendak mengampuni mereka, tapi kalau di belakang hari mereka membuat onar lagi dan mengganggu rakyat, jangan kau menyesal," nona itu menggerutu, lalu duduk di atas sebuah kursi dengan muka merengut. Agaknya ia baru merasa lelahnya di saat itu, dan ia duduk meluruskan kakinya untuk menghilangkan lelah.

"Saudara-saudara sekalian," kata Han Liong sambil menghadap kepada semua sisa anggota bajak itu. "Lihiap ini telah begitu baik hati untuk mengampuni kalian. Kalau ia berlaku kejam, mungkin kalian pada saat ini telah dibasmi habis dan kalian telah melihat sendiri betapa tangkasnya lihiap. Maka biarlah ini menjadi satu pelajaran bagi kalian bahwa betapapun juga, perbuatan jahat itu selalu akan hancur. Kalian adalah lelaki-lelaki sehat dan kuat, mengapa memilih jalan sesat? Kalian menjadi bajak untuk merampok rakyat jelata tanpa pilih bulu. Lebih baik kalian mencari jalan benar dan bekerja mencari makan dengan cara halal."

Seorang daripada pemimpin bajak yang menakluk tadi segera menjura dan membantah, "Tapi, bagaimana kami harus bekerja? Kemiskinan merajalela dan demikian pula para pembesar dan kaum hartawan. Mereka toh kerjanya hanya menindas dan menghisap rakyat miskin. Lapangan pekerjaan amat sempit dan orang yang mencari makan dengan cara halal banyak yang kelaparan."

Han Liong bingung karena sebenarnya ia belum tahu jelas tentang keadaan penghidupan rakyat jelata pada masa itu. Tiba-tiba gadis itu berdiri dan membantunya,

"He, kamu sekalian! Memang benar bahwa sekarang banyak penghisap rakyat, tapi aku tidak larang jika kamu mengganggu para pembesar jahat dan hartawan penghisap darah rakyat. Tapi janganlah merampok tak pilih bulu. Pula, tidak semua hartawan dan pembesar jahat, ada juga yang masih tahu akan perikemanusiaan. Juga, tanah kita lebar dan luas, tenaga kamu sekalian masih dibutuhkan."

Semua bajak bungkam tak ada yang berani membantah.

"Sekarang, bagaimana harus mengatur semua orang ini, lihiap?" tanya Han Liong dengan hormat.

Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Han Liong, tapi berkata pula kepada semua orang itu. "Nah, sekarang kamu semua harus bubarkan sarang bajak ini agar jalan sungai di daerah ini menjadi aman. Semua harta yang terdapat di sini boleh kamu bagi rata dipakai modal, dan sarang bajakmu harus dibakar habis. Awas, lain kali kalau aku lewat sini masih terdapat pengganggu keamanan, jangan katakan aku keterlaluan jika kucabut pedangku dan tidak ada ampunan lagi bagimu!"

Bajak-bajak itu menyatakan terima kasih dan bubar untuk segera melakukan perintah itu. Sekejap kemudian keadaan di situ menjadi sunyi.

Han Liong merasa kagum sekali melihat sepak terjang gadis itu yang cepat dan tepat. Dalam pandangannya gadis itu ternyata baru berusia paling banyak enam belas tahun, bertubuh ramping dan tampak makin ramping pinggangnya dalam pakaian pria yang serba ringkas itu. Bajunya berwarna merah dan celananya biru. Sepatunya dilapisi besi di bawahnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sutera merah pula. Wajahnya cantik dan menarik.

Han Liong masih asing dengan pergaulan, lebih-lebih dengan kaum wanita, maka ia tak dapat banyak bicara. Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sam dan matanya mencari-cari. Ternyata kakek nelayan itu telah bersembunyi di bawah sebuah meja ketika terjadi pertempuran hebat antara gadis itu dan para kepala bajak tadi!

"He, Lo Sam! Keadaan telah aman, keluarlah!" kata Han Liong dan gadis itu tertawa geli melihat tingkah Lo Sam.

Kakek itu merayap keluar dan mengusap-usap dadanya. "Nah, baru kali ini aku yang tua ini melihat peristiwa sehebat ini. Seorang gadis muda dengan kedua tangan membasmi dua gerombolan bajak! Hebat, hebat!" Ia lalu menjura kepada gadis itu dan bertanya hormat. "Lihiap yang gagah perkasa. Perkenankanlah aku yang tua mengetahui nama lihiap agar dapat kudongengkan kepada anak cucuku tentang kejadian ini."

Gadis itu tertawa. "Aku dipanggil orang Hong Ing dan she Lie."

Lo Sam memperkenalkan diri tanpa ditanya. "Aku adalah nelayan tua Lo Sam dan tuan muda ini... eh... namanya..." ia memandang Han Liong dengan bingung karena sesungguhnya ia belum tahu nama pemuda itu.

Han Liong tersenyum dan menyambung. "Namanya Si Han Liong..."

"Bolehkah aku bertanya, kemanakah lihiap kini hendak pergi?" tanya Lo Sam pula.

"Aku hendak pergi ke Hong-lung cian."

"He Hong-lung cian? Kebetulan sekali, lihiap, kami berdua juga sedang menuju ke sana ketika dicegat oleh para bajak tadi," kata Lo Sam.

"Kalau lihiap sudi, silakan ikut dengan perahu kami, bersama-sama pergi ke Hong-lung cian." Han Liong menawarkan.

Lie Hong Ing tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Han Liong yang belum ada pengalaman itu merasa malu-malu selama di dalam perjalanan membisu saja. Tapi baiknya Lie Hong Ing adalah seorang gadis kota yang terpelajar, hingga tanpa ragu-ragu gadis ini mengajaknya bercakap-cakap dan lama kelamaan pemuda itu hilang rasa malunya.

Ternyata Hong lng selain pandai ilmu silat, juga luas pandangannya tentang ilmu sastera. Gadis ini menganggap bahwasanya Han Liong hanyalah seorang sasterawan yang hanya kenal sedikit ilmu silat saja, maka pembicaraannya kebanyakan mengenai ilmu kesusasteraan, dan mungkin Hong Ing hendak membanggakan kesusasteraannya!

Karena perahu itu tidak berapa besar, maka Han Liong mempersilakan Hong lng menempati tempat tidur satu-satunya di dalam perahu itu yang hanya terbuat daripada jerami dibungkus kain, dan ia sendiri duduk di luar kamar perahu mengobrol dengan Lo Sam sambil membantu mendayung.

Malam hari itu dilewatkan tanpa kejadian sesuatu. Hong Ing agaknya sangat lelah barangkali setelah pertempuran itu, karena ia pulas dan nyenyak sekali sampai esok harinya. Setelah matahari tinggi, mereka memasuki kolong jembatan pintu kota Hong-lung-cian. Lie Hong Ing ketika mereka sampai di jembatan kedua, lalu menyatakan terima kasihnya dan turun dari perahu.

"Si toako, selamat berpisah sampai berjumpa pula," kata gadis itu sambil menunduk hormat, tiba-tiba saja ia menggunakan sebutan yang lebih akrab, ialah toako atau kakak.

"Lihiap telah banyak memberi petunjuk padaku yang bodoh ini, aku ucapkan banyak terima kasih pula," jawab, Han Liong.

Setelah gadis itu pergi, Lo Sam mengomel pada Han Liong, "Ah, kongcu, lihiap sebut kau toako, kenapa kau masih sebut ia lihiap?"

"Habis bagaimana, Lo Sam?"

"Seharusnya kau sebut ia moi-moi atau siauw-moi..."

Han Liong diam saja, tapi mukanya terasa panas karena ia merasa malu kalau harus menyebut demikian. Atas petunjuk Lo Sam yang telah beberapa kali datang ke kota itu dan mengenal semua jalanannya. Han Liong mendapat kamar di rumah penginapan Cit-seng.

Kemudian, setelah menambah uang setail perak, tapi ditolak oleh Lo Sam, kakek nelayan itu kembali ke kampungnya, dan kebetulan ada seorang yang hendak ke Lam-ciu hingga ia mendapat penumpang lagi.

Sepeninggal Lo Sam, Han Liong terkenang kepada Hong Ing yang amat menarik hatinya itu. Ia kagum mengenangkan kecerdikan, pengertian dan kepandaian silat gadis itu. Begitu muda tapi sudah demikian luas pengalamannya, pikirnya. Ia baru saja turun gunung lalu mendapat kawan seperjalanan yang menarik seperti Lo Sam yang peramah dan Hong Ing yang pandai itu, betapa genbira hatinya selama dalam perjalanan, tapi sekarang mereka harus berpisah. Dan tinggallah Han Liong seorang diri di kota yang masih asing baginya. Kini ia merasa sangat kesepian.

Kemudian, setelah makan siang, ia keluar dari penginapan, berjalan-jalan melihat-lihat kota sembari memasang telinga ingin tahu di mana gerangan tempat tinggal musuh besarnya, yaitu Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Tapi alangkah herannya ketika ternyata tak seorangpun di kota itu yang ditanyainya, kenal kepada Tiat-kak-liong Lie Ban.

Atas petunjuk beberapa orang yang ditanyainya, ia mendatangi beberapa cabang atas dan guru silat di kota itu untuk mencari keterangan. Tapi para jagoan di kota inipun tidak kenal nama Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Salah seorang guru silat yang berperawakan tinggi besar tapi sombong dengan angkuh menjawab pertanyaannya dengan ketawa.

"Naga Tanduk Besi? Ah, anak muda, barangkali kau salah dengar. Apakah kau mencarinya hendak belajar silat?"

Han Liong mengangguk, menyatakan ya. "Kalau begitu, barangkali yang kau cari itu bukan Tiat-kak-liong, tapi Tiat-thou-liong si Naga Kepala Besi."

"Kiat-thou-liong? Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?" Han Liong bertanya penuh harap.

"Ha, ha, ha! Kalau kau berguru kepadanya, maka kau takkan kecewa, kongcu." Tiba-tiba guru silat itu bicara sopan dan ramah, "Pun, ongkos belajarnyapun tidak begitu mahal, pendeknya cukup murah kalau dibandingkan dengan pelajaran ilmu silat tinggi yang akan kau terima."

Biarpun tidak tertarik akan percakapan ini, namun Han Liong terpaksa menunjukkan muka tertarik. "Di mana tempat tinggalnya?" ulasnya lagi.

"Lihat ini!" tiba-tiba guru silat itu berkata sambil memungut dua potong bata merah lalu memukulkan dua bata itu ke atas kepalanya! Terdengar suara...

"Prok! Prak!" batu bata itu pecah, hancur menjadi beberapa potong kecil!

"Nah, lihatlah kekuatan kepalaku. Akulah yang dipanggil orang Naga Kepala Besi. Jadi yang kau cari untuk kau jadikan gurumu tiada lain orangnya ialah aku sendiri!"

Han Liong merasa kecewa dan mendongkol sekali. "jadi kau sendirikah kauwsu itu? Baik, aku mau menjadi muridmu dan berapa saja bayaran pelajarannya akan kubayar, tapi aku harus mencoba sendiri kekuatan kepalamu itu."

"Baik, baik. Silakan!"

Han Liong memungut sepotong bata kecil, pecahan dari bata tadi. "Aku hanya ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa kuatnya kepalamu. Aku akan menggunakan bata kecil ini untuk menyambit kepalamu," katanya.

Si Naga Kepala Besi tertawa berkakakan karena melihat lengan Han Liong yang halus kulitnya itu bagaikan lengan wanita, membikin ia menjadi geli, mengapa pemuda itu demikian bodoh untuk mencoba kepalanya dengan sepotong bata kecil. Bukankah tadi dua buah bata besar menjadi hancur ketika beradu dengan kepalanya? Berapa kekuatan bata sekecil itu? Ia segera memasang kepalanya ke arah Han Liong dan menantang,

"Nah, lemparlah bata itu sekuat tenagamu!"

Karena jemu dan mendongkol, Han Liong menjepit bata itu diantara jari-jari tangannya, lalu menggunakan telunjuknya untuk menyentil bata itu ke arah kepala Naga Kepala Basi itu. Sengaja pemuda itu tidak menggunakan semua tenaga lweekangnya, karena maksudnya hanya memberi sekedar pelajaran untuk kesombongannya. Bata kecil itu melesat dan...

"Pletakkk!" menghantam si kepala besi.

Sungguh aneh, bata itu tidak pecah, tapi sebaliknya si Naga Kepala Besi bagaikan menerima pukulan palu baja yang keras! Ia berteriak "Aduh!" dan kedua tangannya memegang kepalanya dan terhuyung-huyung, akhirnya jatuh di atas sebuah kursi sambil meringis-ringis. Ia merasa kepalanya sakit sekali sehingga tidak tertahan, kedua matanya mengeluarkan air!

Ia meramkan mata menahan sakit. Untungnya rasa sakit itu hanya sebentar saja, dan ketika ia menggunakan jarinya meraba-raba, ternyata di batok kepalanya tumbuh tanduk alias bengkak! Ia sangat heran dan membuka matanya, tapi keheranannya bertambah ketika dilihatnya bahwa pemuda itu sudah tidak berada di hadapannya lagi! Diam-diam dia maklum ia baru berhadapan dengan seorang ahli Iweekeh yang tinggi ilmu silatnya. Maka berjanjilah ia dalam hati untuk tidak bersikap sombong dilain kali.

Dengan hati kecewa Han Liong berjalan ke sana ke mari di dalam kota Hong-lung-cian. Ia merasa putus asa. Ke mana lagi ia harus mencari musuh besarnya itu? Kakinya membawanya ke sebuah tempat yang ramai, merupakan pasar kecil di mana banyak terdapat orang-orang berdagang barang-barang yang datang dari luar kota. Secara iseng-iseng ia masuk ke situ dan berdesak-desakan dengan banyak orang.

Tiba-tiba ia merasa ada orang meraba-raba kantongnya yang tergantung di pinggangnya. Cepat sekali gerakan tangan itu hingga tahu-tahu kantongnya telah terlepas dari ikatan! Tapi tangan Han Liong lebih cepat lagi. Pencopet yang licik ttu tanpa disadarinya, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang kantong tadi telah dipegang oleh tangan korbannya. Ia berusaha melepaskan pegangannya, tapi sia-sia.

Bahkan ketika ia kerahkan tenaganya, ia merasa pergelangan tangannya begitu sakit seakan-akan hendak patah. Mata dengan muka merah dan kebingungan ia menurut saja ketika Han Liong menariknya ke tempat yang agak sunyi. Mereka berdua berjalan seakan-akan dua sahabat karib saling bergandengan tangan. Setelah tiba di sebuah gang sepi Han Liong melepaskan cekalannya.

Orang itu mengembalikan kantong yang dicopetnya itu sambil menunduk memberi hormat. “Kongcu maafkan siauwte yang telah berlaku tak sepatutnya padamu,” katanya.

Han Liong melihat orang itu masih muda, kira-kira berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya kecil tapi tampak kuat dan dari gerak-geriknya dapat kita ketahui bahwa ia mengerti ilmu silat.

“Tidak apa,” jawabnya, “Tapi barangkali kau bisa menolongku,” kata Han Liong.

Orang itu memandang heran. “Kongcu, aku Tan Sam dijuluki orang Si Copet Tangan Seribu. Belum pernah tanganku gagal, tapi kali ini kongcu telah membuat aku takluk benar-benar, karena tidak sembarang orang dapat memegang lenganku tanpa aku dapat berdaya sama sekali. Aku orang miskin dan tentang kepandaian, kongcu jauh lebih tinggi dariku, maka pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepada kongcu?”

“Aku tidak inginkan pertolongan tenaga maupun uang,” kata Han Liong. “Hanya aku membutuhkan keterangan tentang seorang di kota ini.”

“Oo, kalau soal itu saja, jangan kongcu khawatir, karena tidak ada seorang juapun di kota ini yang tidak kukenal, kecuali kalau ia orang luar kota.”

“Nah, kalau begitu, kenalkan kau seorang bernama Lie Ban yang disebut orang si Naga Tanduk Besi?”

Tan Sam mengerutkan dahinya memikir- mikir. “Lie Ban Naga Tanduk Besi? Sungguh heran, tidak ada rasanya orang yang bernama itu di sini, kongcu.”

Han Liong kecewa, tapi masih mencoba menerangkan. “Ia belum lama ini pindah dengan keluarganya dari Lam-ciu.”

“Dari Lam-ciu katamu, kongcu? Ada seorang she Lie yang baru pindah dari Lam-ciu, tapi namanya adalah Lie Wan-gwa. Tapi aku tidak tahu apakah hartawan itu bernama Lie Ban. Lagi pula, masakan seorang hartawan mempunyai nama julukan seperti seorang ahli silat demikian? Tapi, nanti dulu! terus terang kukatakan bahwa aku pernah mencoba memasuki gedungnya, tapi gagal, aku mendapat genteng yang dilemparkannya padaku yang menyebabkan hampir saja aku dapat ditawannya dan...!”

“Dan... bagaimana maksudmu?” Han Liong tertarik.

“Aku tidak berhasil apa-apa, bahkan hampir aku mati terbunuh!”

“Bagaimana bisa terjadi?”

“Tidak kuketahui bahwa di gedung wan-gwe itu ada setannya! Baru saja aku mendarat di atas genteng, tiba-tiba sebuah genteng terbang menyambar kepalaku. Berkali-kali genteng terbang menyambarku hingga tubuh dan kepalaku luka dan mencucurkan darah! Anehnya, sama sekali aku tidak melihat orangnya yang menyambit itu. Maka, kalau bukan setan, siapakah lagi?”

Han Liong tak dapat menahan senyumnya, “Hm, kalau begitu maukah kau menolong aku untuk menyelidiki, apakah hartawan Lie itu yang bernama Lie Ban atau bukan?”

“Baik, kongcu, baik. Sore nanti akan kukirim berita hasil penyelidikanku padamu.”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Mereka lalu berpisah dan Han Liong kembali ke kamarnya. Ia masih ragu-ragu apakah hartawan itu benar-benar musuh besarnya yang dicari-carinya itu? Ia harus bertindak dengan hati-hati jangan sampai gegabah yang bisa mencelakakan orang lain yang tak bersalah, karena salah alamat. Sore harinya, betul saja Tan Sam datang, dengan muka berseri-seri, ia menceritakan hasil penyelidikannya.


“Tidak percuma kau minta tolong dan mempercayaiku, kongcu! Hartawan she Lie itu betul-betul Lie Ban Naga Tanduk Besi!”

“Bagaimana kau tahu begitu pasti?” tanya Han Liong teliti.

“Karena aku yakin, untuk dapat masuk ke gedung itu tipis benar harapan, karena sangat berbahaya, maka aku gunakan akal. Aku pancing-pancing keterangan di antara pelayan-pelayan gedung itu, dan dari mereka aku tahu bahwa semua pelayannya berasal dari kota ini, di antaranya terdapat seorang pelayan tua yang dibawa oleh Lie wan-gwe dari Lam-ciu. Kebetulan sekali pelayan tua itu keluar dari gedung lalu kuculik. Setelah kupaksa, akhirnya pelayan tua itu mengaku juga, bahwa Lie-wan-gwe itu ialah Lie Ban si Naga Tanduk Besi itu sendiri! Ia bekas panglima perang yang kini telah berhenti. Tapi kalau kau hendak memusuhi orang she Lie ini, hati-hatilah, kongcu, karena aku mendengar bahwa baru beberapa hari ini di rumahnya kedatangan kawan-kawannya yang terdiri dari ahli-ahli silat terkemuka. Bahkan sejak mereka pindah ke sini, selalu gedung itu dijaga oleh adiknya sendiri Oei-kak-liong Lie Kong dan dua saudara Jie-pa-cu yang bernama Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw. Mereka ini merupakan penjaga-penjaga yang kuat dan tinggi ilmu silatnya, kini ditambah lagi dengan tamu-tamunya yang datang itu, maka gedung orang she Lie itu merupakan sarang harimau-harimau galak yang tidak mudah dikalahkan. Hm, kalau kuingat aku masih merasa sakit hati, kongcu. Tidak heran ketika aku coba-coba datang ke sana dulu, genteng-genteng beterbangan melukaiku. Aku tidak tahu bahwa di situ bersarang jagoan-jagoan besar. Ah, untung mereka masih mengampuni aku dan tidak membunuhku!”

Alangkah lega dan girang hati Han Liong mendengar keterangan-keterangan ini. Ia sekarang tidak ragu-ragu lagi, karena ternyata Oei-kak-liong Lie Kong adik Lie Ban dan dua saudara macan tutul itupun berada di situ, tepat seperti yang diceritakan oleh gurunya Liok-tee-sin-mo Hong In, yang menolong dirinya juga ketika itu bertempur dengan mereka berempat ini di masa lalu!

Mendengar penjagaan yang kuat itu, sedikitpun ia tidak gentar, bahkan semangatnya bertambah. Ia yakin, dengan berkumpulnya orang-orang itu, maka pembalasannya akan menjadi lengkap. Ia mengucapkan terima kasih kepada Tan Sam dan memberinya potongan uang emas, tapi hadiah ini ditolak oleh Tan Sam dengan manis.

“Kongcu, kau adalah orang baik. Aku tahu benar bahwa kau seorang berbudi luhur yang pernah kucopet. Aku senang membantumu, kongcu. Jika kau ada apa-apa, carilah aku di jembatan kelima jalan barat sana!” Kemudian ia pergi.


                  ***************


Malam itu kebetulan tanggal empat belas dan sore-sore sang ratu malam telah menampakkan diri, bulan purnama memancarkan sinarnya terang benderang seolah-olah tersenyum manis pada setiap mahluk dan segala benda yang ada di permukaan bumi. Tidak tampak sedikitpun awan gelap yang mengganggu.

Suasana tampak menggembirakan, penuh damai dan tenteram, sehingga tak seorang juapun menyangka bahwa di malam itu akan terjadi suatu peristiwa besar yang mengerikan. Di atas genteng-genteng rumah-rumah yang berjajar-jajar di bagian kota itu tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali. Jika ada orang yang kebetulan berada di atas genteng rumahnya ia akan melihat bayangan saja yang berpusing tanpa terlihat orangnya, tentu ia akan menyangka bahwa bayangan itu adalah bayangan burung terbang.

Sebetulnya adalah Han Liong sendiri yang berpakaian putih dengan ikat pinggang warna kuning panjang berkibar-kibar di belakangnya. Langsung Han Liong menuju ke rumah Lie Ban yang besar dan mewah itu. Setibanya di luar gedung, Han Liong mengencangkan ikat pinggangnya dan kemudian mengayunkan tubuhnya ke atas genteng.

Tindakan kakinya demikian ringan hingga sedikitpn tak mengeluarkan suara. Ia berhenti di atas sebuah kamar besar di mana menyala api lilin yang dipasang lebih dari empat tempat hingga menerangi seluruh kamar. Diam-diam ia membuka genteng dan mengintip ke dalam.

Di tengah-tengah kamar itu terdapat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja bundar. Kelihatan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap duduk di kepala meja. Di kanan kiri dan depannya duduk lima orang laki-laki yang semuanya bertubuh kuat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang ahli silat yang pandai.

Ternyata mereka tengah asyik bercakap-cakap dan dari kata-kata mereka, Han Liong mendapat kesan bahwa orang-orang itu adalah orang baik-baik yang berbicara tentang silat dan tempat-tempat indah di berbagai tempat. Pemuda itu ragu-ragu, lalu loncat ke tempat lain melanjutkan penyelidikannya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita sedang bercakap-cakap. Hatinya berdebar-debar, karena bukankah nyonya Lie Ban adalah ibunya sendiri?

Teringat ini hatinya menjadi perih, karena selalu ia mengenangkan ibunya dengan dua perasaan menjadi satu, perasaan cinta dan kecewa. Ia segera melakukan pengintaian lagi. Kamar itu lebih kecil daripada kamar yang lain. Di situ hanya terdapat sebuah lilin yang kecil sehingga keadaan dalam kamar suram. Tampak olehnya seorang wanita setengah tua tengah berbaring dan di sampingnya duduk seorang perempuan muda yang memijat-mijat kakinya.

“Anakku,” terdengar suara wanita setengah tua itu dengan suara halus penuh kasih sayang hingga Han Liong yang mendengarkannya merasa terharu. “Kurangilah kebiasaanmu pergi merantau. Kau adalah anak perempuan seorang bekas pembesar, seorang cian kim siocia yang sepatutnya berdiam di rumah belajar pekerjaan halus-halus. Kalau kau bertemu dan berkenalan dengan segala bangsa kasar, derajatmu dengan sendirinya akan turun.”

“Ah, ibu. Aku bosan kalau terus-terusan berada di dalam rumah. Aku ingin meluaskan pandangan dan menambah pengalaman,” jawab anak perempuan tadi sambil mengelus-elus kaki ibunya.

“Dasar anak sekarang. Tapi, hati-hatilah, nak, karena menurut pengalamanku, lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Nah, sekarang mengasolah, ibumu hendak tidur.”

Han Liong tidak dapat melihat tegas wajah mereka karena cahaya lilin sangat suram. Ia mellat betapa wanita muda itu turun dari pembaringan dan meninggalkan ibunya, memasuki kamar lain dan wanita itu bangun dari pembaringan lalu duduk di kursi. Ia nampak kurus dan tua.

Karena ingin kepastian, Han Liong tidak ragu-ragu lagi lalu melompat turun di depan pintu kamar itu, dan menolak daun pintu perlahan-lahan. Perempuan itu menengok, agaknya terkejut melihat pemuda yang tidak dikenal itu. Tapi ia segera dapat menetapkan hatinya.

“Siapa kau?” tanyanya dengan suara tenang.

Han Liong melihat ada sebuah lilin yang agak besar belum dipasang di atas meja, maka tanpa menjawab pertanyaan itu, dengan cepat ia mengambil lilin itu dibakarnya dengan lilin kecil yang masih menyala itu. Kamar menjadi terang dan dengan sekilas pandang Han Liong dapat melihat wajah yang membayangkan kesedihan itu, dan dapat pula dilihatnya dengan nyata bahwa muka itu persis seperti bekas wajah wanita cantik. Kemudian sambil memandang dengan tajam, ia menjawab lemah.

“Namaku Han Liong... Si Han Liong!!”

Wanita itu terkejut bagai disentakkan oleh tenaga gaib. Kedua tangannya diulurkannya, sepasang matanya terbelalak memandang seakan-akan melihat setan, penuh pancaran tidak percaya, kedua kakinya tiba-tiba gemetar dan bergerak maju tanpa disengaja. Kemudian secepat kilat ia menangkap tangan kiri Han Liong dan membalikkan telapak tangan anak muda itu.

Ia membiarkan saja. Terlihat di nadi Han Liong sebuah titik hitam. Wanita itu memandang Han Liong pula dari kepala sampai ke kaki, kedua matanya yang terbelalak lebar perlahan-lahan menjadi basah dan air mata menetes turun di sepanjang pipinya. Kemudian ia mundur terhuyung-huyung, tapi kedua lengannya terbuka seakan-akan hendak memeluk.

“Han Liong... Han Liong... anakku...!!” Ia mengharapkan puteranya itu maju menubruk dan memeluknya, tapi Han Liong diam saja, berdiri tegak laksana patung.

“Han Liong...!” nyonya tua itu merasa seluruh anggota tubuhnya lemah dan tangannya meraba-raba ke sandaran kursi mencari pegangan untuk menahan tubuhnya yang hendak roboh karena kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Beberapa saat berlalu sunyi, hanya terdengar suara pernapasan wanita itu yang terengah-engah berat.

“Han Liong... kau datang mencari ibumu...?” tanyanya lemah.

“Bukan,” jawab pemuda itu tegas tanpa pikir lagi, sehingga ia sendiri menjadi heran akan kata-katanya karena mengapa sedang hatinya bagaikan hancur luluh melihat ibu kandungnya sendiri yang sudah lama dirindukannya, dengan seluruh hasratnya yang menggelora ingin memeluk kaki ibunya dan ingin pula menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya, maka tiba-tiba mengeluarkan kata-kata ketus.

“Aku datang hendak mencari pembunuh ayahku. Ibu tentu sudah lupa ayahku orang she Si yang terbunuh oleh suami ibu yang sekarang ini. Tapi aku tidak lupa, dan aku ingin menuntut balas!” Suaranya makin keras dan lantang, semua diucapkannya diluar kesadarannya.

Mendengar kata-kata yang bagaikan pisau tajam menusuk hatinya dan yang penuh pernyataan penyesalan dari anak kepada ibunya ini. Yo Lu Hwa, wanita itu, mendekap dadanya dan menjerit ngeri, lalu roboh tak sadar diri!

Buyar seketika semua kekerasan hati Han Liong melihat ibunya pingsan. Ia maju dengan lemah lembut diangkatnya tubuh ibunya ke atas pembaringan. Yo Lu Hwa mulai sadar tapi masih merasa pening dan matanya memandang gelap, lalu dipeluknya leher anaknya dengan hati hancur. Tapi Han Liong melepaskan pelukan ibunya karena pada saat itu ia mendengar suara langkah kaki memasuki kamar.

Ia hendak meloncat keluar, tapi ibunya memegang tangannya seakan-akan hendak menahannya, sehingga hal ini membuatnya terlambat untuk keluar dan pada saat itu pintu kamar terpentang lebar. Orang yang memasuki kamar itu adalah seorang gadis muda yang tadi berbicara dengan ibunya, dan ketika ia melihat tegas, hampir saja ia berteriak karena heran. Karena yang berdiri di depannya memegang sepasang pedang itu tiada lain ialah Lie Hong Ing sendiri, gadis gagah yang baru pagi tadi meninggalkan perahunya!

“Ibu... ada apa, ibu?” kata gadis itu melihat ibunya dengan cemas. Ibunya yang terserang tekanan batin hebat itu hanya dapat menuding ke arah Han Liong sambil berkata lemah, “Ia... ia...” lalu menangis tersedu-sedu.

Hong Ing cepat menengok dan ketika ia melihat Han Liong, kedua alis matanya bergerak-gerak tercengang. “Kau...?? Kau... datang ke sini mengganggu ibuku? Berani benar kau!”

Segera ia menusuk dengan pedang kanan ke arah leher Han Liong. Pemuda itu kini maklum bahwa Hong Ing adalah anak ibunya dan Lie Ban! Hebat rasanya kenyataan ini. Hong Ing adalah anak musuh besarnya, tapi adalah adiknya sendiri, adik seibu. Dan kini adiknya itu menyerangnya dengan tusukan maut!

“Hong Ing... ia... kakakmu...!”

Yo Lu Hwa masih sempat berbisik, tapi tak terdengar oleh Hong Ing yang sedang marah sekali. Tusukannya dapat dikelit Han Liong yang segera turut mundur keluar dengan cepat.

“Bangsat, jangan lari!!” teriak Hong Ing lalu menyusul.

Han Liong melompat ke atas genteng, disusul oleh nona itu. Untuk sesaat Han Liong ingin berlari pergi karena ia segan melawan nona itu, tapi sifat jantannya melarang ia pergi sebelum ia membatas sakit hati ayahnya. Maka ia berdiri menanti dengan tenang. Ketika Hong Ing yang tertinggal karena kalah gesit itu tiba di hadapan Han Liong, gadis itu menahan serangannya dan bertanya dengan suara ketus,

“Tak kusangka kau adalah golongan orang jahat! Sekarang terangkan maksud kedatanganmu sebelum kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!”

Mau tak mau Han Liong memainkan senyum di bibirnya mendengar kecongkakan gadis itu. “Kau hendak tahu maksud kedatanganku? Baiklah aku berterus terang. Kepadamu aku tak bermaksud apa-apa, maka baiknya panggil saja ayahmu keluar. Bukankah ayahmu adalah Lie Ban si Naga Tanduk Besi?”

“Ada urusan apa kau mau berjumpa dengan ayahku?” tanya Hong Ing.

“Ia adalah pembunuh ayahku dan aku datang hendak membalas dendam dan membunuhnya!”

“Bangsat kecil! Kau hendak membunuh ayahku? Bagus, besar sekali nyalimu. Tak perlu ayahku keluar untuk membereskan kau, cukup aku sendiri dengan sepasang pedangku ini!” Terus ia menyerang kembali dengan hebat.

“Apa boleh buat! Kau sendiri yang mencari celaka!” kata Han Liong dan tiba-tiba Hong Ing merasa matanya kabur ketika pemuda itu berkelit menghindari serangannya sambil mencabut Pek liong pokiam yang bersinar putih melepak dan menyilaukan mata ketika ditimpa sinar bulan!

Tapi Hong Ing tidak takut, ia segera menyerang kembali dengan gerak tipu Dua Dewa Kecil Bermain-main. Pedang kanannya diputar-putar seperti baling-baling lalu diarahkan ke leher lawan, sedangkan yang kiri langsung menusuk perut lawannya itu. Han Liong kelit tusukan dan menangkis sabetan pada lehernya.

"Tranggg!" dan tahu-tahu pedang kanan Hong Ing telah putus!

Hong Ing terkejut tapi tidak mau mengalah. Pedang kiri segera pindah tangan, lalu ia menyerang pula dengan hebat. Tapi kali ini ia berlaku hati-hati karena pedang lawan luar biasa tajamnya sehingga sebilah pedangnya sendiri yang terbuat dari baja tulen pun dengan mudah dipatahkan lawan. Han Liong banyak mengalah dan berkelit ke sana sini mengandalkan kegesitan tubuhnya yang diwarisinya dari si Iblis Bumi.

Tiba-tiba dari bawah melayang keluar enam bayangan dengan sangat gesitnya dan terdengar suaranya berseru, “Tangkap bangsat itu!”

Ternyata mereka ini adalah Lie Ban Naga Tanduk Besi sendiri, diikuti oleh adiknya Lie Kong. Sepasang Macan Tutul she Beng, dan dua orang tua tamu Lie Ban yang dilihat oleh Han Liong tadi ketika keenam orang itu tengah duduk bercakap-cakap.

Melihat enam orang itu telah berada di depannya, Han Liong gunakan pokiamnya memapas pedang Hong Ing sehingga terdengar suara “trang” untuk kedua kalinya dan gadis itu kehilangan pedangnya! Hong Ing menjadi marah sekali, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Han Liong berteriak. Tunggu!!” sambil lompat mundur setindak lebih.

“Bangsat dari mana berani membikin kacau di sini?” teriak Lie Ban dengan marah.

“Yang mana di antara kalian yang bernama Lie Ban Naga Tanduk Besi?” tanya Han Liong.

“Aku sendirilah Lie Ban! Kau mau apa?” jawab si Naga Tanduk Besi.

Sepasang mata Han Liong menyinarkan penuh kebencian. Ia gunakan ketika itu untuk memandang musuh besarnya dengan teliti. Hm, jadi inikah pengrusak rumah tangga orang tuaku? Inikah orangnya yang membunuh ayahku dan kemudian menawan ibuku serta memaksanya menjadi isterinya?

“Hm, tua bangka she Lie yang rendah budi! Dengarlah baik-baik, aku adalah Si Han Liong!! Ingatkah kau nama ini??”

Lie Ban terkejut. “Han Liong?? Kau anakku! Ibumu selalu mengharapkan kedatanganmu.”

“Siluman tua! Jangan sebut-sebut nama ibuku untuk meredakan sakit hatiku! Ayahku telah kau bunuh dan sekarang aku anaknya harus mengambil kepalamu untuk dipakai sembahyang di depan arwah ayahku!”

“Tapi... tapi...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong pokiam telah menyambar ke arah lehernya!

Namun Lie Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka dengan melompat ke samping ia dapat menghindarkan dirinya dari tusukan walaupun keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!

“Jangan banyak tingkah!” berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya bersuara.

Dengan sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.

“Haya!” teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam lawan, segera memegang senjata masing-masing dan maju mengeroyok!

Kedua saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja, maju pula menyerang Han Liong.

“Bagus!” teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari, sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa sekali!

Baru berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang.

Gerakan mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu! Sedangkan ilmu golok Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin. Sungguh kali ini Han Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh.

Namun, tak percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang!

Tiba-tiba dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri! Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun membawa-bawa pedang!

Perih sekali rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri, ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan membunuhnya? Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat lagi.

Han Liong melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan memberi isyarat supaya ia pergi!

Hatinya menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat mengenai pundak kiri Han Liong. Ia terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging, meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja. Namun darahnya keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan.

Han Liong mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat.

Tiba-tiba saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!

“Han Liong, tahan, nak!!” tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya sambil memandang tajam.

“Ibu mau apa?” tanyanya ketus.

“Sudahilah pertumpahan darah ini, Liong.”

“Tidak, ibu. Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!” katanya gagah.

Sementara itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu menyebut ibunya sendiri 'ibu'. Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya mempunyai seorang anak lain!

“Han Liong, dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban itu, bukan kau!

Tiba-tiba saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!

“Ayah!!” Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya.

Pada saat itu Yo Lu Hwa berseru, “Ampuni aku, suamiku!” dan tiba-tiba pedangnya sendiri menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!

“Ibu!!” Han Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.

Ma Kui dan Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi dari mereka, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala.

Hong Ing ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan.

“Ayah... ibu... ayah... ibu...!” tangisnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan.

Kedua orang tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong memangku kepalanya.

“Han Liong... alangkah... alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah... seperti ayahmu...”

Lalu matanya mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya. “Hong Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa ibu...”

“Liong... kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang...”

Sampai di sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya, yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan kata-katanya lagi dengan lebih nyata,

“Pembunuhan dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh... cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga... menjaga kau, Liong. Ayahmu seorang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak...”

Han Liong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya. “Ibu... ibu... bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang... sekarang, karena akulah maka ibu membunuh diri...”

“Tidak, Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat perhitungan masing-masing. Hanya...” ia memandang Hong Ing yang masih menangis. “pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu, Liong... Ing... selamat tinggal...”

Nyonya yang banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan kedua anaknya!


                     ***************


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



Dalam beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat. Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena hanya menurutkan dengan nafsu saja.

Dan Kam Hong Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta keadilan. Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya.

Selama itu Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya, tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu, tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim piatu?

Ia sendiri juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah orang tuanya dimakamkan, Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu berkata perlahan.

“... adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu...”

Baru ia berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,

“Ing.... Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini.”

Baru sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,

“Koko... kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi... bukan pula kau yang membunuh ayahku. Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi... kau kini adalah kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini...” kembali Hong Ing terisak-isak.

Kemudian ia bertanya kembali, “Kau... hendak pergi kemana, koko?”

“Kemana saja kakiku membawaku, adikku.”

Hong Ing mengangkat muka memandangnya dari balik air mata. “Kalau kau pergi, habis aku bagaimana, koko??”

Pertanyaan yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.

“Koko....”

“Moi-moi...”

Dan keduanya saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong berkata,

“Sudahlah, dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir, pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar ini bersama-sama.”

Adiknya bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata, “Koko.”

“Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang.”

Timbul kegembiran hati Hong Ing. “Pantaskah aku menjadi laki-laki?” wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.

“Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali,” katanya.

“Lebih cakap dari kau berpakaian wanita.”

“Tentu saja. Lihat saja nanti.” Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka.

Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas. Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi.

Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno.

Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.

Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi.

Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!

Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri!

Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!

Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah.

Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu. Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka.

Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa!

Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.

Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Baju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita.

Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.

Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban.

Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu.

Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia. Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas.

Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.

“Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu,” kata Hong Ing sambil mendongak ke atas, “Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!”

“Adik Ing,” jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau “siauwte” artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing sebagai pria, “Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai...” di sini Han Liong menghela napas.

“Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?” tanya Hong Ing.

“Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini.”

“Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?”

Han Liong memaksa tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, adik Ing.”

Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata, “Ayoh jalankan kudamu.” Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.

“Eh, eh. Ada apa, adik Ing?”

“Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi,” kata Hong Ing dengan manja.

Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri. “Jangan marah, adikku yang manis!” Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya. “Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!”

Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.

“Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah.”

“Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini.” Hong Ing mengancam.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,

“Minggir! Minggir!!”

Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti!

Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.

“Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?” Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.

“Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa,” kata yang seorang lagi.

“Hm, ini baru kata-kata sopan,” jawab Hong Ing. “Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?” ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu. “Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?”

“Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!” Gadis muda itu berkata pula dengan marah. “Pendeknya, lekas kau minggir!”

“Kalau aku tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?” kata Hong Ing dengan aksinya yang menimbulkan kemarahan orang.

Bangsat kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami Shoatang Ji-lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?” teriak gadis yang muda itu marah.

Encinya yang agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya. Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.

“Hm! Siapa perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku tidak kenal nama itu!”

Mendengar ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?

“Tuan, jangn mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak ada waktu melayani segala orang seperti tuan!”

“Kami berdua juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami.”

Sementara itu Han Liong sudah menghampiri mereka.

"Bangsat kecil ingin celaka!” gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.

“Adik Ing sabar dulu,” kata Han Liong untuk mencegah adiknya.

Tetapi Hong Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,

“Kalau kau mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok tiga!!” tantangnya dengan mata merah karena marah.

“Siapa mau mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!” gadis muda itu berteriak marah, “Aku sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat.”

Sehabis berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya. Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga mereka tidak dapat bersilat dengan leluasa. Hong Ing mendahului lawannya melompat turun dan menantang.

“Turunlah kalau kau benar-benar perempuan gagah!”

Lawannya segera melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah! Ternyata tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali, maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak.

Encinya tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran!

Hong Ing lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke arah Han Liong.

“He, kenapa kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!”

Han Liong tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak, namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh gerakan-gerakan kedua nona itu.

Kini setelah nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu. Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda itu di kanan kiri!

Han Liong memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara sungguh-sungguh. “Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?”

Gadis yang lebih muda itu menjawab sengit. “Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek kami?”

“Aha! Kalau begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!”

“He, siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?” tanya gadis yang lebih tua.

“Lupakah kau akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?”

“Terangkan dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami,” kembali gadis yang lebih muda berkata dengan suara pedas.

“Ketahuilah, nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman guru!”

Kedua gadis itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju setindak dan memaki, “Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani membohong!”

Han Liong tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya. Maka dengan masih tersenyum ia berkata,

“Hm, kalian tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut Mengamuk untuk membalas menyerang!”

Mendengar pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya sambil berkata,

“Nah, kalau kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit.”

Karena masih belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang Ji-lihiap maju bersama melakukan serangan!

“Bagus tipu Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!”

Han Liong berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan tubuh dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!

“Kenalkah kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu kalian kenal, bukan? Nah, ayo, jangan tertegun seranglah lagi!”

Kedua kakak beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan ringan badannya daripada guru mereka sendiri!

Si enci dengan segera menjatuhkan diri berlutut, “Susiok, ampunkanlah teecu yang berlaku kurang hormat karena tidak tahu.”

Si adik yang ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut, “Susiok!”

Han Liong tertawa dan menyuruh mereka bangun. “Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan. Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang, karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja.”

Kemudian Han Liong memperkenalkan Hong Ing dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee Lan dan Bwee Hwa.

“Kailan begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?” kemudian Han Liong bertanya.

Bwee Lan berkata dengan sedih. “Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk memohon pertolongannya.”

“Ada apakah?” tanya Han Liong penuh perhatian.

“Celaka, susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya, “Penjahat yang menculik itu memberi waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!”

“Berapa jauhkah tempat kediaman penculik itu?” tanya Han Liong.

“Ia berdiam di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda cepat. Teecu khawatir terlambat.”

“Hm, kalau begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju ke Lui san.”

“Tapi... susiok,” kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja, “Penculik itu adalah Ban Hok si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka olehnya dalam pertempuran!” Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok. “Dan lagi, uang tebusannya sangat banyak...”

“Jadi kalian ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?”

Kedua nona itu mengangguk. “Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?”

Dua murid keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.

“Habis, darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?” tanya Han Liong pula.

“Maksud teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya,” jawab Bwee Lan.

“Nah. Kalau begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa anak itu.”

Bwee Lan dan adiknya tak dapat membantah lagi, maka mereka segera berangkat membalapkan kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya! Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki!

Tapi diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau!

Sebaliknya, melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam. Kalau saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan. Terhadap seorang paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan, karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk 'golongan tua'!

Ketika mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita yang masih merah matanya karena kebanyakan menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.

“Suheng, sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang.”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Han Liong memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang wajah anak muda itu dengan agak heran.


“Aku telah mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi tak kusangka bahwa ia masih semuda ini,” katanya perlahan.

“Siokhu dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?” tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya.

“Siapakah anak ini, sute?”

“Ia adalah adikku, suheng.”

Lie Kiam mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat berkata kepada Hong Ing. “Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula, cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya.”

Mendengar orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah!

Han Liong segera menghampiri. “Ah, suheng, kau terluka di dalam,” katanya, lalu tanpa minta permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.

“Suheng, kau terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba memulihkan jalan darah itu.”

Ia segera menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit di dadanya agak berkurang.

“Nah, ini dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi.” Ia menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan, ialah Pauw Kim Kong.

“Eh, sute, darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?” tanya Lie Kiam.

“Dari suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!” Hong Ing menyahut.

Lie Kiam terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han Liong segera berkata, “Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali dari tangan Ban Hok.”

“Jangan, sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka.”

Han Liong tersenyum. “Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya. Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal, karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan.”

“Tapi adikmu ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau. Bwee Hwa juga jangan ikut,” kata Lie Kiam pula. Han Liong mengerling ke arah Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab, “'Biarlah adikku ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri.”

Dengan terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya. Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban Hok si Harimau Hitam.

Terbukti menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban Hok segera membalasnya.

“Apakah siauwte berhadapan dengan Ban-enghiong?” tanya Han Liong dengan sopan.

“Betul. Dan saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?”

“Memang siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya.” jawab Han Liong.

“Ha, ha! Lie Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!”

Matanya berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah membawa uang tebusan yang dimintanya.

“Perkara uang mudah, Ban-enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu. Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini.”

“Hm, kau masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu? Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang. Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?”

“Hm, begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan rendah?” ujar Han Liong.

“Penculikan ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah, jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan padamu.”

“Tuan Ban! Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?”

“Boleh, boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian, silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan anaknya akan kukembalikan dengan selamat.”

“Bagaimana kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu tenaga?”

“Ha ha ha! Sedangkan suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang akan mewakilinya melawan aku?” tanyanya sombong.

“Aku sendiri.”

“Kau?” sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat mengganggap enteng. “Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di waktu terang hari di depan kelenteng ini.”

“Baik, tuan Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!”

Walaupun Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata suhengnya sedang tidur nyenyak.

“Setelah menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak” kata isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih.

Maka Han Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang, walaupun dengan kakaknya sendiri!

Keesokan harinya, Han Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut, dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di kelenteng tua itu. Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka.

Kini mereka dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata. Ternyata ia adalah seorang berusia kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak.

Diam-diam Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua kakinya berakar!

Han Liong segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor naga sakti!

“Anak muda, betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!” tanyanya.

“Akan kucoba.” jawab Han Liong.

“Dengan cara apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?”

“Kaulah yang berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya menurut saja,” kata Han Liong.

“Hm, kau masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?” tanya Ban Hok.

“Aku yang bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini Thian-jiauw-siang hiap.”

“Eh, jadi adikmu ini juga ahli silat?” tanya Ban Hok dengan pandangan kagum. “Kalau begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmu sendiri tak dapat melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya. Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong.”

Han Liong ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang memandang rendah mereka, berkata,

“Koko, biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-enghiong ini.”

Sebelum Han Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan berkata kepada Ban Hok. “Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima jurus darimu, lo enghiong!”

Sikap yang lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian melompat mendekati dan berkata, “Baik, baik, seranglah, anak muda!”

Hong Ing tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak, Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melibat datangnya pukulan yang cepat ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul lengan lawan.

Tapi Hong Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah. Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat menyelamatkan diri dari pukulan.

Ia mulai hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu! Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.

Ban Hok tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus, pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu pukulan-pukulan tangan pasir.

Ketika ia gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa pundaknya tertimpa tenaga kuat!

Ia berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali, hampir tiada ketika baginya untuk selalu mengelak saja.

Han Liong melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga itulah jalan satu-satunya.

Han Liong menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.

"Bagus sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh gerakanmu yang cepat dan tangkas!" ia memuji.

Han Liong menjura. "Adikku mengaku kalah, lo-enghiong. Kini siauwte mohon pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian kita?"

"Haruskah dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis perkara!"

"Terima kasih, lo-enghiong. Nah, silahkan!"

"Kaulah yang menyerang dulu, anak muda!"

Han Liong segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja, tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir untuk melayani Han Liong.

Pemuda ini sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari. Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak,

"He, jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?"

"Maaf, sekarang akan kusambut. Bersiaplah!" seru Han Liong dan ketika si Harimau Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk kepalan lawan!

Terdengar suara 'buk' seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok. Ia terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah mundur lebih dari enam langkah!

Baiknya Han Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok.

Kalau saja Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat membuat jantungnya putus. Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.

"Sungguh tak kusangka Lie Kiam mempunyai sute seperti kau, Si enghiong," katanya. "Biar bagaimana jugapun, ilmu silat dan tenagamu itu membuat aku tidak percaya bahwa kau adalah sute dari Lie Kiam. Betul kegesitanmu dan gerakan-gerakanmu sama dengan Lie Kiam, tapi ada juga perbedaannya. Dan tenaga dalammu ketika kau menyambut pukulanku tadi, ah, tak pantas kau menjadi adik seperguruan Lie Kiam."

"Bagaimanapun, memang benar siauwte adalah sute dari Lie Kiam suheng," jawab Han Liong.

"Aku tidak malu mengaku bahwa dalam hal ilmu pukulan, kau lebih pandai dari aku, tapi aku belum mau mengaku kalah, anak muda. Marilah kita mencoba kemahiran senjata!"

Ia lalu melompat ke dekat pintu kelenteng dan mengambil sebatang toya besi yang berat. Dalam hal ilmu tangan kosong, Ban Hok ini sudah lebih tinggi dari Lie Kiam, karena lima tahun yang lalu ketika ia jatuh di tangan Lie Kiam, ilmu silatnya sudah cukup tinggi dan hanya kalah sedikit saja dari Lie Kiam yang terkenal gesit.

Tapi setelah menggembleng dirinya selama lima tahun dengan sungguh-sungguh, kini dapat dibayangkan betapa majunya ia. Lebih-lebih dalam ilmu toyanya, jarang ia menemukan tandingan. Ia sangat membanggakan ilmu toya gabungan dari Siauw-lim dan Bhok-san-pai yang dinamakannya Ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk.

"Nah, anak muda. Kulihat kau tak bersenjata, maka kau boleh meminjam pedang yang tergantung di pinggang adikmu itu untuk melawanku!"

Tapi Han Liong tahu bahwa toya lawannya itu sedikitnya beratnya ada lebih kurang lima puluh kati dan pedang Hong Ing bukanlah pedang mustika, sedangkan kalau menggunakan Pek-liong pokiam yang terlilit di pinggangnya itu, ia merasa belum waktunya. Bila keadaan tidak sangat mendesak dan perlu, ia tidak mau mengeluarkan pedang pusakanya itu. Selagi ia memikir-mikir, Hong Ing yang duduk di bawah sebatang pohon menikmati hawa sejuk sambil nonton pertempuran itu, berkata,

"Koko, ini toyamu tertinggal di sini!"

Han Liong menengok heran, dan ia tersenyum ketika melihat adiknya itu mengangsurkan sebatang ranting pohon liu yang panjangnya tidak lebih dari tiga kaki dan besarnya tidak melebihi ibu jari kakinya! Namun ia terima juga 'senjata' itu dan berkata,

"terima kasihi adikku." Lalu dengan tenang ia menghadapi Ban Hok.

Si Harimau Hitam melihat anak muda itu dengan mata merah. Ia merasa dihina sekali. "Jangan takabur, anak muda. Kau hendak melawan toyaku dengan ranting itu?"

"Memang itulah senjatanya, lo-enghiong!" dari bawah pohon, Hong Ing menjawab sambil tertawa.

Gadis ini yakin sekali akan ilmu silat kakaknya, maka ia sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menyaksikan kelihaian kakaknya, sambil hendak memperolok-olokkan Ban Hok yang telah mengalahkannya tadi. Jadi dalam hal ini, sebenarnya Hong Inglah yang berlaku sombong.

Maka tak heran kalau Ban Hok menjadi marah sekali dan tanpa berkata apa-apa lagi ia segera memutar toyanya sehingga mengeluarkan suara angin mendesir, lalu ujung toyanya melayang ke arah dada Han Liong disertai bentakannya.

"Lihat toya!"

Kalau ranting yang diberikan oleh Hong Ing itu sudah kering, tentu Han Liong tidak berani menggunakannya, tapi ranting itu masih hijau dan basah, ia yakin bahwa kayu kecil itu merupakan senjata yang ulet dan tidak khawatir terpukul patah. Melihat datangnya luncuran ujung toya lawan, ia segera mengelak ke samping dan menggunakan rantingnya menangkis dengan meminjam tenaga lawan sehingga toya itu meleset arahnya.

Namun Ban Hok memutar balik toyanya dan menggunakan ujung sebelah lagi untuk mengemplang kepala! Han Liong memperlihatkan kegesitannya dengan miringkan kepala dan tubuh sambil menggunakan rantingnya dari bawah menotok ke arah iga lawan!

Gerakan ini dinamakan tipu Naga Sakti Mengulur Lidah, tubuhnya merendah dengan pinggang tertekuk bagaikan naga menggeliat dan ranting itu seakan-akan lidah naga yang menjulur cepat ke depan! Melihat gerakan yang cepat dan indah ini, tanpa terasa Ban Hok berseru,

"Bagus!" dan ia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindarkan totokan berbahaya itu, karena untuk menangkis ia tiada waktu lagi.

Ban Hok segera mengeluarkan ilmu toyanya Lima Iblis Mengamuk dengan mengerahkan semua tenaga dalamnya, hingga sekejap kemudian toyanya terputar-putar merupakan lingkaran hitam yang mengurung tubuh Han Liong! Ujung toya menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Tapi dengan menggunakan keringanan tubuh dan kegesitan warisan keempat gurunya.

Han Liong dapat melayaninya dengan seimbang, Ilmu Pukulan Empat Bintang dapat ia mainkan di ujung ranting itu dan di sini ternyata betapa hebatnya ilmu gabungan ciptaan Kam Hong Siansu itu, karena menggunakan ilmu silat gabungan ini, walaupun hanya menggunakan sebatang ranting kecil saja, numun cukup untuk melayani ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk yang demikian hebatnya!

Lebih-lebih lagi karena dalam gerakan-gerakan Han Liong digunakan ilmu totok warisan suhunya Hee Ban Kiat si mata satu, maka tak heran bahwa Ban Hok harus berlaku sangat waspada agar jangan sampai dijatuhkan oleh lawan yang muda dan hanya menggunakan ranting itu!

Demikianlah, mereka bertempur sampai enam puluh jurus lebih. Mata Hong In yang menonton dari bawah pohon sampai menjadi kabur rasanya, dan diam-diam ia memuji dan kagum melihat kehebatan ilmu silat kakaknya. Matanya berkunang-kunang melihat toya Ban Hok merupakan gulungan hitam bergerak-gerak cepat dan di tengah-tengah gulungan hitam itu tampak berkelebat sinar kecil putih kehihau-hijauan dari ranting Han Liong.

Pada saat itu Han Liong merasa sudah cukup mencoba kepandaian Ban Hok yang telah menjatuhkan suhengnva itu. Iapun diam-diam mengaku bahwa baru sekali ini ia menemukan lawan yang agak tangguh. Maka ia segera mengubah ilmu silatnya. Tiba-tiba Ban Hok terkejut sekali karena ketika ranting berkelebat dan menyambar ujung tovanya, ternyata ranting itu seakan-akan digerakkan oleh tenaga raksasa dan bukan merupakan ranting kecil lemah lagi, tetapi seakan-akan merupakan sebuah senjata yang lebih berat dari pada toyanya sendiri.

Kemudian ranting itu berkelebat amat cepat dan gerakan-gerakannya tidak terduga sama sekali dan tahu-tahu ranting itu membesit tangan kanannya hingga ia merasa seakan-akan tulang lengan itu akan remuk dan kulitnya bagaikan terbakar! Ia tidak tahan lagi dan tanpa disengaja toyanya terlepas dari pegangan!

"Aku mengaku kalah!" katanya dengan suara penuh kekecewaan dan kemenyesalan, sambil memandang pemuda itu dengan penuh keheranan.

Sebenarnya tak usah dibuat heran, karena Han Liong tadi telah menggunakan dua jurus Ilmu dari Pek-liong-kiam-hoat! Gerakan pertama ketika ia menangkis ujung toya lawan adalah tipu Naga Putih Mencakar Gunung dan ketika ia membesit lengan lawan tadi ialah tipu Naga Putih Memukulkan Ekornya.

Baru saja ia menggunakan dua jurus tipu dari Pek-liong-kiam-hoat, ia telah berhasil mengalahkan Ban Hok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu pedang Pek-liong-kiam-hoat itu! Memikirkan hal ini, Han Liong diam-diam merasa sangat girang dan berterima kasih kepada Kam Hong Siansu yang telah membimbingnya itu.

"Si enghiong, kau benar pandai dan gagah. Aku terima kalah. Hanya yang membuat aku penasaran, mengapa kau yang menjadi sute dari Lie Kiam setinggi ini ilmu silatmu? Katakanlah, anak muda, siapa yang mengajar kau ilmu silai tadi? Siapakah gurumu, selainnya guru Lie Kiam?"

"Ban lo-enghiong, jangan terlalu memuji. Karena kau jujur, maka terus terang kukatakan bahwa selain suhuku Lie Kiam, aku masih mempunyai tiga orang guru lain. Tapi yang mengajar aku dalam ilmu silat yang kupakai tadi sehingga akau berhasil membuat kau mengalah, adalah seorang guru lain yang tak dapat kusebut namanya, karena suhuku itu tidak suka namanya diperkenal kepada umum."

Ban Hok si Harimau Hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Pantas... pantas... Kau jauh lebih hebat dari pada Lie Kiam, rupanya pelajaranmu begitu luas. Aku tidak usah merasa malu jatuh dalam tanganmu. Nah, sakarang kau boleh ambil anak itu dan antar kepada Lie Kiam dan katakan padanya bahwa melihat kau yang semuda ini tapi sudah berkepandaian begitu tinggi, pula sikapmu yang sopan santun ini, aku habiskan saja urusan sampai disini! Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling pandai. Pasti ada yang melebihi kepandaian seseorang."

Hong Ing mendengar ini lalu melompat berlari-lari masuk ke kelentang. Tak lama kemudian ia keluar lagi menuntun seorang anak kecil. Ternyata, walaupun bekas seorang perampok tunggal, Ban Hok adalah seorang laki-laki jujur, ia tidak membikin susah anak itu, tetapi dirawatnya baik-baik selama berada dalam tangannya sehingga anak itu tidak mengalami sesuatu kesengsaraan.

Kemudian, setelah menghaturkan terima kasihnya, Han Lion menggendong anak itu, dan bersama Hong Ing meninggalkan tempat itu dengan lari cepat...


                     ***************


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



Ketika mereka sampai di rumah Lie Kiam ternyata suhengnya telah hampir sembuh dan dapat turun dari pembaringan. Alangkah girang hati Lie Kiam dan isterinya melihat putera mereka satu-satunya itu pulang dengan selamat.

Dengan ringkas Han Liong menceritakan pengalamannya tanpa menyebut jalannya pertempuran, tapi Lie Kiam yang merasa tidak puas lalu bertanya kepada Hong Ing. Sebetulnya sejak tadi juga Hong Ing merasa tidak puas mendengar cerita Han Liong, tetapi ia tidak berani bicara karena kakaknya itu berkali-kali memberi tanda agar ia tidak berkata apa-apa.

Tapi sekali ini karena Lie Kiam sendiri yang mengajukan pertanyaan tanpa Han Liong berani mencegah dan melarangnya, Hong Ing segera buka suara dan menceritakan jelas betapa ia dikalahkan oleh Ban Hok dan betapa dengan sebatang ranting pohon liu, Han Liong dapat mengalahkan Ban Hok dengan mudahnya!

Ceritanya ini diucapkan dengan kata-kata menarik diikuti gerekan-gerakan meniru-nirua gerak silat kedua pihak, penuh dengan pujian-pujian bagi Han Liong yang membuat pemuda itu menundukkan kepala dengan kemerah-merahan.

Karena kemarin tiada waktu untuk bicara panjang lebar, maka setelah mendengar cerita itu, Lie Kiam terheran-heran karena ia merasa mustahil bahwa suhunya telah berlaku berat sebelah dan memberikan kepandaian istimewa kepada sutenya itu. Maka ia menuntut kepada sutenya agar menceritakan riwayatnya. Terpaksa Han Liong menuturkan riwayat pelajaran silatnya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lie Kiam.


                   ***************


Semenjak saat itu, Bwee Lan makin kagum melihat susioknva dan bahkan Bwee Hwa yang tedinya masih raga-ratu menjadi tunduk betul. Kedaan nona dari Shoatang itu bahkan dengan tidak malu-malu minta kepada susioknya untuk memberi mereka pelajaran satu dua jurus ilmu silat untuk memperdalam kepandaian mereka. Tetapi Han Liong dengan halus menolaknya.

Ternyata selain nakal dan galak, Bwee Hwa juga cerdik. Ia menggunakan Hong Ing sebagai perantara untuk mendesak Han Liong agar suka memberi pelajaran kepada mereka. Setelah Hon Ing turun tangan, terpaksa, sebagaimana biasa, Han Liong tak dapat melawan kehendak adiknya yang manja itu, dan ia turunkan juga silat yang diwarisinya dari suhunya Hee Ban Kiat kepada mereka sebanyak sepuluh jurus.

Tetapi biarpun hanya sepuluh jurus, kedua nona itu merasa girang sekali dan belajar dengan rajin dan bersemangat, karena yang mereka pelajari itu adalah sepuluh jurus pilihan dari Kiauw-ta-sin-na yaitu gabungan dari Kim-na-hoat dari Siauw-lim-si dan Bu-tong-pai.

Kalau sepuluh jurus pukulan ini dipelajarinya dengan sempurna, maka kelihaiannya melebihi ratusan jurus ilmu silat cabang lain. Lagi pula, di dalam pukulan yang paling lihai dari Siauw-lo-ong Hee Bin Kiat si mata ini, Han Ltoug telah mengadakan pecahan-pecahan dan variasi hingga sepuluh jurus ini dapat terpecah menjadi puluhan gerakan.

Sebelah tingggal di rumah suhengnya selama setengah bulan, Han Liong dan Hong Ing berpamit untuk meneruskan perantauan mereka. Lie Kiam yang merasa sayang sekali kepada sutenya itu tak dapat menahan, hanya memberi pesan agar sutenya berlaku hati-hati dan jangan mudah mencari permusuhan.

"Sute," katanya kemudian, "kebetulan sekali aku mendapat undangan dari Siok Houw Sianseng di Kie-lok, Sianseng ini bukanlah sembarangan orang, bahkan ia ini kawan seperjuangan almarhum ayahmu. Ia seorang sasterawan yang tubuhnya lemah tapi pikirannya kuat dan pandai sekali. Tulisannya yang tajam menyerang hebat pemerintah musuh dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat sehingga ia menjadi musuh pemerintah. Besok lusa ia merayakan hari perkawinan puterinya. Maka, kau wakililah aku, sute, sekalian kau belajar kenal dengan orang tua bijaksana itu. Selain itu, di sana tentu datang semua hohan dari kalangan kang-ouw hingga kau dapat, memperluas pengalamanmu."

Karena memang tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya merantau, Han Liong menerima perintah ini dengan gembira. Ia membawa surat dari Lie Kiam dan berangkatlah ia dengan Hong Ing yang masih tetap menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan.

Karena sayangnya kepada mereka, Lie Kiam mengusahakan dua ekor kuda yang baik untuk sute dan adiknya ini, sehingga mereka berterima kasih sekali. Jarak antara kota tempat tinggal Lie Kiam dan Kie-lok tidak jauh, hanya lebih kurang delapan puluh li, maka sepasang pemuda pemudi tidak sangat tergesa-gesa. Mereka membiarkan kuda mereka berjalan seenaknya saja. Ketika melalui sebuah jalan gunung yang sempit, tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara kaki kuda yang berlari kencang.

Han Liong dan Hong Ing menahan kuda mereka dan menanti di pinggir jalan. Kebetulan di dekat Hong Ing ada bunga mawar gunung yang sedang mekar harum, maka gadis itu tak dapat menahan hatinya untuk tidak memetik bunga itu dan menancapkan di lipatan pengikat rambutnya. Suara kaki kuda dari belakang makin keras kedengarannya dan sebentar kemudian dua orang penunggang kuda itu dengan secepat kilat lalu dekat merela karena jalan itu memang sempit.

Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah dua orang perempuan muda yang berwajah hitam dan buruk. Yang menarik perhatian adalah sarung pedang dan hudtim atau kebutan yang terselip di punggung mereka. Han Liong dan Hong Ing mencium bau wangi yang ganjil ketika kedua wanita itu lewat.

Tiba-tiba Hong Ing menjerit perlahan. Ternyata ketika mereka itu lewat cepat di dekatnya, seorang diantara mereka mengulurkan tangannya dan sambil tertawa kecil wanita itu menyambar bunga mawar yang tertancap di rambut Hong Ing! Hong Ing marah sekali dan ia segera menyentakkan kendali kudanya untuk mengejar.

"Sudahlah, adik Ing, biarkan saja. Di sini masih banyak bunga, mari kupetikkan," cegah Han Liong yang tak ingin mencari onar karena ia maklum bahwa kedua buruk itu memiliki kepandaian tinggi sehingga lebih baik tidak mencari ribut dengan mereka hanya karena setangkai bungai!

Tapi mana Hong Ing mau menurut. "Orang itu telah menghinaku, kau suruh aku diam saja? Koko, kalau kau takut, bersembunyilah disini, aku harus memberi tamparan kepada wanita setan itu!"

Dan Hong Ing mencambuk kudanya mengejar. Karena kudanya bagus dan ia memang pandai berkuda, sebentar saja ia dapat menyusul.

"He, perempuan busuk, berhenti dulu!" teriaknya marah.

Dua orang perempuan di depannya menahan kuda mereka dan berpaling. Hong Ing terkejut sekali melihat wajah mereka yang buruk menjijikkan itu. Agaknya mereka berdua menjadi korban penyakit kulit yang menyerang wajah mereka sehingga wajah mereka menjadi hitam serta kulitnya bercacat. Tapi sepasang mata merela yang indah, bersinar tajam ketika mereka memandang Hong Ing dengan kagum.

"Siangkong mengapa menahan kami?" tanya seorang diantara mereka yang lebih tua.

Hong Ing melihat bahwa bunganya kini telah berada di atas rambut perempuan kedua, maka ia menunjuk sambil membelalakkan mata, "Perempuan ini berlaku keji sekali! Kembalikan bungaku!"

Kedua perempuan itu tertawa geli melihat sikap Hong Ing yang seperti seorang kanak-kanak direbut bunganya.

"Bunga adalah lambang persahabatan dan rasa suka, mengapa kau tidak rela kembangmu kuminta ?" perempuan itu berkata sambil tersenyum genit.

"Siapa sudi menjadi sahabatmu ? Ayoh kembalikan!" Hong Ing membentak marah.

"Sumoi, kembalikan saja, jangan membikin siangkong yang tampan ini menjadi marah," kata perempuan pertama.

Karena kata-kata sucinya ini, perempuan kembang itu lalu mengambil bunga mawar itu dari kepalanya, lalu mendekatkan kembang itu ke hidung dan bibirnya untuk dicium, kemudian ia lemparkan kearah Hong Ing.

"Ini, terimalah tanda mata dariku, siangkong!" katanya sambil melirik dibuat-buat.

"Cis, tak tahu malu!" Hong Ing semakin marah dan menyampok kembang itu dengan tangannya hingga berantakan di tanah. "Memang sudah kuduga kalian bukan orang-baik !" Sambil berkata begitu Hong Ing mencabut siang-kiamnya dan menyerang.

"Suci, biar kutangkap sitampan ini untuk teman seperjalanan!" kata perempuan yang muda sambil tertawa genit, tetapi bersamaan dengan ini ia mencabut kebutannya dan menggunakan kebutan itu menangkis pedang Hong Ing.

Hong Ing makin marah mendengar kata-kata itu dan kedua tangannya bekerja keras memberi serangan-serangan berbahaya bergantian. Melihat gerakan 'pemuda' ini, barulah lawannya tidak berani main-main lagi dan melayaninya dengan hati-hati, bahkan kini ia mencabut pedangnya dan membalas menyerang.

Maka bertempurlah Hong Ing dengan perempuan buruk itu dengan sengitnya. Ternyata lawan ini sangat lihai sehingga sebentar saja Hong Ing terdesak. Ia terpaksa melompat turun dari kuda lalu menyerang lagi. Perempuan itupun terpaksa melompat pula dari kudanya, maka kini mereka berkelahi di atas tanah dengan lebih seru.

Selama bersama dengan Han Liong, Hong Ing telah banyak mendapat petunjuk dari kakaknya ini sehingga ilmu silatnya sekarang sudah jauh lebih hebat dari dulu, bahkan ia sudah mempunyai beberapa tipu gerakan dari pelajaran yang didapat Han Liong dari gurunya Kim-to Bie Kong Hosiang. Maka gerakan siang-kiam di tangan Hong Ing sangat hebat, terlebih lagi ketika ia bersilat dengan ilmu golok yang sudah diubah oleh Han Liong dalam tipu gerakan Ngo-houw-toan-hun-to atau Lima Harimau Mencegat di Pintu. Kedua pedangnya berputar-putar cepat.

Pedang kiri merupakan penjaga yang tangguh sedangkan pedang kanan digunakan untuk menyerang, tetapi lawannya tidak kalah hebatnya, terutama geeakan kebutan itu membuat Hong Ing menjadi bingung. Kebutan itu dapat digunakan untuk melilit pedangnya dan beberapa kail pedang kanannya kena terlilit. Kalau tenaga dalamnya tidak begitu terlatih atas bimbingan Han Liong, patti tadi-tadi pedang ditangannya sudah terlepas kena kebutan lawannya!

Sementara itu, kuda yang ditunggangi Hong Ing tadi, ketika mendengar ribut-ribut pertempuran itu, menjadi terkejut dan lari sambil meringkik keras! Tetapi Han Liong yang masih berada di atas kudanya mendatangi tempat pertempuran itu, ketika melihat kuda Hong Ing hendak kabur, sekali tubuhnya bergerak ia sudah melayang keatas punggung kuda Hong Ing dan menahan kendalinya.

"Bagus!" terdengar pujian dari suci lawan Hong Ing yang melihat gerakan ini dan menjadi sangat heran serta kagum.

Ia maklum bahwa pemuda kedua ini berkepandaian jauh lebih tinggi dari pemuda yang sedang bertempur melawan adiknya itu karena dari gerakannya saja ia sadar bahwa ia sendiri berdua adiknya takkan dapat melawan pemuda ini. Maka ia segera berkata kepada adiknya yang sedang berkelahi.

"Sumoi, mundurlah, ayo kita pergi. Lupakah kau akan pesan subo agar kita jangan mencari onar di jalan? Urusan kecil diperhatikan, urusan besar bisa gagal!"

Dan ia gerakkan hudtimnya yang berbulu kuning di tengah-tengah antara pedang adiknya dan pedang Hong Ing. Ujung bulu kebutan yang lemas itu ternyata membawa tenaga besar yang mengeluarkan angin, sehingga kedua orang yang sedang bertempur itu terhuyung mundur! Kemudian ia memberi hormat kepada Hong Ing dan Han Liong sambil senyum,

"Jiwi enghiong harap maafkan kami berdua."

Dan dari kedua kepalannya menyambar uap hitam yang kuat sekali kearah Han Liong dan Hong Ing. Han Liong terkejut sekali dan maklum akan keajaiban uap hitam itu, maka ia segera melompat ke depan melindungi Hong Ing. Ia gerakkan tangan kirinya perlahan kedepan dan uap itu membentur balik membuat perempuan buruk itu terhuyung ke belakang!

"Maaf tak mengenal Gunnng Thai-san." Perempuan itu berkata dan menujukan pandang matanya dengan tajam ke arah Han Liong yang berdiri tersenyum saja. Kemudian ia tarik tangan adiknya dan mereka berdua melompat ke atas kuda yang segera dipacunya!

"Koko, kenapa kau tidak basmi saja dua siluman perempuan itu?" kata Hong Ing gemas.

"Buat apa mencari permusuhan dengan segala orang yang tak dikenal? Adik Ing, belajar sabarlah kau. Kau lihat dua orang wanita tadi, mereka begitu berani. Kau anggap baikkah sikap berani mereka itu? Kurasa kau tidak ingin seperti mereka bukan?"

Hong Ing hanya melirik dengan merengut, lalu berkata manja "Kau mau persamakan aku dengan siluman-siluman buruk itu??"

"Ah, tentu saja tidak, adikku. Kau cantik seperti dewi, sedangkan mereka itu buruk seperti iblis neraka, mana bisa disamakan? Hanya harus kau ingat, ilmu silat mereka, terutama yang tua lihai benar."

"Memang lihai, memang lihai..." Hong Ing mengangguk-angguk dengan sikap menurut dan sabar, karena sebenarnya semua kemarahan dan kegemasannya telah lenyap musnah mendengar pujian Han Liong yang menyebut ia cantik seperti dewi! Iapun patuh dan tak membantah lagi ketika Han Liong mengajaknya melanjutkan perjalanan.

Pada keesokan harinya, ketika matahari telah terbenam, Han Liong dan Hong Ing tiba di Kie-lok dan dengan mudah saja mereka dapat mencari rumah Siok Houw Sianseng yang cukup dikenal. Tuan rumah yang berusia lebih kurang lima puluh tahun itu dan sangat peramah serta halus budi bahasanya. Ia menyambut mereka dengan gembira. Han Liong menyampaikan surat Lie Kiam dan segera mereka dipersilakan memasuki ruang tamu.

Biarpun pesta baru akan diadakan pada esok harinya, namun sudah banyak orang berkumpul di ruang tamu. Mereka ini ialah tamu-tamu yang datang dari tempat jauh. Lebih kurang lima meja dikelilingi para tamu. Ada yang berpakaian seperti jago silat, tapi ada juga yang terdiri dari kaum sasterawan. Tentu saja mereka itu memilih golongan masing-masing, sehingga rombongan tamu terbagi menjadi dua, golongan ahli silat dan golongan ahli sastera.

Han Liong dan Hong Ing yang berpakaian seperti kaum sasterawan, lagi pula karena sikap dan bahasa mereka lemah lembut, segera dianggap ahli-ahli sasteta dan dipersilakan duduk di bagian kutu buku yang berkumpul di situ sambil mengonol. Mereka ini ada yang mempercakapkan kitab-kitab kuno, ada pula yang membicarakan tentang syair-syair ternama dan hikayat serta riwayat di tanah air pada zaman dahulu.

Ternyata lebih banyak ahli sastera daripada ahli silat yang berkumpul di situ. Ahli-ahli silat yang berkumpul hanya ada dua meja terdiri dari dua belas orang, sedangkan kaum sasterawan mengelilingi tiga meja. Hong log segera tertarik oleh percakapan para ahli tulis itu, karena ia sendiripun suka akan buku-buku dan kesusasteraan. Han Liong diam-diam mengerling ke arah meja di seberang, di mana duduk orang-orang gagah yang sedang bercakap-cakap riuh rendah sambil minum arak sepuasnya.

Tiba-tiba di meja sudut terdengar tertawa meriah, bahkan ada beberapa orang yang bertepuk tangan.

"Memang sudah sepantasnya Bhok lo-enghiong membuka pertunjukan barang sepuluh jurus agar mata kami terbuka. Di ruangan ini selain Bhok lo-enghiong, siapa lagi yang patut menambah pengertian kita?" demikian terdengar suara desakan.

Seorang yang bertubuh tinggi kurus, berusia lebih kurang empat puluh tahun, berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada orang yang memujinya dengan sikap merendah, tapi dadanya tampak naik, sehingga orang-orang tahu bahwa diam-diam ia merasa bangga.

"Cuwi," katanya, "Di sini berkumpul orang-orang dari kalangan bun (sastera) yang halus dan sopan, mana aku berani memperlihatkan kekasaranku. Juga tuan rumah adalah seorang siucai yang terhormat, sekailikali aku tak berani kurang ajar!" Lalu ia duduk kembali.

"Mana bisa begitu?" seorang tua bertubuh gagah kuat berkata, "Bhok enghiong hendak mengadakan pertunjukan silat, ini bukanlah mengganggu, bahkan membantu tuan rumah meramaikan dan menggembirakan pestanya. Siok Sianseng adalah seorang sasterawan patriot yang mengutamakan kegagahan, hingga biarpun beliau bertubuh lemah, tapi jiwanya termasuk orang gagah juga, apa bedanya dengan kita? Kalau bun (kesusasteraan) dan bu (kegagahan) tidak disatupadukan, mana perjuangan akan berhasil? Siok Sianseng, bukankah pendapatku ini benar?" tanyanya kepada Siok Houw Sianseng yang sedang menghampiri mereka karena tertarik oleh suara perdebatan itu.

Siok Sianseng menjura dan berkata gembira, "Kalau para enghiong merasa gembira dan hendak mengadakan pertunjukan, sudah tentu hal itu amat menggirangkan dan siauwte sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih!"

"Nah, apa kataku? Ayoh, Bhok enghiong, silakan kau membuka pertunjukan lebih dahulu. Tidak mudah kami melihat menyambarnya Garuda Putih kalau tidak kebetulan berada di pesta Siok Sianseng!"

Mendengar orang she Bhok itu disebut Garuda Putih, Han Liong segera memperhatikan. Jadi orang tinggi kurus yang dipuji-puji itu adalah suhengnya, Bhok Kian Eng si Garuda Putih? Ia lihat Bhok Kian Eng dengan sikap apa boleh buat berdiri dari kursi dan setelah mengangkat kedua tangannya ke kepala memberi hormat kearah para tamu, ia melompat ke tengah ruangan yang lebar dan kosong itu.

Di situ ia bersilat tangan kosong dan tubuhnya melompat ke sana ke mari. Memang hebat kepandaian Garuda Putih ini. Gin-kangnya sudah mahir sekali sehingga ketika ia percepat gerakan-gerakannya, maka kedua kakinya seakan-akan tak menginjak lantai!

Tubuhnya menjadi bertambah seakan-akan ada dua orang yang bersilat karena cepatnya gerak tubuhnya. Diam-diam Han Liong kagum. Tak kecawa Bhok Kian Eng ini menjadi murid dari Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, karena ternyata ilmu meringankan tubuh yang bebat dari Iblis Daratan itu sedikitnya delapan bagian telah diwarisinya!

Tentu saja semua tamu menyambut ilmu silat yang lihai ini dengan tepuk tangan riuh, disana-sini terdengar suara pujian. Bibran para sasterawan yang asing sama sekali akan pertunjukan seperti itu, juga mau tak mau menjadi tertarik. Mereka ini heran betul betapa tubuh seorang manusia biasa dapat bergerak selincah burung garuda hingga mengaburkan mata!

Maka mereka juga ikut bertepuk tangan memuji. Dengan hati kecewa Han Liong melihat betapa suhengnya itu mempunyai watak sombong dan takabur, jauh berbeda dengan Lie Kiam, twa-suhengnya. Bhok Kian Eng menghentikan silatnya dan menjura dengan mulut tersenyum dan dada yang kurus itu terangkat naik!

"Sungguh hebat setali ilmu silatmu, Bhok enghiong. Baru sekarang aku menyaksikan sendiri kelihaian Garuda Putih, sungguh membikin kami gentar. Tapi, sudikah kau memperlihatkan pertunjukan ilmu sambit kim-chi-piauwmu yang terkenal itu?"

Bhok Kian Eng makin angkuh mendengar pujian orang, maka tanpa ragu-ragu lagi ia rogoh sakunya, "Lihat, aku hendak memadamkan semua lilin besar di meja-meja ini!"

Dan ia mulai mengayunkan tangannya. Tiap kali ia mengayunkan tangannya, maka padamlah sebuah lilin di meja pertama. Demikianlah, dengan bergiliran lilin-lilin besar di semua meja padam kena sambitan kim-chi-piauw, sedangkan uang logam yang disambitkan itu sama sekail tidak melukai orang!

Ketika lilin di depan Han Liong kena dan padam, maka tinggal sebuah lilin di meja para sasterawan di ujung ruangan itu saja yang belum padam. Bhok Kin Eng mengeluarkan kepandaiannya untuk sambitan terakhir ini. Ia sengaja berdiri membelakangi meja itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak melalui bawah lengan kanan!

Sebuah uang tembaga meluncur cepat ke arah api lilin. Tapi tiba-tiba seorang sasterawan muda tampak terkejut hingga tangan kanannya terangkat ke depan. Uang logam itu tidak mengenai lilin karena buktinya lilin tidak padam dan senjata rahasia itu entah kemana terbangnya. Keadaan menjadi sunyi dan Bhok Kian Eng heran sekali mengapa tidak terdengar tepuk tangan untuk sambitan kali ini, tidak seperti hasil sambitan sambitan yang tadi. Ia segera menengok dan wajahnya merah ketika melihat lilin itu masih menyala!

Rupanya sambitannya tidak mengenal sasaran. Maka untuk menutup rasa malunya, ia ayunkan lagi tangannya, kini tangan itu melalui selangkang kakinya! Tapi kini semua tamu, kecuali Han Liong yang telah tahu, merasa terkejut sekali, karena pada saat uang logam itu akan menyambar api lilin, tiba tiba uang logam yang pertama datang menyambar dan membentur uang logam kedua hingga menerbitkan suara nyaring dan kedua senjata rahasia itu jatuh ke atas lantai!

Han Liong kagum melihat hal ini. Tadi ia dapat melihat betapa dengan gerakan Menangkap Burung Terbang, sasterawan muda yang duduk di meja itu telah berhasil menangkap piauw pertama tanpa diketahui orang lain dan kemudian setelah piauw kedua menyambar, ia gunakan piauw pertama itu untuk menyambut piauw kedua. Tapi gerakan ini tentu saja dapat terlihat oleh semua orang hingga menimbulkan suara-suara kagum dan heran terkejut.

Bhok Kian Eng merasa malu dan marah sekali, karena merasa dipermainkan orang. Segera ia menghampiri sasterawan yang bertubuh tegap berwajah cakap dan berusia lebih kurang tiga puluh tahun itu, dan dengan senyum dibuat-buat Bhok Kian Eng menjura.

"Saudara telah memperlihatkan kelihaian dan dengan itu memberi pelajaran padaku, maka janganlah kepalang, siauwte mohon pengajaran barang dua-tiga jurus."

Sasterawan muda itu tertawa, "Bhok enghiong terkenal dengan julukan Garuda Putih, ternyata memang bukan nama kosong belaka. Tadi siauwte telah melihat ilmu silatmu dan soal kepandaian ginkang, aku orang she Bie boleh berguru padamu! Tapi, dengan uang logam memadamkan api di meja semua orang, bukanlah itu tak mengindahkan orang lain?"

Bhok Kian Eng menundukkan kepalanya dan ia memang merasa bahwa dirinya bersalah. Tapi ia beradat keras dan tinggi hati, mana ia mau mengalah begitu saja?

"Bie enghiong, memang siauwte bermata tapi seakan-akan buta, biarlah kesempatan ini kugunakan untuk mengerti kelihatanmu."

Orang yang ditantangnya secara halus itu berdiri dan menanggalkan baju luarnya sambil tersenyum. "Aku Bie Cauw Giok selamanya tak suka bermusuh, tapi jaga selamanya takkan mundur jika hendak dicoba orang. Marilah, Bhok enghiong, kutemani kau main-main sebentar untuk menggembirakan pesta Siok Sianseng yang budiman."

Lalu dengan gerakan lincah sekali, ia melompat ke tengah ruangan dengan ilmu loncat It-ho-ciong-thian atau Burung Hoo Terjang Langit. Hong Ing melihat ini menjadi kagum karena gerakan ini menunjukkan gerakan seorang ahli lweekeh. Tapi yang lebih heran adalah Han Liong. Ketika ia mendengar orang itu menyebutkan namanya Bie Cauw Giok, tanpa disadarinya, ia bangun dari kursinya dengan wajah gembira.

Karena nama itu bukan lain ialah nama murid tunggal dari gurunya sendiri, Pauw Kim Kong Beng-san Tojiu si Malaikat Rambut Putih! Jadi, sebagaimana Bhok Kian Eng maka Bie Cauw Giok inipun bukan lain adalah suhengnya sendiri! Dan kedua suheng ini sekarang saling berhadapan hendak bertempur! Tentu saja ia merasa gelisah dan bingung.

Sementara itu, Bhok Kian Eng juga sudah melompat menyusul Bie Cauw Giok dan segera mereka bertanding mengadu kepalan. Bhok Kian Eng yang berwatak keras segera melancarkan serangan bertubi-tubi dengan mengeluarkan ilmu silatnya yang istimewa. Tapi Bie Cauw Giok ternyata bukan orang lemah dan dapat melayaninya dengan baik sekali. Mereka berdua bergerak cepat sehingga membuat para penonton menahan nafas dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan.

Han Liong yang masih berdiri bingung segera dapat mengenal perbedaan mereka dalam hal kepandaian. Bhok Kian Eng sangat mahir tentang ilmu meringankan tubuh hingga gerakannya lebih gesit dan cepat, sedang Bie Cauw Giok mempunyai keuletan luar biasa dan tenaga dalamnya lebih tinggi daripada lawannya. Bhok Kian Eng dapat melancarkan serangan lebih sering karena lincahnya, tapi ia selalu menjaga agar jangan sampai beradu tangan, karena tadi baru sekali saja berada lengan ia terhuyung-huyung mundar dan lengannya terasa sakit!

Maka keadaan mereka boleh dibilang tak jauh selisihnya. Namun Han Liong yakin bahwa jika didiamkan saja, seorang di antara mereka pasti akan terluka, dan ia tak ingin hal ini terjadi. Tanpa raga-ragu lagi ia melompat kedepan. Orang-orang hanya melihat bayangan berkelebat di antara kedua orang yang bertanding itu, dan tahu-tahu Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok terhuyung mundur bagai ditolak oleh suatu tenaga besar!

Han Liong menjura kepada mereka berdua dengan sikap hormat sekali, lalu berkata, "Siauwte mohon maaf dan harap sudilah suheng berdua menghentikan permainan-permainan yang berbahaya ini."

Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok yang tadinya merasa marah kini menjadi terheran-heran.

"Eh siapakah kau maka menyebut aku suhengmu?" Bhok Kian Eng bertanya dengan marah, sedangkan Bie Cauw Giok memandang makin heran.

Kalau orang ini benar-benar sute dari Bhok Kian Eng, mengapa menyebut suheng pula kepadanya? Tapi diam-diam kedua orang gagah itu kagum melihat gerakan dan tenaga anak muda yang telah dengan mudah membuat mereka terhuyung mundur. Tapi mereka juga mesara amat tidak senang atas kelancangan anak muda ini.

"Siauwte adahh Si Han Liong. Bukankah Bhok suheng murid suhu Liok-tee Sin-mo Hong In dan bukankah suhu Pauw Kim Kong guru dari Bie suheng?"

Untuk kedua kalinya Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok terheran-heran karena pemuda itu dapat mengetahui nama guru mereka. Tentu saja mereka tidak percaya karena mana bisa jadi, sute mereka masih begitu muda tapi berkepandaian demikian tinggi?

"Bie enghiong," Bhok Kian Eng berkata kepada Bie Cauw Giok, "agaknya orang ini hendak mempermainkan kita dan memamerkan kegagahannya untuk menghina kita berdua."

"Benar begitu kiranya," kata Bie Cauw Giok, "karena mana mungkin sutemu menjadi suteku pula? Biarlah aku mencobanya dulu, sampai di mana kepandaian orang yang mengaku suteku ini."

"Tidak, biar aku maju lebih dulu untuk memberi pelajaran kepadanya," bantah Bhok Kian Eng.

Sampai disini, maka kesabaran Hong Ing yang dari tadi dirahan-tahan menjadi hilang melihat kokonya dipandang rendah. Dan sekali melompat ia telah berada di tengah ruangan itu. Semua tamu makin heran melihat datangnya seorang pemuda yang muda dan cakap, dan dari gerakannya ternyata memiliki kepandaian tinggi. Suasana menjadi tegang.

"Jiwi enghiong jangan berebut. Kalau jiwi masih tidak percaya kepada kokoku ini dan masih menganggap dia seorang sute palsu, kurasa untuk mencobanya tak perlu seorang demi seorang. Majulah saja bersama-sama, pasti kokoku akan dapat melayani jiwi dengan baik."

Kata-kata ini mengandung tantangan hebat dan memandang rendah kedua orang itu, maka wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Han Liong melihat kenakalan Hoag Ing, buru-buru menunduk memberi hormat dan berkata,

"Jiwi suheng, ia adalah adikku Hong Ing. Maafkan dia yang masih muda, tetapi biarlah suheng berdua melaksanakan seperti yang diusulkannya. Siauwte akan melayani suheng berdua, tetapi siauwte akan membuktikan bahwa ilmu silat yang siauwte pakai dalam permainan ini tiada bedanya dengan ilmu suheng sendiri."

Kedua orang itu heran dan tercengang atas keberanian orang muda ini. Bagaimana seorang dapat melayani mereka berdua dengan menggunakan dua macam cabang ilmu silat? Tetapi karena tahu akan ketangguhan lawan, Bhok Kian Eng memberi tanda kepada Bie Cauw Giok dan berkata,

"Kau sombong sekali, anak mula. Baiklah, mari kita serang dia bersama-sama, Bie enghiong, lihat, bagaimana dia akan melayani kita."

"Tetapi tidak adil kalau kita harus maju terentak, Bhok enghiong," bantah Bie Cauw Giok.

"Tidak apa, Bie suheng, majulah," kata Han Liong dengan tenang dan mengambil tempat di tengah, Bhok Kian Eng di kiri dan Bie Cauw Giok di kanan.

Mendengar kata-kata yang bersifat menantang ini, Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok tak dapat menahan rasa amarahnya dan maju melakukan serangan hebat! Han Liong yang telah, dilatih sempurna oleh Kam Hong Siansu yang menciptakan Ilmu Silat Empat Bintang, yakni yang mengambil dasar dari pelajaran keempat guru Han Liong, tentu saja kenal baik gerakan-gerakan kedua suhengnya itu.

Segera ia bergerak dengan gesit, tangan kanan dipakai menangkis serangan Bie Cauw Giok dan tangan kiri menangkis serangan Bhok Kian Eng. Sekaligus ia dapat mempergunakan dua gerakan dari kedua cabang persilatan, dengan mengandalkan kekuatan ilmu ginkangnya yang tinggi, sehingga tubuhnya dapat bergerak dengan cepat.

Setelah menyerang beberapa belas jurus, kedua suheng itu terheran-heran dan terkejut, karena ternyata semua gerakan Han Liong adalah benar-benar ilmu silat cabang mereka! Bahkan tangkisan-tangkisan anak muda itu membawa tenaga yang demikian besar sehingga tiap kali lengan mereka beradu, kedua orang itu mesata betapa tubuh mereka terpental dan lengan mereka tergetar hebat.

Hal ini membuat mereka heran dan kagum, lebih-lebih Bie Cauw Giok yang memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi namun tetap tak berdaya terhadap orang yang mengaku sutenya itu! Juga Bhok Kian Eng yang mahir ilmu meringankan tabuh, kagum sekali melihat gerakan Han Liong yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan gurunya, Hong In si Iblis Daratan sendiri!

Tapi kedua orang itu masih belum puas dan mereka menyerang semakin hebat. Han Liong terpaksa menggunakan ilmu silatnya Empat Bintang Untuk melayani kedua suheng ini. Tentu saja kedua lawannya menjadi bingung karena pemuda ini kini bergerak dalam ilmu silat yang aneh sekali. Mirip ilmu silat mereka sendiri, tapi toh bukan!

Dan sebentar saja kedua orang itu merasa seakan-akan bukan sedang bertanding melawan seorang, tapi lebih dari lima orang. Dimana-mana tampak bayangan pemuda itu mengeroyok mereka.!

Sementara itu, Hong Ing yang bermata tajam melihat sesosok bayangan tubuh melayang-layang di atas genteng. Diam-diam nona ini melayang ke atas mengejar. Alangkah marahnya ketika dilihatnya bahwa bayangan itu tidak lain dari wanita buruk yang merampas kembangnya dan bertempur dengannya siang tadi! Setan perempuan itu sedang mencari-cari dari atas genteng dengan pedang dan kebutannya di kedua tangan.

"Siluman perempuan, kau berani datang mengacau?" teriak Hong Ing.

Perempuan itu memperlihatkan senyum mengejek. "Eh, kau juga berada di sini, siangkong? Jangan kau turut campur urusanku."

"Kau kira aku takut padamu?" bentak Hong Ing yang segera menyerang dengan siang-kiamnya.

Lawannya memperdengarkan suara menghina dan mereka segera bertempur seru. Han Liong biarpun sedang dikeroyok oleh kedua suhengnya, namun ia masih dapat memperhatikan keadaan yang terjadi di sekelilingnya. Maka ketika Hong Ing melayang ke atas genteng, hal itu tak terlepas dari pandanyanya. Ia merasa khawatir akan keselamatan adiknya yang nakal dan suka mencari onar itu, maka sambil berkata,

"Maaf, jiwi suheng, siauwte tak dapat melayani kalian lebih lama lagi."


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Tubuhnya lalu melambung ke atas langsung ke tempat Hong Ing tadi melompat. Tetapi kedua suheng itu yang hendak menuntut keterangan dan penjelasan dari pemuda ini, segera melompat mengejarnya!


Mereka bertiga melihat betapa Hong Ing terdesak hebat oleh seorang perempuan berwajah buruk yang memainkan pedang dan kebutan secara dahsyat sekali. Melihat perempuan itu. Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok berbareng mengeluarkan seruan kaget,

"Ji-siauw-molie!"

Tapi Han Liong tak perdulikan sebutan Setan Perempuan Muda Kedua ini, hanya segera tangannya bergerak menyambar ke arah perempuan itu. Perempuan itu berseru terkejut karena kebutannya hampir saja terlepas dari tangannya ketika terkena sambaran angin pukulan Han Liong. Ia melirik sekilas dan tertawa menghina.

"Hm, bagus! Kalian semua sudah berkumpul menjaga pemberontak tua she Siok? Baik sekali, kami takkan datang percuma kalau begini. Nah, tunggulah, besok diwaktu pengantin bertemu, kami akan kembali main-main dengan kalian!"

Sehabis berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya dan menghilang. Hong Ing hendak mengejar, tapi Bhok Kian Eig berkata.

"Jangan kejar!" Suaranya menunjukkan kekhawatiran besar, maka Han Liong dan Hong Ing menjadi heran. Tapi orang she Bhok itu memberi tanda supaya mereka semua turun. Para tamu di ruang itu semua tampak pucat dan ketakutan, bahkan para jago silat juga tampak gelisah. Hanya tuan rumah yang lemah dan tua itu saja kelihatan tenang dan sedang mencoba untuk menenteramkan hati para tamunya. Melihat semangat dan ketabahan orang tua she Siok ini, mau tak mau Han Liong dan Hong Ing merasa kagum juga.

"He, anak muda. Sebelum kita bicara lebih lanjut, kami harap kau memberi penjelasan padaku tentang keadaan dirimu yang mengaku menjadi suteku ini," kata Bhok Kian Eng.

"Siauwte memang benar murid Liok-tee Sin-mo, dan siauwte bahkan sudah bertemu dengan twa-suheng Lie Kiam. Kedatangan siauwte ke sini juga atas suruhan twa-suheng. Mungkin suhu belum pernah memberitahu kepadamu, suheng, maka tidak kenal pada siauwte,"

Bhok Kian Eng menganguk-angguk dan diam-diam girang mempunyai seorang adik seperguruan yang demikian cekatan, tapi ia masih belum puas mengapa adik seperguruannya ini lebih pandai darinya!

"Saudara, kalau kau benar sute diri Bhok enghiong, mengapa kau juga mengaku menjadi suteku? Bukankah ini aneh dan bohong belaka?" tiba-tiba Bie Cauw Giok menyela.

"Bie suheng, mana siauwte berani membohong. Dengan sebenarnya siauwte juga murid dari suhu Pauw Kim Kong yang mengajarku bersama-sama dengan suhu Hong In, suhu Bie Kong Hosiang dan juga suhu Hee Ban Kiat!"

Mendengar ini, kedua suheng itu memandangnya heran dan kagum. Hong Ing yang ikut merasa bangga bahwa kokonya menjadi pusat kekaguman orang, segera bertindak maju dan memperkenalkan lebih lanjut,

"Tidak hanya koko Han Liong murid keempat cianpwe itu, juga dia adalah murid dari Kam Hong Siansu."

"Stt, Ing moi...!" Han Liong mencegah, dan semua orang tercengang mendengar bahwa pemuda cakap itu disebut Ing-moi!

Hong Ing mana mau menurut teguran dan cegahan Han Liong, ia terus saja menyombong, "Dan tahukah semua enghiong dan cianpwe yang berada disini, siapa Han-ko ini? Ia bukan lain ialah putera tunggal dari almarhum Si enghiong..."

"Betulkah itu?" tiba-tiba tuan rumah bertanya heran. Orang tua she Siok int pernah berjuang bahu-membahu dengan Si Cin Hai atau yang lebih terkenal dengan sebutan Si-enghiong.

Terpaksa Han Liong tak dapat menyembunyikan diri dan asal-usulnya lagi, sehingga semua orang mengerumuninya dengan kagum. Juga Bhok Kian Eng daa Bie Cauw Giok yang tadinya merasa penasaran, kini bahkan merasa bangga mempunyai seorang sute yang bukan lain adalah putera Si enghiong yang mereka semua puja itu! Kemudian Han Liong bertanya tentang keadaan perempuan buruk yang datang mengganggu tadi.

"Kau belum kenal dia, sute?" kata Bhok Kien Eng dengan suara mengandung kepuasan dan kebanggaan bahwa betapapun juga, dalam kalangan kang-ouw ternyata ia jauh lebih berpengalaman dari pada sutenya. "Dia itu bernama Kiu Lau yang dijuluki Jie siauw-moli, sebenarnya iblis wanita itu biasanya keluar berpasangan dengan cicinya yang bernama Kiu Hwa Twa-moli. Kepandaian silat kedua enci adik itu memang luar biasa, teristimewa Kiu Hwa, kakak iblis wanita yang datang tadi, sehingga mereka berdua ditakuti orang banyak di kalangan kang-ouw. Sebenarnya mereka sendiri tak berapa kejam atau jahat, tetapi yang membuat orang menjadi takut adalah mengingat bahwa mereka berdua ini adalah murid dari Loh-san Sam-moli atau Tiga Iblis Wanita dari Gunung Loh-san."

"Hm, agaknya mereka keluarga iblis-iblit, tapi yang datang tadi iblis kecil tak berapa hebat kepandaiannya" berkata Hong Ing.

Bie Cauw Giok memandang wajah Hong Ing dengan tajam. "Sute, kepandaian adikmu ini lumayan juga hingga berani menahan Jie siauw-moli. Dari mana lihiap mempelajari permainan siang-kiam sehebat itu?"

Hong Ing mengerling ke arah Han Liong dengan penyesalan mengapa kakaknya ini kurang hati-hati hingga tadi membuka rahasianya dan membuat semua orang tahu bahwa ia sebenarnya adalah seorang gadis! Tapi, mendengar semua orang juga mengagumi ilmu silatnya, ia terpaksa tersenyum merendah.

"Ah, aku hanya belajar sedikit ilmu silat dari guruku Sang Bouw Nikouw di kelenteng Bok-sin tang. Mana aku dapat disamakan dengan Han-ko yang mempunyai banyak guru"

Demikianlah dengan gembira mereka bercakap-cakap dan Han Liong diperkenalkan kepada para tamu lain. Han Liong bertanya kepada Siok Houw Sianseng mengapa iblis wanita itu datang membikin gaduh, dan apakah yang menyebabkan tuan rumah itu dimusuhi oleh Jie-siauw-moli.

"Si hiante," jawab Siok Houw yang menganggap Han Liong sebagai keponakan sendiri, "Aku selamanya belum pernah bertemu maupun bermusuhan dengan mereka, tapi hal ini juga terjadi pada almarhum ayahmu. Maka, mudah saja diduga dari mana dan siapa yang menyuruh mereka datang ke sini menggangguku. Tak lain menurut dugaanku mereka itu pasti bekerja untuk pemerintah musuh"

"Ini benar sekali," sambung Bie Cauw Giok, "suhu belum lama ini juga mengirim kabar padaku bahwa sekarang banyak sekail orang kalangan liok-lim yang diperalat oleh kaisar untuk membasmi semua orang yang bersikap memusuhi pemerintahannya. Dan menurut berita-berita yang kudengar, bahkan sekarang Tiga Iblis Wanita dari Loh-san itu telah menjadi pembantu yang dipercaya dari para pengawal istana kaisar.

Siok Houw Sianseng menghela napas. "Aku yang tua dan tak berguna ini tiada harganya untuk merepotkan para enghiong. Biarlah mereka datang dan mengambil jiwaku. Tapi yang membuat aku menyesal ialah mengapa mereka justeru memilih waktu sekarang? Mengapa mereka tidak menunggui sampai aku selesai merayakan perkawinan anakku?"

"Siok Sianseng jangan takut. Biar iblis-iblis itu datang, aku orang she Bhok, pasti akan mengajak mereka adu jiwa."

Kata-katanya ini biarpun terdengar jumawa namun diam-diam Han Liong merasa girang karena ia mendapat kenyataan bahwa biarpun tabiatnya kasar, namun suhengnya ini ternyata gagah berani dan jujur.

"Bhok twako benar. Kami takkan tinggal diam," Bie Cauw Giok menghibur Siok Sianseng, "tapi kita harus berhati-hati, musuh yang akan datang besok itu bukanlah orang-orang lemah. Harap Bhok twako berhati-hati dan waspada. Baiknya di sini ada Si sute dan lihiap yang merupakan tenaga bantuan tangguh hingga kita tak usah merasa takut."

"Dua orang wanita itu tak berapa berbahaya," kata Han Liong, "Terus terang saja aku dan adikku bertemu dwngan mereka siang tadi" Lalu ia menceritakan pengalamannya kepada semua orang.

Melihat Han Liong agaknya tidak takut terhadap kedua iblis wanita itu, semua orangpun berbesar hati. Setelah itu mereka beristirahat. Han Liong sekamar dengan kedua suhengnya, sedangkan Hong Ing bermalam dengan Kim Lian, puteri Siok Sianseng yang akan kawin besok harinya. Gadis ini merasa kagum dan senang sekali, berkenalan dengan nona pendekar itu. Malam itu semua orang gagah tidur dengan bergiliran tapi semalam-malaman itu tak terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya, udara terang dan cuaca bagus, maka sudah sepantasnya orang-orang bergembira. Tapi jika seseorang memperhatikan wajah orang-orang dalam ramah Siok Sianseng, tentu mereka akan melihat betapa wajah orang-orang itu mengandung kecemasan hebat. Tamu-tamu baru datang dari segala tempat sehingga dalam sekejap saja rumah keluarga Siok penuh orang.

Banyak pula jago silat datang bertamu, maka Bhok Kian Eng menjadi tambah girang karena mereka ini dapat diharapkan bantuannya bila iblis-lblis itu datang mengganggu. Hampir semua tamu yang datang, baik ia sasterawan maupun jago silat, terdiri dari para orang gagah pencinta bangsa dan pengikut-pengikut Si Enghiong dulu atau sisa-sisa kaum pemberontak yang dihancurkan oleh pemerintah bangsa Boan.

Ketika rombongan pengantin laki-laki datang menjemput calon isterinya, keadaan menjadi ramai dan suasana menjadi sangat meriah, orang-orang lupa sejenak akan ancaman bahaya. Suara tambur dan gembreng, mercon dan orang-orang tertawa memenuhi suasana rumah itu.

Tiba-tiba tampak tiga bayangan orang berkelebat! Dua orang tua laki-laki dan seorang wanita tampak berdiri di depan tuan rumah, lalu menjura memberi selamat. Semua orang heran karena gerakan mereka demikian cepatnya sehingga tahu-tahu sudah berada disitu, entah dari mara datangnya!

Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok diam-diam bersiap dengan senjata masing-masing. Tetapi Siok Sienseng memandang mereka dengan wajah girang, sedangkan Han Liong tiba-tiba meloncat ke depan ketiga orang tua itu dan memberi hormat sambil berlutut.

"Suhu! Ie-ie...!"

"Han Liong, kau juga berada di sini? Syukurlah!" seru ketiga orang itu terdengar girang sekali seperti suara orang yang terbebas dari kekhawatiran besar ketika melihat muridnyapun berada di situ.

Ternyata wanita setengah tua yang kelihatan gagah itu bukan lain adalah Yo Leng Ing, bibi Han Liong, sedangkan kedua orang tua ita adalah Siauw lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu dan Kim-to Bie Kong Hosiang, dua diantara guru-guru Han Liong!

Tentu saja pertemuan ini sangat menggirangkan dan Siok Sianseng merasa bangga menerima tamu-tamunya yang terdiri dari orang-orang gagah golongan tua dan patriot-patriot bangsa yang terkenal. Dihadapan tuan rumah, ketiga orang tua ini tidak menyatakan apa-apa, hanya sekedar datang memberi selamat.

Tapi ketika mendapat kesempatan, Hee Ban Kiat menarik tangan Han Liong ke samping dan berkata, "Han Liong, kita harus waspada, Siok Sianseng akan didatangi orang-orang jahat"

Han Liong menyangka dua iblis wanita yang datang malam tadi itulah yang dimaksudkan oleh gurunya, tapi ia bertanya. "Siapakah mereka itu, suhu?"

"Loh-san Sam-moli!"

"Oh, Tiga Iblis Wanita dari Loh-san?" kata Han Liong berseru kaget.

Hee Ban Kiat mengangguk, "Untuk itulah maka aku, Bie Kong Hosiang, dan Yo Toanio datang kemari. Ketiga iblis itu mempunyai kepandaian dan ilmu silat yang tinggi pula. Belum tentu kita sanggup melawan dan mengalahkannya, tapi bagaimanapun juga, kita harus melindungi Siok Sianseng."

Han Liong lalu menceritakan dengan singkat bahwa murid ketiga iblis wanita itu semalam telah datang dan berjanji hendak datang menyerbu hari ini. Kemudian, ketika Bie Kong Hosiang dan Yo Lee In juga datang ke sana dan mendengar kisah perjalanannya semenjak berpisah, Han Liong segera melambaikan tangan kepada Hong Ing.

Ia memperkenalkan gadis yang masih berpakaian laki-laki itu kepada ie-ienya dan kepada kedua suhunya. Yo Leng In memandang gadis itu dan diam-diam ia mengakui persamaan wajah anak itu dengan cicinya. Tetapi karena mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Lie Ban musuhnya, maka ia hanya menyambut dengan dingin saja.

Melihat ketiga orang tua itu bercakap-cakap dengan Han Liong, Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok mendekati mereka. Hee Ban Kiat dengan matanya yang tinggal satu itu memandang ke arah mereka. Kedua orang itu sangat terkejut melihat betapa mata itu bersinar sangat tajam seakan-akan dapat menembus dada!

Han Liong segera mengundang mereka itu duduk dan memperkenalkan Bhok Kian Eng dan Bie Cauw Giok sebagai murid Liok-te Sin-mo dan Beng-san Tojin! Kedua orang itu segera memberi hormat kepada mereka. Mendengar bahwa Loh-san Sam-moli akan datang, kedua orang itu menjadi pucat, tetapi melihat bahwa kedua guru dan ie-ie Han Liong, yang tinggi ilmu silatnya itu berada di situ hati mereka agak tenteram.

Di antara mereka semua, hanya Hong Ing saja yang merasa sangat kurang senang hati! Menurut anggapannya mungkin ketiga orang tua itu tak suka padanya, dan ia maklum mengapa mereka demikian. Maka ia mesata hatinya sangat tersinggung dan berduka. Han Liong juga dapat merasakan keadaan adiknya ini, maka beberapa kali ia mengerling ke arah Hong Ing dengan pandangan iba dan mesra.

Melihat pandangan iba dari kakaknya itu, Hong Ing makin merasa sedih. Dengan menundukkan kepalanya, gadis itu segara berdiri dan meninggalkan mereka, menghilang diantara orang banyak yang berkerumun berdesak-desak melihat pengantin.

Ketika smua orang tengah bergembira, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring yang mengalahkan semua suara gaduh. Suara itu sangat merdu dan nyaring, tetapi juta mendatangkan pengaruh yang menyeramkan. Han Liong berkelebat ke atas genteng, diikuti oleh kedua gurunya, ie-ienya, dan kedua suhengnya. Juga beberapa belas jago silat yang berkepandaian tinggi ikut menyerbu naik!

Keadaan menjadi panik. Mereka yang tidak mengerti ilmu silat mencari perlindungan di dalam kamar, tak peduli kamar siapa saja dimasukinya dan pintu ditutup dari dalam. Kedua pengantin cepat dibawa orang bersembunyi dalam kamar pengantin dan dijaga oleh beberapa orang gagah dengan senjata di tangan!

Di atas genteng tampak berdiri tiga orang perempuan terengah tua yang berpakaian serba hijau dan masing-masng memegang kebutan dan pedang. Mereka ini adalah Loh-san Sam-moli yang terkenal dan ditakui semua orang! Di pinggir mereka berdiri Kiu-hwa Twa-moli, sedangkan Kiu Lan Siauw-moli sedang bertempur melawan Hong Ing, Kiu Lan menggunakan hudtim dan pedang, sedangkan Hong Ing menggunakan siang-kiamnya.

Ketika itu Hong Ing memainkan ilmu pedang pasangan warisan gurunya dan mencoba berkelahi dengan nekad, terdorong oleh kedukaan hatinya. Melihat permainan ini, tiba-tiba iblis termuda berkata sambil kebutkan hudtimnya,

"Berhenti!"

Dan heran, sambaran angin hudtimnya cukup untuk membuat kedua orang yang sedang bertempur itu terhuyung-huyung mundur.

"Eh, nona kecil, apakah hubunganmu dengan Seng Bouw Nikouw?" Iblis wanita ketiga itu bertanya. Hong Ing biarpun telah merasakan kehebatan tenaga iblis itu, tapi ia tidak takut, bahkan ia hendak menggunakan nama gurunya menggertak, "Ia adalah guruku, kau mau apa menanyakan?"

Iblis wanita iu terkejut dan heran, "Kau muridnya? Kalau begitu, bukankah! kau she Lie dan ayahmu adalah Lie Ban?"

Mendengar nama ayahnya disebut-sebut, Hong Ing menjadi marah. "Apa maksudmu bertanya panjang lebar? Aku bukan kerabatmu!"

"Omitohud! Kami adalah orangmu sendiri, nona! Kau adalah keturunan Lie Ban, mengapakah kau bisa berada bersama-sama dengan orang-orang ini? Mereka ini adalah musuh-musuhmu, nona! Ayah-ibumu juga merekalah yang membunuhnya."

"Jangan banyak cerewet !" Hong Ing berteriak gemas dan bersamaan itu air matanya mengalir di pipinya karena kata-kata itu mengingatkannya akan kedua orang tuanya yang meninggal dunia. Digerakkannya siang-kiamnya lagi dan menyerang Kiu Lan dengan sengit. Kiu Lan menangkis dan mereka bertempur lagi mati-matian. Pada saat itulah Han Liong dan kawan-kawannya sampai disitu.

Loh-san Sam-moli sebenarnya bukanlah tiga saudara. Mereka adalah saudara-saudara seperguruan, yakni murid-murid dari Ngo-lian-posat Ang Gwat Niang-niang si Dewi Lima Teratai seorang wanita pertapa yang tinggi ilmu silatnya dan tinggi pula ilmu batinnya, dan yang sedang bertapa di Ngo-lian-san.

Tiga saudara seperguruan itu oleh gurunya diberi nama Biauw Niang-niang, Leng Niang-niang, Hai Niang-niang. Mereka bertiga telah mewarisi kepandaian dari suhunya sehingga kepandaian mereka sudah boleh dikatakan sempurna dan jarang tandingannya.

Sebenarnya semenjak muda mereka bertiga telah dididik untuk menjadi orang suci, dan mula-mula mereka juga patuh menjalankan ibadat. Tapi karena pada dasarnya memang tidak bersih, Biauw Niang-niang tergoda oleh nafsu dan ia menyeret kedua adik seperguruannya ke dalam jurang kehinaan, hingga mereka bertiga berobah menjadi jahat.

Bie Kong Hosiang yang pernah bertemu dengan ketiga iblis wanita ini, segera menjura dan berkata, "Omitohud! Ketiga Niang-niang yang terhormat berkenan mengunjungi tempat sahabatku yang buruk ini. Maafkan kami tidak tahu sehingga tak menyambut dengan sepantasnya."

Biauw Niang-niang tertawa menghina. "Bie Kong Hwesio!" katanya. "Kau juga berada di sini? Kau mengaku kawan si pemberontak she Siok itu? Hati-hati, hwesio, ia adalah seorang pemberontak yang harus menerima hukuman sekeluarganya. Lebih baik kau pergi saja dari sini, barangkali aku dapat mengampunkan kau!"

"Eh, setan perempuan darimana begini jumawa dan datang-datang memaki-maki orang? Kalian boleh menakut-nakuti orang lain, tapi aku Bhok Kian Eng si Garuda Putih sekali-kali tidak takut padamu!"

Sepasang mata Hai Niang-niang, iblis termuda, yang jeli seperti mata seorang gadis cantik, berkilat memandang ke arah Bhok Kian Eng, lalu mulutnya tersenyum.

"Hm, beginikah macamnya Garuda Putih? Baiklah, aku akan membikin kau menjadi garuda tak bersayap!"

Dan bersamaan dengan kata-kata terakhir, tangannya bergerak dan sebuah benda putih berkilauan menyambar secepat kilat ke arah Bhok Kian Eng! Huito atau pisau terbang itu menyambar ke arah kaki si Garuda Putih dengan cepat sekali sehingga jalan satu-satunya bagi Bhok Kian Eng ialah melompat tinggi untuk menyelamatkan diri dari tikaman pisau yang sempat mengenai betisnya.

Tapi serangan gelap ini memang diperhitungkan masak-masak oleh penyerangnya, karena selagi tubuh Bhok Kian Eng masih terapung di udara, tiba-tiba pisau lain telah terbang menancap di bahu kirinya! Tanpa ampun lagi si Garuda Putih terbanting ke bawah genteng! Baiknya ia sudah memiliki tubuh kuat dan mempunyai kegesitan cukup baik sehingga dalam bahaya maut itu ia masih sempat berjungkir balik dan jatuh di atas tanah dengan berdiri. Ia segera roboh karena betisnya yang terkena pisau terasa sakit sekali.

"Sungguh tak tahu malu, menyerang secara pengecut!" teriak Hee Ban Kiat yang meloncat menyerang Hai Niang-niang. Tetapi Kiu Hwa twa-moli menangkisnya dan mereka segera bertempur dengan seru. Hee Ban Kiat seperti biasa tak pernah menggunakan senjata, tetapi menggunakan sepasang kepalan dan kedua kakinya yang dapat bergerak cepat dan tak kalah hebatnya dengan senjata yang bagaimanapun juga. Tapi lawannya, murid kepala dari ketiga iblis, bukanlah lawan yang ringan. Perempuan buruk ini menggunakan hudtimnya untuk membalas menyerang dan mencoba untuk mengalahkan si mata satu.

"Kau mencari mati!" Hai Niang-niang tertawa dingin dan kebutannya berkelebat ke arah dada Bie Kong Hosiang.

Tapi tiba-tiba sebuah bayangan putih menyambar dan Hai Niang-niang merasa tenaga yang luar biasa kuatnya menolak kebutannya hingga terpental. Ia menjerit terkejut dan marah. Ternyata Han Liong telah mewakili gurunya, dan tadi ia menggunakan ujung bajunya untuk menyabet dan menangkis kebutan itu!

Bukan main herannya Hai Niang-niang ketika melihat bahwa yang menangkis hudtimnya secara hebat itu bukan lain hanyalah seorang pemuda yang belum ada dua puluh tahun usianya. Ia sampai tak percaya dan sekali lagi ia menggerakkan hudtimnya, kini ke arah kepala Han Liong. Gerakan hudtim ini mengandung tenaga dalam yang besar sehingga sebelum kebutan sampai, anginnya telah terasa menyambar dingin.

"Bagus!" kata Han Liong dan Hai Niang-niang merasa kepalanya pening dan matanya kabur karena tahu-tahu anak muda baju putih itu lenyap dari depannya! Secepat kilat ia memutar tubuh sambil memukulkan kebutan dan pedangnya. Benar saja, Han Liong sudah berada di belakangnya tersenyum den menangkis sabetannya.

"Sungguh lihai !" Leng Niang-niang berseru. Iblis kedua ini tahu bahwa seorang diri saja sumoinya itu sukar memperoleh kemenangan, maka ia segera maju menyerang.

Han Liong melibat gerakan Leng Niang-niang lebih hebat dari Hai Niang-niang, berlaku hati-hati dan ia melayani keroyokan kedua wanita iblis itu dengan mengandalkan kegesitan dan kelincahannya.

Melihat kedua sumoinya dapat mengimbangi Han Liong, Biauw Niang-niang tertawa seram, kemudian, in memutar pedangnya menyerang Bie Kong Hosiang yang menangkisnya dengan golok. Bie Cauw Giok melihat betapa Hong Ing sangat terdepak oleh Kiu Lan, segera maju membantu.

Beberapa orang tamu yang juga memiliki kepandaian ikut naik ke atas genteng, dan segera maju pula menyerbu. Ada yang membantu Bie Kong Hosiang, ada pula yang membantu Hee Bin Kiat. Tapi tak seorangpun berani membantu Han Liong karena pemuda itu sudah tak kelihatan bayangannya lagi, seakan-akan menjadi satu dengan sinar pedangnya dalam perjuangan mati-matian melawan dua iblis yang lihai itu.

Di dalam pertempuran yang hebat itu, selain Han Liong sendiri, yang boleh dibilang menang dan mendesak lawannya adalah Hee Ban Kiat. Biarpun Liu Hwa telah mewarisi kepandaian tiga iblis wanita yaag menjadi gurunya, namun terhadap Hee Ban Kiat si mata satu ia kalah tenaga, kalah pengalaman dan kalah ulet. Permainan pedang dan hudtimnya mulai kacau menghadapi silat tangan kosong si mata satu yang memainkan Kiaw-ta-sin-na-hwat.

Tiba-tiba Kiu Hwa menjerit ngeri dan ia terhuyung-huyung lalu memuntahkan darah sambil memegang pundaknya. Ternyata dengan tipu Lutung Sakti Menyambar Hati, Hee Ban Kiat menyerangnya dan Kiu Kwa menangkis dengan hudtim, tapi Hee Ban Kiat merobah gerakannya, jari tangannya mencuri masuk dalam totokan Su-sat-chiu yang luar biasa itu. Tanpa ampun lagi Kiu Hwa terkena totokan di pundaknya, dan jiwanya tak tertolong lagi karena yang tertotok adalah urat kematian.

Melihat muridnya terluka, Biauw Niang-niang marah sekali. Sambil berseru keras ia menangkis golok Bie Kong Hoiiang dengan kebutan dan pedangnya berkelebat cepat ke arah dua orang yang membantu hwesio itu. Terdengar bunyi "traang!!" dan senjata kedua orang itu terlepas dari tangannya diikuti dengan suara pekik kesakitan karena Biauw Niang-niang terus memainkan kebutannya menyabet, yang akibatnya hebat sekali. Seorang pengeroyok pecah kepalanya sedangkan orang kedua patah tulang iganya ketika ujung bulu kebutan singgah di dadanya!

Bie Kong Hosiang terkejut sekali melihat kehebatan lawannya. Ia melompat maju dan memutar goloknya makin cepat dalam ilmu goloknya Ngo-houw-toan-hun-to yang lihai. Namun Bianw Niang-niang terlalu tangguh baginya. Dengan tangan kiri yang memegang hudtim, ia dapat menangkis dan memunahkan semua serangan Bie Kong Hosiang, sedangkan di tangan kanannya ia menggunakan pedang untuk menyebar maut!

Sambil berkelebat ke sana ke mari ia berhasil melepaskan diri dari serangan Bie Kong Hosiang dan sekali pedangnya berkelebat, maka robohlah seorang lagi pengeroyok dengan mandi darah! Sebentar saja pedang iblis wanita yang ganas dan kejam itu telah merobohkan lima orang! Lain orang yang tak seberapa tinggi kepandaiannya menjadi takut mengundurkan diri ke samping.

Sementara itu, setelah berhasil merobohkan Kiu Hwa, Hee Bin Kiat yang melihat keganasan Biauw Niang-niang segera maju menyerang dan bersama-sama Bie Kong Hosiang mengeroyok iblis wanita yang lincah itu. Kini pertempuran terjadi dalam tiga rombongan, yakni, Hee Ban Kiat dan Bie Kong Hosiang melawan Biauw Niang-niang, Bie Cauw Giok dan Hong Ing bertempur mengeroyok Kiu Lan, sedangkan Han Liong seorang diri dikeroyok oleh Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang.

Yo Leng In tadinya membantu Han Liong, tetapi Han Liong sambil melayani kedua lawannya, minta agar ie-ienya ini turut menjaga di bawah, takut kalau-kalau ada kawan penjahat yang menyerbu. Han Liong sejak tadi hanya memainkan ilmu Pedang Empat Bintang yang cukup kuat untuk dapat melayani kedua lawan itu tanpa terdesak, tetapi ketika ia mendengar suara jeritan-jeritan ngeri dari para korban pedang Biauw Niang-niang ia menjadi marah. Ia merubah gerakan pedangnya dan kini ia memainkan jurus-jurus teratas dari Pek-liong-kiamsut!

Pedangnya berkelebat menjadi puluhan sehingga kedua lawannya amat terkejut. Sebelum mereka sempat mempelajari gerakan Han Liong. Tiba-tiba Hai Niang-niang merasa pundaknya amat sakit hingga hudtimnya terlepas. Ternyata dengan tangan kirinya Han Liong telah menepuk bahu kirinya hingga sambungan tulangnya pecah!

Tapi pada saat itu juga Biauw Niang-niang berhasil melukai Bie Kong Hosiang dengan hudtimnya. Kebutan itu telah memukul leher Bie Kong Hosiang dengan keras sekali, maka kalau lain orang yang terkena pukulan hebat itu pasti akan mati seketika itu juga. Untunglah Bie Kong Hosiang adalah seorang yang tinggi ilmu silatnya, sehingga ia bisa menggerakkan tenaga dalamnya menangkis pukulan itu dan ia hanya mendapat luka diluar yang biarpun berat namun tidak sampai membahayakan jiwanya.

Han Liong melihat gurunya terluka segera melompat menahan pedang Biauw Niang-niang yang hendak disabetkan ke leher Bie Kong Hosiang. Dengan gemas Biauw Niang-niang menempur pemuda ini sedangkan Hee Ban Kiat berganti lawan, kini menghadapi Leng Niang-niang yang tak sepandai Biauw Niang-niang, biarpun siluman wanita kedua ini masih terlampau berat baginya. Hong Ing dan Bie Cauw Giok, setelah bertempur mati-matian, akhirnya berhasil juga membuat Kiu Lan repot dan terdesak....


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



MELIHAT pihaknya terdesak hebat, ditambah pula ia sendiri harus menghadapi Han Liong yang ternyata tangguh dan gagah itu, Biauw Niang-niang mengeluarkan suara siulan nyaring dan tinggi. Siulan ini adalah sebuah isyarat, karena Leng Niang-niang, dan juga Hai Niang-niang yang terluka dan hanya menggunakan sebelah tangan, tiba-tiba ia menyebarkan Bwee hwa-ciam atau senjata rahasia berbentuk jarum yang jahat itu.

Biauw Niang-niang sendiri juga tebarkan jarum maut mengarah urat-urat kematian Han Liong. Semua orang terkejut dan dengan teriakan marah Bie Cauw Giok roboh terguling karena sebuah jarum menancap di pahanya. Juga Hek Bia Kiat mengeluarkan seruan tertahan ketika hampir saja ia menjadi korban jarum rahasia yang dilepas oleh Leng Niang-niang.

Kemudian dengan cepat sekali ketiga iblis waniia itu lari. Biauw Niang-niang dengan tak terduga telah melompat ke dekat Hong Ing dan sebelum gadis itu sadar, pundaknya telah tertotok dan tubunya yang tak berdaya itu dipondong dengan ringan sekali oleh siluman wanita itu!

Han Liong terkejut dan lompat mengejar, tapi Leng Niang-niang mencegat dengan tambasan jarum-jarumnya. Karena merasa marah dan khawatir sekali akan keselamatan Hong Ing, Han Liong memutar pokiamnya hingga jarum-jarum tertangkis dan jatuh semuanya, lalu sekali Pek-liong pokiam bermain, telinga kiri berikut antibg-anting terbabat putus!

“Bangsat keji!” Leng Niang-niang berteriak keras dan menyerang hebat.

Tiba-tiba kaki Han Liong melayang dan tepat menghantam pergelangan tangannya hingga pedangnya terpental jauh, sedangkan tulang lengannya memperdengarkan suara “krak” dan patah! Leng Niang-niang menjerit kesakitan lalu lari! Han Liong tidak mengejarnya karena ia merasa bingung benar.

Biauw Niang-niang yang memondong Hong Ing telah lenyap dan ia tidak tahu ke mana iblis itu lari. Lama sekali Han Liong berdiri kesima dan bingung, ia tak tahu harus mengejar ke jurusan mana, sedangkan hatinya terasa perih sekali mengingat akan nasib Hong Ing.

Tiba-tiba terdengar suara kaki di belakangnya. Cepat ia berpaling dan Yo Leng In telah berdiri di depannya. Bibi ini heran melihat betapa Han Liong berdiri pucat bagaikan kehilangan semangat.

“Liong, lukakah kau?” tanyanya khawatir.

“Tidak, ie-ie, tapi... Hong Ing telah dibawa lari oleh Biauw Niang-niang” jawabnya sambil mengerutkan kening.

Yo Leng In diam-diam bernafas lega. Memang ia tidak senang melihat puteri musuhnya itu, maka pikirnya biarlah setan kecil itu dibawa pergi oleh iblis wanita Biauw Niang-niang, hingga Han Liong tak perlu berdekatan lagi dengan 'adiknya' itu.

“Sudahlah jangan khawatir. Agaknya iblis-iblis itu menganggap nona Lie sebagai orangnya sendiri. Rasanya nona itu takkan diganggu.” Ia menghibur sedangkan Han Liong heran mendengar suara bibinya.

Ternyata kerugian pihak Siok Sianseng lebih hebat. Lima orang tamu yang ikut bertempur mendapat luka berat, bahkan seorang di antaranya telah tewas. Bhok Kian Eng luka berat, begitu pula Bie Cauw Giok dan Bie Kong Hosiang. Orang-orang yang terluka oleh jarum iblis itu, lukanya bengkak dan hitam, tanda bahwa senjata rahasia itu mengandung racun hebat.

Setelah memeriksa dengan teliti, Han Liong lalu memasukkan pedang Pek-liong-pokiam ke dalam air dan menggunakan air itu untuk mengobati. Sungguh manjur sekali, begitu luka dicuci dengan air ini maka semua darah yang mengandung racun dapat dihisap keluar!

Siok Sianseng menyatakan penyesalannya bahwa begitu banyak orang yang telah menjadi korban karena membela dia seorang. Lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa nona Hong Ing diculik oleh iblis wanita itu, ia membanting-banting kakinya dan tanpa disadarinya air matanya mengalir membasahi pipinya karena merasa sedih dan marah.

“Biarlah... biarlah, aku akan menggunakan sisa hidupku yang tak berharga ini untuk menyalakan lagi api pemberontakan dan bersama kawan-kawan seperjuangan menggulingkan pemerintah musuh yang jahat ini!”

Orang tua yang lemah tetapi penuh semangat baja ini berdiri dengan mata bernyala-nyala dan kedua tangan terkepal. Pada saat itu, seakan-akan semangat ayahnya menjalar di tubuh Han Liong. Anak muda ini melihat Siok Sianseng demikian bersemangat, merasa sangat terharu sehingga untuk sesaat ia melupakan kesedihannya karena terculiknya Hong Ing. Ia maju dan memegang lengan tuan rumah.

“Paman Siok, jangan khawatir, aku akan membantumu untuk membasmi perampok-perampok jahanam itu!”

Siok Houw Sianseng memeluk Han Liong dengan terharu, kemudian setelah para korban dirawat, dan pengantin laki-laki telah pulang membawa isterinya, Siok Sianseng mengajak Han Liong, Yo Leng In, Hee Ban Kiat, dan Bie Kong Hosiang untuk berunding.

Semenjak usaha pemberontakan yang dipimpin ayah Han Liong, Si Enhiong, gagal dan dihancurkan oleh pemerintah Ceng tiauw, Siok Houw Sianseng melarikan diri dan dengan diam-diam sasterawan patriot ini menulis sebuah karangan yang berjudul RAKYAT TAK SUDI DIJAJAH.

Berbulan-bulan Siok Houw dengan dibantu oleh puterinya menulis karangan ini sampai menjadi lima belas buah. Ia bermaksud hendak membagi-bagikan karya tulisannya ini ke segenap penjuru agar disalin oleh para patriot dan disebarkan di antara rakyat. Tapi ia seorang lemah dan namanya telah tercatat dalam daftar hitam pemerintah penjajah, maka ia tak berdaya dan karangannya itu telah lama sekali tersimpan dalam kopornya.

Kini melihat para orang gagah berkumpul, bahkan disitu ada putera Si Enghtong yang seakan-akan menjadi pengganti ayahnya, semangat sasterawan tua ini timbul kembali. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa dirinya diincar dan hampir saja menjadi korban keganasan kaki tangan kaisar lalim, ia segera mengambil keputusan untuk mulai lagi perjuangan menentang pemerintah yang dibencinya itu.

Setelah mendengar keterangan Siok Sianseng tentang karangan dan cita citanya, Han Liong memajukan dirinya sendiri untuk menjalankan tugas menghubungi orang-orang gagah di seluruh daratan Tiongkok dan membagi-bagikan tulisan Siok Sianseng itu.

Semua orang setuju dan Siok Sianseng memberi nasehat, “Si hiante telah menerima tugas suci ini, maka aku merasa bangga dan puas, karena keturunan Si enghiong pasti akan bekerja dengan sempurna. Hanya saja, hendaknya Si hiante berhati-hati, karena dengan adanya penyerangan terhadap rumah tanggaku, maka besar sekali dugaanku bahwa kaki tangan kaisar kejam itu telah mendengar tentang tulisanku itu dan tentu mereka akan bersusah payah dalam usaha mereka merampasnya.”

Setelah berunding dan mengambil keputusan bahwa semua orang gagah yang diundang oleh Han Liong dan yang lain-lain supaya datang menghadiri pertemuan di puncak Gunung Beng-san, tempat kediaman Beng-san Tojin, pada Go-gwee Cap-go untuk memilih seorang bengcu atau kepala, maka pertemuan itu diakhiri.

Siok Houw membubarkan semua pelayan, dan karena puterinya telah mengikuti suaminya, sedangkan isterinya telah meninggal beberapa tahun yang lalu hingga ia hidup seorang diri, maka ia setuju untuk ikut dengan Hee Ban Kiat bersembunyi di kelenteng Bie Kong Hosiang, ialah kelenteng Kim-kee-tang di bukit Huntian-sie, agar ia dapat menyelamatkan diri dari kejaran kaki tangan pemerintah musuh.

Yo Leng In juga pergi untuk mengumpulkan dan mengundang kawan-kawan seperjuangan lama yang dulu bersama-sama suaminya dan Si enghiong pernah mengadakan pemberontakan dan gagal.


                  ***************


Marilah kita tinggalkan dulu Han Liong yang pergi mencari hubungan dengan orang-orang gagah sefaham, dan baik kita ikuti keadaan Lie Hong Ing yang dibawa lari oleh Biauw Niang-niang.

Iblis wanita tertua yang lihai itu setelah pergi jauh, lalu menanti datangnya Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang yang terluka hebat oleh Han Liong. Kedua sumoi itu datang dengan merintik-rintih, hingga Biauw Niang-niang merasa sakit hati sekali kepada Han Liong. Ia menggunakan kepandaiannya menotok jalan darah kedua sumoinya untuk mengurangi rasa sakit dan memberi mereka makan obat bubuk berwarna hijau.

Pada saat itu tampak Kiu Lan datang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Ketiga gurunya merasa lega melihat bahwa murid ini tidak terluka, tapi mereka memaki-maki dengan gemas dan marah mendengar bahwa Kui Hwa telah tewas! Kemudian Biauw Niang-niang membebaskan Hong Ing dari totokannya, lalu berkata kepada nona itu.

“Sie Siocia, jangan kau salah paham. Gurumu adalah kawan kami dan almarhum ayahmu juga segolongan dengan kami. Kau agaknya telah kena dibujuk oleh lawan dan orang-orang yang sekarang menjadi sahabat-sahabatmu itu. Sebenarnya mereka adalah musuh-musuhmu dan musuh-musuh kami yang harus kita basmi! Kamilah sahabat-sahabatmu yang sejati.”

Hong Ing memang masih merasa marah kepada kawan-kawan Han Liong, tapi ia juga tidak suka melihat tiga iblis wanita ini lebih-lebih kepada Kui Lan, ia benci sekali. Maka, mengingat hal ini ia menjadi makin marah dan berlaku nekat.

“Aku tidak mempunyai sahabat! Kalian dan semua orang tadi adalan orang-orang jahat belaka! Di dunia ini mana ada kawan baik? Aku tak perduli, aku mau hidup sendiri, kalian jangan mengganggu aku.”

“Lie siocia, jangan kau salah duga. Kami adalah pelindungmu. Kau harus ikut dengan kami ke istana.”

“Apa? Istana? Apa maksadmu?”

“Bukankah ayahmu dulu menjadi panglima? Nah, kau yang menjadi puterinyapun berhak tinggal di Istana Putih yang khusus dibangun oleh yang mulia kaisar untuk kita. Marilah ikut kami, kau akan mendapat kemuliaan.”

Hong Ing tertarik, tapi ia ragu-ragu dan diam saja. Sementara itu, Kui Lan yang ingat kepada sucinya, tiba-tiba mencucurkan air mata. Biauw Niang-niang menghela nafas, karena iblis wanita ini maklum akan perasaan muridnya.

“Sudahlah, Kui Lan, tak perlu segala tangis itu. Kui Hwa gugur, tapi kitapun telah banyak menjatuhkan korban. Sayang tua bangka she Siok itu terlepas dari ujung pedang kita. Biarlah mari kita pulang dulu untuk mengumpulkan tenaga bantuan. Mudah saja lain kali kita membalaskan sakit hati Kui Hwa.”

Hong Ing diam-diam menggunakan pikirannya. Agaknya orang-orang inipun tergolong orang-orang gagah yang hanya berbeda pendirian dengan Han Liong dan kawan-kawannya. Kalau Han Liong dan kawan-kawannya memusuhi kaisar, iblis ini bahkan sebaliknya, membela kaisar. Mana yang betul?

Tentu saja Han Liong yang betul, kakaknya itu tak pernah bertindak salah. Terhibur hatinya kalau terkenang kepada Han Liong. Betapapun juga, pemuda itu tidak membenciya. Biarpun seluruh dunia membencinya, ia tak perduli, asal Han Liong jangan membencinya. Dan orang-orang ini, yang ia telah saksikan kelihaiannya, agaknya juga suka padanya. Tentang permusuhan bela-membela kaisar itu, ah, ia tidak mengerti dan juga tidak perduli. Bukankah antara ayah dan ibunya sendiripun ada perbedaan faham macam ini?

Hong Ing mempertimbangkan untung ruginya kalau ia ikut Biauw Niang-niang. Ia akan belajar silai tinggi dan akan tahu lebih jelas keadaan mereka, hingga lain kali kalau bertemu dengan Han Liong, ia dapat memberikan keterangan. Ruginya? Ia berpisah dari Han Liong! Tapi tidak apa, berpisah untuk sementara. Bahkan nanti kalau bertemu lagi ia sudah berkepandaian tinggi. Alangkah senangnya untuk membanggakan kepandaiannya kepada kakaknya itu kelak!

“Eh, kalau aku ikut... maukah kau memberi pelajaran silat kepadaku?” tiba-tiba ia bertanya kepada Biauw Niang-niang.

Wanita tua itu tersenyum. “Tentu saja! Bahkan sudah seharusnya, Dengarlah, anak bodoh, gurumu Seng Bouw Nikouw juga berada di sana.”

“Betulkah ini?” Hong Ing berseru girang.

“Siapa yang membohong?” bentak Biauw Niang-niang.

Kini keragu-raguan di hati Hong Ing lenyap. Hatinya diliputi perasaan ingin tahu sehingga ia ikut Biauw Niang-niang tanpa membantah lagi. Ketika mereka keluar dari kota, beberapa belas li dari situ, mereka bertemu dengan serombongan pahlawan kaisar yang menyusul mereka. Biauw Niang-niang yang ternyata mempunyai pengaruh besar, tanpa keterangan apa-apa segera memerintahkan semua pahlawan itu kembali bersama mereka.

Kepala rombongan memberi kuda-kuda terbaik untuk mereka, sehingga perjalanan dapat dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota raja. Hong Ing yang selama hidupnya belum pernah melihat ibu kota yang besar dan indah itu, menjadi sangat kagum.

Setelah memasuki kota, rombongan itu memisahkan diri dan Biauw Niang-niang mengajak kawan-kawannya menuju ke sebuah gedung besar. Memang tepat sekali gedung itu diberi nama Istana Putih, karena dicat serba putih dan tampak bersih indah. Di dalamnya berhiaskan batu-batu marmer yang licin mengkilat. Hati Hong Ing berdebar ketika memasuki istana itu. Istana putih ini memang mewah dan indah.

Dulu kaisar sengaja membangun istana ini untuk seorang selirnya yang cantik dan manja bernama Yauw Liang Kwei. Setelah merasa bosan dengan selir cantik itu, ia membuangnya sebagai barang hadiah kepada seorang hambanya, kaisar lalu menganugerahkan istana putih itu kepada para kaki tangannya yang berjasa untuk dijadikan tempat berkumpul, bermusyawarah, dan beristhahat.

Kedatangan Biauw Niang-niang dan kawan-kawannya disambut dengan penuh penghormatan, ternyata oleh Hong Ing bahwa tiga Iblis Wanita itu mempunyai kedudukan sebagai pemimpin dan orang-orang gagah yang berkumpul di istana patuh itu dan menamakan dirinya sendiri 'pembela-pembela negara pembasmi pengacau'. Gedung besar itu dibagi menjadi dua bagian. Bagian kanan diperuntukkan tamu-tamu lelaki dan tamu-tamu wanita menempati bagian kiri.

Ketika Biauw Niang-niang mengajak mereka menuju ke gedung kiri, Hong Ing tiba-tiba merasa girang sekali ketika melihat bahwa benar-benar Seng Bouw Nikouwpun berada di situ, berkumpul dengan beberapa orang wanita gagah lainnya!

“Subo!” Hong Ing memeluk garunya.

Seng Bouw Nikouw balas memeluk dan berkata, “Hong Ing, bagus sekail kau dapat ikut sam-wi suci ini untuk datang ke sini. Memang semenjak mendengar tentang kematian orang tuamu itu, dan aku merasa khawatir sekali, karena dengan tak sadar kau bergaul dengan segala pemberontak dan perampok.”

“Tapi, subo, tecu belum pernah berkenalan dengan pemberontak dan perampok!” bantah Hong Ing gemas.

Biauw Niang-niang tertawa gelak-gelak. “Belum pernah? Ah, anak bodoh. Kau anggap siapakah orang-orang yang bertempur melawan kami itu? Mereka adalah pemberontak-pemberontak, penjahat-penjahat dan perampok yang hendak mengacau negara, hendak memberontak untuk menjatuhkan Raja. Mereka itu hendak membasmi semua alat pemerintah, semua pegawai negeri seperti ayahmu dulu.”

Mendengar ucapan ini, Hong Ing mengerutkan keningnya. Memang ia tak pernah memperhatikan tentang ketata-negaraan dan politik, sehingga ia buta sama sekali tentang kegiatan-kegiatan kaisar maupun para patriot. Maka sekarang ia merasa bingung sekali. Han Liong dan kawan-kawannya itu anggauta pemberontak?

Ah, tak mungkin Han Liong orang jahat, apa lagi perampok, hal ini sampai matipun ia takkan bisa percaya. Entah kalau orang-orang tua yang mengaku menjadi guru-guru Han Liong itu, kelihatannya juga berwatak keras dan galak!

Melihat muridnya hanya tunduk dan agaknya bingung, Seng Bouw Nikouw menghibur. “Sudahlah, Hong Ing, jangan kau pusingkan semua ini. Kau masih terlalu muda untuk dapat mengerti. Kau tinggal saja dengan aku disini dan. belajar ilmu silat lebih lanjut. Aku akan minta sam-wi cici untuk membimbingmu, karena kepandaian mu masih terlampau rendah, sedangkan dewasa ini banyak sekali orang-orang jahat yang lihai berkeliaran.”

Demikianlah, di bawah pengawasan Seng Bouw Nikouw dan di bawah bimbingan Biauw Niang-niang yang lihai, Lie Hong Ing belajar silat dengan rajin. Iblis wanita itu mengajarnya kiamhwat dari cabang Ngo-lian-pai yang gerakan-gerakannya cepat, ganas dan sigap itu.

Dasar Hong Ing berotak terang, maka beberapa bulan saja ia sudah dapat mewarisi banyak ilmu pedang yang istimewa. Ia cerdik dan tahu bahwa gurunya dan semua orang di Istana Putih adalah musuh Han Liong, maka tak pernah ia menceritakan kepada mereka bahwa ia pernah mendapat ilmu silat dari pemuda itu.

Di sebelah kanan Istana Putih itu ada sebuah rumah gedung bercat merah yang mewah dan tampak agung. Pekarangan depannya lebar dan sekeliling rumah berdiri pagar tembok yang tebal dan tinggi. Gedung ini adalah tempat tinggal seorang cianbu (kapten) she Tan.

Tan cianbu adalah kapten dari barisan pengawal kaisar yang berkepandaian tinggi dan mempunyai tenaga besar. Ia juga seorang Han yang memang telah berketurunan dari nenek-moyangnya dulu selalu menjadi orang peperangan. Tan cianbu terkenal bukan hanya karena ilmu silatnya yang tinggi, tapi juga terkenal akan tabiatnya yang kasar, terus terang dan jujur.

Ia tidak suka akan hal-hal yang dirahasiakan atau dilakukan secara diam-diam, maka biarpun ia tahu juga bahwa istana putih di sebelah rumahnya adalah tempat berkumpul para orang kalangan kang-ouw yang diam-diam membantu kaisar dengan jalan menerima hadiah-hadiah berharga, namun ia tidak perduli akan mereka ini dan tidak mau tahu lama sekali.

Memang kaisar mempunyai tentara pengawal sendiri, tapi di samping itu, Co thaikam, pembesar kebiri yang sangat berpengaruh pada masa itu, dengan diam-diam berhubungan dengan orang-orang gagah itu dan ia menggunakan bujukan dan harta untuk membuat mereka ini mau bekerja di bawah perintahnya.

Kaisar yang mengetahui hal ini tak lain hanya menyatakan persetujuannya, karena Co thaikam menyatakan bahwa orang-orang gagah itu perlu didekati dan dipergunakan kepandaiannya untuk membasmi para pemberontak. Demikianlah, maka terdapatlah dua rombongan pembela kaisar dan pemerintahnya, yakni para pengawal kaisar merupakan tentara dinas dan para orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw yang merupakan kelompok pembantu rahasia.

Tan cianbu mempunyai seorang putera bernama Tan Un Kiong. Un Kiong baru berusia tujuh belas tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Tetapi sayang sekali, pemuda ini kelihatan ketolol-tololan dan dari kata-katanya menunjukkan bahwa ia bodoh sekali. Ayahnya merasa sengat sedih dan kecewa kalau melihat putera tunggalnya ini. Ia sebenarnya sangat sayang dan cinta kepada anak satu-satunya dan semenjak kecil dimanjakannya.

Ketika masih kecil, Un Kiong adalah seorang anak yang cerdik dan pintar. Tetapi entah mengapa, setelah ia berusia tujuh tahun, mulailah tampak perobahan pada dirinya, dan gejala-gejala penyakit tolol mulai terlihat. Tan-cianbu sengaja mengundang seorang guru untuk mengajarnya ilmu surat menyurat, tetapi ternyata setelah berusia tujuh tahun, Un Kiong rupanya malas sekali belajar. Apalagi kalau disuruh belajar silat, ia menyatakan ketidaksenangannya.

Pernah ayahnya sendiri mencoba dan mengajarnya dasar-dasar ilmu silat, tetapi ia meniru gerakan ayahnya dengan ngawur tidak keruan dan membuat ayahnya gemas dan putus asa. Tetapi karena besarnya rasa sayang pada anaknya, ia tidak bisa marah dan dibiarkannya saja anaknya menurut kemauannya sendiri.

Hal lain yang mengherankan, semenjak kecil Un Kiong tidak mau tidur dengan orang lain, biarpun dengan ibunya sendiri. Semenjak usia tujuh tahun, ia menghendaki kamar sendiri dan tak boleh seorangpun masuk ke kamarnya!

Berbeda dangan ayahnya yang sama sekali tidak mau perduli dan tidak mau kenal dengan penghuni Istana Putih, Un Kiong sering datang main-main kesitu. Penjaga istana yang kenal baik padanya selalu menerimanya dengan hormat, sedangkan para tamu yang terdiri dari orang-orang gagah itu, walaupun sebal melihat pemuda tolol itu, namun di depannya mereka tersenyum dan menghormat juga, karena mereka tahu pula bahwa pemuda tolol itu adalah putera Tan-cianbu yang terkenal dan disegani.

Pada suatu pagi, ketika Hong Ing sedang belajar silat di bawah bimbingan Biauw Niang-niang, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara di tembok yang memisahkan halaman Istana Putih dengan gedung Tan-cianbu. Mereka menengok segera dan melihat kepala seorang muncul dari balik tembok.

Ketika orang itu naik ke tembok, ternyata ia adalah Tan Un Kiong yang naik dengan menggunakan tangga bambu. Pemuda ini berdiri di atas tembok dengan sikap ketakutan, tapi ketika melihat Biauw Niang-niang dan Hong Ing, ia tertawa sambil memaksa dirinya berlaku tenang.

“Biauw suthai tolonglah aku,” katanya sambil mendekam di atas tembok, karena ia tidak berani berdiri lebih lama lagi di atas tembok yang tinggi itu!

“Eh, Tan-kongcu, kau hendak ke mana? Kau minta ditolong dalam hal apakah?” jawab Biauw Niang-niang dengan sabar. Kalau lain orang berani secara diam-diam masuk ke situ, pasti sedikitnya ia akan kena damprat.

“Biauw Suthai jangan marah... aku... aku mendengar suaramu semua dari balik tembok dan mendengar suara angin pedang cici ini bersuitan. Hatiku tertarik dan ingin melihat. Tidak tahu akan tembok ini begini tinggi, aku... aku tidak bisa turun lagi. Tolonglah carikan tangga dan pasang di sini, agar aku bisa turun dan menonton cici ini belajar ilmu silat.”

Hong Ing hampir tak dapat menahan geli hatinya dan menahan tertawa. Ah, alangkah tololnya orang itu. Baru dua kali ia bertemu dengan Un Kiong ketika pemuda itu mengunjungi istana putih. Biarpun bodoh dan tolol, pemuda itu tidak pemalu. Begitu bertemu, ia berani mengajak bicara kepada Hong Ing dengan sikap yang tulus dan jujur, hingga Hong Ing juga tidak malu menjawabnya.

Agaknya pemuda itu terlampau tolol untuk dapat bersikap kurang ajar terhadap wanita! Tapi di dalam hatinya, Hong Ing memandang rendah sekali kepada pemuda itu. Alangkah jauh perbedaan antara Un Kiong dengan Han Liong!

Mungkin hanya kecakapan wajah dan keindahan pakaian sejalah yang ada pada Un Kiong dan tak usah mengaku kalah, tapi jika dibicarakan tentang kepandaian, baik silat maupun surat menyurat, Han Liong boleh diumpamakan emas dan Un Kiong besi tua yaug berkarat!

“Tan-kongcu bukankah sudah pernah belajar silat? Bukankah ayahmu seorang ahli silat ternama? Masakan tembok yang sebegini tingginya saja kau tak mampu melompatinya?” Hong Ing mengejek, sedangkan Biauw Niang-niang hanya berdiri menertawakan.

Un Kiong memandang Hong Ing dengan mata terbelalak. Biarpun bodoh, tapi ia masih mempunyai rasa kebanggaan. Mendengar kata-kata gadis itu ia tidak merasa bahwa ia diejek, malahan merasa dipuji! Maka sambil tertawa haha-hihi ia berkata,

“Memang aku pernah belajar silat. Bahkan ayah telah mendatangkan banyak sekali guru silat yang pandai. Aku pernah diajar oleh ayah untuk melompat ke atas, tetapi melompat ke bawah... ah sesungguhnya, belum pernah kupelajari. Entah mengapa, untuk melompat ke bawah, baru melihat ke bawah saja, hatiku sudah tidak karuan rasanya.”

Kini Hong Ing dan Biauw Niang-niang tak dapat lagi menahan gelaknya. Un Kiong merasa bahwa ia ditertawakan, maka ia berkata sambil mengangkat kepala memandang,

“Coba cici tolong memberi contoh, melompatlah ke atas tembok ini, kemudian aku hendak memperhatikan caramu melompat turun untuk kutiru”

Biauw Niang-niang yang jarang melihat peristiwa lucu seperti ini timbul kegirangannya dan ia menyuruh Hong Ing meluluskan permintaan pemuda tolol itu. Dengan gerakan Hui-niauw-coan-in atau Burung Terbang Menerjang Mega, ia melompat ke atas tembok dan berdiri di dekat Un Kiong dan berkata,

“Bagus, bagus!” Pemuda itu lalu berdiri dengan hati-hati, tubuhnya gemetar karena ia takut jatuh.

“Nah, lihatlah, aku hendak melompat turun!” kata Hong Ing yang sengaja menggunakan tipu lompat Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan. Ia jungkir balik dengan poksai yang indah sampai tiga kali sehingga kakinya kelihatan sangat ringan menginjak tanah.

“Wah, gerakan cici sukar sekali untuk ditiru. Mana aku bisa jungkir balik macam itu. Biarlah aku melompat tanpa jungkir balik.”

Ia lalu membuat gerakan meniru-niru sikap Hong Ing tadi, lain tubuhnya melompat turun bagaikan batu jatuh! Terdengar suara bedebuk kerane dan debu mengepul ketika pinggul Un Kiong menimpa tanah dan pemuda itu mengaduh-aduh beberapa kali. Untung baginya tidak ada tulangnya yang patah atau kulitnya yang luka. Hong Ing dan Biauw Niang-niang tertawa makin keras dan iblis wanita tua itu segera maju menolong Un Kiong berdiri.

Kemudian Hong Ing melanjutkan latihannya bermain pedang dan ditonton oleh Un Kiong yang duduk di atas sebuah batu penghias taman istana putih itu. Berkali-kali ia memuji-muji keindahan gerak dan kelincahan Hong Ing. Lalu dengan menggunakan setangkai kayu iapun bersilat meniru-niru gerakan gadis itu, tapi gerakannya tak karuan sedangkan kuda-kuda kakinyapun sering terbalik hingga kelihatannya sangat lucu!

Pada saat itu Kui Lan datang dengan wajah pucat, “Celaka, subo!” katanya kepada Biauw Niang-niang setelah ia berada di depan gurunya.

“Kui Lan tenanglah. Ada apakah maka engkau demikian ketakutan?” tegur Biauw Niang-niang.

“Subo, celaka. Semua kamar telah diperiksa orang malam tadi!”

“Apa maksudmu?”

Kui Lan hendak menjawab, tapi tiba-tiba ia tahan kata-katanya ketika melihat Un Kiong berdiri di dekat situ. Wajahnya yang tadinya suram dan gelap diliputi kekhawatiran, tiba-tiba menjadi terang ketika melihat pemuda itu.

“Eh, Tan siangkong, kaupun berada di sini?” tanyanya sambil tersenyum genit hingga wajahnya yang hitam menjadi makin buruk. Memang Kui Lan semenjak melihat pemuda tampan itu, telah lama ia merasa tertarik dan hati padanya.

Un Kiong mendapat teguran manis ini tertawa-tawa dan dengan muka bodoh ia menjawab, “Enci Lan yang hitam manis. Aku sudah lama disini menonton latihan silat ini. Kau belum jawab pertanyaan Biauw Suthai.”

Kui Lan baru ingat akan hal ini. maka buru-buru ia menghadap gurunya lagi. “Subo, semua kawan memberi keterangan bahwa kamar mereka tadi malam kedatangan orang jahat yang memeriksa seluruh buntalan pakaian, seakan-akan mencari rahasia semua orang disini. Bahkan kamar teccu juga tak terkecuali.”

“Kamarku juga ada yang menggeledah,” kata Hong Ing.

Biauw Niang-niang mengerutkan keningnya. “Biarpun maling itu tidak berani memasuki kamarku, tetapi dengan berhasilnya memasuki dan memeriksa semua kamar tanpa diketahui, ia boleh dibilang licin juga. Kui Lan, coba panggil semua orang berkumpul di ruangan tengah untuk mengadakan perundingan.”

Kui Lan mengundurkan diri setelah melayangkan sebuah kerlingan memikat kearah Un Kiong yang dibalas oleh pemuda tolol itu dengan suara tertawa dan tarikan muka bodoh.

“Biauw Suthai, akupun pernah melihat maling masuk ke kamarku, tetapi ia hanya mencuri sebuah celana usang,” katanya kepada iblis wanita itu.

Biauw Niang-niang merasa kesal dan membelalakkan matanya, tetapi melihat pemuda itu berdiri tersenyum sehingga wajahnya yang muda itu tampak jadi semakin tampan, lenyaplah hawa marahnya. Ia harus mengakui bahwa pemuda itu sangat menarik dengan wajahnya yang berkulit putih bersih, sepasang matanya yang tajam bersinar gembira, bibirnya yang merah seperti bibir wanita, tetapi dagunya yang keras tajam serta alis matanya yang berbentuk golok membuat ia tampak gagah. Sayang pemuda seperti ini demikian dungu.

“Kalian hendak mengadakan pembicaraan tentang maling, baiklah aku pulang saja, sekarang sudah waktunya makan pagi dan ayah akan marah kalau aku tidak ada di rumah. Cici kalau mau latihan pedang lagi, beritahulah aku, agar kita bisa latihan bersama-sama, jadi lebih cepat maju!” Setelah menjura untuk memberi hormat, pemuda bodoh itu berjalan pergi melalui pintu luar.

“Subo sabar sekali menghadapi pemuda bodoh itu,” kata Hong Ing.

“Biarpun bodoh, ia putera tunggal dari Tan cianbu yang telah berjasa kepada kaisar. Dan tidakkah anak muda itu tampan menurut pendapatmu...?”

Mendengar pernyataan ini, Hon Ing merasa heran dan juga jengah serta jemu terhadap gurunya. Karena Hong Ing dianggapnya sebagai murid yang masih baru, maka ia tidak diajak berunding. Gadis ini merasa girang, tapi betapapun juga, ia tidak senang bergaul dengan orang-orang penghuni istana putih itu.

Kalau gurunya, Seng Bouw Nikouw tidak berada di situ dan kalau ia tidak ingin untuk menambah kepandaian ilmu silatnya, pasti sudah lama ia melarikan diri untuk mencari Han Liong. Kadang-kadang ia merasa sangat rindu kepada kakaknya itu dan ia merasa sangat kesepian.

Biauw Niang-niang dengan tercengang mendengar laporan semua kawannya yang tinggal di gedung itu, betapa kamar mereka tadi malam telah didatangi orang dan semua barang mereka diobrak-abrik. Tapi setelah diperiksa, tak sepotongpun barang mereka lenyap. Diantara semua orang itu, hanva seorang kauwsu atau guru silat dari Kanglam yang bernama Thio Poan menuturkan pengalamannya semalam.

“Ketika itu aku sudah tidur, tapi tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara keras. Aku segera melompat bangun melibat bahwa cawan arak yang tadinya berada di atas meja telah jatuh menggelinding ke bawah. Kusangka ada kucing masuk kamar, sesudah itu aku bermaksud hendak tidur kembali. Tapi tiba-tiba aku melihat buntalan pakaianku terbuka. Aku melompat lagi dan pada saat itu juga kelihatan bayangan putih berkelebat keatas tiang penglari. Bayangan itu gerakannya cepat sekali hingga aku tak dapat melihat dengan tegas apakah itu bayangan orang atau setan! Sebelum aku dapat memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba dari atas datang angin bertiup keras dan api lilin padam seketika itu juga. Terus terang saja kuakui bahwa bulu tengkukku terasa berdiri. Ketika aku mencari api untuk menyalakan lilin, aku merasa sesuatu bergerak di belakangku dan angin meniup ke arah pintu. Setelah lilin kupasang, maka di kamar sudah tiada terlihat sesuatu lagi. Karena aku menyangka ada setan, maka aku tidak berani menceritakan pada orang lain, takut ditertawakan. Tapi ternyata kalian semuapun mendapat kunjungan setan itu!”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Biauw Niang-niang mengerutkan alisnya. Ia tahu sampai di mana kepandaian orang she Thio itu dan agaknya bukan sembarang orang dapat mempermainkan guru silat ini. Tapi toh tadi malam ia telah dipermainkan seorang yang mempunyai gin-kang dan lwee-kang yang tinggi! Kalau maling itu berani masuk ke dalam kamarnya, pasti ia akan dapat melayaninya. Tapi agaknya maling itu tahu akan kelihaian Biauw Niang-niang hingga kamar iblis wanita ini saja yang dilewati tanpa digeledah.


“Memang sukar untuk mengetahui siapakah orang yang berlaku kurang ajar ini” kata Leng Niang-niang yang kamarnya juga menjadi sasaran penggeledahan, “tapi kiranya tak perlu dipusingkan hal itu karena ternyata ia tidak berlaku jahat. Hanya, satu hal yang harus kita selidiki, yaitu apakah yang dicari penjahat itu? Sudah terang bahwa ia tadi malam mencari sesuatu.”

Biauw Niang-niang mengangguk-angguk. “Tak lain tak bukan tentulah ia seorang dari golongan lawan kita yang hendak mencari rahasia kita. Dan setahuku, dari golongan mereka, orang yang mungkin dapat melakukan hal itu hanya satu orang saja.” Dan ia memberi isyarat mata kepada sumoinya. Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang diam-diam mengangguk.

“Coba panggil muridmu kesini,” kata Biauw Niang-niang kepada Seng Bouw Nikouw yang segera memanggil Hong Ing.

Gadis ini merasa heran dan diam-diam hatinya berdebar-debar ketika ia datang ke ruangan yang penuh dengan orang-orang gagah yang berwajah perkasa dan galak itu. Tapi ia tetapkan hatinya dan duduk dekat gurunya.

“Hong Ing,” kata Biauw Niang-niang dengan suara halus, “kau bukanlah orang luar, maka perlu kiranya kau ketahui juga. Semalam istana putih ini telah kemasukan orang jahat! Orang itu datang mencari-cari sesuatu. Dan tahukah kau siapa orang itu? Ia tak lain ialah orang yang membunuh ayahmu tapi yang kau anggap kakakmu sendiri itu!”

“Koko Han Liong? Dia yang datang malam tadi?” Hong Ing bertanya heran, hatinya berdetak-detak, karena kini ia pun merasa betapa besarnya kemungkinan ini. Banyak alasan Han Liong untuk datang menyelidik ke situ, dan siapakah orangnya yang berkepandaian begitu tinggi dan berhati begitu berani dan tabah selain Han Liong?

“Agaknya kau juga percaya akan kemungkinan ini,” kata Biauw Niang-niang yang pandai membaca suara hati orang. “Sepak-terjang anak muda itu sungguh berani dan berbahaya sekali. Maka coba kau ceritakan kepada kami tentang keadaannya. Pertama-tama, siapakah namanya dan ia murid golongan mana?”

Hong Ing tahan-tahan hatinya agar suaranya tak kedengaran bangga hingga jangan sampai membongkar rahasia perasaannya, lalu berkata dingin, “Ia adalah Si Han Liong. Gurunya banyak sekali. Kalau aku tak salah ingat, guru pertama adalah Liok-tee Sin-mo Hong In, guru kedua Beng San Tojin Pauw Kim Kong, guru ketiga Kim-to Bie Kong Hosiang, guru keempat Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat. Dan ia masih mempunyai seorang guru lagi, yakni Kam Hong Siansu.”

Semua orang terkejut mendengar ini, dan ketiga iblis wanita itu diam-diam mengagumi juga.

“Kam Hong Siansu? Ah, tidak dinyana manusia dewa itu masih hidup dan menerima murid seperti Han Liong itu. Pantas saja ia demikian lihai!” Biauw Niang-niang berkata seperti kepada dirinya sendiri.

Hong Ing dengan rasa bangga menambahkan, “Dan ia adalah putera tunggal dari Si Enghiong yang terkenal!”

Biauw Niang-niang dan Seng Biauw Nikouw loncat berdiri. “Apa?” kata Biauw Niang-niang. “Sayang aku tidak mengetahui hal ini dari dulu. Hong Ing tahukah kau siapa orang yang kau sebut Si Enghiong itu? Ia adalah Si Cin Hai, seorang kepala pemberontak besar yang telah kami basmi. Semua ini kesalahan ayahmu sendiri yang kena terpikat oleh isterinya, sehingga isteri dan anak kepala pemberontak itu tak dapat dilenyapkan dari muka bumi ini. Membasmi pohon jahat harus dengan akar-akarnya, kata pribahasa, tapi ayahmu menyalahi hukum ini dan ia bahkan mengambil isteri musuh menjadi isterinya dan dengan demikian ia menyelamatkan anak musuhnya. Tentu saja hal ini sama dengan memelihara anak serigala dalam rumah. Dan betul saja, anak itu setelah dewasa kini merepotkan kita semua.”

Biauw Niang-niang menghela napas, tak perdulikan wajah Hong Ing yang tampak tidak senang itu mendengar ayah ibunya menjadi buah tutur orang dan menerima berbegai celaan.

Pada saat itu dari luar datang seorang saikong yang bertubuh tinggi besar dan memelihara cambang bauk yang tebal dan kaku ceperti kawat. Pertapa itu berjubah kuning dan sepatunya memakai sol dari ujung besi. Ia memegang sebuah tongkat pendek berwarna hitam yang berukiran kepala ular di bagian pegangannya. Di punggungnya tergantung kantong hui-to yakni semacam golok kecil yang memakainya dengan pelemparan hingga disebut golok terbang!

Ketiga iblis wanita melihat saikong itu lalu berseru girang. “Susiok datang!”

Dan ketiga-tiganya lalu memburu dan memberi hormat. Hong Ing terkejut melihat air muka dan tubuh yang menakutkan itu, dan ia merasa heran sekali mengapa ketiga iblis wanita itu tidak berlutut kepada seorang paman gurunya bahkan menyambutnya dengan mesra bagaikan menyambut seorang kawan baik, bahkan Hei Niang-niang dan Leng Niang-niang memegang lengan saikong itu di kiri kanannya sambil tersenyum dan memainkan mata. Sikap mereka kekanak-kenakan dan mereka rupanya sungguh sangat manja. Tentu saja Hong Ing tak mengerti sama sekali akan sikap aneh ini.

Semua orang yang berkumpul di situ memberi hormat dan Hong Ing terpaksa juga menjura terhadap saikong tua itu. Melihat semua orang memberi hormat padanya, saikong itu tertawa terbahak-bahak.

“Siancai, siancai, terima kasih atas penghormatan ini, cuwi silakan duduk, pinto ada berita penting untuk disampaikan padamu.” Suaranya nyaring dan kecil, tak sesuai dengan tubuhnya yang sebesar raksasa itu.

Semua orang duduk kembali. Biauw Niang-niang dengan suara manja dibuat-buat menceritakan kepada paman gurunya tentang gangguan lawan yang menggagalkan serangannya terhadap Siok Houw, sehingga muridnya tewas dan kedua sumoynya terluka. Juga ia menceritakan tentang datangnya seorang penjahat yang menggeledah kamar mereka tadi malam.

“Hm, jangan sedih, sakit hatimu pasti terbalas. Suci telah memerintahkan aku turun gunung membantu kamu sekalian. Kalau mereka berhadapan dengan pinto, anjing-anjing pemberontak itu pasti kupukul dengan tongkat ini seorang sekali.”

Sambil berkata begini ia mengayunkan tongkatnya perlahan menghantam lantai. Lantai batu yang keras yang kena terpukul tongkat itu menerbitkan bunga api dan semua orang kagum melihat di tempat bekas pukulan itu tampak berlobang setengah kaki lebih! Kemplangan demikian perlahan dapat melobangi lantai batu, apa lagi kalau yang dikemplang itu tubuh manusia dan dilakukan dengan sepenuh tenaga pula! Hong Ing juga merasa ngeri dan takut juga.

“Tentang, datangnya maling kecil malam tadi, pinto juga dapat menduga maksudnya. Tentu ia datang mencari ini.” Ia merogoh saku jubahnya yang besar dan mengeluarkan segulung kertas. “Lihat, ini adalah firman atau surat perintah dari kaisar untuk menangkap Siok Houw dan surat-surat perintah rahasia dari Co Thaikam sendiri. Agaknya para pemberontak telah mendengar tentang surat-surat ini, sehingga orang yang membawanya dari kota raja mendapat gangguan di sepanjang jalan. Tapi surat-surat ini sekarang diserahkan padaku, coba lihat siapa berani mengganggu!”

Melihat kejumawaan dan keangkuhan paman gurunya ini, Biauw Niang-niang mengerutkan kening. “Susiok, musuh sangat lihai, kenapa kau bicarakan hal rahasia ini secara terbuka?”

“Ha ha ha, Biauw Niang, kau sudah menjadi penakut” Kemudian ian melanjutkan dengan berbisik, “Hal ini kusengaja agar pihak musuh mendengar dan mencoba datang. Aku akan siap-sedia setiap saat menyumbat kedatangannya”

Diam-diam Hong Ing melirik ke sana ke sini. Benarkah ada Han Liong atau kawan-kawannya yang datang mendengar?

“Susiok,” kata Biauw Niang-niang selanjutnya, “Dipihak mereka kini ada seorang muda yang cukup tangguh. Ia adalah murid Kam Hong Siansu dan kukira dialah orangnya yang datang tadi malam.”

Mendengar nama Kam Hong Siansu, saikong itu terkejut, tapi ia lalu berkata, “Bohong! Orang tua itu mana mau menerima murid? Kedua tangannya sudah putih bersih, mana ia mau mengotorinya pula dengan segala urusan tetek bengek di dunia fana ini? Mungkin pemuda itu hanya monggunakan nama Kam Hong Siansu untuk menggertak saja.”

Siapakah gerangan saikong ini? Ia bukan lain adalah Kek Kong Tojin yang dijuluki orang Coa-thouw-koai-tung si Tongkat Setan Kepala Ular, karena memang permainan tongkatnya luar biasa lihainya dan belum pernah dikalahkan lawan! Sebenarnya ia adalah pendiri termuda dari cabang persilatan Ngo-lian-pai, disamping sucinya Ang Gwat Niang-niang yang terkenal dengan nama Ngo-lian-posat atau Dewi dari Ngo-lian, dan twa-suhengnya Lo Thong Sianjin.

Mereka bertiga merupakan pendiri Ngo-lian-pai yang disegani kalangan kang-ouw. Diantara mereka bertiga, Aug Gwat Niang-niang yang terpandai, maka dialah yaag berdiam di bukit Ngo-lian-san dan karenanya dinamakan orang Dewi daru Ngo-lian. Sayangnya, hanya Lo Thong Sianjin seorang saja yang berwatak suci, hanya cacatnya, ia ini terlampau jujur dan tidak mau mengaku kalah!

Sedangkan sumoinya, Ang Gwat Niang-niang, wataknya terlampau membela ketiga muridnya hingga pertimbangan dan keadilannya menjadi berat sebelah. Kek Kong Tojin yang termuda bukanlah orang baik-baik. Telah lama ia mempunyai hubungan kotor dengan ketiga murid Ang Gwat Niang-niang, yakni Biauw Niang, Reng Niang, dan Hai Niang.

Dengan demikian, boleh dibilang bahwa kedatangan ketiga wanita yang menjadi anak murid Ngo-lian-pai itu, telah mengotorkan nama Ngo-lian-pai dan merusak kebersihan hati Kek Kong Tojin dan Ang Gwat Niang-niang. Kalau bicara soal kepandaian, Lo Thong Sianjin dan Ang Gwat Niang-niang sama lihainya, karena dalam hal ilmu pedang Ngo-lian-posat lebih unggul, tapi Lo Thong Sianjin sebaliknya lebih tinggi ilmu ginkang dan lweekangnya. Kek Kong Tojin masih kalah setingkat dari kedua kakak seperguruannya itu.

Dengan sengaja, pada malam hari itu, Kek Kong Tojin menaruh gulungan surat-surat penting itu di atas meja dalam kamarnva dan ia sendiri berada di ruang tamu minum arak dan makan daging, ditemani oleh ketiga murid keponakannya! Sembari makan minum, mereka berempat mengobrol gembira.

“Eh, Biauw Niang, siapakah gadis yang duduk di dekatmu siang tadi?”

“Ia adalah muridku, puteri dari almarhum Lie Ban Ciangkun.”

Saikong itu mengangguk-angguk gembira. “Hm, muridmu itu sungguh cantik jelita, sayang aku tak pernah punya murid semuda dan secantik itu.”

Memang, diantara ketiga pendiri Ngo-lian-pai, hanya Ang Gwat Niang-niang sendiri yang mempunyai murid, yakni ketiga Liok-san Sam-moli, sedangkan Kek Kong Tojin dan Lo Thong Sianjin tak pernah menerima murid lain.

Pada saat Biauw Niang-niang hendak menegur paman gurunya dan mengatakannya mata keranjang, tiba-tiba saikong itu mengayunkan sumpitnya ke atas. Sumpit itu meluncur seperti anak panah dan menembus genteng dengan suara nyaring! Ketiga iblis wanita pun melompat sambil mencabut pedang.

“Biar kami yang menangkap mata-mata itu, susiok duduk sajalah minum arak!” kata Biauw Niang-niang yang segera meloncat keluar, diikuti kedua sumoinya.

“Bangsat maling jangan lari!” teriak Hai Niang-niang dengan suara nyaring.

Teriakan ini membuat semua orang dalam Istana Putih itu bangun terkejut dan melompat keluar mengejar dengan senjata di tangan. Hong Ing merasa berdebar-debar karena timbul dugaan dalam hatinya kalau-kalau yang datang itu adalah Han Liong dan kawan-kawannya. Maka tanpa berkata sesuatu iapun ikut melompat ke atas genteng.

Ketika tiba di atas, Hong In melihat seorang laki-laki tinggi kurus sedang bertempur melawan ketiga iblis wanita. Tamu malam itu belum tua benar, lebih kurang empat puluh lima tahun, tapi rambutnya telah putih semua. Ia bersenjatakan joan-pian atau ruyung cambuk dan bersilat dengan gerakan yang luar biasa cepat dan lincahnya. Tadinya Biauw Niang-niang seorang diri melawan tamu malam itu, tapi ternyata iblis wanita tertua itu bukan tandingan si rambut putih!

Maka, dengan berseru marah, Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang ikut menyerbu hingga tamu malam yang lihai itu dikeroyok tiga! Orang-orang lain tak berani ikut mengeroyok karena keempat orang yang sedang bertempur itu berkepandaian tinggi sehingga merupakan bayangan empat tubuh yang sukar dikenal lagi mana kawan mana lawan!

Pada saat orang-orang sedang menyaksikan pertempuran hebat itu dengan kagum, tiba-tiba dari bawah terdengar teriakan nyaring dari Kek Kong Tojin. “Bangsat rendah kau datang ingin mencari kematian?”

Semua orang di atas genteng, kecuali yang sedang bertempur, merasa terkejut. Tiba-tiba dari bawah meloncat seorang dengan gerakan lincah dan ringan laksana seekor burung.

Hong Ing hampir berteriak karena orang itu potongan tubuhnya hampir sama dengan Han Liong, hanya lebih kecil sedikit. Orang yang baru datang ini memakai kedok kain sutera hitam dan tangannya memegang sebuah pedang yang berkilauan. Tangan kirinya memegang gulungan kertas yang berisi perintah dan rencana rahasia yang dibawa oleh Kek Kong Tojin siang tadi!

Ternyata ia menggunakan kesempatan ini selagi orang-orang ribut mengepung si rambut putih di atas genteng, si kedok hitam ini turun dengan diam-diam dan mencuri dokumen itu di kamar Kek Kong Tojin!

Tapi Kek Kong Tojin yang masih duduk minum arak di ruang tamu dapat melihat bayangan hitam berkelebat keluar dari kamarnya. Kebetulan pada saat itu tangannya sedang memegang tulang paha ayam dan memakan dagingnya, maka ia melemparkan tulang ini ke arah bayangan itu. Biarpun hanya kecil, tapi karena dilempar oleh Kek Kong Tojin yang mempunyai tenaga dalam sempurna, maka tulang itu merupakan senjata yang sangat berbahaya!

Si kedok hitam mendengar sambaran angin, cepat menempiskan tangannya dan tenaga tempisan ini mengeluarkan angin dan dapat memukul jatuh tulang itu ke lantai! Tanpa ayal lagi, setelah berhasil menyambar gulungan kertas pening dari atas meja, si kedok hitam menghilang pergi, dan dikejar oleh Kek Kong Tojin sambil memaki-maki!

Si rambut putih biarpun dikeroyok oleh tiga iblis wanita yang lihai, namun dapat melayani mereka dengan baik dan tidak sampai terdesak, bahkan ia masih sempat mengerling ke arah si kedok hitam. Melihat si kedok hitam itu memegang gulungan kertas, ia berseru keras dan joan-piannya berputar menyambar bagaikan kilat hingga ketiga iblis wanita terpaksa mengelak sambil mundur. Kesempatan ini digunakan oleh si rambut putih yang berkelebat dan meloncat menabrak si kedok hitam sambil berseru,

“Sobat, berikan barang itu padaku!”

Tapi gerakan si kedok hitam tak kalah hebatnya. “Jangan mau enaknya saja, kawan!” ia mengejek sambil berkelit.

Pada saat itu Kek Kong Tojin sudah tiba di situ dan saikong ini melayangkan kepalannya memukul si kedok hitam. Tapi dengan mudah lawannya menghindarkan pukulan ini dan balas memukul dengan lebih hebat lagi! Kek Kong Tojin menangkis dan dua lengan tangan beradu keras.

Saikong ini heran sekail ketika lengannya terbentur sebuah lengan yang keras dan mengandung tenaga yang tak boleh dianggap enteng! Diam-diam ia mengeluh. Untuk, menghadapi si rambut putih yang dapat melayani ketiga murid keponakannya itu saja ia harus mengerahkan tenaga, sekarang ditambah lagi dengan si kedok hitam yang tidak kalah tangkasnya itu!

Si rambut putih rupanya tidak begitu mendesak si kedok hitam lagi, bahkan kini ia menyerang Kek Kong sambil berseru, “Ah, pantas saja penjilat-penjilat ini makin banyak dan makin kurang ajar, rupanya disini ada anjing tuanya yang menjagoi!”

Bukan main marahnya Kek Kong Tojin mendengar cacian ini. Ia melompat ke arah si rambut putih dan menuding. “Bangsat rendah! Berani banar kau berlancang mulut. Beritahukan namamu sebelum kuantarkan kau kepada Giam-lo-ong !”

Si rambut putih tertawa. “Aku selalu datang tak mengubah she, pergi tak mengganti nama. Aku adalah Lie Bun Tek dari Heng-san!”

Kek Kong Tojin terkejut. “Kau Heng-san Koai-hiap?”

Si rambtt putih mengangguk, dan Kek Kong Tojin segera meneriaki semua orangnya. “Kepung orang berkedok itu. Jangan sampai dia lari!”

Maka ketiga iblis wanita dan semua orang yang kini merasa gatal tangan itu hendak menonjolkan jasanya, dengan cepat mengepung si kedok hitam. Kemudian Kek Kong Tojin mencabut tongkatnya, tapi si rambut putih tertawa mengejek.

“Ha ha ha! Inikah macamnya Coa-thouw-koai-tung yang ditakuti orang? Agaknya tak seberapa menakutkan!”

Kek Kong Tojin tidak menjawab, tapi sambil berseru keras tongkatnya melayang kearah kepala lawan. Si rambut putih pun berseru, “Bagus!”

Dan ia menggerakan joan-piannya menangkis, tapi tongkat itu segera berobah gerakan, langsung menotos iga! Inilah sebuah tipu gerakkan ilmu sitlat Ngo-lian-pai yang berbahaya sekali, maka si rambut putih tak berani berlaku sembrono lagi. Ia berkelit dan balas menyerang. Sebentar saja kedua orang ini bertempur seru sekali dan tubuh mereka lenyap dalam dua gulungan sinar senjata yang mengeluarkan angin dingin!

Sementara itu, si kedok hitam menyiapkan pedangnya menanti mereka yang mengepung dan hendak menyergapnya. Tiba-tiba seorang tinggi besar meloncat maju dan berkata,

“Cuwi sekalian tahan dulu! Untuk memukul anjing kecil ini tak perlu menggunakan tongkat besar, biar siauwto saja menangkap dia!”

Ia ini adalah Kok Beng si Kerbau Hitam, seorang kepala rampok yang kenamaan di Secuan dan selain pandai silat, iapun bertenaga besar. Kemudian, sambil mengungkat dada, ia memutar-mutar toyanya dan mendekati si kedok hitam.

“Sobat, jangan kau mencari mati. Tinggalkan kertas itu dan kau berlututlah meminta ampun, tentu tuan besarmu akan memberi maaf padamu!”

Tapi hanya terdengar suara ejeken sambil tertawa dari balik kedok sutera hitam itu sehingga Kok Beng menjadi marah sekali dan segera menyerang dengan toyanya. Tapi di luar dugaannya, kaki kiri si kedok hitam itu terangkat dan dipakai mendepak ujung toyanya, lalu pedangnya berputar-putar menebas lengan yang memegang toya!

Gerakan istimewa ini sungguh tak terduga, juga sangat berbahaya, sehingga Kok Beng menjadi terkejut. Terpaksa ia melepaskan toyanya dan meloncat mundur. “Hebat betul...” teriaknya dan mukanya menjadi pucat lalu berobah merah. Baru satu gebrakan saja ia terpaksa harus melepaskan senjatanya dan mundur!

Biauw Niang-niang terkejut gerakan, si kedok hitam. Yang tadi itu adalah gerakan tendangan Siauw-cu-twie yang dilakukan dengan mahir sekali. Ia teringat akan seorang pendekar gagah perkasa yang menjadi ahli tendangan itu, maka tanpa disengaja ia bertanya,

“Apa hubunganmu dengan Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek?”

Sepasang mata di balik kedok itu memandangnya dengan sinar mata berkilat, tetapi yang terdengar hanya suara tertawa mengejek.

“Baiklah, biar kau ada hubungan dengan Khouw locianpwe atau dengan dewa sekalipun, kalau kau tidak mau mengembalikan gulungan kertas itu, jangan harap kau bisa keluar dari sini!”

Sehabis berkata begini, Biauw Niang-niang segara menggerakkan pedang dan hudtimnya menyerang dan sebentar saja si kedok hitam telah dikeroyok. Tetapi ternyata ia dapat bergerak dengan cepat sekali sehingga tak mudah bagi mereka untuk menangkapnya.

Hong Ing yang berdiri diam saja sambil melihat pertempuran itu dengan hati kagum, kini tahu bahwa dua orang tamu malam itu bukanlah kawan-kawan Han Liong yang pernah dilihatnya. Ia lebih lebih kagum ketika melihat gerakan si kedok hitam yang ternyata ditilik dari potongan tubuh dan rambutnya, masih muda benar.

Tetapi kemidian diam-diam ia khawatir melihat si kedok hitam itu terdesak juga oleh tiga kebutan dan pedang dari si Tiga Iblis Wanita, ditambah dengan kepungan orang-orang lain. Ketika ia menengok ke arah Kek Kong Tojin, ia melihat saikong itu masih bertempur seru melawan Pendekar Aneh dari Heng-san itu dengan kekuatan berimbang.

Tiba-tiba terdengar Biauw Niang-niang menjerit ketika pundaknya tergores sedikit oleh pedang musuh sehingga mengeluarkan darah. Dengan marah Tiga Iblis Wanita itu mengeluarkan Bwee-hwa-ciamnya, jarum beracun yang kejam itu.

Melihat senjata berbahaya itu dihamburkan ke arahnya, si kedok hitam melompat tinggi sampai dua tombak dan dari atas ia meluncur turun dari genteng dengan gerakan Naga Air Terjun ke Laut yang indah dan cekatan sekali.

Sambil berteriak-teriak semua pengejarnya ikut melompat turun. Hong Ing merasa heran mengapa si kedok hitam itu bukannya lari keluar tapi malah kembali masuk ke Istana Putih! Ia juga ikut melompat turun. Tapi biarpun semua orang mencari di mana-mana, si kedok hitam tak tampak bayangannya lagi. Semua orang mencari berkeliling sambil memaki-maki tak keruan!

Setelah mencari beberapa lama tanpa hasil, Tiga Iblis Wanita dengan diikuti semua orang, ramai-ramai naik lagi ke atas genteng di mana Kek Kong Tojin masih bertarung seru melawan Heng-san Koai-hiap. Biauw Niang-niang bertiga melihat susioknya tak dapat mengalahkan lawanya, segera maju sekalian mengeroyok. Kek Kong Tojin diam saja melihat ketiga murid keponakannya maju mengeroyok, bahkan diam-diam ia merasa girang, biarpun ia tahu bahwa hal itu tak pantas dilakukan oleh seorang tokoh persilatan besar seperti dia.

Kini Heng-san Koai-hiap repot juga, karena ketiga iblis wanita itu walaupun ilmu silatnya masih kalah setingkat, namun dengan maju bersama, mereka merupakan tenagga bantuan yang hebat juga. Perlahan-lahan ia terdesak. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suasa mencela.

“Kek Kong! Sungguh sikapmu tak pantas dengan keroyokan ini membuat orang-orang gagah merasa malu!”

Dan pada saat itu juga tiga buah benda hitam melayang cepat dan tepat sekali memukul ketiga pedang dari Tiga Iblis Wanita itu, hingga ketiga pedang itu melenting dan hampir saja terlepas dari pegangan!

Heng-san Koai-hiap melompat ke belakang dan berkata kepada Kek Kong, “Barang yang kukehendaki sudah terampas oleh orang lain. Aku tiada waktu melayani kau lebih lama. Kalau ada untung lain kali kita berjumpa pula!” Tubuhnya lalu berpusing-pusing di udara dan menghilang.

Sementara itu, Tiga Iblis Wanita merasa heran dan kaget sekali melihat bahwa senjata rahasia yang membentur pedang mereka dan membuat pedang itu hampir terlepas ternyata hanya tiga potong pecahan genteng! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga pelemparnya! Diam-diam mereka merata ngeri juga.

Setelah semua orang turun dan berkumpul di ruang tengah, Kek Kong menghela nafas dan berkata,

“Biauw Niang berkata benar, musuh banyak juga yang lebih tinggi kapandaiannya dari kita. Sekarang surat-surat itu sudah jatuh ke tangan musuh, kita harus berusaha merebutnya kembali. Dan kita harus mencari bala bantuan!”

“Tetapi susiok, menurut pendapatku, pencuri yang berkedok tadi bukan sekomplotan dengan Heng-san Koai-hiap. Mereka bergerak sendiri-sendiri dan terpisah,” berkata Hai Niang-niang.

Tiba-tiba Biauw Niang-niang melihat kesana kemari, seakan-akan ada yang dicarinya, kemudian ia bertanya heran, “Eh, mana Seng Bouw Nikouw? Kenapa aku tidak melihatnya semenjak tadi?”

Hong Ing terkejut mendengar ini dan iapun heran, karena memang ia tidak melihat gurunya itu ikut bertempur tadi. Semua orang mencari, tetapi tidak dapat menemukan nikouw itu. Hong Ing merata khawatir sekali dan meloncat naik ke atas genteng. Setelah ia mencari beberapa lama, ia berteriak kaget sehingga semua orang meloncat naik mengejarnya.

Ternyata pendeta perempuan itu rebah di atas genteng belakang dan ketika diperiksa ternyata ia dibuat tak berdaya dengan sebuah totokan yang lihai sekali, Kek Kong Tojin segera menepuk bahu dan menotok punggung Seng Bouw Nikouw hingga pendeta itu dapat bergerak kembali. Berulang kali ia menghela napas.

“Omitohud, sungguh lihai... sungguh lihai!”

Kek Kong Tojin dan ketiga iblis wanita heran sekali melihat pendeta wanita itu sampai dibuat tak berdaya sedemikian rupa oleh lawan, padahal Seng Bouw Nikouw bukanlah seorang lemah dan dalam hal ilmu silat ia hanya sedikit dibawah kepandaian tiga iblis wanita itu! Seng Bouw Nikouw lalu bercerita,

“Ketika kalian bertempur tadi, aku hendak membantu, tetapi tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan berputar-putar di atas genteng belakang. Aku mengejar dan kemudian menjadi sangat terkejut, karena ternyata yang berdiri disitu bukan lain ialah Sin-chiu Taihiap Khouw Sin Ek! Tentu saja aku tak berani melawan orang tua itu dan diam-diam aku tersembunyi di balik wuwungan genteng. Aku melihat juga betapa orang tua yang lihai itu menggunakan pecahan genteng memukul pedang suci bertiga! Melihat ia menggunakan senjata rahasia istimewa itu, aku teringat bahwa biarpun aku takkan dapat melawannya, tetapi sedikitnya dari tempat gelap itu aku dapat melepaskan senjata rahasia jarum, karena itu aku justeru sembunyi di belakangnya. Tanpa pikir lagi aku mengirimkan segenggam jarum, tapi tak kusangka ia sedemikian lihainya. Tanpa menengok ia mengayunkan lengan baju dan telah meniup pergi semua jarumku! Sebelum aku sempat lari, ia telah meloncat dan tanpa kusadari aku telah tertotok dan rebah tak berdaya!”

Kek Kong Tojin menghela napas. “Celaka, terlampau banyak lawan lihai yang datang malam ini. Kita harus berhati-hati dan mulai malam ini kita harus mengatur penjagaan yang kuat.”

Setelah berkata demikian. Kek Kong Tojin memimpin sendiri dan mengatur penjagaan di semua sudut sehingga Istana Putih itu terkurung kuat. Kemudian orang-orang yang tidak bertugas menjaga kembali di kamar masing-masing. Hong Ing dengan hati lega karena si rambut putih dan si kedok hitam terlepas dari bahaya, kembali ke kamarnya pula.

Ia memasuki kamar, lalu menutup pintunya dan memasang lilin. Hampir saja ia berteriak, karena melihat di atas kursi di kamarnya duduk seorang yang berkedok sutera hitam. Baiknya si kedok hitam segera memberi tanda agar ia jangan berteriak. Hong Ing menggerakkan bibirnya hendak bertanya dengan marah kepada tamu malam yang keterlaluan dan kurang ajar itu, tapi si kedok hitam lalu mengeluarkan sehelai surat yang agaknya telah ia sediakan sebelumnya.

Hong Ing menerima surat itu dan membacanya sambil duduk di atas pembaringan dan selalu mengerling kearah si kedok hitam. Surat itu tidak panjang dan berbunyi seperti berikut:

Nona Lie Hong Ing,
Kau bukanlah seorang penjahat dan mungkin kau tidak tahu bahwa orang-orang di gedung ini semua adalah kaki tangan pembesar durna yang bermaksud memberontak! Kalau kau terus berada dengan mereka, maka kau akan menghadapi dua macam bahaya.

Bahaya pertama: kau akan dimusuhi oleh orang-orang gagah di kalangan kang-ouw, dan bahaya kedua: kau akan dicap anggauta pemberontak dan mendapat hukuman!

Kau ingin belajar silat? Kalau kau percaya, aku dapat menolongmu mencari seorang guru yang jauh lebih pandai daripada Iblis-iblis itu. Kau takut melarikan diri? Aku dapat membantumu. Kalau setuju, sekarang juga, ikutlah aku keluar dari neraka ini.

Membaca surat ini, Hong Ing terkejut. Benarkah gurunya dan semua erang itu pemberontak? Mengapa mereka memaki Han Liong dan kawan-kawannya sebagai pemberintak? Tentang kejahatan mereka, hal ini ia dapatlah percaya, memang ia sendiri tidak suka melihat sikap dan sepak terjang mereka itu, tapi apakah si kedok hitam ini dapat dipercaya?

Biarlah, ia akan ikut lari dan mencari Han Liong. Kalau sudah bertemu dengan kakaknya itu, ia tidak takut akan setan yang manapun juga! Maka ia lalu mengangguk dan si kedok hitam tersenyum girang. Sepasang mata di balik sutera hitam itu memancarkan sinar berseri-seri tanda kegirangan...


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



Hong Ing menyiapkan buntalan pakaiannya dan si kedok hitam lalu memberi tanda agar gadis itu masuk di bawah tempat tidur! Hong Ing terheran-heran dia memandang marah karena pada sangkanya si kedok hitam itu mempermainkannya. Tapi tanpa banyak cakap lagi si kodok hitam merayap di kolong pembaringan dan Hong Ing karena ingin tahu sekali, mengintipnya.

Beberapa kali si kedok hitam meraba-raba dinding dan tiba-tiba terdengar bunyi berderik dan di atas lantai di bawah pembaringan itu terbuka lubang selebar hampir dua kaki!

Kini mengertilah Hong Ing bahwa itu adalah sebuah jalan rahasia! Ia serasa malu akan kesangsiannya tadi dan tanpa ragu ia merangkak di kolong pembaringan. Si kedok hitam lalu memasuki lobang itu, diikuti oleh Hong Ing, ternyata di bawah tanah terdapat sebuah lorong kecil yang pas untuk seseorang merayap maju. Beberapa lama mereka merayap maju dalam gelap dan akhirnya mereka sampai keluar dan berada dalam sebuah taman bunga!

“Eh, taman bunga siapakah ini?” Hong Ing bertanya heran.

“Sttt...!” Si kedok hitam mencegahnya, tapi terlambat. Dari balik pintu belakang sebuah gedung, terdengar suara bertanya.

“Siapa di taman?” Sebelum gema suara itu lenyap, penanyanya sudah sampai di hadapan mereka dengan sebuat golok besar di tangan! Hong Ing terkejut melihat orang itu yang ternyata bukan lain adalah Tan-cianbu. Ia pernah melihat kapten itu beberapa kali maka ia dapat mengenalnya, namun Tan cianbu tidak kenal kepadanya.

“Bangsat darimana berani memasuki taman tanpa izin? Ayoh buka kedokmu dan berlutut, kalau tidak kalian akan kusuruh tangkap dan masukkan penjara!”

Melihat kegagahan Tan cianbu itu, Hong Ing meloloskan siang-kiamnya, dan ia merasa pundaknya ditowel oleh si kedok hitam. Tapi ia tidak tahu maksudnya, bahkan maju menyerang dengan berkata,

“Lepaskan dan jangan ganggu kami!”

Tan cianbu gelak tertawa. “Hm, gadis kecil ini sombong amat! Kau juga berani main-main dengan pedang!”

Kemudian ia menggerakkan goloknya dan menangkis. Pedang di tangan kanan Hong Ing terpukul dan gadis itu merasa telapak tangannya perih dan panas. Ia terkejut sekali karena pedang itu hampir saja terlepas!

“Ha ha ha!” Tan cianbu tertawa tapi matanya memandang kagum. “Kau boleh juga, nona kecil! Kau dapat menahan tangkisanku, hm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu.”

Tapi Hong Ing bersanksi, karena ia merasa bukan tandingannya kapten yaag bertenaga besar itu!

“He, kamu yang berkedok hitam, pengecutkah kau? Bukankah kau laki-laki? Mengapa kaubiarkan saja wanita ini maju seorang diri? Ayoh majulah!”

Si kedok hitam tampak bingung dan ketakutan! Hong Ing merasa heran sekali. Apakah Tan cianbu ini lebih tinggi ilmu silatnya dari si kedok hitam ini sehingga si kedok hitam yang tadi telah ia saksikan sendiri kepandaiannya juga merasa takut menghadapinya? Tapi Tan cianbu melihat keragu-raguan dan kebingungan si kedok hitam, timbul marahnya.

“Pengecut! Gadis ini berani maju menyerangku, tapi kau tidak berani! Kalau begitu, lebih dulu kau akan kubunuh. Mungkin perempuan ini akan kubebaskan karena ia gagah dan berani tidak semacam kau!” Goloknya berkelebat membacok leher pemuda itu!

Si kedok hitam berkelit mundur, tapi golok Tan cianbu terus mengejar dan melakukan serangan bertubi-tubi. Kini heranlah Tan cianbu, karena berkali-kali ia menyerang, selalu tanpa hasil. Gerakan si kedok hitam itu sangat lincah dan selalu berkelit cepat membuat ia tidak berdaya! Si kedok hitam berkelit sambil mundur hingga mereka tiba di dekat sebuah lampu taman.

Tiba-tiba si kedok hitam merogoh saku dan melempar sesuatu kearah lawannya. Tan cianbu terkejut dan hendak berkelit, tapi lemparan si kedok hitam cepat sekali hingga tahu-tahu benda itu mengenai mukanya! Tapi Tan cianbu tidak merasa sakit karena ternyata benda itu hanya sehelai saputangan sutera saja, dan disitu terdapat tulisan besar-besar. Tan cian-bu tertarik akan sapu tangan sutera itu dan di bawah sinar lampu, ia membaca beberapa huruf besar itu.

Seketika itu juga kedua matanya terbelalak dan mulutnya berseru, “Apa? Mana bisa jadi?” tetapi ketika ia menengok, si kedok hitam telah menyambar tangan Hong Ing dan menarik gadis itu melompati tembok yang tinggi itu, dan terus lari dengan cepat sekali.

Hong Ing yang terpegang pergelangan tangannya ikut lari cepat pula, jauh lebih cepat dari pada ilmu larinya, karena ia seakan-akan ditarik oleh tenaga raksasa sehingga kedua kakinya seakan-akan tak menginjak bumi!

Gadis ini menjadi makin kagum dan diam-diam ia membandingkan kepandaian orang ini dengan Han Liong. Tetapi setelah lari beberapa belas li jauhnya dan mereka memasuki sebuah hutan, Hong Ing merasa lelah juga, karena kedua kakinya sangat dipaksa.

“Aduh, aku lelah, mari beristirahat dulu!” keluhnya.

“Maaf, aku tidak ingat bahwa kau belum pandai lari cepat,” kata si kelok hitam sambil melepaskan pegangannya.

Hong Ing melepaskan lelah dan duduk di atas rumput. Ia memandang si kedok hitam yang masih berdiri dan memandang jauh ke depan.

“Kita hendak ke mana?” tanya Hong Ing.

“Ke kota raja,” jawabnya singkat.

“Ke kota raja? Hendak mengapa ke sana?”

Si kedok hitam memandang sehingga sinar matanya terbentur sinar mata Hong Ing. Kemudian ia tampak bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia lalu menghela nafas dan berkata perlahan,

“Kau... kau kini sudah bebas, terserah kepadamu hendak pergi ke mana, Aku... aku tidak memaksamu ikut, yakni... kalau kau tidak suka...”

Hong Ing merasa dadanya berdebar-debar. Jadi orang ini benar-benar hendak menolong belaka dan tidak bermaksud jahat? Ah, alangkah baik hatinya. Dan lenyaplah kecurigaannya, karena sebenarnya tadi ia masih merasa curiga memikirkan bahwa mungkin orang ini sengaja datang ke kamarnya hendak menculiknya. Tetapi setelah di kamarnya terdapat jalan rahasia itu, tahulah ia mengapa orang itu berada di kamarnya. Dan kini, orang ini melepaskannya!

“Kalau begitu, terima kasih atas kebaikanmu.”

“Ah, itu semua tak berarti apa-apa. Hanya ingat, kau harus berhati-hati, karena orang-orang Istana putih banyak dan jahat, mungkin kau akan bertemu dengan seorang di antara mereka di jalan.”

Hong Ing tidak merasa takut karena ia tak begitu memperhatikan kata-kata si kedok hitam. Ia sedang terheran-heran dan mengingat-ingat karena ia seperti sudah pernah mendengar dan mengenal suara orang itu entah kapan dan dimana??

“Eh, apa katamu tadi? Oya, kau takut aku berjumpa dengan mereka? Aku hendak mencari kakakku, kalau sudah bertemu, aku tidak perlu takut kepada segala orang itu.”

“Kalau begitu agaknya gagah benar koko-mu itu.”

Kembali Hong Ing memikir-mikir dan mengingat-ingat suara siapakah ini! “Kau telah menolongku dan kini kita hendak berpisah. Maukah kau melakukan sebuah permintaanku?” tiba-tiba Hong Ing bertanya.

“Apakah itu?”

“Yaitu... aku ingin tahu dan melihat wajahmu, agar aku tak lupa lagi... maukah kau membuka kedokmu itu sebentar saja?”

Si kedok hitam mundur dua tindak dan dengan cepat tangan kirinya memegang kedok sutera di mukanya, seakan-akan ia takut kedok itu akan terlepas. “Tak mungkin!” katanya.

“Mengapa tak mungkin? Apa.... apa mukamu bercacad dan jelek sekali?”

Si kedok hitam itu cepat menggeleng-geleng kepala, tapi lalu mengangguk-angguk berkali-kali, hingga mau tak mau Hong Ing tersenyum geli.

“Tidak apalah!” Akhirnya Hong Ing berkata sambil menghela nafas. “Jika kau tidak mau dikenal, akupun takkan memaksa! Tapi betapapun juga, aku akan selalu menganggap kau seorang yang gagah dan baik hati.”

Ketika mereka hendak berpisah, tiba-tiba dari belakang ada dua bayangan orang berlari cepat ke arah mereka. Kepandaian dua orang itu ternyata tinggi juga karena sebentar saja mereka sudah tiba dihadapan si kedok hitam dan Hong Ing.

Hong Ing terkejut sekali karena yang datang itu adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda yang cantik jelita dan berpakaian serba hitam hingga tampak kulit tangan dan pergelangan lengannya yang putih. Dan laki-laki itu bukan lain dari Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek sendiri, orang lihai berambut putih yang mengacau di istana putih.

“Ha ha ha! Kalau memang berjodoh, biar tak disengaja dan tak disangka-sangka, akhirnya bertemu juga!”

Heng-san Koai-hiap tertawa terkekeh-kekeh. Lalu ia mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada si kedok hitam yang dibalasnya dengan hormat pula.

“Sobat berkedok yang gagah berani. Aku kagum melihat tepak terjangmu tadi. Agaknya kau pun mengikuti jalan lurus dari para patriot. Ketahuilah, aku adalah Heng-san Koai-jin Lie Bun Tek dan ini adalah sumoiku bernama Pauw Lian. Kau tentu sudah pernah mendengar nama kami dan tahu bahwa kami bukanlah orang-orang jahat. Terus terang kukatakan bahwa kamipun pengikut jejak para patriot! Dokumen yang kau rampas dari istana putih itu sangat kami butuhkan. Maka kuminta dengan hormat, berikanlah itu padaku, sobat.”

“Maaf, saudara, aku sendiripun perlu juga akan surat-surat penting itu. Soalmu dengan penghuni Istana putih tiada sangkut-pautnya dengan aku. Aku bertugas dan sebagai seorang laki-laki aku harus menunaikan tugasku itu dengan sempurna. Kalau tugasku telah selesai mungkin sekali aku dapat membantu menghancurkan kaki tangan durna yang rendah itu!”

“Hm, jawabanmu sangat licin bagai belut yang tak tentu ujung pangkalnya! Pendeknya, aku ingin tahu, kau ini pembela rakyat atau pembela kaisar?” Gadis cantik berpakaian hitam yang disebut Pauw Lian itu berkata, suaranya merdu tetapi tajam.

Mendengar kata-kata setengah sesalan dan penuh kecurigaan ini, si kedok hitam memandang dengan tajam dan menjawab, “Pembela kedua-duanya!”

Lie Bun Tek tertawa dan Pauw Lian memperdengarkan suara ejekan. “Hm, jawaban apa ini? Kalau kau pembela rakyat dan kaisar, habis, siapa yang kau anggap musuhmu?”

“Musuhku adalah segala perampok yang mengacau rakyat dan segala macam durna yang mengacau negara!”

Lie Bun Tek dan Pauw Lian saling pandang dengan heran.

“Eh, sobat, kau sungguh aneh. Coba buka kedokmu dan perlihatkan mukamu kepada kami agar kami dapat melihat apakah kau ini lawan atau kawan.” berkata Lie Bun Tek.

“Kubuka juga kau takkan kenal,” jawab si kedok hitam.

“Kalau begitu engkau ini tentu bukan orang baik-baik. Orang yang bermaksud baik takkan menyembunyikan muka di belakang kedok,” kata Lie Bun Tek.

“Suheng, bangsat ini tentu mempuyai maksud rahasia,” berkata Pauw Lian kepada Lie Bun Tek.

”Memang aku mempunyai tugas dan maksud rahasia,” jawab si kedok hitam

Sehingga Lie Bun Tek menjadi heran dan marah mendengar orang berterus terang secara menantang itu. Dengan berseru keras ia loloskan joan-piannya dari pinggang dan berkata,

“Agaknya kau mau mencoba kami, orang muda yang aneh!” Si kedok hitam memperdengarkan suara mengejek sambil mencabut pedangnya.

“Tahan senjatamu, ia bukanlah orang jahat!” Hong Ing berteriak karena ia khawatir si kedok hitam takkan dapat melawan si rambut putih yang tinggi ilmunya itu.

“Kaupun bukan orang baik-baik,!” kata Pauw Lian yang maju menghalangi.

“Kau kira aku takut padamu?” Hong Ing membentak marah dan mencabut siang-kiamnya! Tapi Pauw Lian hanya momandangnya dengan terseyum manis bagaikan seorang dewasa tengah mempermainkan seorang kanak-kanak.

Sementara itu, si kedok hitam sudah mulai bertempur melawan Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek. Sekali senjata mereka beradu dan kedua-duanya mundur karena merasakan getaran hebat di telapak tangan masing-masing. Sambil melompat mundur mereka memeriksa senjata masing-masing, tapi ternyata kedua senjata itu tidak rusak.

Dengan perasaan kesal Lie Bun Tek meloncat maju lagi melakukan serangan hebat. Si kedok hitam berkelit lincah dan balas menyerang. Ternyata tenaga dan kepandaian mereka seimbang. Lie Bin Tek memainkan pukulan-pukulan Ilmu permainan joan-pian dari cabang Heng-san-pai yang tinggi itu, tapi pedang si kedok hitam pun dapat bergerak dengan lincah dan cepat karena ia memainkan tipu silat Pedang Delapan Dewa Bermain-main.

Hong Ing yang merasa gemas melihat lagak Pauw Lian yang seakan.akan memandang rendah kepadanya, dengan teriakan keras maju menyerang dengan siang-kiamnya! Ia memainkan jurus-jurus dari Ngo-lian-pai yang belum lama ini ia pelajari dari Biauw Niang-niang.

Tapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat lawannya berputar berbelit-belit cepat dan serta merta telah berada di belakangnya! Ia terus menyerang dan jurus-jurus yang ganas dan tipu-tipu mematikan dari Ngo-lian-pai ia keluarkan.

“Hemm, sayang kau yang muda dan cantik telah mempelajari ilmu silat jahat,” kata Pauw Lian menyindir sambil meloncat menghindar.

Mendengar sindiran itu dan melihat serangan-serangannya tak mendatangkan hasil sedikitpun juga, wajah Hong Ing berubah merah karena malu dan marah. Ia segera merubah gerakannya dan kini mempergunakan ilmu pedang Ngo-houw-toan-bun-to yang ia pelajari dari Han Liong. Kedua pedangnya bergerak teratur sekali dan serangan-serangannya kuat mendatangkan angin.

“Bagus! Ini baru ilmu pedang tulen!” Nona baju hitam itu memuji.

Sesungguhnya permainan siang-kiam Hong Ing hebat sekali dan gerakan kedua pedangnya sukar dilawan. Tapi ternyata ia menghadapi lawan kelas berat yang sangat tinggi ilmu ginkangnya hingga ia dapat dipermainkan, biarpun Pauw Lian tak memegang senjata!

Hong Ing hampir menangis karena jengkel dan ia gertakkan giginya sambil menyerang terus membabi buta. Pauw Lian melihat kenekadan lawannya menjadi marah juga, sambil berseru,

“Awas balasan serangan-ku!” ia mendesak dengan sepasang kepalan dan sepasang kakinya yang dapat bergerak cepat sekali. Hong Ing terdesak mundur dan keadaannya berbahaya!

Pada saat itu terdengar seruan orang, “Ing-mo! jangan khawatir, aku datang,”

Belum habis gema suara itu, orangnya telah datang dan tiba-tiba Pauw Lian melihat seorang pemuda baju putih berdiri di depannya menggantikan Hong Ing yang kini berdiri di belakang pemuda itu! Alangkah girang hati Hong Ing mendengar suara dan melihat orang yang baru datang ini. Segera ia menubruk maju dan memeluk,

“Han-ko! Syukur kau datang. Tolonglah aku dan hajarlah wanita yang sangat menghinaku ini!”

Melihat Hong Ing memeluk pemuda itu, Pauw Lian mengeluarkan suara cemoohan, “Hm, tak tahu malu!”

Hong Ing menghadapinya dengan bertolak pinggang. “Mau apa? Ini kakakku dan kalau kau memang perempuan gagah, lawanlah dia. Kalau kau menang, aku bersedia berlutut seratus kali di depanmu dan menyebut nenek guru padamu!”

Biarpun ia tahu bahwa pemuda yang berdiri bingung di depannya ini bukanlah lawan ringan, namun Pauw Lian merasa gemas dan marah juga mendengar tantangan Hong Ing.

“Apa yang harus ditakuti?” katanya dan tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Han Liong dengan serangan Harimau Mencuri Hati!

Tadinya Han Liong hendak mendamaikan mereka karena ia tahu bahwa adiknya suka sekali mencari onar, tapi ia tak diberi kesempatan dan gadis itu langsung memukul Han Liong. Angin pukulan gadis baju hitam ini berat dan kuat sekali. Karenanya terpaksa ia melayaninya dengan hati-hati dan sebentar saja ia diam-diam mengeluh karena lawan yang dipilih Hong Ing kali ini benar-benar merupakan lawan terberat yang pernah ditemuinya!

Ia kagum sekali akan kepandaian gadis yang jelita ini dan tak lama kemudian ia merasa makin kagum bercampur heran karena ternyata kepandaian gadis itu, baik ginkang maupun lweekangnya, tidak berselisih jauh dengan kepandaiannya sendiri! Timbul hati sayangnya dan ia ingin sekali tahu siapakah gadis ini dan murid siapakah ia?

Sebaliknya, Pauw Lian merasa terkejut dan heran sekail mengapa pemuda ini demikian lihai dan sungguh di luar dugaannya semula. Gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu yang baru saja turun gunung merasa diri tiada tandingnya lagi, karena memang ia sudah memiliki ilmu silat yang mendekati batas kesempurnaan, bahkan suhengnya sendiri, Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek yang terkenal akan kelihaian dan kepandaiannya, tak dapat mengalahkannya, terutama dalam ilmu pedang!

Maka, kini menghadapi Han Liong jang dapat melayani, bahkan dapat mendesaknya, ia menjadi gusar sekali. Dengan teriakan marah ia mencabut pedangnya. Sinar hitam berkelebat di depan muka Han Liong dan pemuda ini tertejut melihat gadis itu kini memegang sebilah pedang hitam yang sinarnya menyeramkan.

Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata suhunya, Kam Hong Siansu yang mengatakan bahwa di dunia ini masih terdapat Ilmu silat pedang yang dapat menandingi Pek-liong-kiamsut, yakni Ouw-Liong-Kiamsut atau Ilmu Pedang Naga Hitam. Dan gadis ini mempunyai sebuah pokiam berwarna hitam berukir naga pula. Bukankah pedang ini yang disebut Ouw-liong-pokiam?

Hampir saja ia melompat keluar kalangan tapi tiba-tiba timbul kegembiraannya untuk mencoba sampai dimana kehebatannya Ouw-liong Kiamsut! Iapun mencabut Pek-Hong-pokiamnya dan menangkis setiap serangan gadis itu.

Pauw Lian melihat sinar pedang Han Liong putih melepak seperti perak juga merasa terkejut. Iapun pernah mendengar gurunya bercerita tentang Pek liong-pokiam, maka sama juga halnya dengan hati Han Liong, ia ingin sekali mencoba ketinggian ilmu pedang pemuda itu.

Kalau tadi ketika bertempur mengadu kepalan mereka berkelebat ke sana ke mari hingga dua bayangan hitam dan putih seakan-akan tergabung menjadi satu, kini dua pokiam itu dimainkan sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua gulung sinar hitam dan putih berputar-putar cepat seperti kilat, sedangkan dua orangnya sama sekali tak tampak pula!

Tentu saja melihat pertunjukan ini, Hong Ing hanya memandang dengan mulut ternganga saking kagumnya. Sementara itu, si kedok hitam juga sedang bertempur dengan hebatnya melawan Lie Bun Tek. Pedang dan joan-pian saling serang dan saling tangkis sampai mengeluarkan bunga api. Pada saat pertempuran sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba terdenger orang menyebut.

“Siancai, siancai, Lie Bun Tek enghiong, tahan senjatamu dan maafkan muridku. Un Kiong, buang pedangmu!”

Mendengar seruan ini, dengan berbareng si kedok hitam dan Heng-san Koai-hiap melompat mundur dan menahan senjata masing-masing, karena si kedok hitam mengenal suara gurunya sedangkan Lie Bun Tek kenal pula suara Khouw Sin Ek atau Sin-chiu talhiap yang telah menolongnya ketika bertempur di atas genteng Istana Putih!

Sebaliknya, Hong Ing yang mendengar nama Un Kiong disebut segera menghadapi mereka dengan heran.

Lio Bun Tek menjura kepada Sin-chiu Taihiap sambil berkata. “Maafkan siauwte, lo-taihiap.” Dan si kedok hitam berlutut sambil menyebut, Suhu...!

“Un Kiong, buka kedokmu! Terhadap kawan-kawan segolongan, tak perlu kau menyembunyikan mukamu.”

Si kedok hitam segera merenggutkan sutera hitam itu dan Hong Ing hampir saja tak dapat menahan jerit herannya, karena si kedok hitam itu bukan lain ialah si pemuda tolol, Tan Un Kiong, putera dari Tan cianbu yang tinggal di dekat Istana Putih! Hal ini sama sekali tak disangkanya, maka tanpa terasa kakinya bertindak maju mendekati pemuda itu lalu, sambil menatap wajahnya, ia berkata, “Kau...??”

Un Kiong hanya tersenyum dan menjura. “Hong Ing cici!”

Lie Bun Tek berseru kepada Pauw Lian yang masih bertempur. “Sumoi, tahan pedangmu...”

Tapi Khouw Sin Ek mencegahnya dan berkata perlahan “Jangan ganggu mereka. Tak usah khawatir, mereka takkan melukai satu sama lain. Lihat, alangkah hebatnya kiamsut mereka. Sungguh yang tertinggi di dunia ini. Lihat... bukankah mirip sepasang naga hitam dan putih bermain-main di awan?”

Setelah puas menonton. Pendekar Besar kepalan Malaikat ini mengambil dua buah batu kecil dan mengayunkannya dua buah batu itu ke arah dua gundukan sinar hitam putih yang sedang bertempur.

“Jiwi, silakan berhenti!” Suaranya terdengar nyaring dan keras sekali.

Dua buah batu kecil itu dengan tepat menghantam dua pedang, tapi tak membikin pedang itu terenggut, bahkan dua buah batu itu terbelah dengan mudah dan jatuh ke atas tanah. Tetapi ini cukup membuat Han Liong dan Panw Lian insyaf bahwa ada orang yang pandai memisahkan mereka. Mereka tidak berani memandang rendah dan keduanya segera melompat sambil menjura.

Sepasang mata Pauw Lian yang jeli menatap wajah Han Liong dengan kagum, sebaliknya Han Liong juga tertarik sekali akan kepandaian gadis itu. Pada saat mereka saling pandang itu, seakan-akan ada sesuatu yang mengikat hati mereka dan membuat mereka malu hingga serentak pula keduanya menundukkan muka.

Lie Bun Tek memperkenalkan pendekar tua itu kepada sumoinya sedangkan Hong Ing yang masih saja bermain mata dengan Un Kiong segera lari dan memegang lengan kakaknya. Gadis ini dengan lincah dan gembira memperkenalkan Un Kiong kepada Han Liong dan serta merta mempercakapkan bagaimana 'pemuda tolol' itu telah menolongnya lari dari Istana Putih.

Berkat kebijaksanaan Khouw Sin Ek yang mempunyai nama harum dan disegani, mereka dapat menahan rasa sakit hatinya dan melenyapkan rasa permusuhan, kemudian masing-masing memperbincangkan riwayat masing-masing untuk menghindarkan salah faham.

“Cuwi sekalian tentu heran melihat kenyataan bahwa aku orang tua mempunyai seorang murid putera seorang pembesar yang berpengaruh di kalangan pahlawan raja. Biarpun aku orang she Khouw bukan termasuk seorang anti kaisar, namun memang terdengar ganjil bahwa aku mengambil murid seorang putera cian-bu! Hal ini ada sebabnya, maka kalian dengarlah riwayatku dan muridku Tan Un Kiong ini." Demikian Khouw Sin Ek mulai membuka riwayatnya.


                  ***************


Khouw Sin Ek adalah seorang hiapkek besar, yang mewarisi kepandaian silat tunggal dari Bong Tak Totiang, seorang pertapa dan ahli persilatan Thai-san yang mengasingkan diri dan diam-diam menciptakan ilmu silat dari Thai-san, Bu-tong dan Siaw-lim yang ia gabungkan menjadi satu. Totiang ini kemudian menurunkan semua kepandaiannya kepada Khouw Sin Ek karena ia melihat bahwa Khouw Sin Ek mempunyai tulang baik dan pribudi tinggi.

Setelah belasan tahun belajar dan dapat mewarisi semua kepandaian suhunya, Khouw Sin Ek mulai berkelana dan menggunakan kepandaiannya untuk melakukan pekerjaan menolong sesama manusia. Sepak terjangnya yang gagah perkasa membuat namanya harum. Disegani, dikagumi kawan dan ditakuti lawan.

Pernah seorang diri ia membunuh Pangeran Liok Bin Ong yang terkenal jahat dan memeras rakyat dengan sewenang-wenang. Kemudian ia mengobrak-abrik sarang perampok di Gunung Kim-wat-san yang dikepalai oleh Kang Leng Giap, seorang jagoan berilmu tinggi yang karena sombong serta mengagung-agungkan diri sebagai orang gagah nomor satu lalu berbuat sewenang-wenang saja, merampok rakyat dan petani yang sudah miskin dan hidup melarat.

Tentu saja hal ini membuat hiapkek Khouw Sin Ek marah sekali. Kepala perampok kejam ini akhirnya tewas dalam tangan Khouw Sin Ek dan semenjak itu ia mendapat nama julukan sin-chiu-taihiap atau Pendekar Gagah Kepalan Malaikat!

Tetapi, betapapun gagahnya seseorang, tetap harus tunduk kepada kekuasaan yang lebih tinggi sehingga pada suatu hari Sin-chiu Taihiap Kouw Sin Ek diserang sakit panas yang berat. Pada masa itu ia memang menjadi buronan dan dicari oleh para pengawal raja karena ia telah membunuh Pangeran Liok Bin Ong. Justeru yang mendapat tugas untuk mencarinya adalah Tan cian-bu, ayah Un Kiong!

Ketika Khouw Sin Ek tengah rebah tak berdaya karena sakitnya di sebuah kelenteng kotor dan rusak, Tan cian-bu dapat membekuknya. Namun Tan cian-bu yang jujur dan berwatak satria itu, merasa kagum dan sayang kepada Sin-chiu taihiap, karena menurut pendapatnya, orang semacam Liok Bin Ong itu memang sudah sepatutnya dilenyapkan dari muka bumi ini!

Ia pikir pula kalau ia sendiri tidak menjabat pangkat cian-bu, tentu telah siang-siang ia pergi mencari pangeran jahat dan cabul itu untuk menghajarnya. Demikian ia menyelamatkan jiwa Sin-chiu-taihiap dari hukuman.

Khouw Sin Ek merasa berterima kasih dan kagum melihat kepribadian Tan cian-bu, maka untuk membalas jasanya, ia secara diam-diam tidak setahu kapten she Tan itu, telah mengangkat Un Kiong sebagai muridnya.

Pada suatu hari ketika Un Kiong yang berusia tujuh tahun itu bermain-main di dalam taman bunga, Khouw Sin Ek datang. Di depan anak itu ia meloncat ke sebuah pohon dan menggunakan tangannya menangkap burung, sedangkan ketika ia turun kembali, burung di telapak tangannya yang menggerak-gerakkan sayap itu ternyata tak dapat terbang, seakan-akan menempel di telapak tangan Khouw Sin Ek.

Tentu saja Un Kiong sangat tertarik dan ia terima dengan gembira ketika orang tua itu mengangkatnya sebagai murid. Tapi Khouw Sin Ek tak ingin orang mengetahui bahwa ia menerima murid seorang putera kapten pengawal raja, maka ia pesan dengan keras kepada muridnya supaya tidak membocorkan rahasia ini.

Un Kiong ternyata selain berkemauan besar dan berbakat baik, juga berhati teguh sehingga terdadap orang tua sendiripun ia tidak memberitahukan bahwa ia telah menjadi murid Sin chiu Tai hiap Khouw Sin Ek yang berkepandaian sangat tinggi! Bahkan untuk menyembunyikan kepandaiannya, ia berpura-pura menjadi pemuda tolol!

“Demikianlah maka Un Kiong menjadi muridku. Pertama karena ayahnya pernah monolongku dan kedua karena aku melihat ia mempunyai bakat baik.” Khouw Sin Ek menutup penuturannya.

Kini giliran Tan Un Kiong menuturkan pengalamannya. “Sebagai seorang keturunan perajurit sejati, ayah sangat mengutamakan kesetiaan kepada pemerintah. Ia berpendirian bahwa betapapun bentuk pemerintah yang diabdinya, seorang perajurit harus membelanya dengan setia, siap mengorbankan jiwa raganya. Aku tak dapat menyalahkan sikap ini yang menurut pendapatku betul juga. Karena itulah maka biarpun aku merasa bersimpati akan perjuangan para patriot bangsa, namun sebagai putera seorang kapten barisan penjaga istana raja, aku tak berani berhubungan dengan mereka. Lagi pula, menurut pendapatku, raja yang memerintah tidaklah demikian jahat sebagaimana banyak disangka orang. Ia hanya terpengaruh oleh hasutan para durna yang jahat. Ayah sangat benci kepada para durna ini, teristimewa kepada Co Thaikam yang makin lama makin besar pengaruhnya. Ayah sangat sedih memikirkan keadaan kaisar.” Demikian Un Kiong memulai penuturannya.

Kemudian ia mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata kepadanya tentang adanya bisikan bahwa Co Thaikam bermaksud hendak memberotak! Memang thaikam ini telah pengaruhi para pembesar tinggi sehingga kaisar seakan-akan terkurung. Mendengar hal ini dan karena kasihan melihat kesedihan ayahnya juga karena berkali-kali ayahnya menyatakan penyesalannya bahwa Un Kiong demikian tolol.

Pemuda itu diam-diam mulai melakukan penyelidikan terhadap penghuni Istana Putih yang ia tahu adalah kaki tangan Co Thaikam. Pernah ia menggeledah semua kamar tapi hasilnya nihil. Kebetulan sekali ia dapat mendengar kejumawaan Kek Kong Tojin sehingga ia memberanikan diri mencuri dokumen-dokumen itu, tepat pada waktu Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek bertempur dengan tiga iblis wanita.

Setelah berhasil memasuki kamar Hong Ing di mana memang ia tahu terdapat sebuah jalan rahasia, ia yang merasa tertarik dan suka kepada nona ini, membujuknya lari. Maksud Un Kiong hendak membawa dokumen yang di antaranya terdapat rencana pemberontakan Co Thaikam itu terhadap Istana raja dan membongkar rahasia busuk ini kepada raja!

Ia sengaja memakai kedok agar tak dikenal oleh para penghuni Istana Putih dan kaki tangannya, karena kalau sampai ketahuan tentu ayahnya berada dalam bahaya dan akan mereka musuhi.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Ketika tiba giliran Hong Ing bercerita, sebelumnya nona ini sambil memegang lengan Pauw Lian, berkata dengan suara manja.


“Cici harap maafkan aku sebanyak-banyaknya karena telah berlaku kurang ajar padamu. Sebenarnya aku... aku iri melihat kecantikan dan kepandaianmu,” sampai disini ia mengerling kepada Han Liong “Dan nanti sewaktu-waktu kuharap cici suka mengajar Ilmu pedang padaku.”

“Ah, bukankah kau sudah mempunyai seorang kawan yang dapat mengajarmu dan yang kepandaiannya tidak terkalahkan olehku?” Pauw Lian balas menggoda dengan kerlingan mata ke arah Un Kiong.

Godaan ini mengenai tepat, tapi dasar cerdik. Hong Ing bahkan dapat membelokkan godaan ini untuk menggoda Un Kiong dengan berkata,

“Kau maksudkan saudara Tan Un Kiong? Aah, bukankah ia pemuda tolol yang tak mengerti apa-apa? Ketahuilah, pernah ia meniru-niru aku belajar ilmu pedang dengan gerakan-gerakan seperti seorang badut!”

Mendengar ini semua orang tertawa, tak terkecuali Khouw Sin Ek, hanya Un Kiong saja yang membesarkan matanya kepada Hong Ing, tetapi mukanya merah karena malu! Diam-diam Hong Ing merasa suka kepada Pauw Lian yang ternyata juga bersifat jenaka dan suka main-main seperti dia pula.

Heng-san Koai hiap Lie Bun Tek meneeritakan riwayatnya sendiri dan sumoinya secara singkat.


                 ***************

Di puncak Gunung Heng-san terdapat sebuah bio (kelenteng) tua yang sederhana, di mana terdapat seorang pertapa wanita yang sudah tua. Pertapa. wanita ini bukan lain ialah sumoi dari Kam Hong Siansu, yang bernama Kui Giok Ciu Suthai. Ilmu kepandaian Kui Giok Ciu Suthai ini tinggi sekali, terutama ilmu pedangnya.

Sebenarnya ketika mudanya diantara Kui Giok Ciu dan Kam Hong Siansu kedua kakak beradik seperguruan ini, terjalin tali asmara yang erat. Tapi sungguh mengharukan sekali, hubungan mereka terputtus karena kecurangan seorang pemuda yang merasa iri hati dan menggunakan siasat jahat sehingga suheng dan sumoi yang saling menyinta itu pada suatu hari sampai dapat ditipu dan merasa cemburu kepada yang lain.

Pemuda curang itu tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan ia dapat bertindak demikian jauh dan membuat mereka berdua pada suatu hari mengadu Ilmu pedang di atas bukit Kam-hong-san! Ternyata kepandaian mereka berimbang dan biarpun sudah bertempur hampir semalam penuh sampai melebihi ribuan jurus belum juga kelihatan siapa yang lebih unggul.

Kam Hong Siansu yang ketika itu masih bernama Bun Sin Wan menggunakan Pek-Liong-pokiam dan memainkan Pek-liong-kiamsut, sedangkan Kui Giok Ciu menggunakan Ouw-liong-Pokiam dan memainkan Ouw-Liong-kiamsut. Ilmu pedang mereka memang secabang, hanya terdapat perbedaan sifat saja karena suhu mereka memang sengaja mencipta kedua ilmu pedang itu khusus untuk murid wanita dan murid laki-laki yang dua orang itu.

Suhu mereka adalah seorang pertapa aneh yang mengasingkan diri dan hanya mereka kenal dengan sebutan Bu Beng Lojin atau Orang Tua Tak Bernama. Orang aneh ini, mempunyai sepasang Pedang Pusaka Naga Putih dan Naga Hitam! Dan kedua pedang itu ia berikan kepada kedua muridnya dengan pesan agar pedang itu kelak diberikan kepada murid-murid yang benar-benar bertulang bersih dan berjiwa luhur.

Agaknya memang sudah merupakan sumpah keturunan bahwa siapa saja yang memegang kedua pedang itu tentu terlibat dalam urutan asmara. Demikianpun Kui Giok Ciu dan suheagnya. Diam-diam hati mereka tertusuk panah asmara sehingga mereka tak berdaya lagi. Tapi ikatan yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan ini, hancurlah oleh kecurangan pemuda she Gak yang juga seorang ahli silat tinggi dari cabang Bu-tong.

Akhirnya kedua suheng dan sumoi itu sadar juga akan kecurangan Gak Bin Tong dan mereka berdua mencarinya lalu membunuhnya. Tapi hubungan mereka telah renggang, di sudut hati kecil mereka telah dikotori sakit hati dan kekecewaan. Namun, agaknya mereka masih merasa berat dan saling setia sehingga mereka berdua bersumpah takkan kawin dengan orang lain dan tinggal membujang selama hidup dan hidup sebagai pertapa di atas gunung!

Bun Sin Wan bertapa di atas bukit Kam-hong-san dan memakai nama Kam Hong Siansu dan Kui Giok Ciu bertapa di atas bukit Heng-san dan disebut Kui Suthai. Mereka berdua bertapa sambil memperdalam Ilmu pedang mereka dan mereka telah berjanji akan menurunkan kepandaian kepada seorang murid dan kemudian murid mereka akan menetapkan siapa yang lebih unggul!

Ternyata kemudian bahwa murid Kam Hong Siansu yang mewarisi Pek-Liong Kiamsut dan Pedang Pusaka Naga Putih adalah Si Han Liong, sedangkan yang mewarisi Ouw-Liong Kiamsut dan Pedang Pusaka Naga Hitam adalah Pauw Lian. Selain Pauw Lian, pertapa wanita itu masih menerima seorang murid lagi, yakni Lie Bun Tek, seorang yatim-piatu yang hidup terlunta-lunta dan tersesat naik ke Gunung Heng-san.

Melihat anak itu bertulang baik dan patut dijadikan seorang pendekar, Kui Giok Ciu Suthai memungutnya dan mendidiknya. Tapi karena Ilmu Pedang Naga Hitam hanya diperuntukkan seorang saja, maka ia tidak memberi pelajaran ilmu pedang kepada muridnya ini, sebaliknya menurunkan ilmu silat joan-pian yang lihai dan yang tingkatnya hanya sedikit lebih rendah daripada Ouw-Liong Kiamsut.

Demikianlah, Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek menuturkan riwayatnya, tentu saja ia tak menuturkan riwayat gurunya di atas karena ia tidak tahu akan hal itu. Sebaliknya Pauw Lian juga diam saja dan tidak banyak menuturkan keadaan diri dan asal-usulnya, karena ia merasa malu kepada Han Liong. Hanya kadang-kadang ia mencuri dengan kerlingan mata ke arah pemuda itu, dan dengan tajam matanya menatap Pedang Pusaka Naga Putih yang tergantung di punggung Han Liong. Sebetulnya, siapakah nona Pauw Lian ini?


                   ***************


Marilah kita ikuti riwayatnya secara singkat. Ketika Kui Giok Ciu sambil memegang Pedang Pusaka Naga Hitam berpisah dari Bun Sin Wan dengan hati patah akibat asmara gagal, ia terjun ke dalam kalangan kang-ouw dan melakukan hal-hal yang menggemparkan.

Dengan pedang hitam di tangan, ia binasakan Lima Iblis dari Keng-liat yang terkenal jahat, mengobrak-abrik sarang kawanan penjahat dan perampok di Bukit Heng-san yang dikepalai oleh si Raja Naga Teng Lok, pergi ke atas Kun-lun-san dan dengan ilmu pedangnya mengalahkan semua cabang atas dari cabang Kun-lun, lalu seorang diri mengambil kepala durna Tui Keng Hok yang berpengaruh besar dan terkenal jahat pemeras rakyat.

Masih banyak hal-hal luar biasa ia lakukan untuk melampiaskan sakit hati dan kekecewaannya akibat asmara gagal. Kemudian ia memilih bukit Heng-san sebagai tempat pertapaan dan semenjak itu ia menyembunyikan diri di gunung itu. Bertapa dan memperdalam ilmu pedangnya Ouw-liong Kiamsut karena khawatir kalau-kalau kelak muridnya tak dapat melawan murid suhengnya!

Ia bertapa semenjak masih gadis remaja berusia tak lebih dari dua puluh tahun sampai menjadi seorang nenek berusia lima puluh tahun lebih.

Pada suatu hari, dengan tak disengaja Kui Giok Cin melihat bayangan sendiri di dalam telaga dan ia menjadi terkejut melihat bayangan tubuhnya merupakan seorang nenek tua yang telah putih rambutnya! Tak terasa ia menangis tersedu-sedu dan ia terkejut pula ketika teringat bahwa ia belum mempunyai murid.

Maka pergilah ia turun gunung dengan maksud mencari murid. Baru saja ia menuruni bukit Heng-san di dalam sebuah hutan ia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima belas tahun roboh di bawah pohon Siong besar dalam keadaan sakit.

Anak muda itu ternyata adalah Lie Bun Tek, seorang anak yatim piatu yang hidup sebatang kara dan terlunta-lunta. Pada saat itu ia menderita sakit dan rebah tak berdaya dalam hutan itu. Kul Giok Ciu Suthai merasa kasihan sekali melibat kesengsaraan anak muda itu dan ia teringat akan keadaan dan nasib sendiri. Maka ia segera menolongnya dan memberi obat dan setelah Lie Bun Tek sembuh, ia pesankan kepada anak itu untuk menjaga tempat pertapaannya selama ia pergi.

Maka ia kembali pergi mencari murid. Ia maklum bahwa Lie Bun Tek adalah seorang anak yang bertubuh bersih dan mempunyai dasar yang baik untuk menjadi orang gagah. Sebenarnya takkan kecewa kalau ia mempunyai murid seperti anak itu, tapi sayang bahwa Lie Bun Tek bukanlah seorang wanita, sedangkan Ouw-liong Kiamsut harus diturunkan kepada seorang murid wanita sebagaimana yang selalu ia cita-citakan.

Selama lima tahun Kui Suthai merantau dalam usahanya mcncari seorang anak yang pantas menjadi muridnya. Ia tidak ingat untuk pulang ke atas Gunung Heng-san sebelum berhasil mendapat seorang murid yang cocok.

Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah hutan, ia mendengar suara orang berteriak minta tolong. Ia mempercepat langkahnya dan menuju ke arah suara itu. Di atas lapangan rumput ia melihat seorang laki-laki sedang berkelahi melawan empat orang yang mengeroyoknya. Seorang yang berpakaian pelayan roboh bermandikan darah dan rupanya ialah yang berteriak-teriak minta tolong tadi.

Kepandaian orang yang dikeroyok itu cukup baik tapi menghadapi empat orang yang bersenjata golok sedangkan ia sendiri bertangan kosong, ia kelihatan sibuk juga. Tubuhnya telah penuh dengan luka-luka, tapi ia masih bisa melawan dengan gigihnya. Di dekat itu kelihatan sebuah kereta kecil dan seorang anak perampuan yang baru berusia kurang lebih lima tahun berseru-seru kepada ayahnya yang sedang dikeroyok.

“Ayah, pukul, ayah, pukul mereka!” Kedua tangannya yang kecil terkepal erat-erat dan sepasang matanya yang bening menyala-nyala.

Melihat keadaan mereka, Kui Suthai segera bertindak. Sekali ia berkelebat dan menggunakan kedua tangan dan kakinya, tubuh keempat penjahat itu terlempar jauh dan roboh tak dapat bangun lagi!

Laki-laki yang dikeroyok itu tak tahu apa yang telah terjadi. Ia hanya melihat bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu keempat musuhnya menjerit dan terlempar jatuh dan tidak bangun lagi. Tadi ia tak sempat memikirkan itu semua karena kepalanya terasa pusing dan tubuhnya lemah. Ia telah mengeluarkan terlampau banyak darah. Dengan langkah lemah lunglai ia menghampiri anaknya, tapi sebelum sampai di kereta anaknya itu, ia telah roboh terguling.

“Ayah!” Anak perempuan itu menjerit dan meloncat dari atas kereta lalu memeluk tubuh ayahnya yang penuh dengan darah.

Ternyata laki-laki itu idalah Pauw Bin Siong, seorang pedagang kecil yang baru saja ditinggal mati isterinya dan sedang menuju ke kampung halamannya dengan seorang anak dan seorang pelayan. Ia bermaksud pindah ke kampung sendiri agar dapat bersatu dengan orang tuanya agar anaknya ada yang merawat.

Pauw Bin Siong menderita luka terlampau berat dan sejak tadi mengeluarkan banyak darah, maka Kui Suthai melihat keadaannya hanya bisa goyang-goyang kepala saja. Tak berapa lama lagi Pauw Bin Siong yang bernasib malang itu meninggal dunia dalam pelukan anak perempuannya yang baru berusia lima tahun itu!

Anak perempuan itu bernama Lian dan semenjak saat itu ia menjadi yatim piatu dan dibawa oleh Kui Suthai keatas gunungnya. Memang pandangan mata Kui Suthai tajam dan tepat. Ternyata bahwa Pauw Lian adalah seorang anak perempuan yang cerdik dan pandai.

Ketika tiba di atas Gunung Heng-san, Kui Suthai girang sekali melihat bahwa Lie Bun Tek, pemuda yang dulu disuruhnya menjaga pertapaan, ternyata masih berada di situ seorang diri! Tapi sungguh kasihan, pemuda itu menderita kesedihan ditinggal seorang diri, dan penderitaannya demikian hebat hingga tubuhnya menjadi kurus dan rambut di kepalanya telah berubah putih semua!

Melihat kesabaran dan kesetiaannya, Kui Suthai merasa sangat terharu dan ia turunkan Ilmu silet joan-pian kepada pemuda itu dan ia belajar dengan rajin. Tapi, sebentar saja ia ketinggalan oleh sumoinya, Pauw Lian yang benar-benar cerdik dan berbakat itu.

Telah beberapa kali Kui Suihai menyuruh Lie Ban Tek turun gunung melakukan tugas menolong sesama manusia yang tertindas dan yang sengsara, hingga Lie Bun Tek menjadi terkenal dan digelari orang Heng-san koai-hiap atau Pendekar Aneh dari Heng-san.

Karena Pauw Lian masih sangat muda juga adatnya agak keras tak mau kalah. Kui Suthai tak memperkenankan gadis itu turun gunung biarpun berkali kali Pauw Lian memohon kepada gurunya untuk sekali-kali ikut suhengnya.

Waktu berlalu cepat dan dengan tak terasa Pauw Lian telah menjadi seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Ia sangat cantik jelita hingga gurunya makin sayang padanya. Melihat bahwa semua dasar ilmu silat tinggi telah dimiliki muridnya, maka ia turunkan ilmunya yang terakhir, ialah Ouw liong Kiamsut.

Ketika ia memberikan pedang Ouw-liong pokiam kepada Pauw Lian, ia menyuruh gadis itu bersumpah, Kemudian ia memberitahu kepada muridnya itu bahwa biarpun Ouw-liong Kiamsut boleh menjagoi di kalangan kang-ouw, namun masih ada tandingannya, yakni Pek-liong Kiamsut. Dan ia ceritakan kepada muridnya akan hal suhengnya yang kini bertapa di Kam-hong-san dan bergelar Kam Hong Siansu dan bahwa suhengnya itu mempunyai sebuah Padang Pusaka Naga Putih.

Secara menyindir iapun menceritakan betapa ia sudah berjanji dengan suhengnya itu untuk menetapkan mana yang lebih unggul antara Ouw-liong Kiamsut dan Pek-liong Kiamsut. Ia hanya pesan kepada muridnya agar berlaku sangat hati-hati jika menghadapi Pek liong Kiamsut.

Biarpun telah menjadi seorang pertapa yang menjauhkan diri dari dunia ramai, Kui Suthai mempunyai jiwa patriot dan ia tidak senang melihat kedua muridnya menjadi orang tak berguna. Maka diperintahkannya kedua muridnya itu turun gunung dan membantu gerakan kaum pembela rakyat yang gagah perwira. Tentu saja Pauw Lian merasa girang sekali, karena ini adalah yang pertama kalinya ia turun gunung.

Di bawah bimbingan suhengnya yang sudah berpengalaman, Pauw Lian mulai melakukan tugas mulia bersama-sama suhengnya dan banyak rakyat yang telah menerima budi mereka. Kemudian mereka tiba di kota raja dan Lie Bun Tek mendengar akan hal istana putih. Ia menyuruh sumoinya tinggal di rumah penginapan dan menanti di sana sedangkan ia sendiri pergi menyelidik di istana putih yang terkenal itu.

Dan dengan sangat kebetulan ia mendengar kesombongan Kek Kong Tojin yang bercerita tentang turut surat rahasia itu. Maka ia menjadi sangat girang dan mencoba merampas surat-surat itu yang berarti membantu perjuangan kaum patriot. Tapi tak tersangka bahwa pada saat itu muncul seorang berkedok yang mendahuluinya dan yaug ternyata adalah Tan Un Kiong, pemuda yang mengagumkan itu.

Lie Bun Tek mengakhiri ceritanya dengan berkata, “Tak kami sangka sama sekali bahwa pemuda berkedok yang lihai itu bukan lain juga orang segolongan sendiri yang hendak membela rakyat. Biarpun di sini terdapat sedikit perbedaan di antara Si Taihiap dengan Tan Taihiap, yakni seorang memusuhi kaisar dan yang seorang tidak, namun pada dasarnya serupa yakni membela rakyat yang tertindas!”

“Menurut pendapatku, surat-surat penting itu harus diserahkan kepada Si-taihiap.” Pauw Lian tiba-tiba berkata dengan suara tetap.

Semua orang memandangnya dan Han Liong memandangnya dengan heran.

“Pauw Lian cici mengapa berlaku segan-segan? Bukankah kau sudah tahu bahwa Han-ko ini murid dari supeh-mu? Jadi kau bukanlah orang luar, tetapi masih terhitung sumoi-nya. Mengapa kau sebut dia taihiap-taihiapan!” tegur gadis jenaka itu sambil melonjongkan mulutnya yang manis.

Bukan main sibuknya Pauw Lian ketika itu. Seluruh mukanya yang jelita dan berkulit putih bersih itu tiba-tiba saja menjadi merah sampai ke telinganya. Han Liong ketika melihatnya dan diam-diam ia membelalakkan matanya kepada Hong Ing yang ketika melihat sikapnya ini lalu mencibir kepadanya!

Untuk menolong Pauw Lian yang bingung karena pukulan Hong Ing tadi, Han Liong berkata tenang, “Pauw sumoi, adikku berkata betul. Tetapi, kau tadi berkata bahwa surat-surat itu harus diserahkan kepadaku, mengapa dan apakah alasanmu?”

Pauw Lian menghela nafai panjang dan memandang kepada pemuda itu dengan berterima kasih. “Begini,” katanya kemudian, “Si suheng telah bergabung dengan orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk melakukan maksud besar dan menghancurkan pemerintah asing yang menjajah. Justeru surat-surat ini perlu sekali untuk usahanya yang suci itu. Memang Tan taihiap juga mempunyai alasan kuat untuk memiliki surat-surat itu, namun bila dipertimbangkan lagi, alasannya hanya berdasarkan kepentingan pribadi, sedangkan Si suheng mendasarkan alasannya memiliki surat itu untuk kepentingan rakyat jelata dan perjuangan suci.”

Semua orang mendengar kata-kata yang lancar dan bijaksana ini dengan kagum, tetapi Un Kiong diam-diam mengerutkan keningnya, Hong Ing yang bermata tajam dapat melihat sikap pemuda 'tolol' itu.

“Aku tidak sependapat dengan Pauw cici!” tiba-tiba Hong Ing berkata dengan gagah dan tegas. Kini semua oranglah yaag menatap wajahnya. “Kita orang-orang gagah harus menempatkan keadilan di atas semua hal. Apa artinya gagah kalau tidak adil? Jangan kira hanya mementingkan keperluan diri sendiri lalu lupakan kepentingan orang lain. Saudara Tan Un Kiong telah bersusah payah merampas surat-surat ini dan tak dapat disangkal lagi dialah yang berhasil merampasnya hingga dia yang berhak memilikinya sebelum dirampas oleh orang lain.”

Sampai di sini, semua orang memandangnya heran, tak terkecuali Han Liong yang berpikir apakah yang hendak ditelurkan oleh adiknya yang nakal ini? Sementara itu, Pauw Lian yang suka berkata jujur dan berterus terang, segera bertanya.

“Eh, eh, adik Hong Ing rupa-rupanya hendak mengadu orang? Kau maksudkan bahwa kami atau seorang diantara kami harus merampas surat-surat itu dengan kekerasan dari tangan Tan-taihiap?”

Kedua mata Hong Ing yang jernih seperti mata burung Hong Itu melebar. “Hai, jangan terburu nafsu, cici! Masakan sesama kita harus saling cakar? Maksudku dengan kata-kata sebelum dirampas oleh orang lain ialah sebelum dirampas kembali oleh pihak lawan. Aku katakan orang lain, apakah kalian semua ini termasuk orang lain? Maka jika surat-surat itu semuanya diserahkan kepada Han-ko, kurasa kurang adil terhadap saudara Tan Un Kiong. Alasannya cukup kuat. Ayahnya seorang pembesar setia dan jujur, sedangkan dia sebagai seorang putera hendak berbakti kepada ayahnya. Bukankah alasan ini cukup mulia dan kuat?”

Tiba tiba Han Liong tersenyum. Diam-diam ia merasa sangat girang karena rupanya adiknya yang bengal ini suka kepada pemuda she Tan itu!

“Hm, baru kali ini aku mendengar kau membela orang demikian mati-matian!”

Kata-kata ini diucapkan dengan suara sungguh-sungguh, tapi pada wajah Han Liong yang cakap terbayang senyum penuh arti hingga semua orang dapat mengerti maksudnya dan tertawa sambil memandang wajah Hong Ing.

Gadis ini cukup cerdik dan ia tahu kemana maksud kata-kata kakaknya. Wajahnya menjadi merah dan dengan muka asam ia lalu cubit lengan kakaknya dengan keras hingga Han Liong berteriak kesakitan. Orang-orang yang melihat sikap mereka demikian mesra dan gembira sebagai kanak-kanak, diam-diam ikut merasa senang.

“Kalau tidak ada orang lain, pasti aku sudah putar telingamu. Enak saja kau menggoda orang. Awas, lain kali kalau ada kesempatan jangan katakan aku keterlaluan kalau aku membalas mempermainkan kau. Bukan maksudku untuk begitu saja menyerahkan surat-surat kepada saudara Tan Un Kiong dan melupakan tugat dan kepentinganmu, tapi usulku ialah begini. Kita periksa surat-surat itu, mana yang penting bagi keperluan saudara Tan boleh dia ambil, sedangkan yang penting bagi kau boleh kau ambil. Bukankah ini namanya adil?”

Han Liong dan yang lain mengangguk-angguk. “Ka memang cerdik,” Han Liong memuji.

Tapi Un Kiong tak setuju. “Memang usul ini baik dan adil sekali,” katanya, “Tapi bila aku membawa surat tentang pemberontakan yang direncanakan Co Thaikam itu saja tanpa surat-surat lain yang berupa amanat kaisar, aku khawatir kaisar takkan mudah percaya begitu saja. Beliau sangat teliti dan kalau sampai aku tidak dipercaya, maka mudah bagi Co Thaikam mempengaruhi Kaisar dan sebaliknya ayahku akan mendapat celaka.”

Hati Liong berkata kepada Khouw Sin Ek yang semenjak tadi hanya diam saja, mengusap-usap jenggotnya yang putih sambil sekali-kali tersenyum gembira melihat tingkah anak-anak muda itu.

“Khouw Lo-enghiong, tolonglah memberi petunjuk kepada teecu semua. Bagaimanakah baiknya hal surat-surat itu harus diatur?”

Sio-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek berkata tenang. “Aku orang tua sebenarnya tidak mengerti tentang urusan ini. Tapi mendengar alasan-alasan yang diajukan, memang kedua-duanya mempunyai alasan kuat. Sayang surat-surat itu tidak bisa dibagi-bagi menurut kepentingan masing-masing sebagaimana yang diusulkan oleh nona Hong Ing ini. Tapi, kurasa para kaki tangan Co Thaikam itu tentu takkan berani cepat-cepat menjalankan rencana mereka karena surat-surat telah berada di tangan orang lain. Mereka tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari dan merampas kembali surat-surat ini yang bagi mereka bukan hanya sangat penting, juga sangat berbabaya.”

Tiba-tiba Han Liong teringat sesuatu. Ia bangun berdiri dan berkata girang. “Bukankah besok malam Go-gwee Cap-go. Ah, sungguh aku lupa. Aku justeru bertugas mengundang orarng-orang gagah berkumpul di bukit Beng-san pada Go-gwee Cap-go. Maka, harap cuwi sudi menunda dulu soal surat-surat ini dan marilah kita menuju ke Beng-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang kami undang. Kurasa, soal surat-surat inipun dapat dibicarakan dan diputuskan di sana. Tan lauwte kuharap sukalah menunda kepentingannya barang dua hari dan ikut menghadiri pertemuan penting ini.”

Tan Ui Kiong tadinya merasa ragu-ragu, tetapi tiba-tiba Hong Ing berkata girang, “Tentu saja saudara Tan suka ikat pergi. Kesempatan untuk bertemu dengan para hohan yang berkumpul, belum tentu akan didapatkan untuk kedua kalinya selama hidup. Koko Han Liong, kau jangan tanya aku lagi mau atau tidak pergi ke sana. Pendeknya, aku ikut pergi!”

Han Liong tertawa dan dengan hormat mengundang Khouw Sin Ek, Pauw Lian serta Lie Bun Tek. Semua setuju dan beramai-ramai mereka berangkat menuju ke gunung Beng-san, tempat kediaman Beng-san Tojin Pauw Kim Kong, seorang di antara guru-garu Han Liong, karena tempat inilah yang sudah ditentukan untuk pertemuan itu.

Memang Pauw Kim Kong Malaikat Rambut Putih pandai sekali memilih tempat kediaman. Beng-san adalah sebuah bukit yang subur dan penuh dengan pohon-pohon hijau menyegarkan. Juga tempat ini sangat sejuk hawanya, tidak terlalu dingin, karena tidak terlalu tinggi. Sehingga matahari dapat menembuskan cahayanya diantara mega-mega tipis. Penduduk di sekitar gunung itu semuanya hidup dari hasil pertanian, karena tanah disitu memang baik dan subur.

Ketika rombongan Han Liong tiba di situ, ternyata sebagian besar orang-orangg gagah telah berkumpul. Han Liong merasa girang sekali karena dapat bertemu dengan semua gurunya. Melihat bahwa Khouw Sin Ek ikut datang bersama Han Liong, semua orang merasa gembira sekali dan mereka menyambut cianpwe ini dengan penuh penghormatan karena diantara semua yang hadir boleh dibilang Khouw Sin Ek adalah dari golongan tertua.

Yang hadir pada saat itu antara lain adalah. Siok Houw Sianseng, Beng-san Tojin Pauw Kim Kong, Kim-to Bie Kong Hosiang. Liok-tee Sin-mo Hong In, Siauw-lo-ong Hce Bin Kiat, dan Yu Leng In.

Dari golongan muda, selain Han Liong, Hong Ing, Ui Kiong, Pauw Lian, dan Lie Bun Tek, tampak pula Bhok Kian Eng dan Lie Kiam murid-murid Liok-tee Sin-mo, juga hadir Bie Cauw Giok murid Beng-san Tojin.

Orang-orang gagah yang diundang oleh Han Liong dan tampak hadir adalah, Lok Twie Hwesio wakil Siauw-lim, Pak Ciok Tojin seorang ahli pedang Kun-tun-pai, Khu Bu Souw ahli waris ilmu silat keturunan keluarga Khu yang terkenal lihai, Bing Hwa Suthai dari bukit Leng-san dengan muridnya Coa Li Lian yang bergelar Burung Kepinis Merah, Kok Tiang Lojin seorang gagah bergelar Pengemis Malaikat karena ia selalu berpakaian seperti seorang pengemis, dan masih banyak lagi orang-orang gagah yang ternama pada masa itu.

Diantara undangan-undangan lain tampak pula Lima Pendekar tua dari Keng-ciu yang bernama Lok Ho, Lok Thian, Lok Kim, Lok Eng, dan Lok Kiat. Ngo-lohiap ini terkenal dengan Ngo-heng-tin atau Barisan Lima Elemen, yakni ilmu silat yang dilakukan oleh mereka berlima dan yang jika dimainkan dapat mengimbangi kekuatan lawan yang berapapun banyaknya!

Kang-ciu Ngo-lohiap ini mengiringkan seorang tua yang sikapnya agung dan terkenal sebagai seorang patriot sejati juga memiliki kepandaian tunggal, yakni permainan toya yang disebut Sin-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Ular Dewa. Orang tua ini bernama Souw Kwan Pek dan ia adalah seorang panglima dalam barisan Gouw Sam Kwie dahulu.

Tak heran semua orang menghormatnya sebagai seorang pahlawan pembela rakyat yang gagah perkasa. Kelima saudara Lok itu sengaja mengiringkannya karena mereka seakan-akan mewakili daerah Selatan dan Barat untuk mengangkat Souw Kwan Pek ini sebagai bengcu atau kepala dari perserikatan pemberontak yang baru.

Ketika Han Liong mcmperkenalkan kawan-kawannya yang muda kepada semua suhunya, Pouw Kim Korg memandang Pouw Lian dengan mata terbeliak dan wajah pucat. Han Liong tahu perobahan air muka suhunya ini, maka dengan cepat ia raba lengannya.

Pouw Kim Kong dapat mengendalikan perasaannya dan menjadi tenang kembali, tapi ketika ada saat terluang, ia memberi tanda kepada Han Liong agar mengikutinya ke ruang belakang di mana tidak terdapat tamu.

“Han Liong, tolong panggil nona Pouw Lian ke sini,” kata orang tua itu sambil merebahkan dirinya di atas sebnah kursi dengan tubuh lemas karena terlalu lama ia menahan tekanan perasaannya.

Han Liong memandang heran, tapi ia segera melaksanakan perintah gurunya itu. Pauw Lian pun merasa heran juga tapi ia datang juga, diikuti oleh Hong Ing yang tak mau terpisah darinya.

Ketika tiba di kamar itu, lagi-lagi Pauw Kim Kong menatap wajah gadis jelita itu hingga Pauw Lian yang tadinya merata heran, kini memperlihatkan wajah tak senang dan ia beranggapan orang tua itu kurang sopan.

“Nona Pauw Lian, maafkan jika aku mengganggumu. Tapi, kau mengingatkan aku akan seseorang yang yang kukasihi. Kau... coba sebutkan nama ayahmu padaku,” kata Pauw Kim Kong.

Biarpun merasa heran, namun Pauw Lian menjawab juga. “Almarhum ayahku bernama Pauw Bin Siong.”

Pauw Kim Kong menghela nafas dalam-dalam. “Benar... benar... dunia ternyata tak sangat besar. Nona... tahukah kau siapa aku? Pauw Bin Siong yang kau sebut ayahmu itu bukan lain ialah kakakku sendiri!

Pauw Lian terkejut dan mengangkat kepalanya memandang.

“Aku, Pauw Kim Kong, hanya mempunyai seorang saudara, tapi semenjak kau lahir, aku memisahkan diri mengejar ilmu. Dulu aku tinggal serumah dengan orang tuamu, maka aku kenal baik wajah ibumu yang serupa benar denganmu. Maka tadi ketika aku melihat kau. aku merasa seakan-akan berhadapan dengan ensoku sendiri. Aku ... aku sudah mendengar tentang kematian orang tuamu dan sudah lama aku pergi mencari-carimu tak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu, di tempat ini..."

Karena merasa terharu, Si Malaikat Rambut Putih menundukkan kepala untuk menyembunyikan mukanya yang berobah karena keharuannya itu. Sekarang Pauw Lian melihat tegas persamaan wajah almarhum ayahnya. Tanpa merasa ragu-ragu lagi ia maju berlutut di depan Pauw Kim Kong sambil memeluk kakinya, dan menangis tersedu-sedu...


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



“Siokhu...” hanya sebutan ini saja yang dapat keluar dari mulut Pauw Lian yang tersendat itu, karena parasaan terharu hatinya bertemu dengan seorang yang masih ada hubungan keluarga dengannya.

Melihat Pauw Lian menangis, Hong Ing tak dapat pula menahan hatinya lagi dan ia pun ikut terharu tanpa dapat pula dicegah. Namun ia masih dapat menenangkan perasaan Pauw Lian sambil memeluknya dan berkata,

“Eh, ah mengapa? Bertemu dengan seorang paman bukannya bergembira, bahkan menangis!" Tetapi air matanya sendiri mengalir meleleh di kedua pipinya.

Maka paman dan keponakan itu segera saling menuturkan riwayat masing-masing dan Pauw Kim Kong merasa bangga sekali mendengar bahwa keponakannya ternyata menjadi murid dari Kui Giok Ciu Suthai yang namanya pernah menggegerkan kalangan kang-ouw si Malaikat Rambut Putih maklum bahwa setelah mewarisi senjata Pedang Pusaka Naga Hitam yang hebat itu, keponakannya yang jelita ini tentu mempunvai kepandaian yang lebih tinggi dari dia sendiri!

Diam-diam ia mengadakan perbandingan antara Pauw Lian dengan Han Liong dan hatinya merasa senang sekali. Pada malam Go-gwee Cap-go, saat pertemuan yang telah ditetapkan, di puncak Gunung Beng-san itu berkumpul kaum persilatan hingga lebih dari lima puluh orang, Siok Houw Sianseng mendapat kehormatan untuk memimpin rapat pertemuan itu.

Di tengah-tengah pekarangan yang luas itu didirikan sebuah panggung dan Siok Houw Sianseng mengadakan sembahyang untuk menghormati arwah para pahlawan bangsa yang telah gugur. Di tengah-tengah panggung, sebagai pahlawan terbesar, dituliskan nama Si Cin Hal, yakni Eighiong yang telah banyak dikenal. Semua orang ikut bersembahyang.

Kemudian Siok Houw Sienseng berdiri di atas panggung dan menjura kepada semua orang. “Cuwi sekalian yang mulia. Kiranya cuwi telah cukup mengerti maksud diadakannya pertemuan ini, pertama untuk bersembahyang dan menghormati para pahlawan yang telah gugur. Kedua untuk dapat saling kenal-mengenal satu sama lain dan mempererat hubungan. Ketiga tak lain ialah untuk memilih seorang bengcu, karena setiap pergerakan harus ada seorang pemimpinnya agar segala sesuatu dapat dilakukan secara teratur, tidak kacau-balau. Karena kita semua telah bersembahyang, maka baiklah kita bersama kini mulai dengan pemilihan seorang bengco. Pemilihan diatur begini. Tiap rombongan yang terdiri sedikitnya sepuluh orang yang berkumpul di sini boleh mengajukan seorang wakil. Nanti diantara wakil-wakil atau calon-calon ini dipilih seorang yang menurut pendapat suara terbanyak lebih cocok. Nah, silakan cuwi mulai mengajukan calon.”

Maka ramailah orang-orang bicara hingga suara mereka seakan-akan bunyi lebah yang baru saja diusir dari sarangnya. Dengan sendirinya mereka terpecah menjadi beberapa rombongan. Setelah masing-masing rombongan menyampaikan nama calon, maki para calon adalah...,

Pertama calon yang diajukan oleh rombongan dari dua puluh lima orang, yakni Sin-coa-kun-hwat Souw Kwan Pek. Ketika namanya diumumkan, maka terdengar tempik-sorak gemuruh, menyatakan betapa orang tua ini telah terkenal dan banyak, disukai orang. Calon kedua yang diajukan oleh rombongan Han Liong dan kawan-kawannya adalah Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek, yang juga mendapat sambutan meriah karena di kalangan kang-ouw, siapakah yang belum mendengar nama jago tua ini?

Calon ketiga adalah hasil daripada kenakalan Hong Ing. Gadis yang tak mau diam ini dengan cepat dan diam-diam telah membujuk semua wanita gagah yang berada di situ untuk memilih Pauw Lian. Bahkan, Yo Leng In sendiri sampai kena terbujuk oleh Hong Ing yang secara berlebih-lebihan menceritakan kepandaian dan kebaikan Pauw Lian.

Ketika Paum Lian yang merasa heran disambut oleh tampik-sorak para hadirin yang gegap gempita. Hong Ing tersenyum puas dan Pauw Lian agaknya tahu setidaknya dapat menduga siapakah yang menjadi biang keladi pencalonan atas namanya ini, karena terlihat betapa Pauw Lian memandang ke arah Hong Ing dengan mata melotot.

Calon keempat adalah Si Han Liong sendiri yang dicalonkan oleh keempat gurunya dan orang-orang yang telah mengenal dan mongetahui akan sepak terjang dan kelihaiannva. Bahkan Khouw Sin Ek sendiripun memilih dia sebagai calon utama!

Siok Houw Sianseng berdiri dan dengan kedua tangannya memberi isyarat kepada semua orang supaya tenang. “Cuwi, ternyata bahwa calon yang diajukan hanya empat orang. Maka sebelum dilakukan pemilihan di antara keempat calon ini kami persilakan para calon naik di panggung ini untuk memberi sambutan. Dipersilakan calon pertama!”

Sin-coa-kun Souw Kwan Pek dengan kebutan lengan bajunya membuat tubuhnya melayang tiba diatas panggung hingga mendapat sambutan meriah dari mereka-mereka yang merasa kagum melihat gerakan indah ini. Si Toya Ular Dewa ini telah berusia enam puluh lebih tapi tubuhnya masih nampak kuat dan wajahnya membayangkan semangat yang besar. Dari kedua matanya bersinar cahaya kegembiraan, tanda ia berkeyakinan teguh dan berkemauan keras. Ia menjura dengan hormat sekali kepada Siok Houw Sianseng dan kepada para hadirin!

“Cuwi yarg terhormat. Terus terang memang saya selalu bersedia membantu perjuangan ini dan meruntuhkan kerajaan penjajah serta membangun lagi pemerintahan Han. Untuk perjuangan ini, jiwaku yang sudah terlalu lama tinggal di tubuh tua ini saya sediakan, tapi sesungguhnya, karena di sini terdapat beberapa orang calon, lebih-lebih ketika mendengar nama Sin-chiu Tai-hiap, maka saya harus menyatakan bahwa Khouw Tai-hiap yang memang pantas dan tepat sekali untuk menjadi bengcu kita. Baik dipandang dari usia, maupun dari pengalaman, jangan kata tantang kepandaiannya yang tiada bandingnya di masa ini, dan kepandaian saya belum seberapa jika dibandingkan dengan Khouw Tai-hiap. Tentu saja hasil pemilihan tergantung daripada cuwi sekalian, namun saya akan merasa bangga dan gembira jika kiranya Khouw Tai-hiap yang membimbing kita sekalian.”

Baru saja habis bicara, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Khouw Sin Ek telah berdiri di situ dengan tersenyum dan menjura di dipan Souw Kwa Pek.

“Saudara Souw terlalu segan-segan!” katanya sambil tersenyum. “Mungkin dalam hal usia dan pengalaman aku menang darimu, tentang kepandaian, siapakah yang dapat dikatakan unggul dan siapa yang rendah? Masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai kerendahan sendiri. Tapi, andaikata kedua lengan tanganku lebih keras, maka aku bukanlah calon bengcu yang baik. Ketahuilah, saudara sekalian, aku sebagai orang tua paling suka berterus terang. Di dalam hati, aku tidak merasa benci atau dendam kepada kaisar, biarpun aku benci sekali melihat perbuatan kaki tangannya. Kuanggap kaisar hanya seorang yang lemah dan terpengaruh oleh anasir-anasir jahat. Apakah kaisar yang berbuat jahat dan memeras rakayt? Belum tentu. Aku lebih percaya jika dianggap bahwa para pembesar lalailah yang memeras rakyat. Biarpun kaisar diganti seribu kali, namun bila semua pembesar tidak jujur, tetap saja rakyat akan tertindas! Maka, aku tidak tepat menjadi bengcu. Aku sudah bosan berkelahi, sudah bosan dengan urusan dunia yang serba penuh dosa ini. Aku ingin beristirahat, menanti hari saat terakhir hidupku dengan aman dan tenteram. Aku hanya bisa membantu bilamana perlu saja, tapi untuk menjadi pemimpin, ini aku tak sanggup. Tapi, cuwi yang terhormat. Ada seorang calon yang memang tepat sekali menjadi pemimpin para orang gagah. Tentang usia muda itu bukan menjadi soal, yang perlu sepak terjangnya. Soal kepandaian, barangkali ia masih lebih tinggi dari aku sendiri atau dari calon-calon yang lain. Aku tetap usulkan, calon keempat untuk menjadi bengcu.”

Orang-orang tidak melihat betapa gadis jelita berpakaian hitam itu sampai ke atas panggung, karena tahu-tahu Pauw Lian telah berada di situ dan memberi hormat.

“Aku yang muda dan bodoh sebenarnya merasa malu sekali sampai dicalonkan. Mungkin cuwi bermain-main dengan aku, karena ibarat burung, sayapku belum lagi tumbuh. Maka, setelah mendengar saran-saran Khow lo-enghiong tadi, aku setuju untuk memilih calon keempat menjadi bengcu!”

Sementara itu, Han Liong merasa serba susah. Betapapun juga, ia masih merasa keberatan untuk menerima tugas yang bukan ringan itu, namun disamping keraguannya, ada juga rasa pertanggungan jawab untuk melanjutkan cita-cita almarhum ayahnya. Maka setelah Pauw Lian selesai bicara, dengan tenang Han Liong melompat keatas panggung.

Semua orang yang belum mengenalnya merasa heran mengapa Khouw locianpwe memilih calon yang masih sangat muda dan kelihatan lemah itu! Juga Souw Kwan Pek merasa tak puas karena dengan memuji-muji anak muda ini berarti Khow Sin Ek sangat merendahkan kalangan tua. Berapakah tingginya ilmu seorang pemuda seperti ini?

Sementara itu Han Liong memberi hormat kepada Khouw Sin Ek dan berkata, “Khouw locianpwe terlalu memuji aku yang muda dan bodoh ini. Sungguh aku sengat malu menerimanya.” Kemudian ia menghadapi semua tamu dan berkata dengan sungguh-sungguh “Cuwi enghiong. Biarpun pemilihan bengcu ini sangat perlu dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar jangan salah pilih, namun menurut pendapatku yang sempit, jika dipikir-pikir dengan masak hasil atau tidaknya sebuah perjuangan bukanlah bergantung semata-mata kepada seorang pemimpin. Apakah artinya pemimpin pandai bila para anggutanya tidak berjuang dengan penuh semangat? Maka, menurut pendapatku, seorang pemimpin haruslah seorang yang disegani dan yang cukup pengalaman. Bagiku yang muda dan bodoh, dipilih atau tidak, tetap aku sediakan jiwa raga untuk mengabdi kepada rakyat.”

Ucapannya ini mendapat sambutan hangat. Siok Houw Sianseng berdiri dan berkata kepada orang banyak. “Nah, kini keempat calon telah berdiri disini dan telah pula memberikan sambutannya. Maka, kini terserah kepada cuwi untuk memilih seorang di antara mereka.”

Khouw Sin Ek berdiri dan suaranya tiba-tiba terdengar lantang dan nyaring hingga orang banyak terkejut. “Cuwi dengarlah. Lohu tak mau ribut-ribut tentang pemilihan ini, tapi hendaknya diketahui bahwa calon keempat bukan lain adalah putera tunggal dari almarhum Si Enghiong.”

Mendengar pengumuman ini, maka ramailah suara orang menyambut dengan tepuk sorak. Di sana-sini terdengar “Pilih nomor empat!”. Bahkan yang telah kenal dan tahu keadaan Han Liong berteriak. “Pilih Pek-liong-Pokiam sebagai Bengcu!” Karena terkenalnya pedang dan kiamsut Han Liong, maka banyak orang memberi dia gelaran Pek-liong-Pokiam si Pedang Pusaka Naga Putih!

Tak lama kemudian, hampir semua tamu menyatakan setujunya memilih Han Liong sebagai bengcu. Tapi diantara mereka ada juga yang merasa merasa kurang puas di antaranya ialah Keng-cu Ngo-lohiap dan Souw Kwan Pek. Mereka ini menganggap bahwa orang-orang telah berlaku ceroboh memilih seorang yang masih begitu muda untuk menjadi seorang bengcu dan menjabat kedudukan demikian penting dan sukar.

Siok Houw Sianseng berdiri dan memberi tanda lagi supaya orang menjadi tenang. “Cuwi, setelah mendengar suara terbanyak, maka saya pada saat ini sebagai pemimpin pertemuan ini mengumumkan bahwa bengcu kita yang terpilih ialah Si Han Liong taihiap”

Terdengar tepuk sorak menggema dan Siok Houw Sianseng menjura kepada Han Liong sambil berkata, “Si Bengcu, terimalah ucapan selamat dan hormatku.”

Dengan gugup Han Liong balas pemberian selamat itu. Tiba-tiba terasa angin bertiup ke arah panggung dan kelima kakek gagah dari Keng-cu telah berdiri di atats panggung. Lok Ho yang tertua, dengan senyum di mulut menjura kepada Han Liong sambil berkata,

“Kami datang dari tempat jauh dan mewakili ribuan orang di kalangan kang-ouw untuk memilih seorang bengcu. Kini Si enghiong terpilih, maka sudah sepatutnya kami bergembira ria karenanya dan memberi selamat. Tapi sebelum memberi selamat kepada sicu, terpaksa kami lebih dulu harus menyampaikan janji kami kepada kawan-kawan semua.”

Dari ucapan ini Han Liong dapat menangkap maksudnya yang hendak mencari-cari perkara, maka dengan sabar sekali ia bertanya. “Memang sudah sepantasnya begitu, lo-enghiong tapi apakah janji itu?”

“Kami telah berjanji untuk mengangkat seorang beng-cu yang dapat melayani Ngo-heng-tin kami selama seratus jurus tanpa terkalahkan!”

Han Liong terkejut mendengar ini. Ia pernah mendengar tentang kelihatan Ngo-heng-tin ini yang demikian kuat hingga berani menghadapi lawan sebanyak seratus orang apalagi menghadapi dia yang hanya seorang diri! Biarpun ia tak merasa takut, tapi ia dapat membayangkan bahwa bila tidak menggunakan tangan besi dan membuka jalan darah, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan.

Tiba-tiba terdengar Khouw Sm Ek tertawa. “Hm, Ngo-lohiap agaknya belum percaya kepada Si bengcu. Apakah aturan yang ditetapkan itu mengenai juga semua orang ? Karena tadi lo-hiap memilih saudara Souw Kwan Pek, tentu saudara Souw sudah pernah pula diuji dalam Ngo-heng-tin kalian.”

Biarpun kurang senang mendengar kata-kata yang mengandung sindiran tepat ini, namun Lok Ho tak berani menyatakan kurang senangnya terhadap Sin-chiu Tai-hiap. Ia hanya menjura dan menjawab.

“Janji kami ini hanya berlaku untuk calon yang bukan berasal dari daerah kami dan yang belum kami ketahui benar ilmu kepandaiannya. Mohon Khouw cianpwe jangan salah mengerti. Sesungguhnya syarat yang kami janjikan ini hanya untuk menjamin bahwa bengcu yang hendak kita ikuti jejak dan petunjuknya benar-benar seorang yang patut dipercayai penuh hingga setelah mengujinya, kami lima orang tua dapat bertanggung jawab terhadap kawan-kawan semua yang tidak ikut datang menyaksikan pemilihan ini. Kalau Souw cianpwe, kami dari daerah Barat telah kenal semua dan tahu sampai di mana kemampuannya, maka perlu apa dicoba lagi?”

Mendengar alasan-alasan yang kuat ini, Khouw Sin Ek terpaksa mengangguk-angguk membenarkan. Memang ia seorang yang jujur, maka ia menghargai sikap Ngo-lohiap yang terus terang itu. Ia berpaling kepada Han Liong dan berkata,

“Agaknya kau terpaksa harus melayani lima orang tua gagah ini, Si bengcu!”

Han Liong buru-buru memberi hormat kepada Ngo-lohiap. “Siauwte yang muda dan bodoh ini mana berani berlaku kurang sopan dan mencoba-coba Ngo-heng-tin yang lihai! Harap Ngo-lohiap jangan membikin sieuwte menjadi buah tertawaan, semua orang gagah.”

Mendengar kata-kata yang sangat merendah dan seakan-akan menunjukkan rasa jerih dan takut terhadap Ngo-heng-tin mereka yang terkenal itu, Lok Thian, kakek kedua, merasa bangga dan timbul juga rasa kasihan terhadap Han Liong yang dianggap pemuda cakap dan sopan. Maka ia segera berkata,

“Si enghiong, mondengar bahwa kau adalah putera almaihum Si lo-enghiong saja, aku sudah merasa suka kepadamu. Tapi karena kami tak dapat melanggar janji terhadap semua kawan dan syarat ini hanya sebagai coba-coba saja, maka kami persilakan kau memilih seorang kawan hingga kau berdua boleh maju melayani Ngo-heng-tin kami secara main-main.”

Lok Ho mendengar kata-kata adiknya ini hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan dalam hatinya berkata, "apa bedanya satu atau dua orang? Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu, maka cepat ia berkata, “Memang boleh mencari seorang kawan pembantu, tapi jangan Khoaw cianpwe!”

Melihat kecerdikan dan kebulusan akalnya, Khouw Sin Ek tertawa terbahak-bahak sambil mengurut-urut misainya. “Aku sudah tua, tidak seperti kalian anak anak kecil, masih suka main-main. Ayoh mulailah, aku sudah ingin sekali menonton pertunjukan bagus ini!”

Han Liong yang masih dalam keadaan bingung memandang ke kanan dan ke kiri mencari kawan. Maunya memandang ke arah Hong Ing yang berdiri dengan kening berkerut seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Tadinya Han Liong hendak minta Ui Kiong untuk membantunya karena ia maklum akan kelihaian anak muda itu, tapi tibi-tiba Hong Ing meloncat ke atas panggung.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama



Han Liong terkejut dan khawatir kalau-kalau Hong Ing menawarkan diri, karena hal itu malah akan memberatkannya saja, mengingat akan kepandaian gadis yang belum seberapa tinggi itu. Tapi Hong Ing tidak memperdulikan sikap Han Liong, langsung ia pegang lengan Pauw Lian yang masih duduk disitu dan menariknya lalu berkata kepada Ngo-lohiap,

“Teecu usulkan supaya Pauw Lian cici saja yang mengawani Han-ko menghadapi Ngo-heng-tin. Karena, selain Pauw Lian cici ilmu pedangnya lihai, juga untuk memberi muka terang kepada Ngo-losuhu. Kalau menyuruh sembarang orang saja memasuki barisan hebat itu, bukanlah berarti memandang rendah Ngo-heng-tin dan menghina Ngo-losuhu?”

Kembali terdengar Khouw Sin Ek tertawa gembira. “Bagus, bagus! Pilihanmu tepat sekali, nona. Kau memang cerdik. Nah. Pauw Lihiap harap jangan menolak.”

Terpaksa Han Liong menjura kepada Pauw Lian dan berkata dengan wajah merah, “Pauw sumoi, sudikah kau membantu aku?”

Pauw Lian hanya tersenyum dan mengangguk. Kedua anak muda itu, yang perempuan berpakaian hitam yang laki-laki berpakaian putih, berdiri menghadapi Lok Ho berlima dengan tenang. Karena panggung itu cukup kuat dan lebar, semua orang yang tidak hendak memperlihatkan kepandaiannya lalu turun, yang tertinggal hanya Ngo-lohiap dan kedua orang muda itu.

Keng-ciu Ngo-lohiap masing-masing mencabut keluar sebilah pedang dan berdiri memasang kuda-kuda merupakan segi empat dan seorang berdiri di tengah-tengah. Empat orang menghadap ke empat penjuru dengan pedang melintag di dada. Pedang masing-masing juga terukir dengan huruf-huruf yang menjadi lambang lima anasir, yakni Kim, Bok, Swie, Ho dan Tho atau Logam, Kayu, Air, Api, dan Tanah.

Pemegang pedang Kim-kiam adalah ahli silat yang menggunakan tenaga gwa-kang atau tenaga keras yang mempunyai kekuatan luar biasa. Pemegang pedang Bok-kiam sebaliknya ahli tenaga lemas atau tenaga dalam yang tangguh. Pemegang pedang Swie-kiam mempunyai daya tahan atau daya bela yang kuat sekali, tetapi sewaktu-waktu dapat bersatu dengan pemegang pedang Ho-kiam dan merupakan penyerang-penyerang yang tangguh dan kuat. Pemegang pedang Tho-kiam melakukan penjagaan dan melindungi keempat kawannya.

Demikianlah, kelima kakek gagah dari Keng-ciu itu mempunyai kepandaian-kepandaian khusus yang semuanya bertingkat tinggi dan yang telah menjalani latihan-latihan yang tekun dan teratur. Maka tak heran bila Ngo-heng-tin mereka merupakan barisan yang amat tangguh dan berbahaya!

Melihat kedudukan Ngo-lohiap demikian kuatnya, Han Liong memberi tanda kepada Pauw Lian dan dengan gerakan indah keduanya mencabut pedang masing-masing. Tampak dua cahaya hitam dan putih bersinar menyilaukan mata ketika Ouw-Liong Pokiam dan Pek-liong Pokiam bergerak dalam tangan sepasang teruna remaja itu!

Bergetar juga hati kelima kakek gagah melihat pedang pusaka yang hebat itu. Khouw Sin Ek duduk mencari tempat yang enak dan ia sap menonton pertunjukan hebat itu. Sedangkan entah disengaja atau tidak, Hong Ing tampak berdiri dekat dengan Ui Kiong di belakang Khouw Sin Ek. Sementara itu, Pauw Kim Kong juga bersama semua kawannya melihat dengan gembira, walaupun dengan hati agak tegang.

“Sumoi. aku memainkan Im dan kau memainkan Yang.” Han Liong berbisik kepada Pauw Lian yang mengangguk mengerti.

Memang permainan kedua anak muda itu, baik Ouw-liong Kiamsut maupun Pek-liong Kiamsut, sebenarnya berdasarkan jalan Pat-kwa dan dapat bergerak ke delapan penjuru, dan gerakan-gerakan mereka berdasarkan dua sifat yakni Im dan Yang (positive dan negative). Gerakan-gerakan Im lebih bersifat menyerang dan agressive sedangkan gerakan-gerakan Yang bersifat membela diri.

“Ngo-lotaihiap silakan bergerak lebih dulu,” kata Han Liong mempersilakan.

“Tidak, sicu. Kami merupakan barisan, kalianlah yang harus memulai. Kami akan mencoba menahan seranganmu dalam seratus jurus!” Kata-kata ini untuk mengalah dan merendah tapi mengandung tantangan dan diucapkan oleh Lok Ho dengan senyum seorang guru memandang muridnya.

“Kalau begitu, maaf siauwte mulai menyerang!”

Han Liong menutup kata-katanya dengan serangan pedangnya kearah Lok Thian yang menjaga di selatan dan memegang pedang Tho-kiam karena Han Liong ingin tahu sampai di mana ketangguhan bagian penjaga barisan itu. Serangannya ini sekali gerak telah ditangkis oleh Lok Ho dan Lok Thian, yakni pemegang Tho-kiam dan Swi-kiam, sedangkan pada saat itu juga tiga pedang yang lain meluncur ketiga bagian tubuhnya!

Tapi Pauw Lian tahu akan tugasnya sebagai pemain bagian pembela. Ouw-liong kiam bergerak cepat dan dapat menangkis ketiga serangan itu. Han Liong yang percaya penuh akan ketangguhan penjagaan Pauw Lian, seakan-akan tak perduli sama sekali akan serangan itu dan ia terus gerakkan pedangnya menyerang Lok Ho dan Lok Thian. Tiap gerakan pedang ia sertai dengan tenaga dalam yang hebat sekali sehingga kakek pertama dan kedua yang menahannya merasa betapa pedang pusaka mereka hampir terpental tiap kali beradu dengan Pek-liong Pokiam!

Maka mengertilah mereka bahwa anak muda ini benar-benar tak boleh dibuat gegabah. Sebaliknya, Lok Kim, Lok Eng, dan Lok Kiat yang bertugas menyerang, ternyata menghadapi Pauw Lian mereka seakan-akan menghadapi dinding baja yang tak mungkin ditembus!

Melihat siasat Han Liong yang mempergunakan gerakan Im dan Yang hingga kedua anak muda itu terbagi dua bagian pula, yakni menyerang dan membela, Lok Tho maklum bahwa jika demikian terus, fihaknya akan mendapat rugi. Maka ia berseru keras,

“Putar!” barisannya segera merobah gerakan. Mereka lari berputar disekeliling Han Liong dan Pauw Lian yang terkepung ditengah! Mereka bergerak bergantian, sekali tusuk terus lari, digantikan orang kedua yang menyerang atau menangkis. Dengan gerakan ini, maka kelima orang itu tidak mempunyai tugas tertentu, mereka merupakan lima buah kitiran yang bergerak bersamaan dan saling bantu membantu.

Tenta saja perobahan yang tiba.tiba ini membuat Han Liong dan Pauw Lian terpaksa ikut berputar di dalam kepungan itu! Dalam hal ini kedua teruna remaja itu rugi, karena lapangan berputar mereka sangat sempit hingga kcscmpatan menyerang lebih kecil. Mereka berdua harus berlaku waspada, karena serangan-serangan kelima pedang itu sama sekali tak boleh dipandang ringan.

Semua serangan dilakukan oleh tangan seorang ahli pedang dan tak sebuahpun yaag tidak berbahaya. Bahkan lama-kelamaan kelima kakek gagah itu menggunakan tipu-tipu cabang Thai-san dan semua tusukan diarahkan kepada urat-urat kematian!

Hal ini membuat Han Liong gemas sekali. Tadi ia berlaku malu dan kebanyakan hanya menangkis saja, kalaupub menyerang maka serangan itu ia jaga jangan sampai terlanjur dia melukai seorang dari pada Ngo-lohiap itu. Demikianpun Pauw Lian yang mengerti keadaan dan maksud Han Liong.

Sementara itu, selain Khouw Sin Ek, Tan Ui Kong, Lie Bun Tek, dan keempat guru Han Liong, semua orang yang menonton pertandingan itu merasa kepalanya pening dan matanya kabur. Begitu cepat gerakan kelima kakek itu hingga mereka seakan-akan bukan berlima, tapi lebih dari sepuluh orang!

Tiba-tiba terdengar Sin-coa-kun-hwat Souw Kwan Pek memuji. “Bagus!” suaranya terdengar gembira karena ketika itu Han Liong dan Pauw Lian tampak terkurung dan terdesak. Kepungan Ngo-heng-tin makin menyempit dan serangan makin bertubi-tubi datangnya! Orang tua she Souw ini yang sudah kenal akan kelihaian Ngo-heng-tin maklum bahwa sebentar lagi kedua anak muda itu pasti dapat dikalahkannya.

Sebaliknya Khouw Sin Ek mengerutkan keningnya, tapi sebagai seorang dari golongan tua ia tidak mau ikut bicara atau memberi petunjuk. Para cianpwe lain yang berada disitu, ahli-ahli silat ternama tingkatan atas seperti Lok Twie Hwesio dari Siauw-lim-pai, Pek Ciok Tojin dari Kun-lun-pai, Khu Bu Houw, dan yang lain-lain merasa kagum dan diam-diam mereka mengeluh bahwa mereka telah terlalu tua dan telah ketinggalan oleh anak-anak muda, karena dalam hal kepandaian ilmu pedang, diam- diam mereka akui bahwa Han Liong dan Pauw Lian berada di tingkat lebih tinggi dari mereka, bahkan permainan pedang seperti yang mereka itu selama hidup baru kali ini mereka lihat!

Tan Un Kiong yang dapat melihat pula betapa Han Liong berlaku segan-segan sedangkan kelima lawannya menggunakan seluruh kepandaiannya, juga merasa kurang senang, maka tanpa terasa ia berseru keras,

“Saudara Han Liong dan Pauw Lian cici, buat apa berlaku segan-segan lagi, sedangkan orang berlaku sungguh sungguh, mengapa kalian masih main-main?”

Teriakan ini membakar semangat Pauw Lian yang wataknya tidak sesabar Han Liong, maka sambil berseru kepada Han Liong. “Balas!” ia memutar pedangnya dan memainkan jurus-jurus Ouw-liong-kiamsut yang hebat.

Han Liong berkata keras “Maaf, Ngo-lotaihiap!” dan pedangaya pun bergerak cepat sekali mengimbangi gerakan Pauw Lian. Ia memainkan tipu-tipu permainan Pek-liong Kiamsut yang luar biasa. Dengan adanya perubahan ini, tubuh Han Liong dan Pauw Lian lenyap dari pandangan mata karena cepatnya mereka bergerak dan karena hebatnya sinar pedang mereka.

Yang tampak, kini hanya dua sinar hitam dan putih berkelebat ke sana ke mari dan makin lama makin cepat hingga merupakan cahaya memanjang seperti dua ekor naga sakti hitam dan putih bermain-main diantara gundukan awan-awan putih, yakni cahaya pedang kelima kakek gagah itu. Tanpa terasa, dari mulut Un Kiong dan lain-lain orang tergolong kaum cianpwe keluar seruan kagum.

“Bagus” berkali-kali karena memang permainan itu indah ditonton. Bahkan Khouw Sin Ek karena kagumnya sampai berdiri dari tempat duduknya tanpa terasa lagi. Sepasang matanya bersinar-sinar gembira, tangan kiri menolak pinggang, tangan kanan tiada hentinya mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang.

Dua cahaya hitam dan putih itu makin besar dan makin panjang, sedangkan kelima kakek gagah itu makin lambat gerakan perputarannya. Akhirnya mereka tidak lari lagi, tetapi hanya berdiri dengan pedang di tangan dan hanya kuasa menjaga diri dari lembaran cahaya hitam dan putih itu...!



Terima kasih telah membaca Serial ini
 



Ternyata setelah Han Liong dan Pauw Lian bermain sungguh-sungguh dan balas menyerang, dengan mudah saja mereka membikin Ngo-heng-tin yaag terkenal kuat itu menjadi kucar-kacir! Kalau mereka mau, mudah saja mereka merobohkan lawan-lawan itu, tetapi keduanya cukup bijaksana dan tahu mana kawan mana lawan!

Dan dalam pertempuran inilah terasa oleh keduanya, baik Han Liong maupun Pauw Lian, bahwa kedua Ilmu pedang mereka sesungguhnya merupakan Ilmu pedang pasangan yang jika dimainkan bersama-sama dan saling bantu-membantu, merupakan Ilmu pedang yang kuat dan cocok sekali. Mereka dapat saling membantu dengan demikian tepat hingga seakan-akan mereka hanya mempunyai satu pikiran dan satu perasaan! Diam-diam mereka merasa girang sekali.

Sementara itu, jurus-jurus telah dilewati lebih dari seratus lima puluh jurus, sedangkan kelima kakek she Lok itu telah mandi keringat karena setiap serangan kedua anak muda itu disertai tenaga dalam yang hebat sehingga untuk menangkisnya meskipun harus mengerahkan tenaga dalam yang membuat mereka lelah sekali. Tapi untuk menghentikan kedua anak muda itu, mereka merasa malu.

"Sudah cukup seratus jurus!" tiba-tiba Khouw Sin Ek memperdengarkan suaranya yang nyaring. Han Liong dan Pauw Lian menahan gerakannya dan kedua bahaya itupun lenyap. Mereka berdua berdiri saling pandang penuh arti, kemudian bersama-sama menjura dihadapan kelima Ngo-lohiap sambil berkata,

"Terima kasih atas kemurahan dan pengunjukan Ngo-lohiap."

Lok Ho kakek yang tertua menggunakan lengan bajunya menghapus peluh di dahinya. Ia tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala,

"Sungguh kami tak tahu diri. Jangankan kalian berdua, seorang diripun kami lima orang kakek loyo bukanlah tandinganmu. Selamat, Si Beng-cu, tidak hanya kami suka sekali mengaku kau sebagai bengcu, bahkan aku sendiri mau mengaku bahwa untuk zaman ini, Ilmu pedangmu boleh dikatakan yang paling tertinggi tingkatnya. Sungguh arwah Si lo-enghiong boleh merasa bangga karena beliau mempunyai seorang putera seperti kau!"

Inilah pujian yang tinggi sekali hingga Khouw Sin Ek diam-diam merasa girang akan kejujuran Lok Ho. Namun, Souw Kwan Pek si Toya Ular Dewa tetap merasa penasaran. Kalau diadakan perbandingan, ia mempunyai ilmu sitat jauh lebih tinggi daripada para kakek she Lok itu, biarpun harus ia akui bahwa belum tentu ia sanggup pukul pecah Ngo-heng-tin yang lihai.

Selain ilmu toyanya yang sangat hebat. Kakek ini mempunyai tenaga lweekang yang terlatih puluhan tahun lamanya hingga ia dapat menggunakan kepalan tangannya untuk memukul ke arah air dalam sumur dan membikin angin pukulannya itu menggerakkan air sampai melonjak ke atas. Maka, kini melihat Han Liong yang masih begitu muda tapi sudah begitu tinggi ilmu silatnya, ia merasa belum puas dan ingin mencobanya dengan tangan sendiri!

Dengan cepat Souw Kwan Pek melompat ke atas panggung dan ia menjura kepada Pauw Lian dan berkata. "Sungguh lihai ilmu pedangmu lihiap, aku yang tua merasa tunduk sekali!”

Berbareng dengan ucapan ini, ia mengerahkan tenaga dalamnya dan dengan tak kentara kedua tangannya terangkat dan dari situ menyambar angin pukulan ke arah rambut kepala Pauw Lian yang terbungkus sutera hijau. Maksud Souw Kwan Pek hanya akan membuat ikat rambut itu terpukul dan terlepas. Tapi Pauw Lian telah waspada, karena tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan ia lenyap dari depan Souw Kwan Pek. Selagi kakek itu terkejut dan heran, terdengar suara halus nona Pauw Lian di belakangnya.

"Souw Lo enghiong, aku yang muda tak berani menerima penghormatan demikian besar."

Souw Kwan Pek cepat memutar tubuhnya. Ia terheran-heran menyaksikan ginkang atau ilmu ringankan tubuh yang demikian luar biasa. Ternyata gadis cerdik itu telah melawan kekuatan tenaga dalamnya dengan kecepatan gerakannya.

"Hh, maaf, maaf...!” katanya dan ia merasa mukanya merah ketika terdengar suara Khouw Sin Ek tertawa bergumam.

Karena masih penasaran juga, ia menghampiri Han Liong. Sambil berkata. "Si Bengcu, kau begini muda, tetapi begini gagah, sungguh membikin aku orang tua iri sekali." Ia menggunakan tangan kirinya menekan pundak Han Liong dengan maksud menggunakan tenaganya untuk memaksa anak muda itu membungkuk sedikit.

Tetapi Han Liong yang sudah tahu bahwa ia sedang diukur segera menggunakan kepandaiannya 'sia-kut-hwat' yang ia dapat dari Pauw Kim Kong dan sekalian menggunakan tenaga dalamnya yang terlatih ketika ia berada di Kam-hong-san. Tetapi ia diam-diam terkejut karena biarpun tenaga pertahanannya cukup kuat, masih saja ia merasa seakan-akan pundaknya tertekan oleh tenaga ribuan kati dan kulitnya terasa panas dan perih!

Sebenarnya, dalam hal tenaga dalam, Han Liong masih kalah setingkat oleh Souw Kwan Pek, tetapi tubuh Han Liong semenjak kecil telah dilatih hebat, lagi pula di dalam tubuhnya telah mengalir obat mukjizat yakni racun ular hitam dan putih, maka ia masih dapat menahannya dan kulitnya tak menderita luka serta tulangnya tidak menderita pukulan.

Sebaliknya, Souw Kwan Pek merasa kagum ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit yang licin bagaikan belut itu, tetapi keras melebihi baja, sedangkan di balik kulit pundak itu lunak dan halus sehingga sebagian besar tenaga tekanannya punah! Biarpun kejadian ini hanya berjalan beberapa detik saja, namun buku-buku jarinya terdengar berkeratakan sehingga ia terkejut sekali dan buru-buru mengangkat tangannya lalu menjura.

"Si Bengcu, kau biarpun muda tetapi patut menjadi pemimpin kami, aku yang tua takluk padamu.” Han Liong cepat membalas menjura dengan hormat sekali.

Peristiwa mencoba ilmu Han Liong dengan secara diam-diam ini tidak kentara oleh orang lain dan yang mengerti hanya mereka yang telah tinggi ilmu kepandaiannya seperti Un Kiong dan gurunya, para locianpwe yang mewakili masing-masing cabang persilatan, dan guru-guru Han Liong. Mereka ini diam-diam merasa kagum sekali akan kelihaian Pauw Lian dan Han Liong yang dapat menundukkan orang tua she Souw yang gagah perkasa itu.

Setelah semua orang setuju akan pengangkatan Han Liong sebagai beng-cu, maka diadakanlah perjamuan yamg penuh kegembiraan. Kemudian para locianpwe mengadakan rapat untuk membicarakan soal surat penting yang dapat dirampas oleh Tan Un Kiong di istana putih itu.

Setelah dirundingkan masak-masak, maka diambil keputusan bersama-sama membasmi dulu kaki tangan Co Thaikam dan sedapat mungkin melenyapkan Thaikam jahat itu, barulah kemudian menghadap kaisar untuk menyadarkan kaisaar akan pengaruh- pengaruh jahat sehingga pemerintah kaisar itu sampai menindas rakyat jelata. Kalau kaisar kaisar tidak menurut, barulah diusahakan penghancurannya!

Un Kiong mendapat tugas untuk kembali ke kota raja dan berunding dengan ayahnya. Menurut paham Han Liong, sudah sepatutnya seorang gagah seperti ayah Un Kiong itu diberitahu sejelas-jelasnya tentang maksud dan usaha mereka. Surat-surat rencana pemberontakan Co Thaikam juga diserahkan Kepada Un Kiong untuk diberikan dan disimpan selanjutnya di tangan Tan cianbu sebagai bukti dan nanti pada saatnya diperlihatkan kepada kaisar. Mereka mengatur rencana untuk menyerbu istana putih pada malam hari, dan tugas-tugas telah dibagi-bagi.

Pada malam hari kedua, belum juga Un Kiong meninggalkan tempat itu. Ia agaknya tiada sampai hati untuk meninggalkan tempat itu dan ia tampak banyak mengobrol dengan Hong Ing. Kedua teruna remaja ini nampak demikian rukun dan mesra sehingga diam-diam Kouw Sin Ek, Han Liong dan Pauw Lian dapat menduga apa yang terkandung dalam hati Hong Ing dan Un Kiong. Ketika Khouw Sin Ek hendak meninggalkan Gunung Beng-san dan kembali ke tempatnya sendiri, ia memanggil muridnya itu dan dengan wajah berseri-seri ia berkata,

"Un Kiong, agaknya sudah tiba masanya kau mengikat janji dengan seorang wanita untuk sehidup semati!."

"Eh... ah, apa maksud suhu?" pemuda itu terbelalak heran.

"Kau selalu pandai bersandiwara, muridku. Kau kira aku yang sudah mengenalmu luar dalam ini tak mengerti akan sikapmu terhadap nona Hong Ing?”

Disebutnya nama ini membuat wajah Un Kiong tiba-tiba saja menjadi merah dan ia terpaksa menundukkan mukanya karena rahasianya telah diterka oleh gurunya sendiri.

"Bagaimana kalau aku memberitahu pada ayahmu dan juga menanyakan pendapat Si Bengcu? Karena dia inilah yang berhak memutuskan nasib adiknya."

Terpaksa Un Kiong hanya mengangguk perlahan, "terserah kepada suhu sajalah."

Dan gurunya tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, Hong Ing yang hendak membuktikan ancamannya untuk membalas godaan Han Liong ketika ia membela Un Kiong dulu itu, sedang menjalankan rencananya. Ia tampak bicara berdua dengan Han Liong di pekarangan belakang.

"Han-ko, aku kagum sekali melihat kepandaian cici Pauw Lian. Kurasa mencari seorang gadis sepandai dia itu di atas dunia ini sukar didapat keduanya" Hong Ing mulai dengan muslihatnya.

Karena gadis itu bicara dengan suara sungguh-sungguh, Han Liong mengangguk membenarkan. “Memang, kepandaian ilmu pedang Pauw sumoi sudah mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih gin-kangnya, ia sudah boleh dibilang mendekati kesempurnaan."

"Selain kepandaiannya yang sangat lihai, iapun berbudi halus dan baik hati sekali."

"Hm, hal ini aku tak tahu benar," jawab Han Liong sederhana, tapi diam-diam dalam hatinya mempertimbangkan ucapan Hong Ing ini.

"Ya, ia memang seorang gadis yang baik dan sukar dicari bandingnya. Pula, ia cantik jelita."

Han Liong mengerling ke arah adiknya karena dalam suara gadis itu ia menangkap sesuatu yang tak wajar yang menjadi tanda tanya. Hendak kemanakah tujuannya Hong Ing dengan ucapannya itu, pikirnya. Tapi ia tidak menjawab.

"Cici Pauw Lian cantik jelita, berhati baik, berkepandaian tinggi, benar-benar seorang siocia yang patut dikagumi, bukankah demikian, koko?"

"Hm, barangkali... ya mungkin benar kata-katamu itu. Ia patut dikagumi,” jawabnya perlahan.

"Dan.... dan pantas pula dicinta, bukan, koko?”

Tiba-tiba Han Liong menatap wajahnya. Ah, kesanakah arah tujuannya? "Adik Ing, apa hubungannya keadaan Pauw sumoi dengan aku? Apa maksudmu menceritakan kesemuanya itu padaku? Ia boleh jadi cantik, pandai, tapi hal itu tiada sangkut-pautnya dengan aku."

Han Liong lalu memalingkan mukanya karena ia tidak mau menjadi korban godaan Hong Ing lebih lanjut. Hong Ing masih memuji-muji kecantikan Pauw Lian, dan memancing-mancing agar Han Liong mau membuka 'rahasia hatinya', supaya ia mendapat giliran untuk menggodanya, tapi Han Liong yang sudah maklum akan maksud adiknya yang nakal ini pura-pura tak mendengarnya dan sikapnya dingin saja seakan-akan ia betul-betul tidak memperdulikan sedikit jua akan hal Pauw Lian yang dipuji-pujinya itu. Sikapnya ini membuat Hong Ing kewalahan dan ia mulai putar-putar otak mencari siasat baru.

"Tapi Han-ko." Demikian gadis yang cerdik ini merobah siasatnya, "ada sebuah hal pada diri cici Pauw Lian yang membuat hatiku tidak puas, bahkan selalu terasa di hatiku. Dan hampir-hampir aku benci kalau mengenangkan hal ini."


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Hong Ing telah dapat mengatur suaranya demikian rupa hingga mau tak mau Han Liong merasa tertarik. Tak terasa lagi pemuda ini cepat-cepat bertanya. "Apa? Apakah cacadnya maka kau merasa penasaran?" Suaranya mengandung keinginan tahu besar sekali hingga diam-diam Honi Ing hatinya merasa geli. Baru dicela sedikit saja Han Liong sudah bingung tak karuan!


"Cacadnya ialah kesombongannya. Agaknya kecantikan dan kepandaiannya membuat ia sombong dan tak tahu diri!"

"Hm, benarkah begitu?" Han Liong masih ragu-ragu akan kebenaran kata-kata adiknya ini.

"Ah, tentu kau tak mau percaya, koko, karena kau sudah... anggap dia seorang dewi yang tiada cacad!" selanya lagi.

"Eh, eh, jangan main-main, adik Ing. Sebenarnya, mengapa kau katakan dia sombong dan tak tahu diri?"

"Tidak, ah. Kau nanti marah."

Han Liong makin bernafsu, ingin tahu. "Aku berjanji takkan marah."

"Kau berjanji? Bagus kalau begitu. Nah, tahukah kau apa katanya padaku setelah kau dan menyerbu menyerbu barisan Ngo-heng-tin-fa bilang bahwa jika ia maju seorang diri menggunakan Ouw-liong Pokiamnya, tentu dengan mudah ia dapat memukul pecah barisan itu, tapi karena ada kau, maka ia menjadi canggung, karena gerakannya kacau oleh permainmu!”

Han Liong tiba-tiba mengerutkan keningnya. "Betul dia berkata begitu'" suaranya mengandung ketidakpercayaan.

"Kau tidak percaya bukan? Biarlah, masa bodoh kau mau percaya atau tidak, tapi tahukah kau apa jawabnya ketika kutanya apakah dia telah bertunangan? Ia jawab bahwa agaknya ia takkan kawin selama hidupnya karena ia telah bersumpah bahwa ia hanya mau kawin dengan seorang pemuda yang dapat mengalahkan Ilmu pedangnya! Yang membuat hatiku lebih panas lagi ialah ketika kukatakan padanya bahwa ilmu pedangmu juga lihai dan tinggi, tapi la menjawab dengan suara dingin bahwa biarpun Pek-liong Pokiam juga sebuah pedang pusaka yang baik dan setara dengan pedangnya, namun ilmu pedangmu hanya indah dilihat saja, tapi isinya kurang dan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Ouw-liong Kiamsut!"

Hio Liong merasa mukanya panas dan ia tidak tahu bahwa kulit mukanya menjadi merah, tanda bahwa hatinya telah berubah menjadi kayu kering yang dimakan oleh api yang dilepas Hong Ing. Tapi ia masih dapat menekan perasaan dan penasarannya, dan mencoba membantah keterangan adiknya ini dengan jawaban.

"Benar-benarkah ia berkata begitu?"

Hong Ing menghela nafas panjang. "Ah, sudahlah. Kau mana mau percaya! Rupanya kau telah jatuh hati betul-betul padanya! Agaknya kau takkan percaya juga jika kukatakan bahwa cici Pauw Lian telah mengundang kau untuk mencoba ilmu pedang di sini pada malam ini jam dua belas tengah malam nanti?"

Han Liong lompat berdiri. "Apa katamu?"

Hong Ing juga lompat berdiri dan bertolak pinggang. "Kataku, nanti jam dua belas tengah malam, cici Pauw Lian akan datang di sini antuk mencoba ilmu pedangmu, yakni kalau kau berani!"

"Kalau aku berani?" jawab Han Liong marah. "Mengapa aku takkan berani? Tapi, benar-benarkah demikian besar hasrat Pauw sumoi itu?"

"Buktikan saja malam ini. Tapi jangan lupa, kau harus pakai kedok sapu tangan."

"Eh, ada apa lagi ini? Harus pakai kedok? Mengapa?"

"Begitulah kehendak Pauw cici! Dia sendiri juga pakai kedok, agaknya ia malu bertemu muka denganmu tanpa kedok!"

Habis berkata begini, Hong Ing pergi, tak perduli akan panggilan Han Liong yang masih hendak bertanya. Pemuda ini merasa heran sekali. Benar-benarkah semua keterangan Hong Ing tadi? Mustahil Pauw Lian demikian sombong! Tapi, biar demikian Hong Ing tak pernah membohong, sekalipun ia amat nakal. Ah, biarlah, ia akan menanti sampai tiba saatnya tengah malam!

Hong Ing langsung menuju ke kamar Pauw Lian yang memang mendapat kamar bersama-sama dia. Pauw Lian sedang duduk seorang diri membereskan rambutnya yang hitam dan panjang itu. Hong Ing tak berkata sesuatu, hanya dengan muka asam terus saja membanting diri di atas pembaringan dan rebah telentang.

"Ea, kau kenapa, Ing moi! Kenapa mukamu merah padam seperti orang marah? Apakah kau ribut mulut dengan Tan Kongcu?" Hong Ing gigit bibirnya karena datang-datang ia diganggu oleh Pauw Lian yang jenaka. Awas, pikirnya. Awas pembalasanku!

"Memang aku baru saja ribut mulut. Tapi bukan dengan pemuda she Tan itu, dan aku bertengkar karena membelamu, cici. Sebaliknya yang dibela tidak mengerti, bahkan datang-datang menggoda, Ah, memang dunia ini tidak adil!"

Pauw Lian mendekati dan memegang lengannya. "Kau membelaku sampai bertengkar dengan orang lain? Ah, maaf, adikku yang manis. Kenapa kau bertengkar dan dengan siapa?"

"Ah, aku tak berani memberi tahu, takut kau akan menjadi marah."

Tentu saja kata-kata ini membuat Pauw Lian makin ingin tahu dan ia mendesak. "Aku takkan marah, adik Ing, katakanlah."

"Aku bertengkar dengan Han-ko karena dia mencelamu!"

"Sie suheng? Dia mencelaku? Biarlah, itu hal yang lumrah, mengapa kau harus membelaku?”

"Hm, hm, rupa-rupanya ada apa-apa dalam dadamu, cici, hingga kau menerima saja dicela dan dipandang ringan olehnya, sedangkan aku yang mendengarnya saja menjadi panas hati."

"Tapi... benar benarkah Sie suheng mencela dan memandang ringan padaku? Agaknya... ha! Itu tak boleh jadi. Tak mungkin dia berwatak demikian.”

"Nah, nah, itulah kalau orang sudah tertawan! Kau baru saja bertemu padanya, sedangkan aku sudah bertahun-tahun kumpul dengannya, siapakah yang tidak tahu akan wataknya?"

"Ya sudahlah, kau yang benar. Tapi ia mencela dalam hal apakah?"

"Ia mencela ilmu pedangmu! Ia katakan bahwa ilmu pedangmu masih mentah dan lemah dan bahwa hanya di luarnya saja tampak bagus dipandang, tapi kalau dipakai bertempur tidak berarti banyak! Tentu saja hal ini kubantah karena aku tak senang melihat kesombongannya, tapi kalau kau tidak percaya dan masih penasaran, malam ini jam dua belas tengah malam nanti, ia menanti di dalam kebun belakang untuk mencoba dan mengukur Ilmu Pedang Ouw-liong Kiam-sut!"

Siapa orangnya yang takkan merasa panas hati mendengar kata-kata yang membakar yang keluar dari mulut kecil mungil dengan bibirnya yang manis dan wajah yang bersungguh-sungguh itu? Pauw Lian biarpun orangnya jenaka dan cukup mendapat didikan ilmu batin dari gurunya, namun pada hakekatnya ia memang mudah juga menjadi marah seperti Hong Ing, mana ia dapat menahan hatinya?

Warna merah mulai menjalar di kulit muka sampai ke telinganya. Kepalanya yang cantik bergerak-gerak hingga sepasang anting-anting di kedua telinganya berbunyi kelentang-kelenting. Melihat sinar mata yang berapi itu terkejutlah hati Hong In dan ia merasa telah membakar terlampau panas. Segera ia berkata,

"Tapi, cici jangan marah kepada Han-ko. Sebenarnya dia bilang demikian itu karena sedang bertengkar denganku, hingga karena marah ia lalu bicara demikian. Tentu saja dia tidak sengaja bermaksud memandang rendah padamu. Tapi aku ada jalan yang baik, Cici. Bagaimana kalau kau layani dia dengan pakai kedok saputangan? Kau tak usah banyak cakap, begitu datang berhadapan terus saja menggunakan pedangmu, agar dia bisa membuktikan, sampai di mana kelihaianmu. Kita kaum wanita janganlah mudah dipandang ringan oleh pria, cici! Tak perlu kita harus kalah terhadap pria, biar pria itu setampan dan segagah Han-ko sekalipun!"

Karena pandainya Hong Ing membujuk dan membakar hati, maka tak heran bila pada waktu Han Liong dengan hati penasaran menunggu di dalam kebun, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hitam dan sinar hitam dari Ouw-liong Pokiam menyambarnya diikuti bentakan.

"Rasakan tajamnya Ouw-liong Pokiam!"

Baiknya Han Liong sudah siap dan waspada, maka cepat ia berkelit dan mencabut Pek-Liong Pokiam. Ia melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis berkedok saputangan merah dan ia maklum siapakah gadis ini. Sebaiknya Pauw Lian melihat bahwa Han Liong juga memakai kedok saputangan kuning hingga ia kini percaya apa yang diucapkan Hong Ing tadi.

"Sumoi, tahan! Kenapa kau begini keterlaluan?"

Kalau tadi hati Pauw Lian sudah terbakar, kini makin berkobar mendengar dirinya disebut keterlaluan!

"Kau yang sombong. Kau kira Pek-liong Pokiam-mu yang tertajam di dunia ini?"

Kembali ia menyerang, kini dengan hebat karena ia memakai gerakan Ouw-liong-pok-sai atau Naga Hitam Sambar Air. Pedang hitamnya berkelebat laksana seekor naga hitam terjun, mengerikan. Dalam keheranan dan penasarannya, Han Liong menangkis serangan itu dengan gerakan Pek-liong-hian-bwee atau Naga Putih Perlihatkan Ekor.

Demikianlah, sebentar saja mereka saling menyerang dengan hebat sehingga Hong Ing yang bersembunyi di balik pohon dan mengintai, kini menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Hebat sekali pertarungan itu, merupakan dua sinar hitam dan putih saling belit membelit dengan gerakan cepat. Diam-diam Hong Ing merasa gemetar dan hatinya berdebar.

Ia mengkhawatirkan keselamatan kedua orang itu, terutama keselamatan Han Liong. Walaupun ia tak dapat mengikuti benar-benar gerakan kedua pedang naga itu, namun ia maklum bahwa pertempuran kali ini jauh lebih hebat dari pada yang sudah-sudah!

Han Liong dan Pauw Lian diam-diam mengeluh. Memang kepandaian ilmu pedang mereka seimbang dan memang Ouw-liong Kiamsut sama lihainya dengan Pek-liong Kiam-sut. Hanya bedanya, Han Liong lebih tinggi ilmu lweekangnya atau tubuhnya lebih kuat sehingga tiap kali kedua pokiam beradu, Ouw-liong Pokiam-lah yang lebih banyak mengeluarkan bunga api dan lengan Pauw Lian tergetar.

Tetapi kekalahan ini dapat ditutup pula oleh kemenangan Pauw Lian dalam hal ilmu ginkang atau meringankan tubuh, sehingga ia dapat menghindarkan benturan senjata dengan mengharapkan kegesitannya. Ratusan jurus terlewat sudah dan macam-macam tipu simpanan telah dikeluarkan, namun belum juga ada yang tampak terdesak...


Terima kasih telah membaca Serial ini
 



Hong Ing sudah merasa lemas. Sejam lebih kedua orang ita beradu pedang dan Hong Ing tak berdaya apa-apa. Maksud hatinya hendak memilah tapi ia tak berani sembarangan maju. Maka diam-diam ia mulai merasa menyesal akan perbuatannya dan dengan tak disengaja dari kedua matanya mengalir air mata yang membanjiri kedua pipinya. Tiba-tiba ia merasa sebuah tangan yang kuat meraba lengannya dengan sentuhan halus dan terdengar suara beibisik,

"Cici Hong Ing kenapa menangis? Mereka tak bertempur sungguh-sungguh, jangan kau khawatir."

Mendengar kata-kata ini. Hong Ing menjadi demikian girang hingga ia lupa untuk mengherankan Un Kiong yang tiba-tiba itu. Ia pegang lengan pemuda itu dengan keras.

"Benar-benarkah mereka berkelahi tidak sungguh-sungguh!”

Senyum manis terbayang di wajah Un Kiong yang tampan itu. "Mereka hanya bermain- main!"

Setelah hatinya tenang kembali, barulah Hong Ing ingat betapa mesranya ia saling berpegangan lengan dengan Un Kiong. Cepat-cepat ia melepaskan tangannya dan mundur dua langkah lalu tunduk kemalu-maluan.

Memang Un Kiong berkata benar. Biarpun keduanya merasa penasaran dan ingin sekali menang, namun mereka menjaga benar agar pedang mereka jangan sampai saling melukai. Pernah ujung pedang Pek-Liong Pokiam menyambar leher Pauw Lian yang halus, tapi sebelum menyentuh kulitnya, pedang itu telah dirobah gerakannya ke atas hingga sebaliknya hanya merobek kain pengikat rambut saja.

Sedangkan ketika ujung Ouw-liong Pokiam menyambar dan hampir menembus jantung dalam dada kiri Han Liong, pedang itu ditahan demikian rupa oleh Pauw Lian hingga akibatnya hanya merobek baju Han Liong di bagian bahu kiri saja.

Un Kiong yang sejak tadi dengan diam-diam menonton pula, dapat melihat hal ini. Kemudian ia melihat betapa Hong Ing tiba-tiba menangis. Biarpun tadinya ia merasa malu bertemu dengan gadis itu karena kata-kata gurunya tadi, namun melihat gadis yang telah mencuri hatinya itu menangis, ia tak dapat menahan hatinya dan datang menghampiri lalu menghiburnya!

Pada saat itu, tiba-tiba dari bawah Gunung Beng-san terdengar suara hiruk-pikuk dari kaki kuda dan teriakan-teriakan orang banyak. Mendadak Un Kiong melihat suhunya, Khouw Sin Ek melayang turun dari scbuah pohon dan berkata,

"Un Kiong, hati-hatilah, rombongan pahlawan kaisar dan penghuni Istana putih datang menyerbu!" Kemudian Khouw Sin Ek melompat pergi ke arah tempat bermalam para tamu.

Un Kiong terkejut. "Cepat! Suruh mereka berhenti bertempur," katanya kepada Hong Ing.

Hong Ing melompat ke dekat dua gulungan sinar yang masih saling belit-membelit itu dan berteriak, "Pauw cici! Han-ko! Berhentilah! Musuh datang menyerbu!"

Tapi Han Liong dan Pauw Lian tak memperdulikannya hingga Hong Ing menjadi bingung sampai membanting-bantingkan kakinya karena suara gemuruh dari bawah makin keras. Terpaksa ia lari dan menarik-narik lengan Un Kiong,

"Wan Kongcu, tolonglah, kau pisahkan mereka!”

"Mudah saja, tapi kau harus penuhi permintaanku."

"Baik-baik, lekas katakan," kata Hong Ing tak sabar.

"Yaitu, jangan kau sebut aku kongcu."

"Habis bagaimana?"

"Sebut aku koko."

"Aduh! Ya, apa boleh buat," jawab Hong Ing yang pikirnya bahwa pada saat seperti itu ia tak perlu banyak berbantah. "Koko, lekas kau pisahkan mereka. Musuh sudah dekat!"

"Baik." Tapi sebelum Un Kiong bergerak, dari balik sebuah pohoh lain keluarlah bayangan seorang orang tua dengan gesitnya.

"Han Liong! Pauw Lian! Cukuplah main-main ini! Berhentilah kalian!” Seruan ini nyaring dan berpengaruh, hingga Han Liong dan Pauw Lian tak berani membantahnya. Mereka melompat mundur dan menyimpan pedang serta membuka kedok masing-masing.

"Maaf suhu!" kata Han Liong dan menjura kepada orang tua yang ternyata bukan lain adalah Pauw Kim Kong sendiri!

"Siokhu!" kata Pauw Lian kemalu-maluan. "Musuh datang menyerbu, kalian enak-enak dan main-main saja!" guru dan paman itu menegur, tapi mulutnya tersenyum maklum hingga Pauw Lian makin memerah mukanya. "Siaplah kalian semua. Tempat kita diserbu lawan. Aku hendak membuat persiapan di dalam." Dan pergilah orang tua itu.

Han Liong lebih banyak memikirkan keadaan Pauw Lian dari pada keadaan musuh yang datang menyerbu. Melihat Hong Ing dan Un Kiong berdiri di situ, ia membentak adiknya.

"Ing-moi! Sakarang akuilah terus terang, semua ini adalah gara-garamu, bukan?"

Hong Ing tertawa. "Kau tidak kuat menahan godaan? Jangan marah, siapa suruh kau dulu menggodaku?" Kamudian ia menghampiri Pauw Lían dan memeluknya, “Cici, memang aku telah membohong, Han-ko tidak pernah bilang apa-apa. Ia tidak sombong, cuma-cuma..."

"Cuma apa !" bentak Han Liong gemas.

"Cuma sekarang agak... agak galak! Jangan galak-galak, Han-ko, kau bikin takut soso (kakak ipar) saja!"

"Ada-ada saja! So-so yang mana?" teriak Han Liong marah.

"Yang mana lagi? Tentu yang akan datang. Eh, ya sekarang aku mengaku terus terang, cici Pauw Lian tak pernah bilang apa-apa padaku!”

“Sudah kuduga, Kau pikir semua orang senakal engkau?"

"Adik Ing, kenapa kau suka menggoda orang saja?” Pauw Lian ikut menegur.

"Aduh, sekarang aku dikeroyok dua! Cici, sebenarnya aku ingin sekali lagi melihat Ilmu pedang kalian, maka aku gunakan akal ini. Juga sekalian aku hendak membalas godaan kalian padaku dulu."

"Godaan? Siapa yang menggoda?” tanya Pauw Lian yang kini hendak membalas pula, "memang kau dan Tan Kongcu cocok benar, selalu bersama dan tampak rukun sekali. Aku bukannya menggoda sembarangan, tapi ini kenyataan."

Han Liong tertawa. "Nah, itu baru betul!”

Kini Un Kiong tampil ke depan. “Saudara Han Liong dan Pauw Siocia. Kalian menggoda Hong Ing cici boleh saja, tapi aku jangan dibawa-bawa!"

Han Liong dan Pauw Lian saling pandang dan tertawa mendengar lagak dan seruan Un Kiong yang seperti kanak-kanak, karena Un Kiong yang sengaja berlagak seperti ketika ia menjadi pemuda tolol, hingga Hong Ing mendengar dan melihat lagaknya jadi teringat lagi akan Un Kiong si tolol dulu, maka ia tak dapat menahan gelinya.

"Karena kalian sebut-sebut namaku, terpaksa akupun hendak membalas. Hong Ing cici, aku buka rahasia mereka sekarang. Tadi mereka bertempur biar kelihatan sengit, sebenarnya mereka saling sayang menyayangi dan menjaga jangan sampai saling luka melukai!"

Kini Hong Ing dan Ui Kiong yang menertawakan mereka, sedangkan Pauw Lian dan Han Liong yang terbuka rahasianya hanya menundukkan muka kemaluan.

Pada saat itu musuh telah menyerbu naik, dan di pintu gerbang yang dipasang didepan telah penuh dengan musuh yang bertemu dengan pihak tuan rumah. Han Liong mengajak kawan-kawannya menyusul ke sana.

Ketika melihat rombongan yang datang itu, Un Kiong merasa terkejut sekali karena romborgan itu dipimpin oleh orang-orang kepercayaan Co Thaikam dan para pahlawan kaisar, termasuk ayahnya sendiri! Yang membuat ia heran adalah kedua golongan ini yang sekarang dapat bekerja sama. Ini sungguh hebat dan berbahaya.

Melihat Un Kiong berada di situ, untuk sesaat mata Tan Cianbu memandang penuh kagum dan sayang, tapi ia segera membuang muka dan tak mau memandangnya. Tapi Kui Lan, murid Loh-san sam-moli, yang genit dan memang 'ada hati' terhadap pemuda tolol itu, segera maju menghampiri dan berkata,

"Eh, Tan Siangkong, kau berada di sini? Apa kau diculik oleh gerombolan pengacau ini? Biar, nanti aku balaskan sakit hatiumu. Mari, ikut dengan kami!"

Berkata begini, Kui Lan si muka hitam itu ulurkan tangannya dengan lemah lembut untuk menarik tangan Un Kiong. Tapi ternyata ia rasakan tangan Un Kiong keras dan tak dapat disentakkan! Ia mengerahkan tenaga, namun tetap tak dapat ia menarik pemuda itu. Sementara itu, dengan hati sebal Un Kiong mengerahkan tenaganya dan berseru,

"Pergi kau!"

Tangannya disentakkannya dan Kui Lan terlempar ke atas setinggi setombak lebih dan kalau tidak Biauw Niang-niang segera mengulurkan tangan menangkapnya, tentu ia akan terbanting kebawah.

Semua orang yang kenal Un Kiong, kecuali ayahnya sendiri kini sudah tahu akan rahasia anaknya, merasa sangat heran melihat ketangkasan dan kepandaian pemuda tolol itu. Pauw Kim Kong, sebagai tuan rumah, melangkah maju dan menjura kepada para pemimpin rombongan sambil berkata,

"Selamat datang, cuwi enghiong. Sungguh merupakan satu kehormatan besar sekali bahwa cuwi sudi menginjak tempat tinggalku yang buruk dan kotor ini."

Rombongan itu terdiri dari dua golongan. Golongan pertama terdiri dari tiga puluh lebih pahlawan kaisar yang dipimpin oleh Tan Cianbu serta empat orang kawannya, yakni pahlawan-pahlawan pilihan yang kepandaian silatnya sama lihainya dengan Tan Cianbu. Sedangkan tiga puluh orang kawannyapun terdiri dari pahlawan-pahlawan jagoan dari Istana kaisar!

Golongan kedua tak kalah hebatnya, bahkan lebih lihai! Golongan ini yang terdiri dari orang-orang kepercayaan dan kaki tangan Co Thaikam, si pembesar kebiri yang jahat, sebagian besar terdiri dari penghuni istana putih. Golongan ini dipimpin oleh orang-orang yang begitu dilihat membuat Pan Kim Kong dan orang-orang lain yang telah mengenalnya menjadi terkejut sekali.

Selain Loh-san Sam-moli si Tiga Iblis Wanita dari Loh-san di situ ada pula Kek Kong Tojin si Toya Aneh Kepala Ular, saikong yang kosen itu! Tapi ini masih belum berapa hebat karena dua orang tua yang kelihatan alim dan yang berdiri di dekat Kek Kong Tojin agaknya bukan orang-orang lemah dan Kek Kong Tojin sendiri tampak sangat hormat pada mereka. Pihak tuan rumah merasa agak cemas ketika Khouw Sin Ek maju menjura kepada Kek Kong Tojin da dua orang tua itu sambil tertawa gelak-gelak.

"Pantas bulan menjadi suram, rupanya kalian orang-orang tua yang sakti ikut datang menengok kami!" Kemudian Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek berpaling kepada semua kawannya "Saudara-saudara, jangan berlaku kurang hormat kepada ketiga tamu agung ini. Ini adalah Ngo-lian-posat Ang Gwat Niang-Niang, yang tengah ini bukan lain adalah Lo Thong Sianjin, sedangkan yang ketiga adalah Kek Kong Tojin! Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dan pendiri dari Ngo-lian-pai yang tersohor!"

"Ha ha ha! Kiranya disini ada Khouw Lojin! Pantas Gunung Beng-san menjadi makin tinggi saja.” Kek Kong Tajin balas mengejek.


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Sebenarnya diantara semau orang yang berada di situ, baik dari pihak penyerang dan pihak yang hendak diserang, hanya ketiga pendiri Ngo-lian-pai dan Khouw Sin Ek saja yang boleh dibilang setingkat dan menduduki tempat tertinggi. Maka kini melihat ketiga orang tua itu datang semua, diam-diam Khouw Sin Ek merasa khawatir juga. Tapi ia seorang cerdik dan banyak pengalaman, maka tidak kentara kecemasannya. Lagi pula, dengan adanya Han Liong dan Panw Lian di situ, ia mempunyai dua orang pembantu yang kiranya takkan mengecewakan.


"Khouw Toyu! Kalau telingaku yang tua tak salah dengar, kau bukanlah termasuk golongan pengacau dan pemberontak, juga kau tak pernah ikut campur urusan pemerintahan. Maka kau bukanlah musuh kami. Karena itu, pandanglah mukaku dan tinggalkanlah gunung ini dengan damai," kota Lo Thong Sianjin.

"Ha ha ha! Kau orang tua enak saja bicara. Memang aku biasanya tak suka campur urusan segala macam yang tidak penting. Tapi kalau tidak salah, kalian orang orang tua juga biasanya jarang turun gunung kalau tidak ada hal yang penting sekali. Kini aku berada di sini sebagai tamu si Malaikat Rambut Putih, maka apa yang akan terjadi kepada tuan rumah sekalian akan terjadi padaku sendiri."

"Hm, bagus! Biarlah, ikut atau tidaknya Khouw Lo-enghiong tak menjadi soal," tiba-tiba Ang Gwat Niang-niang berkata, suaranya merdu dan nyaring. "Pauw Kim Kong! Kau telah bersekongkol dengan pemberontak, mencuri surat-surat penting, dan bersiap hendak memberontak. Maka, untuk menebus dosamu itu, serahkan kepada kami beberapa orang pemberontak dengan damai."

"Hm, mudah sekali kau bicara. Siapa yang harus diserahkan?" tanya Pauw Kim Kong dengan suara mengejek.

Ang Gwat Niang-niang memberi tanda kepada Biauw Niang-niang yang segera maju dan menunjuk dengan jarinya. "Mereka ini!" Dan yang ditunjuknya ialah Han Liong, Hong Ing, Lie Bun Tek, Pauw Lian, Siok Houw Sianseng, dan keempat guru Han Liong!

"Eh, eh, kenapa tidak kau tunjuk semua saja berikut aku juga?” terdengar Khouw Sin Ek mengejek.

"Itu lebih baik lagi, memang seharusnya semua karena tak seorangpun diantara kalian yang bukan pemberontak!" Kek Kong Tojin berseru dan tiba-tiba ia berkata. "Ayoh tangkap, serbu!” Ia mendahului dengan toyanya memukul kepala Khouw Sin Ek.

Tapi Sin-chiu Taihiap tertawa keras. "Lie Bun Tek enghiong dan Un Kiong, kalian lawan yang ini!" Kedua orang itu segera maju dengan senjata masing-masing, Un Kiong dengan pokiamnya dan Lie Bun Tek dengan joan-piannya. Kedua senjata segera bergerak melawan toya kepala ular yang lihai dari saikong itu.

Ang Gwat Niang-niang mencabut pedang dan hudtimnya. "Khouw Lojin pin-ni terpaksa melanggar larangan membunuh!”

Kedua senjatanya mengeluarkan angin dingin ketika menyambar ke arah Khouw Sin Ek, tapi si Kepalan Dewa ini kembali berkelit dan melompat sambil berteriak. Ouw-liong dan Pek-liong, kalian tidak lekas turun tangan mau tunggu apa lagi?”

Mendengar perintah lucu ini, Han Liong dan Pauw Lian mencabut pokiam mereka dan lompat ke depan menyambut serangan Ang Gwat Niang-niang yang gerakan-gerakannya luar biasa dan lihai sekali.

Khouw Sin Ek segera melompat menghadapi Lo Thong Sianjin. "Kau juga hendak turun tangan? Silakan, biar tua sama tua!"

Lo Thong Sianjin yang sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, kini melihat orang-orang bertempur segera timbul kegembiraanya. Lagi pula, ia memang sudah lama mendengar nama Sin-chiu Taihiap, maka ia yang berwatak tak mau kalah itu, ingin sekali mencoba kepandaian Khouw Sin Ek.

"Marilah pinto melayanimu barang seratus jurus," katanya dan mereka berdua lalu saling serang dengan hebat.

Sebenarnya, Lo Thong Sianjin biasa menggunakan senjata rantai, tetapi melihat Khouw Sin Ek hanya bertangan kosong, maka ia yang tak mau kalah itu tak sudi merendahkan diri melawannya dengan menggunakan senjata.

Kedua jago cabang atas yang tinggi ilmunya itu dan yang pada jaman itu sudah termasuk tingkat tertinggi, berkelahi dengan luar biasa serunya sehingga debu dan pasir di dekat kaki mereka berhamburan mengepul ke atas!

Memang Khouw Sia Ek sangat cerdik, ia tahu bahwa diantara ketiga tokoh Ngo-lian-pai itu, yang paling rendah kepandaiannya adalah Kek Kong Tojin, sedangkan yang terlihai ilmu pedangnya adalah Ang Owat Niang-niang. Maka ia memerintahkan Lie Bun Tek dan muridnya, Un Kiong, untuk melayani Kek Kong Tojin, sedangkan untuk melayani ilmu pedang dan hudtim yang lihai dari Ang Gwat Niang-niang, ia tugaskan kepada Han Liong dan Pauw Lian!

Ia maklum pula betapa tinggi ilmu silat dan lweekang dari Lo Thong Sianjin, tokoh tertua dari Ngo-lian-pai itu, maka ia sendirilah yang melawannya!

Sementara itu, semua pahlawan dan Loh-san Sam-moli serta kawan-kawannya telah bertempur melawan Pauw Kim Kong dan semua kawannya yang juga terdiri dari jagoan-jagoan lihai. Maka Sam-moli dan Tan Cianbu serta kawan-kawannya yang menjadi pemimpin rombongan dan berkepandaian tinggi segera berhadapan dengan Pauw Kim Kong, Liok-tee Sin-mo Hong In, Hee Ban Kiat, Bie Kong Hosiang, Ngo-lohiap dari Kengciu, Souw Kwan Pek si Toya Ular Dewa, Lok Twie Hwesio wakil Siauw-lim, Pek Ciok Tojin ahli Kun-lun, Khu Bu Houw, Beng Hwa Suthai, Kok Tiang Lojin dan lain-lain yang menjadi tamu di Beng-san.

Maka ramailah pertempuran terjadi dipuncak Gunung Beng-san. Suara senjata beradu disertai bentakan-bentakan marah dan teriakan-teriakan kesakitan memenuhi udara.

Kek Kong Tojin menggunakan tongkat kepala ularnya yang sakti untuk mengalahkan lawannya, tapi Un Kiong dan Lie Bun Tek bukanlah lawan-lawan lemah. Ketangguhan kedua orang ini pernah diuji oleh Kek Kong Tojin di atas genteng istana putih.

Kini setelah, mereka bertempur dengan menggunakan senjata, sekali lagi Kek Kong Tojin terpaksa harus mengakui kehebatan lawan yang masih muda ini. Dari gerakan-gerakannya, Kek Kong Tojin tahu bahwa si kedok hitam dahulu bukan lain adalah Un Kiong yang kini menggerakkan pokiamnya dengan begitu gesit dan berbahaya. Maka ia makin marah dan memutar toyanya sehingga merupakan dinding baja yang sukar ditembus!

Namun pedang Un Kiong bukanlah pedang biasa, juga joan-pian Lie Bun Tek adalah sebuah senjata pusaka yang kuat dan terbuat dari pada logam mujijat. Lagi pula, ilmu silat kedua orang ini yang memang sudah tinggi, kini tergabung menjadi satu, maka mereka merupakan lawan yang sangat tangguh dan berat.

Setelah lewat tiga ratus jurus, Kek Kong yang sudah tua dan yang terlampau banyak menghamburkan tenaga menuruti hawa nafsunya, mulai tampak lelah dan terdesak.

Yang paling indah dilihat adalah pertempuran antara Ngo-lain Posat Ang Gwat Niang-niang melawan Han Liong dan Pauw Lian. Kalau gerakan-gerakan pedang dan hudtim wanita tua merupakan awan hitam bergulung-gulung naik turun dan menyelubungi kedua anak muda itu, maka Pek-liong Pokiam dan Ouw-liong Pokiam merupakan dua naga sakti hitam-putih yang terbang berkejar-kejaran di antara awan hitam itu.

Angin pedang mereka bertiga bersiutan sampai tiga tombak lebih di sekeliling mereka hingga daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin. Tubuh ketiganya telah lenyap dari pandangan mata. Maka dapat dibayangkan betapa sengit dan mati-matian pertempuran ini.

Diam-diam Ang Gwat Niang-niang terkejut melihat ilmu pedang yang luar biasa dari kedua anak muda itu. Ia akui bahwa jika ia tidak memiliki pengalaman luas dan kalau ia tidak sudah meyakinkan Ngo-lian Kiamsut sampai semasak-masaknya, tentu ia takkan kuat menahan kedua pedang Naga ini.

Sebaliknya Han Liong dan Pauw Lian merasa gembira sekali karena mereka diberi kesempatan untuk main pedang bersama lagi, maka diam-diam mereka berterima kasih kepada Khouw Sin Ek. Kali ini, mereka lebih meresa betapa cocok kedua ilmu pedang mereka digabungkan untuk menggempur Ngo-lian kiamsut yang mempunyai banyak tipu kejam dan licin sekali itu.

Sementara itu, keadaan Khouw Sin Ek dan Lo Thong Sianjin ternyata seimbang. Lo Thong Sianjin lihai karena ilmu goloknya, sedangkan Khouw Sin Ek terkenal karena ilmu tendangannya yang berbahaya. Maka keduanya berlaku hati-hati sekali dan sedikitpun tak mau mengalah. Diam-diam mereka juga saling mengagumi.

Pekik kesakitan makin sering dan makin banyak terdengar, tanda bahwa yang mendapat luka dalam pertempuran itu makin banyak. Kui Lan telah rebah dengan luka berat di pundaknya terkena tusukan golok Bie Kong Hosiang, sedangkan banyak pahlawan menderita luka-luka berat. Di fihak tuan rumah, beberapa orang juga mendapat luka dan sudah diangkat ke dalam untuk diobati.

Hong Ing tidak ikut bertempur karena diam-diam Un liong telah memesan padanya agar jangan ikut bertempur dan bahkan surat-surat penting yang dapat dirampasnya di istana putih dulu, kini ia berikan kepada gadis itu untuk disimpan! Juga Han Liong pesan kepadanya agar jangan ikut bertempur karena musuh terdiri dari orang-orang sangat lihai.

Biarpun merasa girang melihat perhatian mereka terutama melihat Un Kiong mengkhawatirkan keselamatannya, namun diam-diam Hong Ing mendongkol karena merasa di pandang rendah. Tapi ia merasa terhibur setelah mendapat kepercayaan dari Un Kiong untuk menyimpan dan menjaga surat-surat penting itu merasa bahwa tugas menjaga surat-surat itu bahkan lebih penting dari pada ikut bertempur melawan musuh. Maka ia berdiam di tempat aman sambil menonton pertempuran hebat itu.

Akan tetapi, lambat-laun ia merasa khawatir dan ngeri juga melihat betapa fihaknya terdesak dan banyak korban yang telah jatuh. Pikirannya bekerja cepat dan ia segera masuk ke dalam kamarnya. Di situ ia buka gulungan kertas-kertas penting itu dan setelah cepat mencari, ia mendapatkan surat rencana pemberontakan Co Thaikam. Surat ini ia bawa lari keluar dan matanya mencari-cari Tan Cianbu.

Akhirnya ia mendapatkan kapten Tan itu sedang bertempur mati-matian, dikeroyok dua oleh Bie Cauw Giok murid Pauw Kim Kong dan Bhok Kian Eng murid Liok-te Sin-mo! Permainan golok Tan Cianbu cukup lihai dan tenaganya yang besar membuat dua orang pengeroyoknya tak dapat mendesaknya. Hong Ing mendekati mereka dan dengan suara keras ia berkata,

"Bie toako dan Bhok toako, silakan berhenti sebentar! Aku ada urusan penting, biar aku yang menghadapi Tan Cianbo ini!"

Meskipun terheran mendengar permintaan Hong Ing, kedua jago muda itu melompat mundur dan membiarkan Hong Ing menghadapi Tan Cianbu. Kapten itu mengenal wajah Hong Ing sebagai gadis yang memasuki tamannya dulu, bersama dengan Un Kiong. Maka ia tahan goloknya dan membentak.

"Kau mau apa?"

"Tan Lo-enghiong jangan marah dan terburu nafsu. Saya datang bukan untuk bertempur, tapi hendak memberitahukan sesuatu yang penting sekali. Dulu saudara Un Kiong berhasil mencuri surat-surat penting dari istana putih dan tahukah lo-enghiong apakah yang didapatnya? Ini silakan lo-enghiong baca sendiri!"

Dengan heran Tan-cianbu menyambut surat itu dan membacanya cepat. Mukanya menjadi pucat dan ia hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Ia baca lagi dan tiba-tiba ia berteriak keras.

"Semua pahlawan tahan senjata!"

Berulang ia berteriak demikian hingga semua kawan-kawannya segera lompat mundur dan menahan serangan mereka. Juga pihak kaki tangan Co Thaikam dengan sendirinya mundur hingga sebentar saja semua orang yang sedang bertempur menghentikan perkelahian.....



Terima kasih telah membaca Serial ini




TIDAK hanya pihak penyerbu, pihak tuan rumah juga merasa heran. Bahkan ketiga tokoh Ngo-lian-pai juga menghentikan serangan masing-masing. Dengan surat di tangan dan tindakan kaki tetap dan sikap mengancam Tan Cianbu menghampiri ketiga tokoh Ngo-lian-pai.

"Cuwi silakan baca ini dan lihat betapa jahat dan palsunya orang-orang yang cuwi bela!"

Lo Thong mengambil surat itu dan sehabis membacanya ia memberikan surat itu kepada Ang Gwat Niang-niang dengan wajah merah padam. Pertapa wanita itu membaca dengan tenang tapi sehabis membaca surat itu ia berpaling kepada ketiga muridnya dengan mata berapi.

"Biauw Niang, apa artinya ini? Kalian hendak memberontak dan membantu perbuatan terkutuk? Jadi kau sudah tipu gurumu sendiri untuk memusuhi para hohan ini?”

Suara ini merdu dan nyaring tapi di dalamnya mengandung kebengisan hebat hingga Biauw Niang menjadi gemetar ketakutan.

"Subo... teecu tidak... tidak berani berbuat begitu. Yang membawa rencana dan berhubungan langsung dengan Co Taijin adalah Kek Kong susiok!"

Ang Gwat Niang-niang memandang Kek Kong Tojin dengan mata mengandung pertanyaan dan tuntutan. Tapi yang dipandang hanya tertawa lalu berkata,

"Suci, apakah suci takut menghadapi penjahat-penjahat ini? Kalau takut dan tidak mau membantu, silakan suci dan suheng pulang kembali ke gunung saja, biar aku menghadapinya sendiri!"

"Kek Kong, kau tersesat!" Lo Thong Sianjin membentak.

"Biauw Niang, kalian bertiga membuat malu gurumu. Mulai saat ini kalian bukanlah anak murid Ngo-lian-pai lagi!"

"Cuwi, maafkan pin-ni yang tertipu," kata Ang Owat Niang-niang sambil menjura kepada pihak tuan rumah, kemudian ia tersenyum kepada Han Liong dan Pauw Lian, "Kalian Pek Liong dan Ouw-Liong sungguh gagah. Giok Ciu dan Sin Wan beruntung sekali bisa mendapat murid seperti kailan. Kalau bertemu kedua guru kalian, sampaikan salamku kepada mereka!" Kemudian sekali berkelebat, Ang Gwat Niang-niang lenyap dari pandangan, hanya masih terdengar suaranya memanggil, "Ayoh, suheng!”

Lo Thong tertawa sambil menjura kepada Khouw Sin Ek dan berkata dengan suara tak puas. "Aku telah berkenalan dengan kepalan dewa, tapi sayang belum kenyang kita mengadu kepalan terpaksa harus berakhir sampai disini. Khouw Lojin, kalau ada kesempatan jangan lupa padaku untuk mencoba dan melanjutkan pertempuran ini."

"Ha ha ha! Lo Thong toyu, kau serakah sekali. Baik-baik! Lain kali kalau ada kegembiraan pasti aku mengunjungi gunungmu."

Lo Thong menjura lagi lalu melompat pergi menyusul sumoinya.

Sementara itu, karena tidak dapat menahan marahnya lagi, Tan Cianbu berteriak memerintahkan kawan-kawannya, "Serbu pemberontak dan penghianat-penghianat ini!"

Goloknya terayun membacok Kek Kong Tojin yang menangkisnya dengan toyanya. Un Kiong melompat mendekati ayahnya. “Ayah biarkanlah aku menghajar imam yang jahat ini!"

Tan Cianbu maklum bahwa anaknya mempunyai kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka ia tertawa dan berkata, "Hati-hati, Un Kiong!" Lalu ia pimpin kawan-kawannya berbalik menghantam Cek Kong Tojin dan kawan-kawannya!

Sebaliknya, pihak Han Liong dan kawan-kawannya menjadi bingung karena musuh telah saling gempur sesamanya. Tapi tiba-tiba Han Liong berkata, "Telah diputuskan untuk membasmi para durna dulu. Nah, mereka inilah kaki tangan durna. Ayoh bantu Tan Cianbu!”

Lie Bun Tek segera terjun lagi dalam pertempuran, membantu Un Kiong, sedangkan Han Liong dan Pauw Lian menyerang ketiga siluman wanita dengan sengit. Juga Hong Ing tidak mau tinggal diam. Ia memutar siang-kiamnya dan maju melabrak musuh. Tetapi beberapa orang dari fihak tuan rumah yang tidak mau ikut campur urusan orang lain tinggal diam saja menjadi penonton.

Keadaan kedua fihak tidak seimbang maka sebentar saja korban yang berjatuhan di fihat Kek Kong Tojin memenuhi tempat itu. Pek-liong Pokiam dan Ouw-liong Pokiam mengamuk dengan hebatnya dan di mana saja pedang warna hitam dan putih berkelebat, maka pasti ada yang korban jatuh tanpa dapat menjerit lagi.

Ketika Han Liong dan Pausw Lian sedang mengamuk hebat dan merasa gembira melihat hasilnya, tiba-tiba ada angin bertiup keras dan Han Liong dan Pauw Lian merasa ada tenaga raksasa yang menahan pedang mereka!

Mereka terkejut sekali tetapi tak dapat menahan tarikan itu sehingga dalam sekejap mata kedua pokiam itu terlepas dari tangan dan terbang entah ke mana! Selagi mereka terheran-heran, dari atas melayang sehelai kertas putih. Han Liong segera memungutnya dan bersama Pauw Lian membacanya.

Alangkah terkejut mereka dan tiba-tiba saja mereka merasakan seluruh muka panas karena malu. Han Liong dan Pauw Lian memandang sekeliling. Juga mereka yang sedang bertempur, semua berdiri terheran-heran dengan mulut ternganga karena semua senjata mereka dengan tiba-tiba saja lenyap dari tangan mereka tanpa mereka ketahui siapa yang merampasnya!

Hanya Khouw Sin Ek saja yang menjura ke arah barat dan berkata keras, "Siansu dan Suthai, terima kasih atas bantuan kalian. Silakan singgah di tempat kami yang kotor!"

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara yang keras bergema, "Khouw Toyu, ada kau orang tua, kami tak perlu khawatir, semua pasti selesai. Maafkan kami mengganggu dan tak dapat mampir. Selamat tinggal!”

Khouw Sin Ek hanya geleng-geleng kepala dan menghela napas! Han Liong dan Pauw Lian berlutut dan menyebut 'Suhu!'

Hanya Khouw Sin Ek saja yang dapat melihat gerakan Kam Hong Siansu dan Kui Giok Cu Suthai yang datang berdua dan merampas semua senjata dari mereka yang sedang bertempur. Bahkan Kam Hong Siansu telah meninggalkan sepucuk surat kepada Han Liong dan Pauw Lian! Melihat hal itu, Khouw Sin Ek menghampiri kedua anak muda itu dan bertanya.

"Surat apakah yang kalian terima? Pesanan Siansu?"

Sambil menundukkan kepala Han Liong memberikan surat kepada Khouw Sin Ek yang membacanya:

Han Liong! Sudah terlampau banyak darah mengalir. Hentikanlah pertempuran. Belum waktunya menggulingkan kekuasaan yang memerintah. Tiba saatnya akan runtuh sendiri. Pek Liong sudah bertemu Ouw Liong, maka kami minta kembali. Sebagai gantinya kau mendapat Pauw Lian dan dia mendapat kau. Kami memberi doa restu, jadilah kalian suami isteri yang bahagia dan bijaksana. Terima kasih kepada Khouw toyu yang telah sudi menjadi perantara!

Tertanda Kam Hong Siansu Kui Giok Ciu Suthai.

Khouw Sin Ek tertawa geli tiada terhingga. "Ah, sungguh pintar orang tua itu!" Kemudian ia berpaling kepada semua orang. "Hai, cuwi yang terhormat. Kami sebagai tuan rumah di gunung ini mengharap hendaknya agar cuwi jangan membikin kotor tempat ini dengan pertumpahan darah selanjutnya! Para enghiong yang merasa tertipu oleh biang keladi pemberontakan dan sudah menjadi sadar, harap kembali ke tempat masing-masing dan mengubah kekeliruan masing-masing. Para pahlawan yang setia kepada negara harap mengurus hal ini melalui saluran tertentu. Dan kau, Kek Kong, dengan ketiga muridmu, kalau ingin selamat hentikanlah kesesatanmu, karena kalau tidak, biar kali ini lolos dari bencana, pasti lain kali akan mengalami mala petaka!"

"Kau sombong, Khouw lojin. Memang, kuakui bahwa kali ini kami kalah. Orangmu telah dapat merampas senjata kami. Tapi lain kali tentu aku hendak membalas hormat padamu!"


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Kemudian saikong itu menggandeng tangan ketiga keponakan muridnya itu dan membawa mereka lari turun gunung. Semua orang bubar sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan terbinasa. Tapi Khouw Sin Ek menahan Tan Cianbu yang memang telah dikenalnya baik.


"Khouw lo-enghiong. Sekarang aku mengerti mengapa Un Kiong berlaku demikian ketolol-tololan, tentu ini adalah kau orang tua yang mengajarnya!" kata Tan Cianbu sambil tertawa.

Khouw Sin Ek tertawa. "Tapi, bagaimana pendapatmu tentang puteramu? Puaskah kau melihatnya?"

"Terima kasih atas didikanmu kepadanya, Khouw lo-enghiong," jawab Tan Cianbu.

"Tidak cukup dengan terima kasih saja, cianbu. Sekarang aku hendak memajukan diri menjadi perantara untuk perjodohan Un Kiong."

"Perjodohan? Ia masih sangat muda!"

"Tidak terlalu muda untuk mendapat jodoh yang cocok dan baik."

"Siapakah nona yang kau puji-puji itu?"

"Bukan lain ialah nona Lie Hong Ing yang memberimu surat tanda pemberontakan tadi."

"O dia...??"

Memang semenjak bertemu di taman dan melihat kegagahan sikap gadis itu dan kecantikannya. Tan Cianbu sudah merasa suka, maka ia segera menyatakan persetujuannya hingga Khouw Sin Ek menjadi girang sekali. Han Liong segera ditemui dan ketika diminta pendapatnya, Han Liong hanya mengangguk sambil tersenyum girang.

"Memang mereka berdua itu jodoh masing-masing. Kalau bukan saudara Un Kiong, siapa lagi yang sanggup menundukkan Hong Ing?"

Ketika Hong Ing diberitahu oleh Pauw Lian yang mendapat tugas menyampaikan kepada gadis ini, Hong Ing menghujani tubuh Pauw Lian dengan cubitan sehingga Pauw Lian mengaduh-aduh dan lari. Hong Ing mengejarnya, tapi Pauw Lian berteriak,

"Tan Kongcu... Tan Kongcu... tolong aku, Ing-moi nakal sekali...!"

Terpaksa Hong Ing cepat-cepat bersembunyi didalam kamar sendiri, takut kalau-kalau Un Kiong benar-benar muncul pada saat itu!

Sementara itu, perjodohan antara Han Liong dan Pauw Lian tak menemui kesulitan. Kedua guru masing-masing sudah setuju, kedua orang yang bersangkutan juga setuju, sedangkan pada waktu itu, semua guru dan bibi Han Liong pun berada di situ pula dan mereka bahkan menerima warta ini dengan girang sekali. Adapun Pauw Lian, karena ia yatim piatu, maka cukup diwakili oleh Pauw Kim Kong yang menjadi keluarga satu-satunya.


                ***************


Demikianlah, sebulan kemudian, di Beng-san dilangsungkan perkawinan dua pasang mempelai, Tan Un Kiong dengan Lie Hong Ing, dan Si Han Liong dengan Pauw Lian. Ketika upacara dilangsungkan, tiada hentinya mereka berempat saling goda sehingga menambah keramaian dan kemesraan pesta itu.

Selanjutnya, Hong Ing tinggal dengan suaminya di rumah mertuanya yang telah meletakkan jabatan dan pulang ke kampung, sedangkan Han Liong dan isterinya tinggal di Kam hong-san atas permintaan guru-guru dan bibinya. Biarpun kedua pokiam telah ditarik kembali oleh gurunya masing-masing, namun mereka berdua terus berlatih ilmu pedang Pek liong Kiamsut dan Ouw-Liong Kiamsut, bahkan mereka berusaha menggabungkan kedua ilmu pedang ini.

Hidup mereka penuh kebahagiaan karena sebagai bengcu Han Liong dikenal oleh seluruh hohan di kalangan kang-ouw yang datang mengunjungi, juga mereka sering turun gunung untuk mengunjungi sahabat-sahabatnya.

Hong Ing pun hidup bahagia dengan suaminya yang sangat menyintainya, dan dari Un Kiong, Hong Ing mendapat bimbingan ilmu silat tinggi sehingga ia memperoleh kemajuan pesat sekali. Seperti juga Han Liong suami isteri, Un Kiong suami isteri ini juga sering melakukan perjalanan mengunjungi sahabat-sahabat untuk meluaskan pengalaman dan dimana saja mereka tak pernah lupa mengeluarkan tangan dan menggunakan kepandaian mereka untuk membantu fihak lemah yang tertindas dan membasmi orang-orang jahat yang mengacaukan rakyat jelata.

Sesuai dengan petunjuk Kam Hong Siansu, untuk sementara Han Liong dan kawan-kawannya menghentikan gerakan mereka sambil menanti suasana melihat keadaan pemerintah. Yo Leng In atau Yo Toanio, bibi Han Liong, ikut keponakannya tinggal di Kam-hong-san dan janda ini melewati sisa hidupnya dengan menumpang dan ikut merasakan kebahagiaan hidup Han Liong dan Pauw Lian.

Hampir sebulan sekali atau lebih sering lagi, kalau tidak Han Liong dan isterinya mengunjungi kampung Un Kiong yang tidak jauh dari Kam hong-san, tentu Un Kiong dan Hong Ing yang naik ke Kam-hong-san untuk mengunjungi kakaknya yang tercinta itu, di mana pada tiap pertemuan mereka mengobrol dengan gembira-ria!


             T A M A T


Terima kasih telah membaca Serial ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JAGO PEDANG TAK BERNAMA (BU BENG KIAM HIAP)

KISAH SEPASANG NAGA